Upaya mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dan ancaman Disintegrasi bangsa (Setelah Perang Dunia Kedua di Indonesia)/ Efforts to maintain the independence of Indonesia and the threat of disintegration of the nation (after the Second World War in Indonesia) FOR CLASIS XI IPS HISTORY


Upaya mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dan ancaman Disintegrasi bangsa (Setelah Perang Dunia Kedua di Indonesia)

(Sumber: Nur, Ali. Modul Bahan Ajar Sejarah Untuk SMA-MA Kelas XII IPS Semester Ganjil. Ponorogo: MGMP Gandini.)


A)     Mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui konfrontasi dan diplomasi

I)        Kedatangan Tentara Sekutu. Setelah perang dunia kedua berakhir, wilayah Indonesia menjadi tanggung jawab Inggris dan Soutih East Asia Commando (SEAC) yaitu komando tentara Sekutu untuk wilayah Asia Tenggara khususnya Indonesia, Malaysia, dan Vietnam yang dipimpin Marsekal Lord Maountbatten. Sedangkan tentara Sekutu yang khusus menangani wilayah Indonesia terutama Jawa, Madura, dan Sumatera disebut AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) dan dipimpin oleh Letjend. Sir Philip Christision. Tentara Sekutu mulai mendarat di Jakarta tanggal 29 September 1945 dalam rangka melaksanakan tugas: pertama, menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang; kedua, melucuti tentara Jepang dan mengembalikannya ke negerinya; Ketiga, membebaskan para tawanan perang dan inter niran Sekutu; keempat, memelihara keamanan dan ketertiban. Kedatangan tentara Sekutu mula-mula disambut baik oleh pemerintahan Republik Indonesia, tetapi setelah diketahui bahwa tentara Sekutu diboncengi tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration), yaitu badan pemerintahan Sipil Belanda yang bertugas untuk menegakkan kembali penjajahan di Indonesia, maka kedatangan mereka mulai dicurigai dan dimusuhi. Letjen Sir Philip Christison selaku pimpinan AFNEI rupanya memperhitungkan bahwa usaha pasukan Sekutu tidak mungkin berhasil tanpa bantuan pemerintahan Republik Indonesia. Oleh karena itu, Letjen Sir Philip Christison berunding dengan pemerintahan Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1945  yang menyatakan adanya pengakuan De facto terhadap pemerintahan Republik Indonesia. Namun kenyataan lain, di kota-kota yang didatangi Sekutu sering terjadi insiden bahkan  pertempuran dengan pihak Republik Indonesia. Insiden dan permusuhan tersebut diadakan karena NICA dan KNIL berusaha memancing kerusuhan-kerusuhan dengan cara provokasi sehingga meletus pertempuran seperti di Surabaya, Bandung, Ambarawa, dan lain-lain.

II)      Konfrontasi Fisik pada Awal Kemerdekaan:

a)     Pertempuran Lima Hari di Semarang (tanggal 15-20 Oktober 1945). Pertempuran di Semarang terjadi pada tanggal 15-20 Oktober 1945. Pertempuran ini berawal dari pemindahan 400 orang tentara Jepang dari Cepiring ke Semarang yang dikawal oleh polisi Indonesia. Dalam perjalanan tentara Jepang melucuti Polisi Indonesia kemudian mereka bergabung dengan pasukan Jepang lainnya Kidobutai yang dipimpin Mayor Kido. Pertempuran besar-besaran terjadi di Simpang Lima, Semarang. Dalam pertempuran  yang dipimpin Letkol Moh. Sarbini, gugur Dr. Karyadi kepala Laboratorium Rumah Sakit Semarang sebagai kusuma bangsa.

b)     Pertempuran Medan Area (13 Oktober-10 Desember 1945). Pertempuran ini berawal dari penghinaan orang Belanda(didukung Sekutu terhadap sebuah lencana Merah Putih). Akibatnya rakyat Medan marah dan terjadilah pertempuran pada tanggal 13 Oktober 1945. Rakyat Medan dipimpin Gubernur Sumatra Mr. Teuku Muhammad Hasan dan di bantu Ahmad Tahrir pemimpin Barisan Pemuda Indonesia menggempur tentara Sekutu dan NICA yang dipimpin oleh Birgjen T.E.D. Kelly. Pertempurain ini mencapai puncaknya pada tanggal 10 Desember 1945.

c)     Pertempuaran 10 November di Surabaya (10 November 1945). Pertempuran Surabaya berawal dari tewasnya Panglima Tentara Sekutu Mayjen A.W.S. Mallaby dalam sebuah insiden dengan Arek-arek Surabaya di depan gedung bank Internatio. Dengan sangat menghina bangsa Indonesia, bunyinya: seluruh pemimpin Republik Indonesia di Surabaya harus menyerahkan senjatanya dan harus menyerahkan diri dengan tangan diangkat di depan markas Sekutu paling lambat tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 Waktu Indonesia Barat. Gubernur Jawa Timur R. M. Suryo sebagai kepala pemerintahan Jawa Timur menolak ancaman tersebut. Akhirnya pada tanggal 10 November 1945 di Surabaya digempur pasukan Sekutu dari berbagai arah. Arek-arek Surabaya di bawah pimpinan Gubernur Jawa Timur Suryo, Bung Tomo dan Sungkono bangkit menghadapi gempuran Sekutu. Peristiwa 10 November 1945 tersebut diperingati sebagai Hari Pahlawan.

d)     Pertempuran Ambarawa (20 November-15 Desember 1945). Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November-15 Desember 1945. Awal kejadiannya ketika secara sepihak pasukan Sekutu dipimpin Brigjen Bethel membebaskan interniran Belanda di Magelang dan Ambarawa. Tindakan Sekutu mendapat perlawanan Tentara Republik Indonesia (TKR) dan rakyat yang dipimpin Mayor Sumarto. Dalam pertempuran ini gugur Letkol Isdiman. Di bawah pimpinal Koloner Soedirman, Ambarawa berhasil direbut pada tanggal 15 Desember 1945. Untuk mengenang peristiwa tersebut dibangunlah Palagan Ambarawa. Selanjutnya tanggal 15 Desember diperingati sebagai hari infantry.

e)     Bandung Lautan Api (23 Maret 1946). Peristiwa Bandung Lautan Api berawal dari tuntutan Sekutu yang dipimpin oleh Kolonel Mac Donald agar Kota Bandung dikosongkan demi keamanan. Rakyat tidak sudi menyerahkan darah tersebut kepada Sekutu. Akhirnya di bawah pimpinan Letkol Aruji Kartawinata, rakyat dan Tentara Republik Indonesia (TRI)  sepakat untuk membakar kota Bandung daripada dikuasai musuh. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 23 Maret 1946, sementara itu di Dayeuhkolot (Bandung Selatan) Mohammad Toha dan Ramdan berhasil meledakkan gudang mesiu milik Belanda meskipun beliau berdua gugur bersamaan dengan meledaknya gudang mesiu tersebut.

f)       Puputan Margarana di Bali (20 November 1926). Puputan margana terjadi ketika Belanda mendatangkan pasukannya di Bali dalam rangka menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Kedatangan pasukan Belanda tersebut disambut dengan perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Letkol I Gusti Ngurah rai. Karena perlawanan tidak seimbang I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk melakukan perlawanan secara habis-habisan atau puputan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 November 1946.

III)    Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia melalui diplomasi

a)     Perjuangan diplomasi di meja perundingan. Perjuangan diplomasi di meja perundingan yang dilakukan secara langsung dengan Pemerintah Belanda dengan perantaraan dunia internasional, menghasilkan perundingan-perundingan sebagai berikut:

1)      Pertemuan Jakarta (17 November 1945)

Perantara            : Letjen Sir Philip Christison dari Inggris.

Delegasi               : Republik Indonesia dipimpin oleh Sutan Syahrir.
                                Belanda di pimpin oleh H. J. Van Mook.

Hasil                       : Nihil, karena Belanda menolak untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia atas wilayah bekas Hindia Belanda.

2)      Pertemuan Hove Veluwe, Belanda (tanggal 14-25 April 1946)

Perantara            : Sir Archibald Clark Kerr dari Inggris.

Delegasi               : Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Suwandi.
                                Belanda dipimpin oleh H. J. Van Mook.

Hasil                       : nihil karena Belanda menolak untuk mengakui secara de facto Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera. Belanda hanya mau mengakui Negara Republik Indonesia secara de facto atas Jawa dan Madura saja tanpa Sumatera.


3)      Perjanjian Linggarjati di Linggarjati, Cirebon, Jawa Barat (10 November 1946, hasil-hasilnya ditanda tangani tanggal 25 Maret 1947).

Perantara            :Lord Kellearn dari Inggris.

Delegasi               : Republik Indonesia dipimpin Sutan Syahrir.
                                Belanda dipimpin oleh Schermerhorn.

Hasil                       : Pertama, Belanda mengakui Republik Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatera. Belanda harus meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949; kedua, Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia termasuk salah satu bagian di dalamnya; ketiga, Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

b)     Perjuangan diplomasi untuk mencari Simpati Internasional. Pada masa pemerintahan cabinet Sutan Syahrir dilakukanlah perjuangan diplomasi untuk mencari simpati internasional, diantaranya sebagai berikut:

1)      Pada tanggal 18 Mei 1946 ditanda tanganinya persetujuan Syahrir-Punjabi (Punjabi adalah wakil India yang dikirim ke Indonesia) tentang system barter antara kedua belah pihak. Isinya adalah:

i)        Indonesia bersedia mengirimkan beras ke India sebanyak 500,000  ton.

ii)       India bersedia mengirimkan barang tenunan, benang, alat-alat pertanian, ban mobil dan lain-lain ke Indonesia.

Meskipun pengiriman beras ini mendapat protes dari banyak kalangan, tetapi politik beras ini nantinya banyak manfaat bagi perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, terbukti India sangat bersimpati terhadap Republik Indonesia.

2)      Di Australia, para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang ada di sana membentuk Komite Indonesia Merdeka. Mereka mengadakan hubungan dengan gerakan-gerakan buruh di sana. Agar Australia mau mengakui kemerdekaan Indonesia. Walaupun pengakuan belum tercapai tetapi kenyataannya Pemerintah Australia bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

c)     Perjuangan diplomasi untuk mencari pengakuan dunia Internasional. Perjuangan diplomasi yang dilakukan cara mencari pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia mulai dilakukan sejak ditanda tanganinya Perjanjian Linggarjati, di Cirebon. Atas usaha cabinet Sutan Syahrir, maka dikirimlah delegasi Republic Indonesia ke Negara-negara Arab di Timur Tengah di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Atas jasa dari Haji Agus Salim dan kawan-kawan, akhirnya tercapailah pengakuan De Yure (pengakuan berdasarkan hukum bahwa kemerdekaan Republik Indonesia benar-benar memenuhi syarat-syarat hukum internasional sebagai Negara merdeka dan berdaulat) dari Negara-negara Arab dan Timur Tengah, seperti pengakuan De Yure oleh Negara Mesir pada tanggal 1 Juni 1947, pengakuan De Yure oleh Negara Saudi Arabia pada tanggal 24 November 1947, pengakuan De Yure oleh Negara Yaman pada tanggal 3 Mei 1948. Selain mendapat pengakuan secara De yure, Negara Republik Indonesia juga memperoleh pengakuan secara de facto (pengakuan berdasarkan kenyataan bahwa Negara Republik Indonesia benar-benar ada) dari pengakuan secara de facto oleh Negara Birma pada tanggal 23 November 1947, pengakuan secara de facto oleh Negara Inggris pada tanggal 31 Maret 1947, pengakuan secara de facto oleh Negara Amerika Serikat pada tanggal 17 April 1947, pengakuan secara de facto oleh negara United Soviet Sosialist Republic (USSR) pada tanggal 26 Mei 1948. Adanya pengakuan De Yure dari Negara-negara Arab di Timur Tengah maupun pengakuan De Facto dari Negara lainnya, akhirnya menjadi batu sandungan bagi pemerintah Belanda yang selalu berusaha untuk menguasai dan menjajah kembali bangsa Indonesia.

IV)   Agresi Militer I  (27 Juli 1947) dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia/ PKI di Madiun

a)     Agresi militer Belanda Pertama. Setelah ditandatanganinya Perjanjian Lingarjati di Cirebon, Jawa Barat. Belanda mengajukan tuntutan sebagai berikut: pertama, supaya dibentuk pemerintah Federal Sementara yang akan berkuasa di seluruh Indonesia sampai pembentukan Republik Indonesia Serikat; kedua, pembentukan gendarmerie (paskuan keamanan bersama) yang kan masuk wilayah Republik Indonesia. Perdana menteri Sutan Syahrir menyatakan setuju terhadap kedaulatan Belanda pada masa pemerintahan peralihan, akan tetapi tidak setuju terhadap penyelenggaraan keamanan bersama. Akibat keterangannya ini Kabinet Syahrir jatuh yang kemudian diganti oleh Kabinet Amir Syarifuddin. Amir Syarifuddin Pada intinya menolak tuntutan Belanda, akibatnya pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda dipimpin oleh H. J. Van Mook melakukan Agresi Militer yang pertama ke wilayah Republik Indonesia dalam tiga sasaran yaitu: Pertama, sasaran politik yaitu mengadakan pengepungan terhadap ibu kota Republik Indonesia yang berada di Yogyakarta; kedua, sasaran ekonomi yaitu merebut daerah penghasil bahan makanan (beras) dan penghasil bahan ekspor (perkebunan dan pertambangan); ketiga, sasaran militer yaitu berusaha menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dalam agresi militer Belanda pertama, gugur dua perwira Republik Indonesia yaitu komodor Dr. Abdurracman Saleh dan Komodor Adi Sucipto. Agresi Militer Belanda Pertama mendapat kutukan dari dunia Internasional. Australia dan India mengusulkan agar Dr. Walter Foote yang tugasnya adalah mengawasi genjata senjata antara Indonesia-Belanda. Komisi Konsuler nantinya diganti dengan Komisi jasa Baik (Komisi Tiga Negara) yang nantinya menghasilkan perjanjian Renville sebagai berikut:

Perjanjian Renvile (8 Desember 1947) oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika Serikat, dan Belgia)

Tempat                                : dilaksanakan di kapal angkatan laut Amerika Serikat (USS Renville) di teluk Jakarta tanggal 8 Desember 1947 dan hasilnya baru ditanda tangani tanggal 17 Januari 1948.

Perantara            : komisi tiga Negara atau Komisi Jasa Baik yang dibentuk Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), Republik Indonesia menunjuk Australia yang dipimpin Richard Kirby, Belanda menunjuk Belgia yang dipimpin Paul Van Zeeland, dan Amerika Serikat sebagai perantara yang dipimpin Dr. Frank Graham.

Delegasi               : Republik Indonesia dipimpin oleh Amir Syarifuddin. Belanda dipimpin oleh R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.

Hasil                       : pada dasarnya sama dengan perjanjian Linggarjati, hanya saja wilayah Republik Indonesia tidak diakui secara de facto atas seluruh Jawa, Madura dan Sumatera melainkan semakin dipersempit akibat Agresi Militer Belanda Pertama (Jawa tinggal separuh, Sumatra tinggal 4/5 bagian).

Akibat perjanjian Renville yang sangat merugikan pihak Republik Indonesia membawa akibat sebagai berikut: Pertama, jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin; kedua, wilayah Republik Indonesia semakin sempit; ketiga, kehidupan Republik Indonesia semakin sulit, karena blokade ekonomi Belanda; keempat, tentara Republik Indonesia (TNI) yang berada di daerah pendudukan Belanda harus ditarik (hijrah); kelima, Belanda mulai membentuk Negara-negara bagian atau Negara boneka; keenam, beban kehidupan Republik Indonesia semakin berat karena menanggung tentara yang hijrah; ketujuh, timbulnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia/ PKI di Madiun dan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kartosuwiryo.

b)     Pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun (18 September 1948). Pendanda tanganan perjanjian Renville yang ternyata sangat merugikan bangsa Indonesia mengakibatkan jatuhnya Kabinet Amir Syraifuddin. Kemudian dibentuk cabinet baru yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta, programnya adalah sebagai berikut: pertama, pelaksanaan perjanjian Renville; kedua, mempercepat dibentuknya Negara Indonesia Serikat; ketiga, melaksanakan rasionalisasi di dalam negeri; keempat melaksanakan pembangunan nasional.
Dalam rangka rasionnalisasi perang, cabinet Drs. Mohammad Hatta melakukan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, melepaskan para prajurit secara sukarela untuk meninggalkan tentara dan kembali kepada pekerjaan semula; kedua, mengembalikan 100.000 orang lascar ke masyarakat dan menyerajkan penyalurannya kepada Kementrian Pembangunan dan Pemuda. Tujuannya adalah dalam rangka penghematan dan penyederhanaan serta penertiban organisasi angkatan perang. Kebijakan Kabinet Drs. Mohammad Hatta tersebut ditentang oleh front demokrasi Rakyat yang dipimpin oleh Muso dan Amir Syraifuddin. Kemudian mencapai puncaknya setelah mereka memproklamirkan berdirinya Republik Soviet Indonesia di Madiun pada tanggal 18 September 1948, Muso sebagai presidennya dan Amir Syraifuddin sebagai perdana menterinya. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun tersebut ditumpas dengan Gerakan Operasi Militer yang dipimpin oleh Kolonel Gatot Subroto (Jawa Tengah) dan Kolonel Sungkono (Jawa Timur). Dalam operasi tersebut Muso berhasil di tembak mati di Ponorogo pada tanggal 31 Oktober 1948, sedangkan Amir Syarifudin berhasil ditangkap di Grobogan Purwodadi pada tanggal 29 November 1958, yang sebelumnya Partai Komunis Indonesia di Madiun telah membunuh secara kejam rombongan Gubernur Jawa Timur Suryo di Ngawi pada tanggal 10 November 1948. Selain itu terjadi pembantaian oleh Partai Komunis Indonesia di Kresek, Madiun. Partai Komunis Indonesia telah membantai tokoh masyarakat dan pemuka agama di Madiun. Untuk memperingati pembantaian tersebut didirikanlah monument Kresek di kresek, Madiun, Jawa Timur.

V)     Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948)

a)     Agresi Militer Belanda Kedua. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda dipimpin Jenderal Spoor melakukan agresi militer kedua dan berhasil menduduki ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo. Presiden Soekarno dan Wakil presiden Drs. Mohammad Hatta serta beberapa orang menteri ditawan Belanda. Mereka nantinya diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatera Selatan. Namun beberapa jam sebelum ditawan Presiden Soekarno dan wakil presiden Drs. Mohammad Hatta masih sempat mengirim kawat kepada: Pertama, Mr. Syarifudin Prawiranegara, menteri kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk Pemerintahan darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi, Sumatera; kedua, Prof. Dr. Sudarsono untuk membentuk pemerintah Pengasingan Republik Indonesia di New Dehli, India.

b)     Perang Gerilya. Untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia dilaksanakan perang gerilya yang dipimpin langsung oleh panglima besar Jenderal Soedirman. Di ibukota Yogyakarta juga dilaksanakan perang gerilya di bawah pimpinan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Perlawanan gerilya tersebut dampaknya kurang terasa di dunia Internasional. Untuk itu Sri Sultan Hamengkubuwono IX merencanakan serangan umum terhadap ibu kota Yogyakarta setelah di duduki tentara Belanda. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada dunia internasional khususnya kepada Belanda bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan mampu mematahkan serangan tentara Belanda. Serangan umum ini dipusatkan di daerah Muto dan Wonosari. Pada tanggal 1 Maret 1929 dibawah pimpinan Letkol Soeharto serangan umum dimulai dan berhasil menduduki ibu kota Yogyakarta selama enam jam. Serangan tersebut sangat menggemparkan dunia dan mempunyai arti penting:

i)        Arti kedalam: pertama, mendukung perjuangan yang dilakukan secara diplomasi oleh pemimpin-pemimpin yang ada di luar negeri; kedua, meningkatkan moral Tentara Nasional Indonesia (TNI)  dan rakyat yang sedang bergerilya.

ii)       Arti ke luar: pertama, menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan yang mampu mengadakan opensip (serangan kilat); kedua, mematahkan moral pasukan Belanda.

c)     Reaksi dunia internasional. Atas prakarsa perdana Menteri India Jawaharial Nehru, pada tanggal 20-23 Januari 1949 dilaksanakan “Konferensi Asia” atau “Konferensi Internasional Untuk Indonesia” di New Dehli, India. Tujuannya adalah untuk memberikan dukungan terhadap Republik Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaannya. Konferensi tersebut menghasilkan suatu resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (Dewan Kemananan PBB), isinya antara lain: pertama, pengembalian penerimaan Republik Indonesia ke Yogyakarta; kedua, pembentukan Pemerintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan politik luar negeri sebelum tanggal 15 Maret 1949; ketiga, penarikan tentara Belanda dari seluruh wilayah Indonesia; keempat, penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari 1950.

VI)   Peranan Perserikatan Bangsa-bangsa pada masa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia

Terbentuknya Komisi Tiga Negara (KTN) dilatarbelakangi: Pertama, terjadinya agresi militer Belanda Pertama, dimana Belanda secara terang-terangan melanggar perjanjian Linggarjati; kedua, usul dari wakil India dan Australia di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), agar masalah Indonesia dibicarakan dalam siding Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa, mengeluarkan seruan genjatan senjata kepada pihak Republik Indonesia-Belanda, dan berhasil dilaksanakan pada tanggal 4 Agustus 1947. Selanjutnya untuk mengawasi pelaksanaan genjatan senjata dibentuklah “Komisi Konsuler” yang diketuai Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr Wolter Foot. Dengan adanya pelanggaran yang dilakukan Belanda dengan cara membentuk garis Van Mook, maka Komisi Konsuler diubah menjadi “Komisi Jasa Baik” atau “Komisi Tiga Negara” pada tanggal 27 Oktober 1947. Komisi Tiga Negara terdiri dari Australia, Belgia dan Amerika Serikat. Atas usaha Komisi Tiga Negara (KTN), berhasil diadakan pendekatan Republik Indonesia-Belanda.

VII) United Comission for Indonesia (UNCI). Terbentuknya dilatar belakangi oleh: Pertama, terjadinya agresi militer Belanda Kedua yang mengakibatkan dikuasainya ibukota Republik Indonesia serta ditawannya para pemimpin Republik Indonesia; kedua, adanya Resolusi New Dehli yang disampaikan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa. Pada tanggal 23 Januari 1949, Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan resolusi yang isinya antara lain: pertama, segera dilakukan genjatan senjata antara Republik Indonesia-Belanda; kedua, pembebasan dengan segera tanpa syarat pemimpin-pemimpin Republik Indonesia yang ditawan Belanda; ketiga, segera diadakan perundingan kembali antara pihak Republik Indonesia dengan pihak Belanda. Untuk melaksanakan resolusi tersebut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Indonesia yang disebut UNCI (United Nations Comission for Indonesia). UNCI diketuai oleh Marie Cochorn dengan anggota: Christley (Australia), Herremens (Belgia) dan Marie Cochorn (Amerika Serikat). Adapun tugas-tugas UNCI sebagai berikut: pertama, membantu melancarkan perundingan untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia; kedua, menjadi pengamat dan mengajukan usul guna tercapainya penyelesaian perundingan. Antara perantara UNCI, akhirnya dihasilkan Persetujuan Roem-Royen (Roem Royen Statement) di Jakarta dan pelaksanaan Konferensi Meja Bundar di Den Hag, Belanda.

VIII)     Memulihkan persatuan Nasional dan Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia

a)     Pemulihan Persatuan Nasional.
Atas prakarsa UNCI, pada tanggal 7 Mei 1949 dilaksanakan perundingan kembali antara Republik Indonesia-Belanda di Jakarta. Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, sedangkan Belanda dipimpin oleh H. J. Van Royen, sehingga perundingan tersebut disebut “Roem Royen Statement”. Dari pihak Republik Indonesia disepakati:

i)        Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah untuk menghentikan perang gerilya;

ii)       Bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban serta keamanan;

iii)     Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) untuk mempercepat penyerahan kedaulatan tanpa syarat kepada Negara Republik Indonesia  Serikat (RIS)

Dalam hal pihak Belanda disepakati:

i)        Pemerintah Belanda setuju pemerintahan Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan kewajibannya dalam satu daerah meliputi Karesidenan Yogyakarta;

ii)       Pemerintah Belanda akan membebaskan pemimpin Republik Indonesia secara tak bersyarat dan tahanan-tahanan politik yang ditawan sejak 19 Desember 1948;

iii)     Pemerintah Belanda setuju Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat (RIS);

iv)     Konferensi Meja Bundar (KMB) akan segera dilaksanakan setelah pemerintahan Republik Indonesia  berada di Yogyakarta.

Perundingan Roem Royen Statement nantinya diperkuat dengan Perundingan Segitiga antara Republik Indonesia-BFO (Bijjenkomat voor Federal Overleg)-Belanda pada tanggal 22 Juni 1949 di Yogyakarta di bawah pengawasan UNCI. Hasil-hasil perundingan segitiga antara lain:

i)        Pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 1949;

ii)       Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintah Republik Indonesia berada di Yogyakarta;

iii)     Sidang konferensi meja Bundar (KMB) dilaksanakan di Den Haag, Belanda.

Dalam rangka menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB), maka diadakanlah perundingan inter Republik Indonesia atau antara Republik Indonesia- BFO (Bijjenkomat voor Federal Overleg) yang dilaksanakan sejak bulan Juli-Agustus 1949, baik di Yogyakarta maupun di Jakarta.

Dalam perundingan tersebut Delegasi Republik Indonesia dipimpin Drs. Mohammad Hatta sedangkan BFO (Bijjenkomat voor Federal Overleg) dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak.
Hasil-hasil perundingan tersebut antara lain:

i)        Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat;

ii)       Republik Indonesia Serikat dikepalai seorang presiden dibantu menter-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden;

iii)     Republik Indonesia Serikat akan menerima penyerahan kedaulatan baik dari Republik Indonesia maupun dari Belanda;

iv)     Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat adalah angkatan Perang Nasional. Presiden Republik Indonesia Serikat adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat;

v)      Angkatan perang Republik Indonesia Serikat berintikan Tentara Nasional Indonesia dan orang-orang Indonesia yang ada dalam Koninklijk Nederlandas Indisch Lege (KNIL) dan kesatuan-kesatuan Belanda yang lainnya yang disebut Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

b)     Pelaksanaan Konferensi Meja Bundar, pembentukan Republik Indonesia Serikat dan pengakuan kedaulatan:

1)      Pelaksanaan Konferensi Meja Bundar:

Pada tanggal 23 Agustus 1949, dilaksanakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, antara Republik Indonesia-BFO (Bijjenkomat voor Federal Overleg)-Belanda.

Delegasi Republik Indonesia dipimpin                                     :Drs. Mohammad Hatta;

Delegasi BFO (Bijjenkomat voor Federal Overleg)             : Sultan Hamid II;

Delegasi Belanda di pimpin                                                          : Mr. Van Marseveen;

Perundingan di bawah pengawasan UNCI yang dipimpin Marie Cochorn. Konferensi ini berlangsung sampai tanggal 2 November 1949, dengan hasil-hasil sebagai berikut:

i)        Belanda mengakui Negara Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat;

ii)       Status Karesidenan Iran akan diselesaikan setahun kemudian, setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat;

iii)     Akan dibentuk Uni Indonesia-Belanda berdasarkan kerja sama sukarela dan sederajat;

iv)     Republik Indonesia Serikat mengembalikan hak milik Belanda dan memberikat hak konsensi dan ijin baru untuk perusahan milik Belanda;

2)      Pembentukan Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 15 Desember 1949 diadakanlah pemilihan Presiden Republik Indonesia Serikat dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Pada tanggal 16 Desember 1949, Ir. Soekarno terpilih sebagai presiden Republik Indonesia.  Pelantikannya dilaksanakan tanggal 17 Desember 1949 bertempat di Bangsal Sitinggli Keraton Yogyakarta oleh ketua Mahkamah Agung Mr. Kusumaatmaja. Di tempat itu pula cabinet Republik Indonesia Serikat yang pertama di bawah Drs. Mohammad Hatta dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Desember 1949 karena Presiden Soekarno selaku presiden Republik Indonesia sudah terpilih sebagai presiden Republik Indonesia Serikat, Mr. Asa’at seagai ketua Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) terpilih sebagai pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia. Dipilihnya Mr. Asa’at sebagai pemangku jabatan presiden Republik Indonesia hal ini dimaksudkan seandainya Republik Indonesia Serikat bubar Republik Indonesia tetap berdiri dan masih memiliki kepala Negara. Sedangkan Perdana Menterinya dijabat Dr. Abdul Halim.

3)      Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 23 Desember 1949, delegasi Republik Indonesia Serikat berangkat ke negeri Belanda untuk menanda tangani akta penyerahan kedaulatan. Pada tanggal 27 Desember 1949, baik di Indonesia maupun di Belanda berlangsung upacara penanda tanganan akte penyerahan kedaulatan. Di Belanda upacara penyerahan kedaulatan dilaksanakan di ruang Tahta Amsterdam, Ratu Belanda Yuliana menandatangani akte penyerahan kedaulatan kemudian ikut pula menanda tangani Perdana Menteri Belanda Dr. William Dress dan meteri Seberang Lautan Belanda A. M. J. A. Sassen. Sedangkan delegasi Republik Indonesia Serikat diwakili perdana menteri Dr. Mohammad Hatta. Pada waktu yang sama di Jakarta penyerahan kedaulatan ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono IX sedangkan wakil tinggi mahkota Belanda dilakukan oleh A. H. S. Lovink.

B)      Perjuangan Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia

I)        Negara-negara Boneka ciptaan Belanda. Untuk melaksanakan politik “Devide et Impera” Belanda berusaha menciptakan Negara-negara Boneka di seluruh Indonesia seperti berikut ini:

1)      Negara Indonesia Timur yang didirikan pada tanggal 24 Desember 1946, dengan presidennya Cokorda Sukowati;

2)      Negara Sumatera Timur yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1947, dengan wali negaranya Tengku Mansyur;

3)      Negara Madura yang didirikan pada tanggal 20 Februari 1948, dengan wali negaranya Cakraningrat;

4)      Negara Pasundan yang didirikan pada tanggal 24 April 1948, dengan wali negaranya Wiranata Kusumah;

5)      Negara Sumatera Selatan yang didirikan pada tanggal 30 Agustus 1948, wali negaranya Abdul Malik;

6)      Negara Jawa Timur yang didirikan pada tanggal 26 November 1948, wali negaranya Achmad Kusumonegoro.

Selain membentuk Negara-negara boneka, Belanda juga membentuk daerah-daerah otonom yang berdiri sendiri:

1)      Kalimantan Barat;

2)      Kalimantan Timur;

3)      Kalimantan Tenggara;

4)      Dayak Besar;

5)      Jawa Tengah;

6)      Belitung;

7)      Banjar;

8)      Riau;

9)      Bangka;

II)      dari system Federal ke Negara Kesatuan

sejak terbentuk Negara Republik Indonesia Serikat tanggal 2 November 1949 di masyarakat terdapat pro dan kontra terhadap bentuk Negara Serikat, misalnya: Pertama, kelompok Unitari atau republican yang dipelopori Mohammad Yamin, menghendaki bentuk serikat dibubarkan dan diganti dengan Negara Kesatuan; kedua, kelompok federalis yang dipelopori Sahetapy Engel, menghendaki bentuk serikat dipertahankan dan tetap ada Negara-negara bagian. Dengan disetujuinya Konferensi Meja Bundar pada tanggal 15 November 1949, di Indonesia terbentuklah satu Negara Federal yang bernama Republik Indonesia Serikat. System Negara Federal, bagaimanapun juga oleh rakyat dianggap sebagai alat bagi pihak Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia supaya Belanda tetap berkuasa. Dasar pembentukan Negara Federal ini sangat lemah, karena tidak didukung oleh ikatan ideology yang kuat, serta tujuan kenegaraan yang tidak jelas serta tidak didukung oleh rakyat banyak. Keberadaannya sangat tergantung pada kekuasaan militer Belanda. Cabinet Republik Indonesia Serikat merupakan “Zaken Kabinet” artinya cabinet yang mengutamakan keahlian para anggotanya. Anggotanya para cabinet Republik Indonesia Serikat sebagian besar terdiri dari orang-orang Republikan, yaitu pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hanya dua orang saja yang mendukung terbentuknya system federal, Sultan Hamid II dan Anak Agung Gede Agung, sehingga gerakan ini membubarkan Republik Indonesia Serikat dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia semakin kuat. Dengan aksi-aksi demonstrasi rakyat yang menuntut kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia maka tanggal 8 Mei 1950, presiden Republik Indonesia Serikat dengan persetujuan parlemen dan senat Republik Indonesia Serikat mengeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan kenegaraan Republik Indonesia Serikat. Dengan adanya Undang-undang Darurat tersebut, berturut-turut telah terjadi penggabungan Negara-negara bagian ke dalam Republik Indonesia di Yogyakarta. Sehingga sampai tanggal 5 April Republik Indonesia Serikat hanya terdiri tiga Negara bagian yaitu: Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur dan Republik Indonesia. Pada tanggal 19 Mei 1950 diadakanlah persetujuan Republik Indonesia Serikat- Republik Indonesia yang mempersiapkan prosedur pembentukan Negara Kesatuan. Pihak Republik Indonesia Serikat diwakili perdana menteri Drs Mohammad Hatta dan pihak Republik Indonesia diwakili oleh Dr. Abdul Halim. Menurut persetujuan itu Negara kesatuan Republik Indonesia akan dibentuk panitia penggabungan Republik Indonesia Serikat- Republik Indonesia yang merancang Undang-undang Dasar Negara Kesatuan. Panitia ini dipimpin oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia Serikat, Prof. Dr. Mr. Supomo dan berhasil menyelesaikan tugasnya pada tanggal 20 Juli 1950. Rancangan Undang-undang Dasar Negara Kesatuan ini dserahkan kepada Dewan Perwakilan Negara-negara bagian untuk disempurnakan. Dan pada tanggal 14 Agustus 1940, Rancangan Undang-undang itu diterima oleh senat dan parlemen Republik Indonesia Serikat serta Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno menandatangani Rancangan Undang-undang Dasar itu menjadi Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (Undang-undang Dasar Sementara 1950). Pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan resmi Negara Republik Indonesia Serikat dibubarkan dengan resmi pula dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

C)      Penanggulangan Gangguan Keamanan Dalam Negeri

I)        Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Barat (17 Agustus 1949) oleh SM Kartosuwiryo.

Pada tanggal 17 Agustus 1949, SM Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia menganggap Jawa Barat sebagai daerah kekuasaannya. Pemberontakan tersebut ditanggulangi dengan cara: pertama, Misi damai dipimpin oleh Mohammad Natsir (Ketua Masyumi) tetapi gagal; kedua, operasi militer dipimpin oleh Mayjend Ibrahim Ajie dengan nama :Operasi Baratayudha: dan pada tanggal 4 Juni 1962, SM Kartosuwiryo berhasil ditangkap di Majalaya.

II)      Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Tengah (23 Agustus 1949 dan 1 Agustus 1950) oleh Amir  Fatah dan Kyai Sumolangu.

Di daerah Tegal, Jawa Tengah, pada tanggal 23 Agustus 1949, Amir Fatah dengan pasukannya “Majelis Islam” memproklamirkan daerah Tegal-Brebes menjadi bagian dari Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Barat di bawah SM Kartosuwiryo. Pemberontakan ini berawal dari kedatangan utusan SM Kartosuwiryo yang bernama Karman Cakrabuana untuk mengajak Amir Fatah bergabung dengan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Barat. Pemberontakan Amir Fatah menjadi sangat kuat setelah Batalyon 426 dipimpin Kapten Kolonel Sofyan yang berkedudukan di Magelang-Kudus menggabung diri pada tanggal 8 Desember 1951. Pemberontakan tersebut ditanggulangi dengan operasi militer yang diberi nama “Banteng Raiders” dipimpin oleh Kapten Hardoyo dan pada bulan Juni 1954 Amir Fatah berhasil ditembak di Pekalongan. Sedangkan pemberontakan 426 ditanggulangi dengan operasi militer “Merdeka Timur” yang dipimpin oleh Letkol Soeharto dan pada tanggal 5 Januari 1952 Kapten Sofyan berhasil ditembak di Magelang.

Selain itu pada tanggal 1 Agustus 1950, Kyai Sumolangu dengan pasukan “Angkatan Umat Islam” memproklamirkan daerah Kebumen menjadi bagian dari Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Barat di bawah SM Kartosuwiryo. Pemberontakan tersebut disebabkan ditolaknya tuntutan Sumolangu oleh Menteri Pertahanan Keamanan (Menhankam) Republik Indonesia Serikat Sri Sultan Hamengkubuwono IX agar seluruh pasukannya dimasukkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dan di tempatkan di Kebumen. Pemberontakan tersebut diselesaikan dengan operasi militer dengan diberi nama “Gerakan Banteng Negara” yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Yani pada bulan November 1957 Kyai Sumolangu berhasil ditembak di Banyumas.

III)    Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sulawesi (27 Agustus 1953) oleh Kahar Muzakar

Di Makasar pada tanggal 27 Agustus 1953, Kahar Muzakar memproklamirkan daerah Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Barat di bawah SM Kartosuwiryo. Pemberontakan ini berawal dari ditolaknya tuntutan Kahar Muzakar oleh pemerintah pusat agar seluruh anggota Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dimasukkan ke dalam Tentara Nasional Indonesia (Brigade Hasanudin) dan ia sendiri yang menjadi Komandan Brigade Hasanudin di Sulawesi Selatan. Untuk menanggulangi pemberontakan tersebut, dilaksanakan operasi militer yang diberi nama “Operasi Kilat” yang dipimpin Brigjen M. Yusup. Dalam operasi tersebut Kahar Muzakar berhasil ditembak di Luwu pada tanggal 3 Februari 1950.

IV)   Pemberontakan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh (20 September 1953) oleh Daud Beureeh

Pada tanggal 20 September 1953 di Banda Aceh, Daud Beureeh memproklamirkan daerah Aceh menjadi bagian Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Barat di bawah SM Kartosuwiryo. Pemberontakan tersebut disebabkan oleh: pertama, adanya rasa tidak puas soal otonomi daerah di mana Aceh tidak dijadikan propinsi sendiri; kedua, adanya pertentangan antara golongan Tengku (Ulama) yang tergabung dalam PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Indonesia) dengan Golongan Teuku (Ulebalang) yang tergabung dalam Badan Keinsyafan Rakyat (BKR); Ketiga, kurang lancarnya pelaksanaan pembangunan di daerah Aceh. Pemberontakan tersebut ditanggulangi dengan cara: pertama, operasi militer dipimpin oleh Kolonel Mohammad Yasin, namun mengalami kesulitan; kedua, melaksanakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” tanggal 17-20 Desember 1962, akhirnya disepakati bahwa daerah Aceh dijadikan sebagai “Daerah Istimewa” dalam masalah adat-istiadat dan agama.

V)     Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Kalimantan Selatan (10 Oktober 1950) oleh Ibnu Hajar

Pada tanggal 10 Oktober 1950, Ibnu Hajar alias Haderi Bin Umar alias Angli bersama pasukannya yang dinamakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas memproklamirkan daerah Kalimantan Selatan sebagai bagian daerah dari Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Jawa Barat di bawah SM Kartosuwiryo. Pemberontakan ini berawal ditolaknya permintaan Ibnu Hajar supaya seluruh pasukannya diterima sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), sedangkan pemerintah hanya mau menerima orang-orang yang memenuhi syarat sebagai Tentara Nasional Indonesia. Pemberontakan tersebut ditanggulangi dengan cara sebagai berikut: pertama, Misi damai dengan dipimpin oleh K. H. Idham Khalid tokoh Nahdatul Ulama (NU), yang mula-mula berhasil menghentikan pemberontakan. Tetapi setelah Ibnu Hajar dan pasukannya diterima kembali di Tentara Nasional Indonesia dan mendapat perlengkapan militer, ternyata ia memberontak kembali dan mengadakan kekacauan di Kalimantan Selatan; kedua, operasi militer yang dipimpin oleh Letkol Hasan Basri, pada tahun 1959 Ibnu Hajar berhasil ditanggap dan pada tanggal 22 Maret, Ibnu Hajar dijatuhi hukuman mati.

VI)   Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung (23 Januari 1950) oleh Kapten Raymond Westerling dan Sultan Hamid II

Pada tanggal 23 Januari 1950, bekas tentara Koninklijk Nederlandas Indisch Leger (KNIL) yang menamakan dirinya Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling melakukan terror di Bandung. Mereka membunuh seorang perwira Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang bernama Letkol Mohammad Lembong dan anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) lainnya. Selain ke Bandung, Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) juga mengarahkan gerakannya ke Jakarta dengan tujuan: pertama, menyerang gedung cabinet, dimana para menteri sedang bersidang; kedua, akan menculik semua anggota cabinet Republik Indonesia Serikat; ketiga, akan membunu menteri Pertahanan (Sri Sultan Hamengkubuwono IX), Sekretaris Menteri Pertahanan (Ali Budiardjo) dan pejabat kepala staf angkatan perang (Kolonel TB Simatupang). Pemberontakan tersebut ditanggulangi dengan operasi militer dipimpin oleh Mayjend Ibrahim Ajie dan berhasil menghancurkan gerakan ini. Selain itu, juga terungkap bahwa otak dan dalang dari gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah Sultan Hamid II menteri Negara tanpa portofolio dalam cabinet Republik Indonesia Serikat sehingga ia ditanggkap tanggal 4 April 1950. Sedangkan kapten Raymond Westerling berhasil melarikan diri ke Belanda.

VII) Pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi (5 April 1950)

Pada tanggal 5 April 1950 Kapten Andi Aziz (mantan KNIL/ Koninklijk Nederlandas Indisch Leger) melakukan terror di Makasar. Mereka menguasai tempat-tempat vital dan menyerang markas Tentara Nasional Indonesia di Makasar serta menawan Pejabat Panglima Teritorial Indonesia Timur Letkol Ahmad Yunus Mokoginto. Pemberontakan Andi Aziz dilatarbelakangi: pertama, penolakan terhadap kedatangan Tentara Nasional Indonesia (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat/ APRIS) ke Sulawesi. Menurutnya keamanan Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawab dirinya; kedua, menolak atas pembubaran Negara Indonesia Timur. Untuk menanggulangi gerakan Andi Aziz, pemerintah pusat mengeluarkan ultimatum bahwa: pertama, dalam waktu 4X24 jam terhitung sejak 8 April 1950, An Aziz harus menghadap ke Jakarta untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya; kedua, para tawanan harus dibebaskan; ketiga, semua senjata yang dirampas harus dikembalikan. Namun Andi Aziz kurang mengindahkan ultimatum tersebut, sehingga pada tanggal 15 April 1950, ia ditangkap. Seangkan sisa-sisa pasukan yang masih kuat di Makasar diselesaikan melalui operasi militer yang dipimpin Kolonel Alex Kawilarang. Merasa kedudukan terdesak, sisa-sisa pasukan Andi Aziz Koninklijk Leger (KL), yaitu pasukan Belanda yang personilnya berasal dari orang-orang Belanda dan Koninjlijk Nederland Indesh Leger (KNIL)  yaitu pasukan Belanda yang personilnya berasal dari orang Indonesia yang dipimpin oleh Mayjen Sceffeleaar, pada tanggal 8 Agustus 1950, meminta perundingan tersebut disetujui untuk menghentikan tembak-menembak dan dalam waktu dua hari pasukan Koninjlijk Leger (KL) dan Koninjlijk Nederland Indesh Leger (KNIL) harus sudah meninggalkan Makasar.

VIII)           Pemberontakan Republik Maluku Selatan (25 April 1950) oleh Mr. Dr. Christian Soumokil, Ir Manusama dan Manuhutu
Pada tanggal 25 April 1950, Mr. Dr. Christian Soumokil yang dibantu oleh Ir Manusama dan Manuhutu memproklamirkan berdirinya Negara Republik Maluku Selatan di kota Ambon. Pemberontakan ini mendapat dukungan dari unsur-unsur Koninjlijk Nederland Indesh Leger (KNIL) yang tidak mau bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Pemberontakan tersebut ditanggulangi dengan cara: pertama, misi damai dipimpin Dr. Leimena, tetapi gagal; kedua, operasi militer yang diberi nama “gerakan Operasi Militer II” dipimpin Kolonel Alex Kawilarang. Pada tanggal 2 Desember 1963, Soumokil dan Manuhutu ditangkap di Pulau Seram. Sedangkan Ir. Manusama meloloskan diri ke negeri Belanda. Dalam penumpasan tersebut gugur pahlawan kusuma bangsa seperti: Letkol S. Sudiarto, Letkol Slamet Riyadi dan Mayor Abdullah.

IX)    Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/ Persemesta di Padang (15 Februari 1959) oleh Ahmad Husein dan Syafrudin Prawiranegara

Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/ Persemesta disebabkan oleh:

a)     Terjadinya pergolakan politik di ibukota yang mengakibatkan pembangunan di daerah-daerah terbengkalai. Rasa tidak puas tersebut diwujudkan dengan membentuk dewan-dewan daerah dalam rangka menuntut otonomi daerah terhadap pemerintah pusat. Dewan-dewan daerah tersebut  antara lain: Dewan Banteng di Sumatera Barat dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein; Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin oleh Letkol Simbolon; Dewan Garuda di Sumatera Selatan dipimpin oleh Letkol Barlian; Dewan Manguni di Sulawesi Utara dipimpin oleh Letkol Vance Samual.

b)     Timbulnya konsepsi presiden Ir Soekarno yang akan memberikan peluang bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk ikut andil dalam pemerintahan.

Pada tanggal 15 Februari 1959, Letkol Ahmad Husein di Padang memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/ Persemesta, lepas dari Republik Indonesia dan Ahmad Husein sebagai Presiden serta Syafrudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/ Persemesta ini mendapatkan dukungan dari wilayah Indonesia Timur. Pada tanggal 17 Februari 1958 Letkol D. J. Soumba Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung Piagam Perjuangan Semesta. Mereka mengklaim bahwa dari Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara merupakan wilayah kekuasaannya. Untuk menanggulangi pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/ Persemesta, pemerintah melaksanakan operasi militer sebagai berikut: Pertama, Operasi Tegas dipimpin Letkol Kaharudin Nasution dengan tujuan menguasai Riau; kedua, operasi 17 Agustus di bawah pimpinan Kolonel Ahmad Yani dengan tujuan untuk mengamankan daerah Sumatera Barat; ketiga, operasi Sapta Marga di bawah pimpinan Brigjen Djatikusumo dengan tujuan untuk mengamankan daerah Sumatera Utara; operasi sadar di bawah pimpinan Letkol Dr. Ibnu Sutowo dengan tujuan untuk mengamankan daerah Sumatera Selatan. Pada tanggal 29 Mei 1961, Ahmad Husein dan pasukannya menyerah. Kemudian disusul oleh tokoh-tokoh Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/ Persemesta yang lain baik militer maupun sipil. Sedangkan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/ Persemesta ditanggulangi dengan “Operasi Merdeka” di bawah pimpinan Letkol Rukminto Hendraningrat. Pemberontakan ini dapat dilumpuhkan setelah pada tanggal 18 Mei 1958 di Ambon, Tentara Nasional Indonesia berhasil menembak jatuh pesawat yang dikemudikan AL Pope warga Amerika Serikat yang membantu Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI/ Persemesta. Sedangkan sisa-sisanya baru menyerahkan diri pada tahun 1961.


IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

Efforts to maintain the independence of Indonesia and the threat of disintegration of the nation (after the Second World War in Indonesia)
(Source: Nur Ali. Instructional Materials Module SMA-MA History For Class XII IPS Odd Semester. Roxburgh: MGMP Gandini.)

A) Maintaining the independence of Indonesia through confrontation and diplomacy
I) The arrival of Allied troops. After the second world war ended, the area of ​​Indonesia is the responsibility of the UK and East Asia Soutih Commando (SEAC) is the command of the Allied troops to Southeast Asia, especially Indonesia, Malaysia, and Vietnam led by Lord Marshal Maountbatten. While the Allied soldiers who specialize in Indonesia, especially Java, Madura, and Sumatra called AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) and led by Letjend. Sir Philip Christision. Allied troops began landing in Jakarta on 29 September 1945 in order to carry out tasks: first, to accept the handover of power from the hands of Japan, second, to disarm the Japanese army and returned to his country; Third, freeing the prisoners of war and inter-Allied Niran; fourth, maintaining security and order. The arrival of Allied troops at first welcomed by the government of the Republic of Indonesia, but after it was revealed that the Allied army soldiers Ridden by NICA (Netherlands Indies Civil Administration), the Dutch Civil government agency tasked to enforce the re-occupation of Indonesia, then they started coming under suspicion and hostility .Lieutenant General Sir Philip Christison, as leader of AFNEI apparently account for the Allied forces that business can not succeed without the help of government of the Republic of Indonesia. Therefore, Lieutenant General Sir Philip Christison talks with the government of the Republic of Indonesia on October 1, 1945 which states the existence of de facto recognition of the Government of the Republic of Indonesia. Yet another reality, in the cities visited by the Allies frequent incidents of battle even with the Republic of Indonesia. Incidents and hostilities was held for NICA and KNIL trying to pick the riots provoked by such a battle that erupted in Surabaya, Bandung, Ambarawa, and others.
II) Physical Confrontation in Early Independence:
a) Battle of Five Days in Semarang (15-20 October 1945). The fighting in Semarang occurred on 15-20 October 1945. This battle begins with the transfer of 400 Japanese soldiers from Cepiring to Semarang Indonesia, escorted by the police. In the course of Indonesian police to disarm the Japanese army and then they joined other Japanese forces led by Major Kido Kidobutai. Large-scale battles occurred in the Simpang Lima, Semarang. In the battle led by Lt. Col. Moh. Sarbini, Dr fall. Karyadi head of the Laboratory of Hospital Semarang as kusuma nation.
b) Battle Field Area (13 October to 10 December 1945). This battle began insulting the Netherlands (supported by the Allies against a red and white badge). As a result the people angry and the battle field on October 13, 1945. Led the people of Medan Sumatra Governor Mr. Teuku Muhammad Hasan and help the Youth Front leader Ahmad Tahrir Indonesia and NICA attacking Allied troops led by TED Birgjen Kelly. Pertempurain culminated on December 10, 1945.
c) Pertempuaran 10 November in Surabaya (10 November 1945).Battle of Surabaya came from the death of Commander of Allied Forces Major General AWS Mallaby in an incident with Arek-arek Surabaya in front of the Internatio bank. Indonesia is very insulting to the nation, saying the entire leadership of the Republic of Indonesia in Surabaya have to give up his weapons and must submit themselves to the hands raised in front of the Allied headquarters no later than 10 November 1945 at 06.00 West Indonesia Time. East Java Governor R. M. Suryo as head of the East Java administration rejected the threat. Finally on November 10, 1945 in Surabaya battered Allied forces from various directions. Arek-arek Surabaya in East Java Governor under Suryo, Bung Tomo and Sungkono rose to the Allied onslaught. 10 November 1945 event is commemorated as Patriot Day.
d) Battle of Ambarawa (20 November to 15 December 1945).Ambarawa battle took place on 20 November to 15 December 1945. Early occurrence when the Allied forces led by Brigadier General unilaterally freed Bethel Dutch internment in Magelang and Ambarawa. Allied action was met with resistance Army of the Republic of Indonesia (TKR) and the people who led Major Sumarto. In this battle Lieutenant Colonel Isdiman fall. Under pimpinal Koloner Soedirman, Ambarawa successfully taken on December 15, 1945. To commemorate the event Ambarawa Theater was built. The next date of December 15 is celebrated as Infantry Day.
e) Bandung Sea of ​​Fire (March 23, 1946). Bandung Sea of ​​Fire event originated from the demands of the Allies, led by Colonel Mac Donald to be vacated for the safety of Bandung. The people are not willing to give blood to the Allies. Finally, under the command of Lieutenant Colonel Aruji Kartawinata, the people and the Army of the Republic of Indonesia (TRI) agreed to burn the city of Bandung rather than controlled by the enemy. The incident occurred on March 23, 1946, while in Dayeuhkolot (South London) Mohammad Ramdan Toha and blew up the powder magazine of the Dutch even though he was both fall simultaneously with the explosion of the powder magazine.
f) Puputan Margarana in Bali (20 November 1926). Bellows Margana occurred when Dutch troops brought in Bali in order to uphold the founding of the State of East Indonesia. The arrival of Dutch troops was met with popular resistance led by Lieutenant Colonel I Gusti Ngurah Rai. Because the resistance is not balanced I Gusti Ngurah Rai ordered his troops to fight in an all-out or bellows.This incident occurred on 20 November 1946.
III) Maintaining Independence of Indonesia through diplomatic
a) The struggle of diplomacy at the negotiating table. Diplomacy at the negotiating table is done directly by the Dutch Government through the medium of the international community, resulting in the negotiations as follows:
1) Meeting Jakarta (17 November 1945)
Intermediary: Lieutenant General Sir Philip Christison of England.
Delegation: The Republic of Indonesia led by Sutan Syahrir. Holland led by H. J. Van Mook.
Results: Zero, because the Dutch refused to recognize the Republic of Indonesia's sovereignty over the territory of the former Dutch East Indies.
2) Meeting Hove Veluwe, the Netherlands (dates 14 to 25 April 1946)
Intermediary: Sir Archibald Clark Kerr of Britain.
Delegation: The Republic of Indonesia led by Mr. Kelvin. The Netherlands led by H. J. Van Mook.
Results: nil because the Dutch refused to recognize the de facto Republic of Indonesia on Java, Madura and Sumatra. The Netherlands is only willing to admit the Republic of Indonesia in de facto control over Java and Madura alone without Sumatra.

3) Agreement on Linggarjati Linggarjati, Cirebon, West Java (10 November 1946, the results are signed on March 25, 1947).
Intermediary: Lord Kellearn of England.
Delegation: The Republic of Indonesia led Sutan Syahrir. The Netherlands led by Schermerhorn.
Results: First, the Dutch recognized the Republic of Indonesia in de facto control over Java, Madura and Sumatra. The Netherlands had to leave the de facto no later than January 1, 1949; second, the Republic of Indonesia and the Netherlands will work together to form the United States of Indonesia under the name United States of Indonesia and the Republic of Indonesia is one part in it; third, United States of Indonesia and the Netherlands will form the UnionDutch Indonesia to the Dutch queen as its chairman.
b) The struggle of diplomacy to seek international sympathy. In the reign of cabinet diplomacy Sutan Syahrir was performed to seek international sympathy, including the following:
1) On May 18, 1946 agreement signed tanganinya Syahrir-Punjabi (Punjabi is the representative of India who were sent to Indonesia) on the barter system between the two sides. Its contents are:
i) Indonesia willing to send rice to India as much as 500,000 tons.
ii) India is willing to send fabric, yarn, agricultural equipment, car tires and others to Indonesia.
Although the rice shipment is received protests from many quarters, but the politics of rice is later many benefits to the Indonesian struggle to maintain the independence of the Republic of Indonesia, India proved highly sympathetic to the Republic of Indonesia.
2) In Australia, the Indonesian students who were there established the independent Indonesia. They make contact with the labor movement there. In order for Australia to recognize the independence of Indonesia. Although recognition has not been achieved but in fact the Australian Government was sympathetic to the struggle for independence of the Republic of Indonesia.
c) The struggle of diplomacy to seek international recognition.Diplomacy is conducted to seek international recognition for the independence of Indonesia started in the Agreement signed tanganinya Linggarjati, in Cirebon. The efforts Sutan Syahrir cabinet, then the delegation dikirimlah Republic Indonesia to the Arab nations in the Middle East under the leadership of Haji Agus Salim. On the merit of Haji Agus Salim and his friends, finally achieved the recognition of De Yure (based on the recognition of independence of the Republic of Indonesia law that truly meet the requirements of international law as an independent and sovereign state) from Arab countries and the Middle East, such as recognitionDe Yure by the Egyptian State on June 1, 1947, De Yure recognition by the State of Saudi Arabia on 24 November 1947, the recognition by the State De Yure Yemen on May 3, 1948. In addition to recognition by De yure, the Republic of Indonesia is also gaining recognition as a de facto (by fact that the recognition of the Republic of Indonesia is really there) of a de facto recognition by the State of Burma on 23 November 1947, a de facto recognition by the United Kingdom on March 31, 1947, a de facto recognition by the United States on April 17, 1947, a de facto recognition by the United Soviet Socialist Republic (USSR) on May 26, 1948. De Yure recognition from Arab countries in the Middle East as well as de facto recognition of the other, eventually become a stumbling block for the Dutch government is always trying to control and re-colonize Indonesia.
IV) Aggression I (July 27, 1947) and the uprising Communist Party of Indonesia / PKI in Madison
a) First Dutch military aggression. After the signing of the Treaty Lingarjati in Cirebon, West Java. Holland filed as follows: first, that while the Federal government was formed that will prevail all over Indonesia to the establishment of the Republic of Indonesia states, secondly, the establishment of gendarmerie (security paskuan with) the right into the territory of the Republic of Indonesia. Sutan Syahrir prime minister had agreed to the sovereignty of the Netherlands during the transitional government, but would not agree to the implementation of common security. As a result of this statement falls Syahrir Cabinet which was then replaced by the Cabinet Amir Syarifuddin. Amir Syarifuddin In essence ruled against the Dutch, its effect on the date of July 21, 1947, the Dutch led by H. J. Van Mook did the first military aggression to the territory of the Republic of Indonesia in the three objectives, namely: First, the political objectives of conducting the siege of the capital of the Republic of Indonesia in Yogyakarta, secondly, the economic goals seize food-producing areas (rice) and producer of export (plantation and mining); third, which is trying to destroy military targets in the Indonesian military (TNI). In the first Dutch military aggression, killed two officers of the Republic of Indonesia is commodore Dr.Abdurracman Saleh and Adi Sucipto Cmdr. First Dutch Military Aggression received condemnation from the international world.Australia and India proposed that Dr. Walter Foote whose job was to oversee the arms genjata between Indonesia and the Netherlands. Consular Commission will be replaced with the Commission services Good (Commission of the Three Kingdoms) which will result in Renville agreement as follows:
Renvile Agreement (December 8, 1947) by the Commission of the Three Kingdoms (Australia, United States, and Belgium)
Place: implemented in the United States naval vessels (USS Renville) in Jakarta Bay on December 8, 1947 and signed on the new results January 17, 1948.
Intermediary: three state commissions or Good Offices Commission established the United Nations (UN), the Republic of Indonesia pointed to Australia led by Richard Kirby, who led the Netherlands chose Belgium Paul Van Zeeland, and the United States as an intermediary, led by Dr.. Frank Graham.
Delegation: The Republic of Indonesia led by Amir Syarifuddin. The Netherlands led by R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo.
Results: basically the same as Linggarjati agreement, only the Republic of Indonesia is not recognized de facto over the whole of Java, Madura and Sumatra, but increasingly narrowed due to the First Dutch Military Aggression (Java half, Sumatra stay 4/5 section).
Renville agreement due to the extremely harmful to the Republic of Indonesia take effect as follows: First, the fall of the cabinet Amir Syarifuddin, secondly, the more narrow the Republic of Indonesia; third, the Republic of Indonesia lives more difficult, because of the economic blockade of the Netherlands; fourth, the army of the Republic of Indonesia (TNI) residing in the occupied Netherlands should be withdrawn (moved); fifth, the Dutch began to establish their State or Country dolls; the sixth, the burden of life of the Republic of Indonesia has become harder because the soldiers bear migration; seventh, an uprising by the Communist Party of Indonesia / PKI in Madison and Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) Kartosuwiryo.
b) The revolt of the Communist Party of Indonesia in Madison (18 September 1948). Pendanda tanganan Renville agreement that was very detrimental to the nation Indonesia resulted in the fall of the Cabinet Amir Syraifuddin. Then formed a new cabinet led by Drs.Mohammad Hatta, the program is as follows: first, the implementation of the Renville agreement and secondly, to accelerate the establishment of United States of Indonesia; third, carry out rationalization in the country; fourth implement national development. In order rasionnalisasi war cabinet Drs. Mohammad Hatta perform the following steps: first, release the soldiers have volunteered to leave the army and returned to their previous occupation and, second, 100,000 people return to society and menyerajkan lascar distribution to the Ministry of Development and Youth. The goal is within the framework of austerity and simplicity as well as curbing the army organization. Cabinet policy Drs. Mohammad Hatta was opposed by the People's democratic front led by Muso and Amir Syraifuddin. Then reached a peak after they proclaimed the founding of the Soviet Republic of Indonesia in Madison on September 18, 1948, as its president and Amir Muso Syraifuddin as prime minister. Communist Party of Indonesia revolt was crushed in Madison with the movement of military operations led by Colonel Gatot Subroto (Central Java) and Colonel Sungkono (East Java). Muso in the operation succeeded in shooting death at Roxburgh on October 31, 1948, while Amir was arrested in Grobogan Syarifudin Purwodadi on 29 November 1958, formerly the Communist Party of Indonesia in Madison have been killed in violent groups in the East Java Governor Suryo Ngawi on 10 November 1948. In addition there was a massacre by the Indonesian Communist Party in Grantham, Madison. Communist Party of Indonesia have slaughtered community leaders and religious leaders in Madison. To commemorate the massacre monument was erected at Grantham crackle, Madison, East Java.
V) Dutch Military Aggression II (December 19, 1948)
a) The Dutch Military Aggression II. On December 19, 1948, led by General Spoor Dutch military aggression and managed to occupy the capital of the Republic of Indonesia in Yogyakarta and Maguwo airfield. President Soekarno and Vice President Drs. Mohammad Hatta as well as some ministers of the Netherlands captured. They were later exiled to the island of Bangka, South Sumatra. But a few hours before the captivity of President Sukarno and vice president of Drs. Mohammad Hatta was still time to send a cable to: Firstly, Mr. Syarifudin Prawiranegara, minister of the Republic of Indonesia to establish the prosperity of Emergency Government of the Republic of Indonesia in Bukit Tinggi, Sumatra, secondly, Prof. Dr.Sudarsono to form exile government of the Republic of Indonesia in New Dehli, India.
b) Guerrilla War. To maintain the independence of the Republic of Indonesia conducted a guerrilla war led by the chief of General Sudirman. In the capital of Yogyakarta was also carried out guerrilla war under the leadership of Sri Sultan Hamengkubuwono IX. The guerrilla resistance was less impact in the international world. For that Sri Sultan Hamengkubuwono IX plan for a general offensive against the capital city of Yogyakarta after the Dutch army occupied.The goal is to demonstrate to the world, especially to the Dutch that the Indonesian military (TNI) is still there and able to break the Dutch army. General attack was centered in the area and Wonosari Muto.On March 1, 1929 under the command of Lieutenant Colonel Suharto began a general attack and managed to occupy the capital city of Yogyakarta for six hours. The attack was so shocking the world and have significance:
i) The meaning into: first, support the struggle of diplomacy conducted by leaders in foreign countries and, second, to boost the morale of the Indonesian National Army (TNI) and the people who were guerillas.
ii) Reason out: first, to show the world that the Indonesian military (TNI) still have a force capable of holding opensip (lightning strike), secondly, to break the morale of the troops the Netherlands.
c) reaction of the international community. On the initiative of Prime Minister Nehru Jawaharial India, on 20-23 January 1949 held "Asia Conference" or "International Conference for Indonesia" in New Dehli, India. The goal is to provide support to the Republic of Indonesia which is struggling to maintain its independence. The conference produced a resolution which is then submitted to the Security Council of the United Nations (UN security warnings Council), contents include: first, the return receipt of the Republic of Indonesia to Yogyakarta, secondly, the establishment of an ad interim government that has the foreign policy of independence prior to March 15 1949; third, the withdrawal of Dutch troops from all parts of Indonesia, the fourth, the handover of sovereignty to the government of the Republic of Indonesia States no later than January 1, 1950.
VI) The role of the United Nations during the War of Independence of the Republic of Indonesia
Establishment of the Commission of the Three Kingdoms (KTN) background: First, the first Dutch military aggression, which the Dutch openly violated the agreement Linggarjati, secondly, the proposal of the representatives of India and Australia at the United Nations (UN), so that Indonesia issues discussed in the sidingSecurity Council of the United Nations (UN). On August 1, 1947, the Security Council of the United Nations, issued a call for an immediate ceasefire to the Republic of Indonesia and the Netherlands, and successfully held on August 4, 1947. Furthermore, to oversee the implementation of the ceasefire established "consular commission" headed by Consul General of the United States Dr. Wolter Foot. Given the abuses committed by the Dutch Van Mook line shape, the Consular Commission was changed to "Good Offices Commission" or "Commission of the Three Kingdoms" on October 27, 1947. Three commissions composed of Australia, Belgium and the United States. Commission to the efforts of the Three Kingdoms (KTN), successfully organized approach to the Republic of Indonesia and the Netherlands.
VII) United Commission for Indonesia (UNCI). The formation of the background: First, Second Dutch military aggression that resulted in the capital of the Republic of Indonesia under their control as well as the leaders of the Republic of Indonesia ditawannya secondly, the New Dehli resolution submitted to the Security Council of the United Nations. On January 23, 1949, the United Nations passed a resolution whose contents are: first, immediate ceasefire between the Republic of Indonesia and the Netherlands, secondly, the immediate unconditional release of the leaders of the Republic of Indonesia to the Dutch captured; third, immediately held talks back between the Republic of Indonesia by the Dutch. To carry out the resolution of the United Nations (UN) for Indonesia, called UNCI (United Nations Commission for Indonesia). UNCI chaired by Marie Cochorn with members: Christley (Australia), Herremens (Belgium) and Marie Cochorn (United States). The UNCI tasks as follows: first, helping to launch negotiations to restore government authority of the Republic of Indonesia, secondly, a keen observer and propose to the achievement of settlement negotiations. Between intermediaries UNCI, ultimately resulting Roem-Royen Agreement (Roem Royen Statement) in Jakarta and the implementation of the Round Table Conference in The Hague, Netherlands.
VIII) Recovering National unity and the recognition of sovereignty of the Republic of Indonesia
a) Restoration of National Unity. On the initiative of UNCI, on May 7, 1949 held talks back between the Republic of Indonesia and the Netherlands in Jakarta.Delegation of the Republic of Indonesia led by Mr. Mohammad Roem, while the Netherlands was led by H. J. Van Royen, so that the talks called "Roem Royen Statement". Of the Republic of Indonesia agreed:
i) The Government of the Republic of Indonesia will issue an order to stop a guerrilla war;
ii) To cooperate in restoring peace and maintaining order and security;
iii) Participate in Round Table Conference (RTC) to accelerate the handover of sovereignty unconditionally to the Republic of Indonesia (RIS)
In the case of the Netherlands agreed to:
i) The Dutch government agreed to the government of the Republic of Indonesia must be free and free to perform its obligations in the area include the residency of Yogyakarta;
ii) The Dutch government will release the leader of the Republic of Indonesia is unconditional and that political prisoners detained since December 19, 1948;
iii) The Dutch government agreed to the Republic of Indonesia will be part of the Republic of Indonesia (RIS);
iv) Round Table Conference (RTC) will begin immediately after the administration of the Republic of Indonesia in Yogyakarta.
Roem Royen Statement negotiations will be strengthened by talks between the Republic of Indonesia Triangle-BFO (Federal voor Bijjenkomat Overleg) and the Netherlands on June 22, 1949 in Yogyakarta under the supervision UNCI. The results of the triangular negotiations include:
i) Returns the government of the Republic of Indonesia to Yogyakarta to be held on July 1, 1949;
ii) The termination of the guerrilla war will be granted after the government of the Republic of Indonesia in Yogyakarta;
iii) The session Round table conference (RTC) held in The Hague, Netherlands.
In light of the Round Table Conference (RTC), the international negotiations was held between the Republic of Indonesia or the Republic of Indonesia-BFO (Federal voor Bijjenkomat Overleg) carried out since the month of July-August 1949, both in Yogyakarta and Jakarta.
The Delegation of the Republic of Indonesia talks led by Drs.Mohammad Hatta while the BFO (Federal voor Bijjenkomat Overleg) led by Sultan Hamid II of Pontianak. The results of these negotiations include:
i) United States of Indonesia agreed to the name of the United States of Indonesia;
ii) United States of Indonesia headed by a president assisted Menter, the minister responsible to the President;
iii) United States of Indonesia would accept the transfer of sovereignty from the Republic of Indonesia and the Netherlands;
iv) The Armed Forces of the United States of Indonesia is the force of the National War. President of the Republic of Indonesia States is the Supreme Commander of the Armed Forces of the United States of Indonesia;
v) The army of the Republic of Indonesia cored States Armed Forces of Indonesia and Indonesian people who are in the Royal Nederlandas Lege Indies (KNIL) and Dutch units of other so-called Armed Forces of the United States of Indonesia (APRIS).
b) Implementation of the Round Table Conference, the establishment of the Republic of Indonesia and the recognition of the sovereignty of States:
1) Implementation of the Round Table:
On August 23, 1949, the Round Table Conference held in The Hague, the Netherlands, the Republic of Indonesia-BFO (Federal voor Bijjenkomat Overleg)-Netherlands.
Delegation of the Republic of Indonesia led by: Drs. Mohammad Hatta;
Delegation BFO (Federal voor Bijjenkomat Overleg): Sultan Hamid II;
Led the Dutch delegation: Mr. Van Marseveen;
Negotiations under the supervision of Marie-led UNCI Cochorn. The conference runs until November 2, 1949, with results as follows:
i) The Netherlands recognizes the Republic of Indonesia States as a sovereign and independent State;
ii) The status of Iran Residency will be completed a year later, after the recognition of sovereignty of the United States of Indonesia;
iii) There shall be a Netherlands-Indonesian Union under the voluntary cooperation and equal;
iv) United States of Indonesia and the Netherlands to restore property rights memberikat concessions and a new license for the Dutch-owned company;
2) Establishment of the Republic of Indonesia States. On December 15, 1949 was held the election of President of the Republic of Indonesia Ir States with a single candidate. Sukarno. On December 16, 1949, Ir. Sukarno was elected president of the Republic of Indonesia. Inauguration was held on December 17, 1949 held at the Sultan Palace Ward Sitinggli by chief justice Mr. Kusumaatmaja.Cabinet where it is also the first United States of Indonesia under Drs. Mohammad Hatta was appointed by President Soekarno on December 20, 1949 as President Sukarno as president of the Republic of Indonesia was elected as president of the United States of Indonesia, Mr. Asa'at seagai chairman of the Central Indonesian National Committee (KNIP) office holders elected as President of the Republic of Indonesia. The choice of Mr. Asa'at as acting president of the Republic of Indonesia, it is intended if the United States of Indonesia Republic of Indonesia disband standing and still have a head of state. While the Prime Minister held Dr. Abdul Halim.
3) Recognition of the sovereignty of the Republic of Indonesia States. On December 23, 1949, a delegation of the Republic of Indonesia States went to Holland to sign the deed of transfer of sovereignty. On December 27, 1949, both in Indonesia and the Netherlands held the signing ceremony of certificate of transfer of sovereignty. In the Netherlands sovereignty handover ceremony held in the Throne of Amsterdam, The Netherlands Queen Juliana signed the deed of transfer of sovereignty and were also signed Dutch Prime Minister Dr. William Dress and Dutch Overseas meteri A. M.J. A. Sassen. While the United States of Indonesia delegation represented the prime minister Dr. Mohammad Hatta. At the same time in Jakarta transfer of sovereignty was signed by Sultan Hamengkubuwono IX, while the high representative of the Dutch crown done by A. H. S. Lovink.
B) The struggle back to the Unitary Republic of Indonesia
I) State-Dutch-created puppet state. To implement the policy of "divide et impera" the Dutch tried to create puppet states all over Indonesia as follows:
1) The State of East Indonesia which was established on December 24, 1946, the president Cokorda Sukowati;
2) The State of East Sumatra, which was established on December 25, 1947, the mayor Tengku Mansyur country;
3) State of Madura which was established on February 20, 1948, the country Cakraningrat guardian;
4) State Pasundan established on 24 April 1948, the country Wiranata Kusumah guardian;
5) State of South Sumatra, which was established on August 30, 1948, Abdul Malik country's guardian;
6) The State of East Java, which was established on 26 November 1948, Ahmad wali Kusumonegoro country.
In addition to forming a puppet states, the Dutch also established autonomous regions that stand alone:
1) West Kalimantan;
2) East Kalimantan;
3) East Kalimantan;
4) Great Dayak;
5) Central Java;
6) Pacific Islands;
7) Banjar;
8) Riau;
9) Bangka;
II) of the Federal system to the Unitary
since formed the Republic of Indonesia States on 2 November 1949 in the community there are pros and cons to form the Union, for example: First, the group that spearheaded the Republican Unitari or Mohammad Yamin, require a form unions disbanded and replaced with a unitary state and, second, the group that spearheaded the federalist Sahetapy Engel, requires the form be retained and remain union states. With the approval of the Round Table Conference on 15 November 1949, in Indonesia formed a Federal State called the Republic of Indonesia States. System State Federal, however, by the people considered as a tool for the Dutch to Indonesia in order to divide the Dutch remained in power.Basic formation of the Federal State is very weak, because it is not supported by strong ideological ties, as well as the destination state is unclear and not supported by the people. Its existence depends on the power of the Dutch military. United States of Indonesia Cabinet is "Zaken Cabinet" means the cabinet that prioritizes the expertise of its members. Members of the United States of Indonesia cabinet composed largely of those Republicans, the supporters of the Unitary Republic of Indonesia. Only two people who helped establish the federal system, Sultan Hamid II and Anak Agung Gede Agung, so that the movement of the Republic of Indonesia disband States and formed the Republic of Indonesia is getting stronger. Demonstrations by the people who claim back to the Republic of Indonesia, dated May 8, 1950, president of the United States of Indonesia with the approval of parliament and the senate of the Republic of Indonesia issued States of Emergency Law Number 11 Year 1950 on Procedures Composition Changes of state of the Republic of Indonesia States With the Emergency Law, the row has been merged states into the Republic of Indonesia in Yogyakarta. So until April 5, United States of Indonesia comprises only three states, namely: East Sumatra, State of East Indonesia and the Republic of Indonesia. On May 19, 1950 approval of the Republic of Indonesia was held US-Republic of Indonesia is preparing the establishment of the Unitary State of the procedure.States Parties to the Republic of Indonesia represented by Prime Minister Mohammad Hatta Drs and the Republic of Indonesia was represented by Dr. Abdul Halim. According to the State's approval of the unitary Republic of Indonesia merger committee will be formed United States of Indonesia, the Republic of Indonesia who drafted the Constitution of the Unitary State. The committee is chaired by the Minister of Justice of the Republic of Indonesia states, Prof. Dr. Mr. Supomo and successfully completed its work on July 20, 1950. Draft Law of the State of this Union to the House of Representatives dserahkan states to be refined. And on August 14, 1940, the Draft Law was accepted by the senate and the parliament of the Republic of Indonesia States and the Central Indonesian National Committee (KNIP). On August 15, 1950, the President signed the draft constitution that became the Constitution of The Republic of Indonesia (The Basic Law 1950). On August 17, 1950 with an official of the Republic of Indonesia officially disbanded States also established the Republic of Indonesia.
C) Reduction of Homeland Security Hearing
I) Rebellion Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) West Java (17 August 1949) by SM Kartosuwiryo.
On August 17, 1949, proclaimed the founding of BC Kartosuwiryo Negara Islam Indonesia (NII) in Tasikmalaya, West Java. West Java as he considers his territory. Rebellion is dealt with ways: first, a peace mission led by Mohammad Natsir (Chairman Masyumi) but failed, secondly, the military operations led by Major General Ibrahim Ajie with a name: Operation Baratayudha: and on June 4, 1962, SM Kartosuwiryo arrested in Majalaya.
II) Rebellion Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) in Central Java (August 23, 1949 and August 1, 1950) by Amir Fatah and Kyai Sumolangu.
In Tegal, Central Java, on August 23, 1949, Fatah Amir with his troops "Islamic Council" Tegal-Bradford proclaimed a part of the Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) in West Java under the BC Kartosuwiryo. The revolt started from the arrival of the messenger who called Karman BC Kartosuwiryo Cakrabuana to invite Fatah Amir joined the Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) in West Java. Amir Fatah rebellion became very strong after Captain Colonel led the Battalion 426 based in Magelang Sofyan-Holy merge on December 8, 1951. Rebellion is dealt with a military operation, named "Bull Raiders" and led by Captain Hardoyo in June 1954 Fatah Amir had been shot in Pekalongan.While 426 dealt with the rebellion of military operations "East Freedom" led by Lieutenant Colonel Suharto, and on January 5, 1952 Captain Sofyan had been shot in Magelang.
In addition to the date of August 1, 1950, Kyai Sumolangu the troops "Armed Islamic Ummah" proclaimed Kebumen area became part of the Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) in West Java under the BC Kartosuwiryo. The rebellion caused Sumolangu rejected demands by the security minister (Minister of Defense) of Indonesia, Sri Sultan Hamengkubuwono IX states that all the troops put in the Armed Forces of the Republic of Indonesia States (APRIS) and placed in Kebumen. Rebellion is solved by a military operation named "Bull Country Movement" led by Lt. Col. Ahmad Yani in November 1957 had been shot in Kyai Sumolangu Banyumas.
III) The uprising the Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) Sulawesi (August 27, 1953) by Kahar Muzakar
In Napier on August 27, 1953, Kahar Muzakar South Sulawesi area proclaimed to be part of the Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) in West Java under the BC Kartosuwiryo. The revolt started from Kahar Muzakar rejected demands by the central government so that all members of the Union of South Sulawesi Guerrilla (KGSS) incorporated into the Indonesian National Army (Brigade Hasanudin) and he himself is the Brigade Commander Hasanudin in South Sulawesi. To cope with the rebellion, carried out a military operation named "Operation Lightning" led by Brigadier M. Joseph.The successful operation Muzakar Kahar was shot in Luwu on February 3, 1950.
IV) Rebellion Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) Aceh (20 September 1953) by David Beureeh
On 20 September 1953 in Banda Aceh, Aceh David Beureeh proclaimed to be the Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) in West Java under the BC Kartosuwiryo. Rebellion was caused by: first, a sense of autonomy is not satisfied about where Aceh province alone is not used, secondly, the conflict between classes Tengku (Ulama) who are members of PUSA (Association of Indonesian Ulama) with Teuku Group (Ulebalang) is incorporatedPeople in the conviction Agency (BKR); Third, the lack of smoothness of the implementation of regional development in Aceh.Rebellion is dealt with ways: first, the military operations led by Colonel Mohammad Yasin, but is having difficulty, secondly, carry out the "Council of People's Harmony Aceh" 17-20 December 1962, finally agreed that the Aceh region serve as a "Special Area" in the traditional problems customs and religion.
V) Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) South Kalimantan (October 10, 1950) by Ibn Hajar
On October 10, 1950, Ibn Hajar Bin Umar alias alias Haderi Angli with his army, called the Oppressed People's Unity proclaims the South Kalimantan region as part of the Darul Islam / Islamic Army of Indonesia (DI / TII) in West Java under the BC Kartosuwiryo. The revolt began Ibn Hajar passionate plea to all of its troops was accepted as a member of the Indonesian Army (TNI), while the government would only accept those who qualify as the Indonesian Army. Rebellion is addressed in the following way: first, a peace mission led by K. H. Khalid Idham figure Nahdatul Ulama (NU), who at first managed to stop the rebellion. But after Ibn Hajar and his troops received back in the Indonesian Army and received military equipment, it turns out he rebelled again and make chaos in South Kalimantan, secondly, the military operation led by Lt. Col. Hasan Basri, Ibn Hajar in 1959 and successfully ditanggap on 22 March, Ibn Hajar was sentenced to death.
VI) The revolt of the Armed Forces Ratu Adil (APRA) in London (January 23, 1950) by Captain Raymond Westerling and Sultan Hamid II
On January 23, 1950, former army Nederlandas Indisch Koninklijk Leger (KNIL) calling itself the Armed Forces of the Ratu Adil (APRA) under the command of Captain Raymond Westerling to terror in London. They killed an officer of the Armed Forces of the United States of Indonesia (APRIS) named Lieutenant Colonel Mohammad Lembong and members of the Armed Forces of the United States of Indonesia (APRIS) others. In addition to Bandung, Armed Forces Ratu Adil (APRA) also directs the movement to Jakarta with the objectives: first, attacking the cabinet building, where the ministers were in session, secondly, to kidnap all the cabinet members of the United States of Indonesia; third, will membunu Minister of Defence (Sri Sultan Hamengkubuwono IX), the Secretary of Defense (Ali Budiardjo) and army chief of staff (Colonel TB Simatupang). Rebellion is dealt with a military operation led by Major General Ibrahim Ajie and managed to destroy the movement. Moreover, it also revealed that the brains and mastermind of the Armed Forces movement Ratu Adil (APRA) is the Sultan Hamid II state minister without portfolio in the cabinet of the Republic of Indonesia states that he ditanggkap April 4, 1950.While Captain Raymond Westerling had to flee to the Netherlands.
VII) Andi Aziz rebellion in Sulawesi (5 April 1950)
On 5 April 1950 Captain Andy Aziz (former KNIL / Koninklijk Leger Nederlandas Indies) to terror in Makasar. They master the vital places and attacked the headquarters of the Indonesian Army official in Makassar and charming Eastern Indonesia Territorial Commander Lt. Col. Ahmad Yunus Mokoginto. Andi Aziz rebellion against the backdrop: first, the rejection of the arrival of the Indonesian National Army (Armed Forces of the Republic of Indonesia States / APRIS) to Sulawesi. According to the security of South Sulawesi is the responsibility of his second, rejected the dissolution of the State of East Indonesia. To cope with the movement of Andi Aziz, the central government issued an ultimatum that, first, in 4X24 hours starting from 8 April 1950, An Aziz must face Jakarta to take responsibility for his actions and secondly, the prisoners must be released; third, all weapons are confiscated should be returned But Andi Aziz less heed the ultimatum, so on April 15, 1950, he was arrested. Seangkan remnants are still powerful forces in Napier resolved through military operations led by Colonel Alex Kawilarang. Feeling desperate position, the remaining troops Aziz Andi Koninklijk Leger (KL), the Dutch army personnel came from the Dutch and the Netherlands Koninjlijk Indesh Leger (KNIL) is a Dutch army personnel from the Indonesian people, led by Major General Sceffeleaar, on August 8, 1950, requesting approval to discontinue these negotiations shooting and within two days the troops Koninjlijk Leger (KL) and the Netherlands Koninjlijk Indesh Leger (KNIL) have already left Napier.
VIII) The rebellion of the South Maluku Republic (25 April 1950) by Mr. Dr. Christian Soumokil, Ir Manusama and Manuhutu On 25 April 1950, Mr. Dr. Christian Soumokil assisted by Ir Manuhutu Manusama and proclaimed the founding of the Republic of South Maluku in Ambon city. This rebellion had the support of elements of Nederland Indesh Koninjlijk Leger (KNIL) who did not want to join the Armed Forces of the United States of Indonesia (APRIS). Rebellion is dealt with ways: first, a peace mission led by Dr. Mena, but failed, secondly, that the military operation named "Operation Military II movement" led by Colonel Alex Kawilarang. On December 2, 1963, and Manuhutu Soumokil arrested on the island of Seram. While Ir. Manusama escaped to Holland. In the fall of heroes crackdown kusuma nations such as: Lt. Col. S. Sudiarto, Lieutenant Colonel and Major Abdullah Slamet Riyadi.
IX) Rebellion Revolutionary Government of the Republic of Indonesia or the PRRI / Persemesta in Padang (February 15, 1959) by Ahmad Husayn and Syafrudin Prawiranegara
The Revolutionary Government of the Republic of Indonesia rebellion or PRRI / Persemesta caused by:
a) The occurrence of political turmoil in the capital, which resulted in the development of neglected areas. Dissatisfaction is realized by establishing local councils in order to demand autonomy from central government. Regional councils are: the Council of the Bull in West Sumatra, led by Lieutenant Colonel Ahmad Husayn; Council in North Sumatra elephants led by Lieutenant Colonel Simbolon; Board of Garuda in Punjab led by Lieutenant Colonel Barlian; Council Manguni in North Sulawesi, led by Lt. Col. Samuel Vance.
b) The emergence of the conception of Ir Soekarno president who will provide an opportunity for the Communist Party of Indonesia (PKI) for taking part in the government.
On February 15, 1959, Lieutenant Colonel Ahmad Husayn in Padang proclaimed the founding of the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia or the PRRI / Persemesta, separated from the Republic of Indonesia and Ahmad Hussein as president and prime minister Prawiranegara Syafrudin. The Revolutionary Government of the Republic of Indonesia rebellion or PRRI / Persemesta is getting support from eastern Indonesia. On February 17, 1958 Lieutenant Colonel D. J. Soumba commander of Military Region of North Sulawesi and Central states breaking ties with the central government and support the struggle of the Charter of the Universe. They claim that from Sulawesi, Maluku and Nusa Tenggara is the realm. To cope with rebellion Revolutionary Government of the Republic of Indonesia or the PRRI / Persemesta, the government carry out military operations as follows: First, Operation Decisive Kaharudin led by Lieutenant Colonel Ross with the aim of mastering Riau, secondly, the operation of August 17 under the command of Colonel Ahmad Yani in order to secure areas of West Sumatra ; third, Sapta Marga operating under the command of Brig Djatikusumo in order to secure areas of North Sumatra; aware operating under Lieutenant Colonel Dr. Ibnu Sutowo in order to secure the area of ​​South Sumatra. On May 29, 1961, Ahmad Hussein and his army surrendered. Followed by figures Revolutionary Government of the Republic of Indonesia or the PRRI / Persemesta other military and civilian. While the rebellion Revolutionary Government of the Republic of Indonesia or the PRRI / Persemesta dealt with "Operation Freedom" under the command of Lieutenant Colonel Rukminto Hendraningrat. This rebellion can be disabled after the date of May 18, 1958 in Ambon, Indonesia National Army successfully shot down a plane piloted Pope AL United States citizens who helped the Revolutionary Government of the Republic of Indonesia or the PRRI / Persemesta. While the new remnants surrendered in 1961. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar