Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik


KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Hak Asasi Manusia Tanpa Dukungan Politik”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan ini.
Penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.

Depok, 9 juli 2012
Penulis







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR………...…………………………………………………………….2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………...3
BAB I Pendahuluan………………………………………………………………………….4
BAB II Pelaksanaan Perlindungan dan Penghormatan HAM di Indonesia…………………7
2.1. Kemajuan Di Bidang Prosedur Legal Formal…………………………………………..7
2.2. Proses Pembuatan UU di Parlemen: Paket UU Politik Masih Menjadi Prioritas………10
2.3. Problem Dalam Level Implementasi…………………………………………………....11
2.4. Otonomi Daerah dan Hak Asasi Manusia……………………………………………....14
2.5. Partisipasi Politik dan Hak Asasi Manusia……………………………………………..19
BAB III Proyeksi Kondisi HAM di Indonesia………………………………………………23
BAB IV Penutup dan Rekomendasi…………………………………………………………27
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………….31




BAB I
Pendahuluan

Di tahun 2008 ini reformasi politik dan demokrasi telah memasuki usia sepuluh tahun Namun dalam sepuluh tahun itu perkembangan demokrasi belum mampu mendukung hak asasi manusia menjadi acuan utama dalam pembuatan kebijakan publik. Maka dari itu kinerja aktor politik dan pemerintah serta lembaga-lembaga negara tahun 2008 menjadi sangat menentukan bagi perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia. Apa lagi di tahun 2008 ini, aktor-aktor politik akan tersedot energinya pada upaya pemenangan pemilu di tahun 2009.

Agar di tahun 2008 ini agenda demokrasi dan hak asasi manusia menemukan traknya, maka kami menyampaikan beberapa pandangan dan analis terhadap perkembangan selama tahun 2007. Dalam menyusun pandangan dan analisis terhadap perkembangan di tahun 2007 tersebut dipakai tiga ukuran. Ukuran pertama adalah kemampuan lembaga-lembaga negara dan pemerintah untuk menyelesaikan kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM. Kedua adalah produksi regulasi tentang – dan yang juga berdampak pada – hak asasi manusia. Ketiga adalah partisipasi aktor-aktor politik dan masyarakat dalam menyokong perkembangan hak asasi manusia.

Dengan memakai ketiga ukuran itu, analisis tidak lagi diarahkan pada penanganan kasus semata, melainkan lebih pada tindakan komprehensif negara terhadap hak asasi manusia. Lebih jauh lagi, dari ketiga ukuran itu pelanggaran hak asasi manusia tidak lagi semata dilihat pada tataran praktis (berupa kasus atau kebijakan tertentu), melainkan juga pada tataran teoretis (paradigma dan konsep yang menjadi landasan kebijakan negara terhadap hak asasi manusia). Dapat dikatakan bahwa situasi HAM global-kontemporer, termasuk yang terjadi di Indonesia, diwarnai pelanggaran bukan saja secara praktis melainkan juga secara teoretis. Secara teoretis pelanggaran HAM terjadi dalam iklim demokrasi yang lebih berfokus pada hak (rights-based) ketimbang pada kebebasan (liberty-based). Konsep HAM yang demikian ini terjadi sejak adanya pergeseran paradigma dari paham hak kodrat tradisional yang lebih menekankan ide kebebasan kepada paham hak kodrat modern yang lebih menekankan ide hak itu sendiri.

Pergeseran ini pada gilirannya mempengaruhi konsep dan praktik demokrasi itu sendiri. Kalau pada konsep tradisional yang terutama diwakili Aristoteles, manusia dilihat sebagai makhluk sosial, maka konsep modern yang terutama diwakili Hobbes melihat manusia sebagai makhluk yang mencari kepentingan diri sendiri dan kebebasan hanya bermakna sejauh itu untuk memuaskan kepentingan diri sendiri itu. Para pemikir hak kodrat tradisional melihat keutamaan, atau kehidupan yang baik, sebagai tujuan baik individu maupun bersama (komunitas). Sementara, para pemikir modern mengajukan teori hak Yang mengutamakan kepemilikan dan pemuasan hasrat untuk kepentingan sendiri.2 Konsep dan praktik demokrasi yang diajukan oleh paham tradisional lebih melihat hak manusia pada jalinan kelindan kebebasan satu sama lain, sementara paham modern lebih melihat hak manusia sebagai tuntutan individual tanpa memperhatikan kepentingan yang lain apalagi bersama.

Selain itu, secara geneologis, HAM sekarang memasuki fase ketiga yang diwarnai sekaligus merupakan respon terhadap ideologi politik neoliberalisme (fundamentalisme pasar) disatu sisi dan globalisme di sisi lain. Jadi, HAM terkepung di tengah dua ideologi besar kontemporer ini, yang tampak setali tiga uang, tetapi tetap distingtif. Sementara itu, konsep HAM konvensional sangat menekankan peran negara dalam penegakannya. Inilah sebuah dilema besar. Di satu sisi ada pandangan yang state-centred, di sisi lain ada upaya penyelesaian alternatif di luar peran negara yang sangat sentral. Pendekatan state-centred di satu sisi menuntut penguatan posisi negara di tengah kepungan ideologi fundamentalisme pasar dan globalisme, di sisi lain berekses pada bahaya kembalinya otoritarianisme yang, secara genealogis, merupakan ciri khas HAM fase kedua. Pendekatan alternatif di satu sisi membuka ruang-ruang bagi partisipasi politik rakyat yang berasal dari “dunia kehidupan” (life-world, Lebenswelt), yang dengan demikian mengandaikan dikuranginya peran negara dan lebih membuka pendekatan berbasis komunitas (community-based approach) sebagai misal, di sisi lain membuka pintu bagi cengkeraman ideologi fundamentamentalisme pasar.

Advokasi HAM kontemporer berfokus pada kemampuan aktor untuk mensintesiskan
pelbagai posisi yang membawa dilema itu. Apa yang tampak sebagai dilema kemudian
ditatap sebagai kemungkinan jalan keluar. Politik demokrasi dan hak asasi manusia tidak
berdasarkan pada ide hak itu sendiri, melainkan pada ide kebebasan; kebebasan tidak
dilihat terutama sebagai bagian dari hak, melainkan sebagai ruang bagi pemenuhan hak.
Itulah demokrasi. Advokasi HAM diarahkan pada peran negara yang fundamental di satu
sisi (tetapi tidak satu-satunya dan terpusat) dan partisipasi publik di sisi lain. Partisipasi
publik ini pulalah – jadi bukan semata peran negara – yang menjadi tameng bagi serbuan
ideologi fundamentalisme pasar dan sapuan globalisme. Pemenuhan hak asasi manusia
dapat terjamin dengan menjaga keseimbangan antara peran “dunia sistem” (negara, aktoraktor
politik, partai politik, termasuk para pemilik modal yang berpolitik) dengan “dunia
kehidupan” (masyarakat sipil, dunia riuh rendah dengan kreativitas yang bahkan chaos,
dunia kebebasan, dunia diskursus). Politik demokrasi seharusnya diarahkan ke sana agar
lebih menjamin hak asasi manusia.



BAB II
Pelaksanaan Perlindungan dan Penghormatan HAM di
Indonesia

2.1. Kemajuan Di Bidang Prosedur Legal Formal

Revisi Undang-Undang Hukum Pidana

Sepanjang tahun 2007, sebetulnya banyak kemajuan berarti yang sudah dicapai. Namun, kebanyakan dari kemajuan tersebut hanya berada di tataran prosedur legal formal, sekedar instrumen. Diantaranya adalah proses revisi kitab UU Hukum Pidana (KUHP). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), naskah RUU KUHP yang akan diajukan Pemerintah ke DPR mengandung bahaya kriminalisasi berlebihan (overcriminalization). Politik kriminal yang dimasukkan dalam RUU KUHP justru mengancam kebebasan dasar dan hak asasi manusia. Tampak jelas kecenderungan menggunakan hukum pidana sebagai instrumen penekan, bukan lagi sebagai instrumen penyelesaian masalah. Rancangan RUU KUHP cenderung melindungi kepentingan politik negara dan kepentingan masyarakat, sehingga mengancam kebebasan individu.

Beberapa tindak pidana “baru” yang dirumuskan juga terlalu jauh masuk ke wilayah personal/privat individu, seperti kebebasan berpikir dan kebebasan privat lainnya. Selain itu, tim penyusun juga mencampur-adukan antara adab kesopanan, norma kepatutan, dan pelanggaran hukum. Sehingga hampir semua perbuatan dimasukkan sebagai tindak pidana. Perancang RUU KUHP berupaya membuat kodifikasi baru hukum pidana, misalnya dengan mengubah sistematika KUHP dari tiga buku menjadi dua buku: Buku 1 memuat tentang ketentuan umum, dan Buku 2 tentang tindak pidana. Jadi sudah tidak ada lagi pembedaan antara kejahatan (crime) dengan pelanggaran (violation) sebagaimana terdapat dalam KUHP yang kini masih berlaku. Akibat penggabungan itu, semua pelanggaran yang tercantum dalam Buku 3, termasuk Peraturan-peraturan Daerah yang mengatur pelanggaran, secara otomatis menjadi tindak pidana, sehingga terjadilah kriminalisasi berlebihan.


Perlindungan Saksi dan Korban

Kemajuan yang hanya di ranah prosedur formal juga diraih di bidang perlindungan saksi
dan korban. Sementara itu, disisi lain, keberadaan para saksi dan korban masih terus menerus mengalami ancaman, intimidasi dan tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Berbagai kasus ancaman dan intimidasi kepada saksi dan korban di beberapa daerah menunjukkan belum efektifnya keberadaan dan implementasi UU Perlindungan Saksi dan Korban. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 13 tahun 2007 tentang Susunan Panitia Seleksi, Tata Cara Pelaksanaan Seleksi dan Pemilihan Calon Anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban merupakan awal yang baik bagi penegakan dan perlindungan hak-hak saksi dan korban yang sudah sejak lama seringkali diabaikan. Namun, pembentukan LPSK tanpa diiringi dengan persiapan infrastruktur dan sarana pendukung lainnya tidak akan membuat LPSK yang diharapkan berjalan sebagaimana mestinya.

Kondisi ini menunjukkan perlunya internalisasi dan percepatan dalam proses implementasi UU perlindungan saksi, terutama bagi aparat penegak hukum, pengadilan dan departemen terkait, khususnya Departemen Hukum dan HAM. Karena selama ini aparat penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, pengadilan masih menganggap KUHAP sebagai satu satunya sumber hukum yang mengatur mengenai saksi dan korban, padahal muatan perlindungan terhadap hak-hak saksi dan korbannya masih konvensional dan jauh tertinggal.

Proses Reformasi Komnas HAM

Pada September 2007, Komisi Nasional HAM sebagai lembaga yang menjadi ujung tombak pemajuan HAM di Indonesia telah berganti rupa. 11 anggota baru dipilih melalui sebuah proses panjang yang relatif lebih transparan dan mengutamakan kapasitas personal para calon anggota. Proses pembentukan Komnas HAM yang independen, imparsial, transparan, accountable, dan mencerminkan keragaman ini dimulai ketika Panitia Seleksi memilih dan menetapkan calon-calon anggota yang dengan pengalaman dalam pemajuan dan penegakan HAM telah memberikan kontribusi terhadap pemajuan demokrasi dan perlindungan HAM di Indonesia. Satu hal yang perlu dicatat dalam proses seleksi anggota Komnas HAM yang lalu adalah dimungkinkannya partisipasi publik dalam menentukan calon-calon yang layaksebelum diserahkan kepada DPR untuk uji kelayakan dan kepatutan. Proses selanjutnya di DPR adalah proses politik.

Jumlah antara 11 orang Anggota barangkali adalah yang paling ideal untuk Komnas HAM
Indonesia untuk menjalankan empat fungsi Komnas HAM,4 yaitu fungsi pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Jumlah keanggotaan yang terlalu besar dan tidak jelas landasan pemilihannya harus dihindari karena hanya akan menghambat bahkan melumpuhkan proses pengambilan keputusan. Bahkan institusi yang bersifat multimember atau inter-departemen pun cenderung lebih efektif jika jumlah Anggotanya (yang berwenang memutuskan kebijakan lembaga) sedikit. Jumlah anggota yang banyak akan membuat Komnas HAM lamban, karena membuat Komnas HAM kerap menempuh langkah voting dalam menyikapi peristiwa-peristiwa sosial-politik yang berdimensi hak asasi manusia. Lebih celaka lagi, Komnas kadang-kadang terperosok ke jalur voting ini dalam menyikapi fakta-fakta tentang peristiwa yang diindikasikan ada pelanggaran serius hak asasi manusia. Ini lah kenyataan di Komnas sepanjang tahun 2002 sampai pertengahan 2007 yang lalu.

Dengan jumlah yang secara hipotetis ideal seperti sekarang ini, Komnas HAM memang masih harus membuktikan efektivitas kinerjanya, mengingat efektivitas kinerja Komnas HAM memegang peranan penting dalam menentukan masa depan pemajuan HAM di Indonesia. Posisi penting Komnas HAM tidak bisa dipungkiri karena saat ini hanya Komnas HAM lah satu-satunya institusi yang dimandatkan oleh UU Nomor 39 tahun 1999 untuk melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang bidang hak asasi manusia. Selain itu wewenang Komnas HAM dalam melakukan fungsi pemantauan terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia juga diperkuat dengan adanya kewenangan untuk memanggil saksi secara paksa (subpoena). Tidak berhenti di situ, berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga menempatkan Komnas HAM sebagai institusi tunggal dalam melakukan penyelidikan pro-justicia atas terjadinya peristiwa pelanggaran berat HAM di Indonedia.7 Dengan kewenangan seperti di atur oleh dua UU di atas maka Komnas HAM menjadi barometer bagi perkembangan dan kemajuan atas penghargaan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.

Dalam kondisi demikian, Komnas HAM seharusnya jangan terjebak di dalam menangani masalah hak asasi manusia keseharian, tetapi lebih pada menjalankan fungsi mengorientasikan arah kebijakan HAM negara. Karena Komnas HAM bukanlah implementator tetapi sebagai peletak rambu-rambu jalannya perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Indonesia. Komnas HAM seharusnya hadir di pusat-pusat politik, terlibat dalam proses penyusunan regulasi di bidang hak asasi manusia. Komnas HAM harusnya bisa menjadi rekanan kerja legislatif dan eksekutif dan yudikatif, setidaknya sebagai consultative body.

2.2. Proses Pembuatan UU di Parlemen: Paket UU Politik Masih Menjadi Prioritas

Prolegnas tahun 2007 menetapkan 78 RUU sebagai RUU yang diprioritaskan pembahasannya. Dari 78 RUU tersebut, 48 RUU diantaranya merupakan RUU luncuran prioritas tahun 2005 dan tahun 2006. Namun, dari 78 RUU tersebut paket RUU Politik dan pemekaran daerah ternyata masih merupakan primadona (high super priority) pembahasan bagi DPR dan Pemerintah, dimana terhadap RUU ini semaksimal mungkin Pemerintah akan mengupayakan secepat mungkin dibahas oleh DPR. Pada tahun 2007, setidaknya enam RUU yang termasuk dalam paket undang-undang politik yang menjadi prioritas utama. RUU tersebut adalah RUU tentang partai politik, pemilu anggota legislatif, susunan dan kedudukan anggota lembaga legislatif, pemilu presiden-wakil presiden, pemilihan kepala daerah, serta pemerintahan daerah (termasuk perubahan mengenai pemerintahan desa).

Seluruh fraksi di DPR sepakat bahwa paket undang-undang bidang politik diupayakan selesai pada tahun 2007. Alasan yang dikemukakan adalah soal kebutuhan waktu yang memadai untuk mempersiapkan penyelenggaraan Pemilu 2009. Selain bagi peserta dan penyelenggara, juga dibutuhkan cukup waktu untuk menyosialisasikannya kepada rakyat.

Namun, dalam implementasinya, DPR hanya berhasil menyelesaikan 45 RUU menjadi UU, yang sebagian besar merupakan RUU pemekaran wilayah, RUU ratifikasi perjanjian internasional, dan RUU tentang penetapan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) menjadi undang-undang, dimana terhadap RUU-RUU tersebut tidak memerlukan proses pembahasan yang terlalu rumit10. Yang tidak kelihatan dari RUU yang disyahkan DPR menjadi UU adalah RUU-RUU yang berkaitan dengan prospek penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia, seperti RUU KUHP, RUU KUHAP, dan RUU tentang Penghapusan Diskriminasi ras dan etnis.

Dari sekian banyak UU yang dihasilkan DPR tersebut, ada dua UU yang harus mendapat perhatian lebih dari masyarakat, karena kedua UU ini sedikit banyak akan mempengaruhi proses penegakan hukum dan hak asasi manusia, yaitu UU No. 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. UU Tindak Pidana Perdagangan Orang atau UU Trafficking harus mendapat pengawalan lebih mengingat pentingnya muatan substansi yang terdapat dalam UU ini, yaitu dalam rangka mencegah, memberantas dan menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang, khususnya Perempuan dan Anak11. Hal ini harus dilakukan karena sampai saat ini Indonesia masih dianggap sebagai sebagai sumber, tempat transit, dan termasuk dalam mata rantai trafficking dunia12, dimana pelecehan seksual dan perdagangan buruh banyak terjadi dari pedesaan hingga perkotaan di Indonesia. Bahkan, sebagian besar perempuan yang bekerja ke luar negeri sebagai pembantu rumah tangga rata-rata mengalami ekploitasi dan kondisi yang buruk. Sehingga adanya UU Trafficking ini diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan tindak pidana
trafficking.
Sedangkan UU Penanaman Modal Asing, perlu mendapatkan perhatian yang sangat seriusmengingat banyaknya ketentuan dalam UU PMA yang merugikan masyarakat dan “bertentangan” dengan konstitusi UUD 1945 khususnya Pasal 28, Pasal 27 dan Pasal 33, dimana sebagian besar ketentuan UU PMA ini memberikan peluang yang besar bagi para pemilik modal untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan modal yang ada di Indonesia. Misalnya yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan jangka waktu penguasaan hak atas tanah yang lamanya bisa mencapai 85 tahun, bahkan untuk hak guna usaha sampai 95 tahun, yang pada praktiknya hak guna usaha ini hanya dikuasai oleh pemilik modal.

2.3. Problem Dalam Level Implementasi
Lemahnya jaminan hukum atas penghormatan dan perlindungan hak-hak manusia terlihat dengan masih belum sinkronnya standar dan norma hak-hak asasi manusia internasional , terutama yang sudah diratifikasi, dengan ketentuan-ketentuan hukum nasional. Ini juga mennujukkan negara gagal menjalankan kewajibannya sebagai negara pihak. Sepanjang tahun 2007, masih ada problem dalam level implementasi State obligation dari instrumeninstrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. termasuk di dalamnya adalah masih adanya aturan Perundang-undangan yang bermasalah, khususnya di bidang perburuhan dan hak Ekosob, serta kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang anti orang miskin, alih-alih membela mereka.

Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin

Dalam pelaksanaan instrumen hak asasi manusia, khususnya hak ekosob, kinerja pemerintah sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif – termasuk aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi pelaksanaan instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak asasi pada umumnya, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak telah berdampak pada meluasnya pelanggaran hak, khususnya terhadap warga yang lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang pro modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama, aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak dasar kaum miskin; Kedua, diabaikannya/tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara substansial berpihak pada kelompok miskin.

Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-undangan itu adalah UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No 2 tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem perburuhan di Indonesia.14 Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk membuka lapangan kerja dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi di Indonesia sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya tersebut ditekan.

Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massal dilegalkan. Akibat PHK tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS, pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau 10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000 dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbuka mencapai 9,75%.

Hingga pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah.16 Salah satu di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, agar tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menurutnya akan mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket RPP tersebut mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK.17 Dengan demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas.

Cengkraman Fundamentalisme Pasar Melalui UU Penanaman Modal

Hantaman terhadap kaum buruh tersebut di atas dilengkapi dengan hantaman terhadap seluruh rakyat Indonesia dengan kehadiran UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Yang mengeram di balik undang-undang ini adalah ideologi neoliberalisme atau fundamentalisme pasar yang mencengkeram hampir seluruh sendi sosial politik masyarakat, terutama di sektor perkebunan, kehutanan, sumber daya air, pertanian dan hak atas pangan, dan secara khusus mengancam eksistensi masyarakat marjinal seperti masyarakat adat.18 Politik pembangunan yang diusung oleh UUPM tampak mau mengangkat rakyat Indonesia dari kemisikinan. Tetapi, kemiskinan yang dibaca dalam kebijakan investasi ini adalah kemiskinan yang dihitung dari pendapatan per kapita, bukan dari realitas arus bawah.

Politik pembangunan seperti ini persis merupakan salah satu ciri khas ideologi neoliberalisme di mana kemakmuran suatu masyarakat dibaca dari rata-rata daya beli dan serapan konsumsi, bukan dari kenyataan siapakah yang sesungguhnya membeli dan mengkonsumsi itu. Para pemilik hak asasi manusia dari golongan miskin tidak punya tempat dalam kompetisi daya beli ala neoliberalisme. Lebih jauh lagi, politik pembangunan yang diusung oleh UUPM itu mengarah pada komodifikasi ke-Indonesia-an dari entitas sebagai bangsa dan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi menjadi sebuah “komoditi” yang siap diperjualbelikan di pasar global dengan logika fundamentalisme pasar. Padahal salah satu poin penting dalam agenda global yang dicanangkan PBB adalah bahwa penanaman modal tidak boleh merugikan “kepentingan” (baca: kedaulatan, pen) negara dan rakyat suatu negara seperti pengalihan aset, devisa yang keluar lebih kecil daripada devisa yang masuk, dan import yang lebih besar daripada eksport.

Kebijakan ekonomi neoliberal pemerintah, pada kenyataannya, justru semakin memperburuk pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan memperluas kelompok miskin. terjadinya korupsi dan kebocoran anggaran telah mempengaruhi secara negatif kemampuan pemerintah dalam merealisasi hak-hak ekosob seperti hak atas pekerjaan, kesehatan dan pendidikan. Lebih jauh, kebijakan ini juga kian memperparah pemenuhan hak-hak perempuan dengan kian tingginya angka eksploitasi buruh migran perempuan, rendahnya tingkat pendidikan perempuan, tingginya angka kematian ibu dan anak, bahkan menyebabkan terjadinya peningkatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).


Pengingkaran Hak Untuk Hidup

Hak untuk hidup dapat dikatakan sebagai induk dari segala hak asasi manusia. Pelbagai hak lain yang termaktub dalam pelbagai standard dan norma merupakan turunan dari hak untuk hidup. Dengan begitu, pelbagai pengaturan hak lainnya dan hukum yang mengatur manusia seharusnya selalu diarahkan pada hak untuk hidup tersebut. Pelbagai kebijakan dan praktik yang berkaitan dengah hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, pada akhirnya semua mengarah pada hulu sekaligus muara segala hak itu, yaitu hak untuk hidup. Kenyataannya, hak tersebut semakin terlanggar baik dalam praktik maupun secara tertulis, baik dalam kebijakan berkaitan dengan hak sipil dan politik, maupun hak ekonomi, sosial dan budaya. Banyak sekali kebijakan dan praktik di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya yang tidak mengindahkan hak untuk hidup tersebut. Kasus-kasus pelanggaran di tempat beroperasinya MNCs/TNCs, kasus busung lapar, dsb., adalah sedikit contoh dari berbagai pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya yang sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap induk segala hak itu, yaitu “hak untuk hidup”. Penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat juga merupakan contoh yang paling sadis dari pelanggaran terhadap hak untuk hidup. Dan, yang paling tidak rasional dan etis adalah penerapan hukuman mati.

Pidana mati masih tercantum dalam 11 regulasi, meskipun Konstitusi UUD 1945 sebagai
norma hukum tertinggi menjamin Hak Hidup bagi setiap orang. Jaminan konstitusi tersebut
dapat dilihat dalam Pasal 28 E dan 28 I ayat (1) UUD 45. Jaminan ini diperkuat lagi setelah
Indonesia meratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik (ICCPR) menjadi UU No. 12 tahun 2005.
Sementara itu, draft revisi RUU KUHP yang sedang tahap penyusunan juga masih
memberlakukan hukuman mati yaitu dalam Pasal 87-90 meskipun memberikan batasan
yang ketat bagi terpidana, termasuk adanya pertimbangan akhir –lewat evaluasi yang
cukup lama- untuk mempersulit eksekusi mati bagi seorang terpidana. Namun penundaan
eksekusi yang berkepanjangan (death row phenomenon) terhadap seorang narapidana juga
tidak diperkenankan.

2.4. Otonomi Daerah dan Hak Asasi Manusia
Selain upaya perlindungan HAM yang secara umum hanya mencapai ranah legal formal dan prosedur semata, juga masih ada gap yang persisten antara hukum tertulis dengan pelaksanaannya di lapangan, serta masih belum sinkronnya peraturan-peraturan yang berlaku nasional dengan yang berlaku sektoral atau peraturan-peraturan daerah, khususnya yang berpengaruh terhadap perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia. Fenomena paling “menarik” belakangan adalah munculnya Peraturan-peraturan daerah yang justru mendorong intoleransi beragama dan menjadi sumber dari konflik-konflik komunal dalam masyarakat.

Ketika munculnya era reformasi sejak tahun 1998, Indonesia memulai jejak baru penyelenggaraan pemerintahan yang tadinya bersifat otoriter dan sentralistik (terpusat), berangsur-angsur mencoba menguranginya dengan salah satu cara, yaitu otonomi daerah. Penyesuain dasar hukum terhadap perjalanan konsep otonomi daerah ditandai dengan adanya perubahan yaitu UU No 22/1999 diganti dengan UU No 32 /2004. Daerah pun lebih memilki kewenangan untuk mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri meskipun diberikan oleh pemerintah pusat, dampak yang timbul kemudian terjadi dewasa ini adalah banyaknya produk hukum daerah, terutama Peraturan Daerah (Perda) dianggap bermasalah.

Intoleransi Antar Umat Beragama

Dalam konteks intoleransi beragama, Konstitusi menegaskan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya ...(pasal 28 E ayat 1 UUD 1945). Sementara itu Pasal 29 UUD 1945 secara tegas menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Namun pada kenyataannya berbagai pembatasan diberlakukan atas jenis-jenis kegiatan keagamaan tertentu, dan/atau atas agama atau aliran kepercayaan yang tidak diakui pemerintah. jaminan dari konstitusi ini di kekang oleh Peraturan Presiden No. 1/PNPS/1965 yang mengakui atau tidak mengakui keberadaan suatu agama atau aliran kepercayaan. Kemudian Peraturan Presiden ini diadopsi di dalam KUHP yaitu Pasal 156 A tentang Penodaan Agama yang memberi kewenangan negara untuk mengkriminalisasi agama-agama atau sebuah aliaran Keyakinan/kepercayaan yang dianggap sesat.

Namun, yang terjadi di Indonesia justru menjamurnya berbagai peraturan daerah (perda) berlatar belakang agama tertentu di beberapa wilayah akibat politik identitas yang tidak terkontrol. Perda-perda tersebut berbasis pada agama sebagai sampul, bukan agama sebagai spirit, substansi, atau nilai. Pada rumpun perda kehidupan sosial, kritik tidak terutama kepada substansi yang hendak diatur, tetapi atas korupsi legislasi yang kerap membuat suatu perda jatuh pada titik-titik ekstrem: distortif atau eksesif.

Terhadap Perda-perda semacam ini, pemerintah tidak menggunakan wewenangnya untuk me-review atau membatalkan. Padahal, jika merujuk pada ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, pemerintah dapat membatalkan perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.

Perda-Perda Yang Melanggar Hak Asasi Manusia

Sampai saat ini, setidaknya ada 46 Peraturan Daerah (Perda) berbasis Syariah yang berlaku, dan belum ada satupun yang ditinjau atau dibatalkan oleh Pemerintah pusat meskipun Perda tersebut melanggar prinsip-prinsip yang tercantum dalam konstitusi, khususnya prinsip-prinsip kebebasan beragama dan hak-hak perempuan.

Misalnya saja, 18 dari 22 kabupaten/kota di propinsi Sulawesi Selatan mengadopsi aspekaspek Syariah dalam Perda-nya. Kabupaten Bulukumba bahkan punya empat Perda yang menerapkan aspek-aspek Syariah. Kabupaten Bulukumba dan Bone mewajibkan kepala desa, calon-calon Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS), siswa SMP ke atas, dan mereka yang akan menikah untuk dapat membaca tulisan Al-Qur’an. Di Padang, Sumatera Barat, walikota menghimbau seluruh perempuan muslim untuk memakai jilbab, dan kantor Pemda pun kemudian menerapkan aturan ini terhadap para pegawainya. Perda di kabupaten Pamekasan mewajibkan pemakaian jilbab bagi PNS perempuan serta mengatur penundaan semua kegiatan publik pada saat adzan dikumandangkan.

Kota Tangerang sampai saat ini masih menerapkan Perda kota Tangerang No 8/2005 tentang pelarangan pelacuran dimana sering terjadi salah penangkapan pelanggarnya dimana perempuan yang berkeliaran tengah malam di kota Tangerang memakai pakaian minim langsung dianggap WTS kemudian ditangkap/ditertibkan. padahal belum tentulah perempuan itu sebagai WTS;

Perda lainnya seperti Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang pemberantasan dan pencegahan maksiat; Perda.Kab Solok No 10/2001 tentang kewajiban membaca Alquran bagi siswa dan pengantin; Perda Kab Solok No 6/2002 tentang pakaian Muslimah; Perda Kab Padang Pariaman No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan, dan pemberantasan maksiat; Perda No 6/2005 Enrekang (Sulawesi Selatan) tentang busana Muslimah dan baca tulis Alquran, Perda Gresik No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi; Perda No 6/2000 Kab Garut tentang kesusilaan dan belum lagi Perda-perda yang mengatur tentang pajak/ restribusi daerah, yang terkadang bertabrakan dengan peraturan pemerintah pusat mengenai hal itu.


Parahnya, Pemerintah justru bersikap toleran terhadap kekerasan dan intimidasi yang dilakukan kelompok masyarakat tertentu terhadap kelompok-kelompok keagamaan ini, dan enggan untuk melakukan proses hukum terhadap para pelaku kekerasan tersebut.

Sepanjang tahun 2007, banyak terjadi kekerasan di mana kelompok masyarakat atau keagamaan tertentu menindak dan membubarkan aliran-aliran kepercayaan dengan caracara kekerasan, yang pada dasarnya mengacu pada fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menyatakan sesat sebuah aliran kepercayaan atau agama. Munculnya Fatwa MUI ini menimbulkan berbagai aksi kekerasan dan pengrusakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat lain.

Secara historis dan normatif, status keberadaan MUI ini adalah sebagai Organisasi Masyarakat yang tidak berbeda statusnya dengan Organisasi Masyarakat lainnya. Oleh karena itu, tidak ada otorisasi dari lembaga manapun yang bisa mengklaim sesat atau tidak sesatnya berkeyakinan atau beragama seseorang. Fatwa MUI pada prinsipnya tidak boleh disikapi sebagai sebuah keputusan hukum yang mengikat. Kesalahan polisi sebagai penanggung jawab keamanan negara dan pelindung masyarakat dalam penanganan kasuskasus semacam ini adalah mereka baru bersikap setelah adanya keputusan/fatwa dari MUI. Seharusnya polisi bisa bersikap dan mengambil tindakan –memproses secara hukum aliranaliran menggunakan cara-cara di luar hukum dalam menyebarkan kepercayaannya, dan mencegah terjadinya kekerasa dalam masyarakat sebagai reaksi dari kegiatan aliran-aliran tersebut– sebelum adanya fatwa, karena fatwa MUI bukanlah sebuah keputusan hukum, karena MUI bukanlah lembaga negara.

Konflik-konflik dan Kekerasan Komunal

Selama kurun waktu 1998-2007 fenomena kekerasan komunal di Indonesia menjadi suatu hal yang biasa terjadi, bahkan mungkin bisa dibilang menjadi wajah Indonesia. Kekerasan komunal di sini dideskripsikan sebagai kekerasan sosial yang melibatkan setidaknya dua kelompok masyarakat, baik dua pihak yang berhadapan maupun satu kelompok diserang oleh kelompok yang lain, di mana penyerangan tersebut biasanya dilandasi oleh adanya perbedaan etnis, agama, kelas sosial, maupun afiliasi politik.

Kekerasan komunal yang terus berulang di nusantara itu di satu sisi memperlihatkan rendahnya toleransi dalam masyarakat. Di sisi lain, merefleksikan lemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola konflik di masyarakat. Lemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola konflik di kala toleransi menyusut di dalam masyarakat tentu menjadi situasi yang mengkhawatirkan. Kerapnya dipakai garis etnis atau agama dalam tindakan kekerasan komunal di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukan proses pembangunan politik belum mampu beranjak jauh dari ikatan-ikatan primordial.

Secara umum, ada setidaknya lima ciri dari berbagai kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan, yaitu:
(1) Adanya perebutan atau pengambilan alih aset produksi;
(2) Terjadi tindak kekerasan atau terhadap kelompok yang beridentitas tertentu;
(3) Ada upaya penghilangan sejarah dan jatidiri suatu identitas kelompok/komunitas oleh kelompok lainnya;
(4) Pengingkaran atau pembatasan akses ekonomi, sosial, dan budaya terhadap kelompok tertentu; dan
(5) Terjadinya perubahan relasi dalam struktur ekonomi dan politik dalam satu wilayah tertentu.
Konflik komunal yang banyak terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2007 telah memperluas kekerasan di tengah masyarakat, yang pada giliranya akan menjadi penghambat bagi pematangan demokrasi dan pengimplementasian kebijakan-kebijakan yang bernafaskan perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia. Jika tidak ditangani secara tepat, konflikkonflik komunal yang terjadi akan menjadi sandungan dalam mewujudkan keadilan kepada masyarakat, khususnya keluarga korban.

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang tadinya diharapkan bisa menjadi sarana mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan, dalam perkembangannya malah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya berbagai bentuk tindakan intoleransi yang sangat berpotensi menjadi aksi kekersan. Artinya proses desentralisasi dan otonomi daerah melum mampu menjadi peluang bagi mengkristalnya toleransi di masyarakat. Kondisi ini lah yang sering menjadi pola umum bagi merebaknya konflik komunal atau primordial di Indonesia. Di saat pemerintah pusat belum stabil, tumpahnya kewenangan ke daerah inilah yang kemudian menjadi masalah serius. Lebih jauh dari itu adalah munculnya hasrat untuk memebentuk provinsi dan atau kabupaten baru di mana-mana demi penunggalan identitas etnis atau agama. Bahkan kekerasan komunal menjadi warna tersendiri dalam menentukan pimpinan di beberapa instansi daerah.

Di masa mendatang, perlu dikawatirkan bahwa potensi terjadinya kekerasan komunal justru akan meningkat. Apalagi bila dikaitkan dengan otonomi daerah, pilkada, pemilu dan perebutan sumber daya ekonomi di daerah. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian masalah kekerasan komunal sebenarnya tidak bisa hanya melalui pendekatan legal formal semata. Dibutuhkan suatu upaya ekstra berbasis kajian secara lebih mendasar dengan menguraikan pokok-pokok permasalahan yang mendasar baik secara sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.

2.5. Partisipasi Politik dan Hak Asasi Manusia

Meski reformasi politik yang menghantar demokrasi beroperasi di Indonesia telah memasuki bilangan 10 tahun, persoalan hak asasi manusia di tahun 2007 masih dilihat sebagai ruang gelap oleh banyak kalangan. Bisa dikatakan, banyak kalangan menilai beberapa kebijakan politik pemerintah di semua level dalam bidang hak asasi manusia belum menyumbang banyak bagi perbaikan nasib rakyat, khususnya mereka yang menjadi mangsa dari rezim otoriter di masa lalu dan mereka yang menjadi tumbal dari liberalisasi ekonomi di era reformasi ini.

Bukan itu saja, kegelapan bidang hak asasi manusia itu juga mengental akibat belum adanya tindakan operasional yang memadai untuk menjelaskan mengapa gelombang kekerasan di berbagai daerah yang pecah seiring dengan reformasi politik bisa terjadi begitu masif dengan ratusan korban jiwa dan harta. Bahkan di Poso kekerasan jenis ini baru mendingin beberapa bulan lalu, setelah beberapa orang bersenjata digelandang polisi ke tanahan dan pengadilan. Dalam kekersan komunal seperti itu, soalnya bukan sekedar ditangkapnya seseorang yang didakwa sebagai pelaku, meski pun itu amat penting, melainkan juga bagaimana nasib korban? Siapa yang bisa memulihkan trauma dan kerugian yang mereka hadapi? Siapa yang harus meringankan beban para korban itu, ketika kemiskinan mendadak menyertai hari-hari mereka setelah segala miliknya dirampas oleh kekerasan? Jika diajukan pertanyaan seperti ini, terasa memang negara atau pemerintah dalam segala level absen dari perannya.

Pandangan Komnas HAM tentang kondisi HAM adalah pandangan yang paling representatif untuk dipakai menunjukan kegelapan ruang HAM itu. Sehingga untuk tahun 2008 Komnas HAM mencanangkan menjadi tahun untuk para korban. Pendedikasian kerja Komnas HAM kepada mereka yang menjadi korban selama tahun 2008 menunjukan Komnas HAM masih menilai keadaan masih buruk, sama dengan tahun-tahun yang telah berlalu. Sekedar mengingatkan di tahun 2006 Komnas HAM pernah menyimpulkan: “Tahun 2006, seperti juga tahun 2005, masih ditandai oleh berlangsungnya tindak pelanggaran hak atas rasa aman, hak beragama dan menjalankan ibadat, hak bergeak, berpindah dan bertempat tinggal di mana pun dalam wilayah Republik Indonesia, hak untuk hidup bahagia dan tentram lahir bathin, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan hak atas lingkungan yang baik.”

Pandangan Komnas HAM yang suram akan keadaan HAM itu, sepertinya mendapat konfirmasi dari beberapa kalangan pemerhati dan pengiat LSM di akhir tahun 2007. Pandangan-pandangan itu dapat kita simak di beberapa media massa, pada intinya menyatakan bahwa aparat pemerintah dan atau negara telah gagal atau lalai menunaikan tugasnya dalam melindungi dan memenuhi hak asasi manusia.

Sebuah kejernihan pandangan, mungkin juga sikap yang tidak bisa dibantah memang. Namun ada sebuah soal yang tak terang di situ, yaitu melupakan ruang partisipasi yang terbuka begitu lebar sesunguhnya untuk memepengaruhi si pemerintah atau negara yang tertuduh itu. Artinya kekuatan-kekuatan politik di luar negara seakan terlupakan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan hak asasi manusia. Pada hal kekuatan-kekuatan politik, khususnya partai politik sangat memiliki peran besar dalam memepengarui arah dan tujuan dari penyelenggaraan negara.

Untuk itu kami mencoba menawarkan satu cara pandangan lain dalam melihat persoalan hak asasi manusia. Cara lain ini ditawarkan agar lorong gelap itu mampu menghadirkan cahaya di ujung. Cara lain itu adalah cara pandang politik, yaitu munculnya ruang partisipasi, untuk menambahi cara pandang legal formal yang terlalu menekankan instrumen hukum dan penangganan masalah secara hukum yang titik beratnya selalu pada negara.

Cara pandang politik lebih menyorot peran aktor dalam memajukan hak asasi manusia. Aktor yang paling dominan di Indonesia dalam sepuluh tahun ini tak lain dan tak bukan adalah partai politik. Dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, tak ada sejumput pun ruang yang tersisa dari jamahan partai politik saat ini. Kehadiran puluhan dan bahkan ratusan partai politik di setiap tahun menjelang Pemilu adalah berkah bagi hak asasi manusia. Artinya kehadiran banyak partai politik dengan sendirinya menyediakan banyak ruang dan pilihan bagi setiap individu untuk menyalurkan keyakinan dan sikap politiknya . Jika di baca dengan kaca mata hak asasi manusia, kehadiran banyak partai politik di tahun 2007 dan tahun-tahun sebelumnya telah memberikan ruang bagi rakyat Indonesia menikmati hak asasi manusia yang paling esensial yaitu kebebasan untuk berpartisipasi secara politik, yaitu dipilih dan memilih secara langsung dan terbuka para pejabat politik. Terpenuhinya hak paling dasar ini, tidak bisa ditarik lagi.

Hasil dari kebebasan untuk berpartisipasi secara politik kian baik sejak diperkenalkan pula pemilihan kepala daerah secara langsung. Sejak tahun 2005 sampai akhir tahun 2008 telah dilangsungkan pemilihan kepala daerah Gubernur dan Bupati/Walikota 300 kali lebih. Artinya rakyat Indonesia telah memakai hak asasinya yang paling menentukan bagi republik ini yaitu memilih pemimpin-pemimpinnya secara langsung sebanyak 300 kali lebih pula.

Seturut dengan itu, sempai tahun 2007 habis, rakyat Indonesia juga menikmati hak asasi esensial lainnya yaitu, kebebasan berserikat dan berkumpul. Secara politik, tidak ada lagi halangan untuk setiap orang secara bersama-sama berhimpun kedalam segala macam bentuk organisasi. Untuk menunjukannya ini ada dua macam organisasi sebagai ukuran. Pertama tentu organisasi yang memiliki pengaruh politik yang kuat, yaitu partai politik. Sampai bulan November 2007 paling tidak telah terdaftar 79 partai politik baru di Departemen Hukum dan HAM. Jika ditambahkan dengan 24 partai politik yang peserta Pemilu tahun 2004, maka saat ini ada 103 partai politik di Indonesia. Partai-partai itu memiliki pengurus daerah dan cabang paling tidak 50% dari provinsi dan kabupaten di seluruh Indonesia yang saat ini berjumlah 470. Bahkan di Aceh setelah perdamaian hadir di tahun 2005, rakyat Indonesia diperbolehkan pula mendirikan partai politik dalam skala Provinsi.

Kedua adalah organisasi non pemerintah yang menyatakan dirinya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Saat ini ditengarai ada ribuan LSM di Indonesia dari Merauke sampai Sabang. LSM ini menyebar dalam seluruh aktifitas kehidupan masyarakat Indonesia, mulai dari soal bimbingan beternak ayam sampai pada penanggulangan wabah HIV/ADIS. Mulai dari soal gerakan nge-wach soal korupsi sampai pada membela kebebasan berkeyakinan. LSM juga hadir mulai dari kantor DPRD Kabupaten di Wamena sampai di ruang-ruang sidang di DPR-RI di Senayan. Singkatnya kehadiran LSM sebanding dengan Partai Politik dalam menjamah setiap relung kehidupan masyarakat.

Seturut dengan itu, hak asasi yang dinikmati dengan luar biasa saat ini adalah kebebasan menyatakan pendapat secara terbuka.22 Media massa segala jenis hadir di setiap ruang tanpa ada sensor apalagi ditelpon oleh BAIS atau BIN. Setiap orang boleh bicara dan menyampaikan pendapatnya di depan umum, asal tidak mencemarkan nama baik dan fitnah. Setiap orang boleh unjuk rasa setiap hari di semua tempat untuk memprotes segala hal dan siapa pun. Hak asasi jenis ini tak mungkin lagi meredup, meski pun ada satu dua pihak mencoba untuk mereduksinya dengan segala cara.

Singkatnya, sepanjang tahun 2007 dan pasti juga sampai tahun 2008 usai, ketiga hak asasi dasar yang terpapar di atas telah menunjukan kemajuan yang sangat berarti. Dalam rumusan lain, ketiga hak dasar itu telah menyumbangkan satu kekuatan bagi demokrasi untuk berkembang lebih baik di Indonesia. Paling tidak dari perkembangan tiga hak asasi dasar itu, proses demokratisasi tetap bisa dipertahankan sampai sekarang.

Dengan menggaris bawahi ketiga hak asasi dasar itu, kami ingin menekankan bahwa rakyat Indonesia telah memiliki senjata di tangan untuk terus memperbaiki kualitas demokrasi dan hak asasi manusia. Dengan modal tiga hak asasi dasar itu, rakyat Indonesia berperan besar pula dalam menentukan kualitas dari penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan hak asasi manusia di Indonesia. Di atas tiga hak asasi dasar itu pula lah harapan selalu tumbuh akan adanya perbaikan di Indonesia.


BAB III
Proyeksi Kondisi HAM di Indonesia

Beranjak dari uraian di atas yang menampilkan dua sisi paradok dari kenyataan politik hak asasi manusia di Indonesia, kondisi apa yang akan kita hadapi di tahun 2008? Agar tidak tercebur menjadi paranomal, untuk menjawab pertanyaan itu tentu refleksi dan pemaknaan terhadap hal-hal yang telah ada selama tahun 2007 menjadi penting.

Sebelum menjawab pertanyaan mendasar itu, maka baik kiranya kita lihat perubahan apa yang sesunguhnya sedang dihadapi oleh Indonesia selama ini. Saat ini Indonesia adalah negara yang didadak oleh demokrasi. Di tahun 2007 demokrasi yang mendadak Indonesia itu secara politik mulai matang secara prosedural. Namun dalam isi demokrasi itu masih mentah.

Ada setidaknya tiga faktor yang mempengaruhi dan menentukan arah dan nasib perlindungan dan pemajuan HAM di Indonesia di tahun 2008. Pertama, telah berkembangnya secara signifikan norma-norma HAM dalam hukum positif nasional dan telah pula diratifikasikasinya instrumen induk HAM yaitu Kovenan Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB oleh Indonesia di tahun 2005. Lebih dari itu, norma HAM telah pula menjadi ketentuan pokok dalam Konstitusi Indonesia. Dengan kata lain tuntutan atas perlindungan dan pemenuhan HAM di masa datang adalah tuntutan yang konstitusional. Untuk itu telah pula hadir dua lembaga penangungjawab masalah HAM secara kelembagaan yaitu Komnas HAM dan Direktorat HAM sebagai lembaga ekekutif di Departemen Hukum dan HAM.

Kedua, berubahnya format politik nasional dari sentralis menjadi desentralis. Dalam format politik yang terdesentralisasi, instansi di daerah memainkan peran penting dalam perlindungan dan pemenuhan HAM, khususnya hak dalam klasifikasi EKOSOB. Hal itu tercermin dari kian leluasa dan besanya peran pemerintaha daerah dan DPRD dalam membuat kebijakan setingkat Perda. Hal itu ditegaskan pula oleh UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan “Urusan pemerintahaan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama.” Artinya selain ke lima urusan itu menjadi urusan pemerintah darah.

Ketiga, dianutnya sistem multi partai dalam politik nasional. Dalam sistem multi partai, rekrutmen para elit nasional dan lokal baik di jajaran eksekutif mau pun legislative didominasi oleh partai politik. Konsekwensinya aktor-aktor dari partai politik menjadi dominan dalam menentukan kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Dengan sendirinya berubahnya komfigurasi elit di tingkat nasional atau daerah yang sejalan dengan naik turunya dukungan dan kesolitan partai politik akan mempengaruhi konsisi perlindungan dan pemenuhan HAM.

Perpaduan ketiga hal di atas selama tahun 2007 belum terjadi sehingga, aktor, insitusi dan instrumen yang ada tidak bisa berjalan sinergis karena ketiadaan dukungan dari aktor utamanya yaitu partai politik. Di sisi lain partai politik sebagai pemain kunci tidak bisa pula menyumbangkan dan atau memilih orang yang tepat untuk setiap lembaga yang dibuat untuk memberikan energi bagi perbaikan kondisi HAM.

Singkatnya selama tahun 2008 akan terjadi stagnasi dalam bidang hak asasi manusia yang disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, orang-orang dari partai politik yang telah menerima manfaat dari kebebasan berorganisasi dan kebebasan berpartisipasi secara politik yang dimiliki rakyat tidak mampu memberikan umpan balik kepada para penyokongnya itu untuk memejaukan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, partai politik gagal menghadirkan orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memajukan hak asasi manusia, baik di level kabupaten mau pun provinsi. Implikasinya adalah rakyat yang merasa dikhianati akan merasa kebebasan berorganisasi dan berpartisipasi secara politik menjadi tak berguna memperbaiki kehidupan sosial mereka. Akibatnya hak-hak itu akan digunakan untuk melancarkan aksi massa yang menghadirkan tindakan kekerasan karena kekecewaan yang mengumpal. Gejala ini telah muncul saat ini.

Kedua, otonomi daerah yang semestinya menjadi wahana utama untuk meningkatkan perbaikan hak asasi manusia menjadi bumerang karena menimbulkan dua gejala yaitu teritorilisasi identitas (etnik atau agama) di satu sisi dan sisi lain menjadi pengukuhan oligarhi elit. Teritoriliasi identitas implikasinya adalah akan mengancam pluralitas karena akan sangat menekankan ketunggalan. Gejala ini telah tampak saat ini dengan munculnya gerakan komunitas dengan kekerasan untuk menghadapi dan menghancurkan apa yang tidak sama dengan komunitas itu. Perda-perda yang mengandung nilai intoleransi dalam beragama, penyerangan tempat ibadah dan kelompok keagamanan semacam Ahmadiah adalah manifestasi dari ini.

Sementara implikasi dari oligarkhi elit adalah terjadi arus balik para elit lama di Jakarta ke daerah dalam memperebutkan kekuasaan mulai dari tingkat bupati sampai gubernur. Oligarkhi elit lama ini pada gilirannya akan menyumbat sirkulasi elit di daerah yang akibatnya adalah pembaharuan baik secara personil mau pun orientasi akan macet di level daerah. Selain itu rakyat di daerah diseret kedalam pertarung politik yang terjadi di pusat. Implikasinya adalah pertarungan politik antar elit di Jakarta, sekaligus menjadi pertarungan antar kekuatan politik di daerah. Hasilnya adalah otonomi daerah tidak menjadi kendaraan untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia di daerah, melainkan menjadi ajang rebutan kekudukan antar elit dalam rangka menguasai sumberdaya ekonomi. Ketiga, adanya ruang kosong antara pimpinan pusat dan daerah. Konsekwensi dari keadaan ini secara operasional adalah instrumen di tingkar pusat tak terjabarkan di tingkat daerah. Artinya pemerintah dan pimpinan politik di pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri dalam memaknai arti dari demokrasi. Implikasinya adalah banyak kebijakan pusat yang ramah HAM menjadi tidak operasional di daerah, dan sebaliknya banyak inisitif daerah yang mengedepankan HAM menjadi tidak mendapat sokongan dari pusat. Hal ini telah tampak di Aceh dan Papua.

Sampai saat ini, belum ada inisiatif yang memadai dari pusat dalam mendukung berjalannya agenda pemenuhan hak-hak korban di Aceh dan Papua meskipun di kedua daerah ini ada inisiatif untuk itu. Contoh yang paling faktual di Aceh adalah belum memadainya sokongan pemerintah pusat dan pimpinan partai politik dalam menuntaskan masalah reintegrasi. Sementara di Papua, dalam kerangka melindungi hak-hak asasi orang Papua asli sampai saat ini belum ada arahan dari Jakarta, bagaimana hal itu mesti diformulasikan. Terakhir, tantangan terberat dalam memajukan, menegakan dan memenuhi hak asasi manusia di tahun-tahun mendatang khususnya tahun 2008 adalah menguatnya identitas teritorial di satu sisi dan mengencangnya intoleransi dalam beragama di sisi lain. Teritorial identitas akan menyeret Indonesia masuk kedalam kubangan tindakan kekerasan dengan aroma etnis yang dimanifestasikan dalam segala bentuk tuntutan pembentukan dan penolakan provinsi dan kabupaten/baru sampai kecamatan baru. Intoleransi beragama akan membenamkan Indonesia kedalam lumpur kekerasan yang sporadis si berbagai daerah dengan dalil membasmi aliran sesat atau menolak siar agama lain.

Sejurus dengan itu adalah kian merasuknya penetrasi sisitem ekonomi modal kedalam segala lapisan kehidupan sosial. Dominasi sisitem ekonomi modal ini pada gilirannya tidak lagi menghadirkan barang-barang kebutuhan rakyat di semua pelosok nusantara, melainkan hanya menyediakan barang-barang yang mendatangkan keuntungan. Artinya barang kebutuhan rakyat hanya akan ada di daerah dimana ada daya beli. Kosenwensinya adalah kelaparan dan kurangi gizi, ketiadaan minyak tanah, ketiadaan air bersih, ketiadaan obat obatan di daerah tertentu dan sementara di daerah lain melimpah. Ini lah paradok sisitem ekonomi yang tidak menimbang sisi keadilan dari perspektif hak asasi manusia.


BAB IV
Penutup dan Rekomendasi

Dari paparan di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa ELSAM kemukakan. Pertama, kelemahan mendasar dari Pemerintahan SBY-JK dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tidak adanya program pemerintah yang dirumuskan secara spesifik sedari awal. Akibatnya setelah tiga tahun memerintah SBY-JK belum mampu mengorientasikan seluruh jajaran pemerintah di pusat dan daerah untuk memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Kelemahan ini kian tampak dari tidak aplikatifnya RAN HAM yang dibuat oleh MenhukHAM. Hal itu terjadi karena masingmasing instansi pemerintah pusat dan daerah jalan sendiri-sendiri dalam menterjemahkan dan menjalankan agenda HAM-nya. Di samping agenda HAM di berabgai level terlalu dipercayakan pada birokrasi yang sama sekali tidak memilik budaya HAM.

Kedua, selama tahun 2007 dan mungkin 2008 perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia sunguh berada dalam situasi yang ironi. Ada dua hal yang menunjukan gejala itu, pertama adalah hak asasi manusia melambat di saat semua perangkat hukum dan insitusi untuk mengembangkannya ada. Kedua substansi hak asasi mausia yaitu keadilan dilupakan dikala semua pihak berebutan bicara soal keadilan dan demokrasi.

Ketiga, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Mausia selama tahun 2007 semuanya ditumpukan pada pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah dan partai politik berlomba untuk mengagahi kekuasaan dan kewenangan yang telah ada pada mereka. Artinya para pemerintah daerah (yang disokong oleh para Partai Politik) lepas tangan dengan masalah hak asasi manusia di daerahnya dengan menyalahkan pusat terusmenerus. Maka dari itu, agar hak asasi manusia bisa menjadi kenyataan yang riil dirasakan oleh rakyat di seluruh Indonesia, pemerintah daerah dan partai politik harus lebih banyak menunjukan kepedulian mereka.

Keempat, dalam menilai kondisi Hak Asasi Manusia secara ke seluruhan hanya ditumpukan kepada pemerintah bukan saatnya lagi. Yang wajib dikemukan sekarang adalah bahwa partai politik adalah lembaga utama yang berpengaruh terhadap maju atau stagnannya agenda hak asasi manusia. Sebab, hampir di semua lapisan pemerintahan partai politik berperan dominan. Selain itu dalam skala pemerintahan pusat, kekuatan partai politik
sangat menentukan, karena DPR-RI adalah centrum dari kekuasaan saat ini di samping Presiden. Selain itu hampir semua partai besar menempatkan pimpinannya dalam Kabinet, yang artinya semua partai politik itu turut serta bertanggungjawab atas maju atau stagnannya agenda HAM di Indonesia.

Kelima, aparat keamanan yang menjadi tumpuan masyarakat untuk bebas dari intimidasi dan ketakutan adalah kepolisian. Kurang handalnya lembaga kepolisian dalam mengantisipasi keadaan akan membuat kondisi HAM mudah memburuk. Gejala-gejala menggilanya aksi penyerangan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda menunjukan kekuranghandalan aparat kepolisian selama tahun 2007.

Keenam, lembaga Kehakiman (MA) dan Kejaksaan secara ketatanegaraan adalah palu keadilan bagi mereka yang hak-haknya terampas. Namun selama tahun 2007, kedua lembaga ini belum menunjukan hal itu, malah masih kuat menjadi palu para pencuri keadilan dengan membebaskan para koruptor, penjahat kemanusian dan pembalak hutan.

Ketujuh, adalah ruang demokrasi yang terbuka lebar yang semestinya mendatangkan keadilan dan pemajuan agenda HAM tidak maksimal terpakai daya pasangnya, karena kekuatan-kekuatan pembaharuan (reformis) gagal memanfaatkannya untuk memperbesar pengaruh dan pengikut. Implikasinya, ruang demokrasi yang lebar itu dipakai secara maksimal bahkan melebih kapasitas oleh kelompok-kelompok konservatif yang menginginkan demokrasi direm dan dikendalikan oleh kelompok mereka sendiri. Hal inilah yang membuat agenda HAM menjadi terseok-seok tanpa arah saat ini.

Kami menyadari bahwa sebagaimana dinyatakan dalam UU dan norma internasional dalam bidang hak asasi manusia bahwa negara adalah penanggungjawab dalam perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia. Namun demikian kewajiban itu tidak bisa dipikul oleh negara, khususnya pemerintah pusat sendiri jika tidak didukung oleh aktor-aktor politik dominan, yaitu partai politik dan pemerintah daerah.

Hal ini sejalan dengan perubahan besar yang terjadi dalam politik Indonesia yaitu dari pemerintahan otoriter yang tunggal menjadi pemerintahan demokratis yang desentralisasi dengan sisitem multi partai. Artinya jika terus menerus menekan semuanya adalah tanggung jawab pemerintah pusat, berarti kita terus menerus pula mengingkan pemerintahan yang sentralis dan otoriter. Oleh karena itu dalam menakar kemampuan pemerintah pusat dalam memajukan, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, takaran juga diarahkan kepada pemerintah daerah provinsi dan kabupaten. Para penguasa daerah ini, sekarang kerap partainya berbeda dengan partainya Presiden. Maka dari itu peran Partai Politik menjadi besar pula dalam menyokong jalannya pemerintahan di semua level dalam bidang hak asasi manusia.

Bertumpu pada beberapa pemikiran di atas maka kami merekomendasikan beberapa hal, diantaranya adalah:
1.   Sudah saatnya partai-partai politik menjadikan agenda hak asasi manusia sebagai agenda partainya masing-masing. Artinya partai politik yang tidak memiliki program pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia akan menjadi partai terbelakang, oleh karena itu partai-partai tersebut akan berwatak otoriter atau prodemokrasi palsu. Tahun 2008 adalah tahun emas bagi (golden years) bagi partai-partai politik untuk menunjukan kepeduliannya terhadap HAM, sebab di tahun 2009 akan dilangsungkan Pemilu.
2. Otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk mensejahterakan rakyat di daerah agar hak asasi rakyat itu terpenuhi dan terlindungi. Maka dari itu setiap kepala daerah dan pimpinan partai di daerah (provinsi dan kabupaten) menyusun agenda HAM nya secara sistematis dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah kemiskinan, penganguran dan kekurangan pangan serta gizi. Seturut dengan itu juga para pejabat daerah dan partai di daerah harus menghormati HAM dan menekankan perlunya toleransi dalam kehidupan sosial, politik dan beragama dengan cara tidak membuat peraturan-peraturan daerah yang memberikan peluang tumbuhnya sikap-sikap intoleransi dan permisif terhadap aksi-aksi brutal.
3. Pemajuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia bisa pula ditempuh dengan memberikan jaminan akses rakyat, khususnya kelompok rentan dalam setiap pembuatan kebijakan politik dan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah pusat dan daerah di tahun 2008 ini harus memulai satu langkah kongrit untuk memberikan peluang bagi organisasi-organisasi non politik, tetapi menghimpuan bakyak orang seperti organisasi perempuan, buruh, tani, nelayan dan pekerja seni untuk mendapatkan ruang partisipasi dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
4. Ormas keagamaan dan sosial yang besar sangat kuat pengaruhnya di tengah masyarakat. Maka dari itu, ormas-ormas tersebut seharusnya mengambil langkah langkah responsif dan konstruktif dalam mengembangkan dan memajukan hak asasi manusia, khususnya dalam meneguhkan sikap tolerasi dalam kehidupan sosial dan keagamaan. Tanpa keterlibatan ormas-ormas, kita akan terus-menerus berada dalam kepungan ketakutan akan sikap intoleransi yang mengedepankan pemurnian agama, suku, etnis atau kelompok yang pada gilirannya akan membahayakan masalah hak asasi manusia, serta bangsa ini secara keseluruhan.
5. Demi perlindungan terhadap setiap hak individu dan kelompok, aparat kepolisian harus siap dalam menghadapi perubahan politik agar mampu merespon persoalan HAM. Artinya, bertambah banyaknya kabupaten serta provinsi dan partai politik, kebebasan menyatakan pendapat serta berorganisasi yang dinikmati oleh rakyat Indonesia menuntut kinerja polisi yang prima. Keprimaan kinerja polisi itu harus ditunjukan di tahun 2008 ini, sebab tanpa kinerja polisi yang prima maka semua kemajuan dalam ruang demokrasi dan HAM tidak akan berarti karena akan mudah dirusak oleh kelompok-kelompok ekstrim. Selama tahun 2007, kinerja yang prima itu belum ditunjukkan oleh aparat kepolisian secara signifikan.
6. Agar hak asasi manusia menjadi lebih terjamin dalam kerangka instrumen hukum, lembaga kehakiman dan kejaksaan harus lebih mempertimbangkan asas keadilan bagi korban ketimbang ruwet dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang. Dengan kata lain, Hakim dan Jaksa jangan terus-menerus semata-mata menjadi corong Undang-Undang dalam menegakan hukum di bidang HAM agar keadilan bagi korban terpenuhi, karena Undang-Undang dapat terus berubah dan diperbaiki sesuai tuntutan jaman.




DAFTAR PUSTAKA

Arthur J. Dyck, Rethinking Rights and Responsibilities, The Moral Bonds of Community,
Cleveland, Ohio: The Pilgrim Press: 1994
Eddie Riyadi, “Hak Asasi Manusia: Sebuah Telusuran Genealogis dan Paradigmatik”, makalah yang dipresentasikan pada Training Hak Sipol dan Politik Berperspektif Jender dengan materi “Hak Asasi Manusia: Sejarah, Prinsip dan Isinya, Lembaga Damar, Lampung: 18 September 2006.

Pasal 89 UU No.39/1999

Pasal 76 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999

Pasal 95 UU No 39 Tahun 1999

Penjelasan Umum UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar