SK. Menganalisis tipe-tipe budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia Budaya politik menunjuk pada orientasi dari tingkah laku individu/masyarakat terhadap sistem politik. Budaya politik dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, yakni sebagai berikut.
1. Budaya Politik Parochial
Budaya politik parochial berlangsung dalam masyarakat tradisional, dimana masyarakatnya masih sederhana dengan spesialisasi yang suangat kecil. Para pelaku politik sering melakukan peranannya serempak dengan perananya dalam bidang ekonomi, keagamaan, dan lain-lain.anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politk yang luas. Kesadaran yang menonjol dari anggota masyarakat dalam bidang poltik, bahwa mereka mengakui adanya pusat kewenangan atau kekuasaan politik dalam masyarakat.
Budaya politik ini terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang kecil. Dalam budaya politik parokial, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik dapat dikatakan rendah karena anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali dalam batas tertentu di tempat mereka tinggal.
Ciri-ciri budaya politik parokial adalah sebagai berikut.
a). Budaya politik ini berlangsung dalam masyarakat yang masih tradisional dan sederhana.
b). Belum terlihat peran-peran politik yang khusus; peran politik dilakukan serempak bersamaan dengan peran ekonomi, keagamaan, dan lain-lain.
c). Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau kekuasaan dalam masyarakatnya cenderung rendah.
d). Warga cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali yang ada di sekitarnya.
e). Warga tidak banyak berharap atau tidak memiliki harapan-harapan tertentu dari sistem politik tempat ia berada.
a). Budaya politik ini berlangsung dalam masyarakat yang masih tradisional dan sederhana.
b). Belum terlihat peran-peran politik yang khusus; peran politik dilakukan serempak bersamaan dengan peran ekonomi, keagamaan, dan lain-lain.
c). Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau kekuasaan dalam masyarakatnya cenderung rendah.
d). Warga cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali yang ada di sekitarnya.
e). Warga tidak banyak berharap atau tidak memiliki harapan-harapan tertentu dari sistem politik tempat ia berada.
2. Budaya Politik Subjek (Kaula)
Dalam budaya politik kaula (subjek), anggota masyarakat mempunyai minat, perhatian, mungkin pula kesadaran, terhadap system keseluruhan, terutama dari segi output politik. Orientasi anggota masyarakat yang nyata terhadap objek politik dapat dilihat dari pernyataannya, baik berupa kebanggaan, ungkapan sikap dukungan, maupun sikap bermusuhan terhadap system politik. Posisinya sebagai kaula, anggota masyarakat dapat dikatakan sebagai posisi yang pasif. Mereka menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi atau mengubah system politik, dan oleh karena itu, menyerah saja kepada segala kebijaksanaan dan keputusan para pemegang jabatan politik dianggap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, dikoreksi, apalagi ditantang. Tiada jalan bagi anggota masyarakat kecuali menrima system politik sebagaimana adanya, patuh, ssetia, dan mengikuti segala instruksi dan anjuran pimpinan politiknya.
Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000), budaya politik subjek menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun memberikan suara dalam pemilihan.
Ciri-ciri budaya politik subjek adalah sebagai berikut.
a). Warga menyadari sepenuhnya akan otoritasi pemerintah.
b). Tidak banyak warga yang memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, tetapi mereka cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari pemerintah.
c). Warga bersikap menerima saja putusan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak boleh dikoreksi, apalagi ditentang.
d). Sikap warga sebagai aktor politik adalah pasif; artinya warga tidak mampu berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
e). Warga menaruh kesadaran, minat, dan perhatian terhadap sistem politik pada umumnya dan terutama terhadap objek politik output, sedangkan kesadarannya terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor politik masih rendah.
3. Budaya politik partisipan Budaya politik partisipan ditandai oleh anggota masyarakat yang aktif dalam kehidupan politik. Seseorang dengan sendirinya menyadari setiap hak dan tanggung jawabnya. Seseorang dalam budaya politik partisipan dapat menilai dengan penuh kesadaran system politik secara totalitas, input dan output maupun possisi dirinya dalam politik. Dengan demikian, setiap anggota msyarakat terlibat dalam sisitem politik yang berlaku betapa kecil peran yang dijalankannya. Budaya politik partisipan dalam pemahaman yang demikian tidak lain merupakan wujud dari dilaksanakannya budaya demokrasi dalam masyarakat. Sebab budaya demokrasi member tekanan pada pelaksanaan pemeritahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Misalnya mengkritisi kebijakn pemerintah melalui opini-opini di media massa, mematuhi peraturan perundang-undangan, melaporkan bila menemukan penyelewengan hukum sesuai prosedur, dan sebagainya.
Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya politik partisipan adalah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif.
Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya dapat dikatakan tinggi. Ciri-ciri dari budaya politik partisipan adalah sebagai berikut.
a) Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan mampu mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya.
b) Warga tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output maupun posisi dirinya sendiri.
c) Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik.
d) Masyarakat menyadari bahwa ia adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.
e) Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi, seperti halnya penjual dan pembeli. Warga dapat menerima berdasarkan kesadaran, tetapi juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar