Makalah Etos Kerja Muslim

BAB I PEMBAHASAN
ETOS KERJA MUSLIM
 “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, katanya aku mendengar Rosulullah SAW. Bersabda “Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah.” (H.R. ad-Darimi).

A.    Sumber Riwayat
Adapun sumber riwayat yang langsung mendengar dan menerima hadist tersebut dari Nabi SAW. Adalah Ibnu Umar. Ibnu Umar adalah  nama singkatan dari nama populernya. Nama lengkapnya adalah Abdullah Ibn Umar Ibn Khottab. Keturunannya bertemu dengan keturunan Nabi SAW. Pada kakek nabi SAW yang bernama Ka’ab ibn Luaiy ibn Gholib ibn Fihr. Beliau termasuk salah seorang dari Al-‘Abadalah Al-‘Arba’ah (empat Abdullah) yang popular, yaitu Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas, Abdullah Ibn Amr ibn Ash, dan Abdullah Ibn Zubaer. Sebetulnya, sahabat Nabi SAW. Yang mempunyai nama Abdullah itu tidak kurang dari 543 orang.
Abdullah ibnu Umar lahir ketika Nabi SAW. Tengah berkhlwat di Gua Hira’ di Jabal Nur satu tahun sebelum Muhammad dilantik menjadi Nabi atau sekitar tahun 10 SH. Ia masuk islam bersama-sama dengan ayahnya Umar Ibn Khattab pada tahun ke 6 dari kenabian Muhammad SAW. Usianya ketika itu, sekitar 7 tahun, sedangkan ayahnya Umar Ibn Khattab berusia sekitar 27 tahun. Namun ada juga ahli sejarah yang mencatat bahwa Abdullah ibn Umar masuk islam lebih awal sedikit dari ayahnya, hanya karena factor keamanan yang tidak menjamin sehingga ia menyembunyikan keislamannya, nanti secara formal dan transparan ketika bersama-sama dengan ayahnya.
Abdullah ibn Umar termasuk urutan kedua dari tujuh orang dalam kelompok al-mukatstsirun min ar-Riwayah (sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadist) ia telah meriwayatkan 2.630 hadis, 170 hadis yang disampaikan Bukhari dan Muslim. 81 hadis yang diriwayatkan sendriri oleh Bukhori dan 31 oleh Muslim sendiri, selebihnya oleh para periwayat hadist lainnya dalam berbagai kitab.
Ia sangat wara’ dan takwa, terkenal sebagai sahabat yang paling getol memperhatikan dan menirukan apa yang dilakukan oleh Rosulullah SAW. Sampai ia dikhawatirkan ada ketidakberesan dalam otaknya. Bahkan ia terhitung sebagai orang yang paling paham dan mengerti dalam masalah ibadah dan manasik haji Rosulullah SAW. Ia telah menunaikan ibadah haji 60 kali seumur hidupnya dan 1000 kali ibadah umrah dan menyumbangkan 1000 ekor kuda untuk keperluan perang fi sabilillah.
Beliau wafat pada tahun 74 H. dalam usia sekitar 84 tahun seusai hajinya yang ke 60. Menurut riwayat, ia meninggal disebabkan oleh racun dari Hajjaj ibn Yusuf at-Tsaqafi Gubernur wilayah Mekkah pada masa pemerintahan Abdul Malik Ibnu Marwan dari Daulah Umayyah, Hajjaj tersinggung karena ditegur oleh Ibnu Umar secara langsung dimuka umum ketika sedang berpidato hingga salat Ashar terlambat dilaksanakan. Ibnu Umar mengingatkannya sampai tiga kali, lalu beliau berdiri , dan para hadirin juga ikut berdiri. Al –Hajjaj pun lalu turun dari mimbar untuk melaksanakan shalat Ashar. Setelah selesai, al-Hajjaj bertanya, kenapa sampai melaksanakan demikian? Ibnu Umar menjawab: “Saya datang untuk sholat. Maka kalau waktu shalat sudah tiba, shalatlah tepat pada waktunya, kemudian silahkan berpidato semau Anda”.
Ada juga yang menyebutkan bahwa Ibnu Umar menegur al-Hajjaj di muka umum dengan kata-kata : “Matahari tidak akan menunggu tuan, shalat ashar harus diutamakan.” Mendengar teguran ini, Hajjaj merasa tersinggung dan spontan menjawab dengan kasar: “Demi sesungguhnya saya bermaksud memukul bagian yang ada dua mata tuan”. (maksudnya ingin memenggal kepala Ibnu Umar). Lalu dijawab lagi oleh Ibnu Umar : “Jika tuan lakukan itu, berarti tuan adalah safih (orang yang fasik zalim). Memang Ibnu Umar tidak mengenal basa-basi dalam masalah agama yang prinsip, apalagi dalam membela kebenaran.

B.    Mukharrijul Hadis
Adapun mukharrij yang mengeluarkan dan meriwayatkan hadis tersebut diatas, dan dihimpun dalam kitab Sunannya hingga sampai ke tangan sekarang ini adalah ad-Darimi. Nama lengkapnya ialah Abu Muhammad Abdullah ibn Abd ar-Rahman ibn al-Fadhl ibn Bahram at-Tamimi ad-Darimi. Lebih popular dengan nama ad-Darimi. Lahir pada tahun 181 H dan wafat pada tahun 255 H (866 M) dalam usia 74 tahun. Ia sezaman dengan Bukhari, karena Imam Buhkhari wafat setelah ad-Darimi wafat, yaitu pada tahun 256 H. Bandar berkata, penghafal-penghafal hadis di bumi ini ialah Abu Zur’ah, Bukhari, Ad-Darimi, dan Muslim.
Jadi, ia termasuk salah seorang tokoh hadist yang terkemuka. Kredibilitas keilmuanya diakui oleh sejumlah ulama besar, misalnya Muhammad Ibn Abdullah ibn Al-Mubarak pernah berkata, wahai penduduk Khurasan, selama ad-Darimi berada ditengah-tengah kalian, maka janganlah mencari ilmu kepada orang lain. An-Nawawi (676 H/1277 M) pernah berkata, ad-Darimi adalah salah seorang penghafal hadis yang menjadi kebanggaan umat Islam di masanya yang sulit dicari tandingannya.
Diantara hasil karyanya yang terkenal adalah kitab Sunan ad-Darimi. Kitab ini kualitas dan derajatnya tidak lebih rendah dari kitab-kitab Sunan yang lain. Ada ulama’ yang menilai bahwa kitab Sunan ad-Darimi ini lebih patut menjadi kitab urutan ke 6 dalam kelompok al-kutub as-sittah (enam kitab pokok) mengganti posisi kitab Sunan Ibnu Majjah. Bahkan ada ulama yang menamai kitab ad-Darimi ini sebagai kitab ash-Shahih. Fawaz Ahmad Zamrali bersama dengan Khalid as-Sabi’I al-‘Almi telah mentahqiq dan mentakhrij hadis-hadis Sunan ad-Darimi serta memberinya nomor hingga nomor hadis terakhir yaitu 3.503. ia pernah diangkat menjadi hakim di suatu daerah, namun tak lama kemudian ia mengundurkan diri setelah memutuskan suatu perkara.

C.    Takhrijul Hadis
Hadis tersebut diatas diriwayatkan ad-Darimi dalam Sunannya pada no. 1652, 1653, dan 27500. Bukhari juga meriwayatkan dalam Shahihnya sebanyak tujuh kali, masing-masing pada hadis no. 1428, 1429,1472,2750,3143, 5355, dan 6441. Muslim juga meriwayatkannya dalam Shahihnya sebanyak lima kali, masing-masing pada hadis no. 1033, 1034, 1035,1036, dan 1042. Tirmidzi meriwayatkannya tiga kali dalam Sunannya masing-masing pada hadis no. 680, 2343, dan 2463. Nasa’I dalam Sunannya sebanyak tujuh kali: yaitu pada hadis no. 2531, 2533,2534,2542, 2601,2602, dan 2603. Abu Daud hanya sekali meriwayatkannya dalam Sunannya pada hadis no. 1648. Malik dalam Muwaththa’ pada no. 1881. Dan Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkannya sebanyak 26 kali yaitu pada hadis no. 4460, 5322,5695, 6003, 6366, 7115, 7275, 7683, 7807, 27467, 8526, 8878, 9330, 9796,9816, 27278, 10133, 10406, 10437, 14122, 14318, 14902, 15146, 15149 dan 15150.
Kalau dihitung jumlah hadis seperti ini khususnya yang terdapat dalam kitab al-kutub at-Tis’ah, maka jumlahnya sampai 51 kali, hanya ada dua hadis yang susunannya redaksinya agak sedikit berbeda, namun maksudnya sama, yaitu riwayat Tirmidzi dan Ahmad.
 “Tangan pemberi lebih baik dari pada tangan dibawah”
Hadis yang begitu banyak periwayatnya akan semakin memperkuat kualitasnya, karena antar satu riwayat dapat saling memperkuat. Hadis yang pada awalnya berkualitas hasan dapat berubah menjadi hadis sahih karena adanya hadis lain yang mendukung, namanya hadis sahih li ghoirihi. Demikian juga hadis yang tadinya berkualitas daif (lemah) dapat berubah menjadi hadis hasan karena adanya hadis lain yang mendukung, namanya hadis hasan li ghoirihi. Hadis daif yang dapat diperkuat dan menjadi hadis hasan adalah jika kedaifannya karena keterputusan sanadnya, bukan disebabkan karena cacatnya periwayatnya. Hadis daif karena periwayatnya cacat misalnya pendusta atau tertuduh dusta, tidak bisa berubah menjadi hadis hasan, walaupun banyak hadis lain yang semakna mendukungnya.

D.    Asbab Al-Wurud
Adapun latar belakang yang menyebutkan lahirnya hadis tersebut adalah sebagaimana diriwayatkan Bukhari yang bersumber dari Hakim ibn Hizam, katanya: “Aku pernah meminta kepada Rosulullah SAW. Dan beliau member apa yang aku minta. Lalu aku minta lagi dan beliau member lagi apa yang aku minta. Sesudah itu aku meminta lagi, dan beliau memberi lagi apa yang aku minta. Sesudah itu beliau bersabda, “Ya Hakim, harta itu sangat banyak dan ada dimana-mana. Maka barangsiapa yang bersikap dermawan ia akan diberi berkah. Dan barangsiapa yang menghadapi harta itu dengan jiwa yang rakus, maka ia laksana orang yang makan namun tak pernah merasa kenyang.
Tangan yang diatas lebih baik daipada tangan yang dibawah. “Lalu Hakim berkata: “Ya Rosulullah, Demi Zat yang mengutus Tuan dengan membawa kebenaran, aku tidak akan minta-minta lagi kepada siapa pun sesudah meminta kepada tuan sekarang ini hingga aku meningggal dunia.” Dalam riwayat lain yang disampaikan oleh imam Ahmad yang juga bersumber dari Hakim ibn Hizam, katanya: “Aku meminta sesuatu kepada Rosulullah SAW. Dan aku bersumpah. Lalu beliau bersabda kepadaku: “Ya Hakim, alangkah seringnya engkau meminta. Ya Hakim, harta itu subur ada di mana-mana, kendatipun demikian aku selalu bersikap dermawan kapada manusia. Dan bahwasanya “tangan” Allah itu selalu berada di atas tangan orang yang member, dan tangan orang yang member berada di atas tangan orang yang diberi. Adapun tangan yang paling rendah adalah tangan yang menerima.

E.    Fiqhul Hadis
Dilihat dari segi historis sosial yang melatar belakangi disabdakannya hadis tersebut diatas,  jelas bahwa hadis tersebut sebagai tanggapan dan protes terhadap seorang sahabat yang sering meminta-minta. Meminta-minta merupakan sikap tidak terpuji, dan justru memperlihatkan sikap mental lemah dan kemalasannya serta membebankan kebutuhannya kepada orang lain. Sikap mental malas dan lemah ini pada hakikatnya adalah sikap tidak mensyukuri nikmat anugrah Allah.
Syukur dalam terminology al-Qur’an arti dasarnya adalah membuka, menampakkan, atau memperlihatkan. Dan syukur lawannya adalah kufur yang berarti menutup. Orang yang rajin bekerja keras adalah sama dengan orang yang mensyukuri nikmat Allah SWT. Sebab bekerja berarti membuka dan menampakkan nikmat itu dengan cara mengoptimalkan potensi yang ia miliki sebagai anugerah dari Allah, baik berupa tenaga, pikiran, perasaan, dan lain-lain. Sebaliknya, malas dan menganggur sama dengan tidak mensyukuri nikmat, karena ia menutup dan menyia-nyaiakan potensi yang ia miliki sebagai nikmat yang Allah berikan kepadanya. Dalam al-Qur’an semua dimensi waktu disumpahkan Allah, seperti demi malam, demi siang, demi fajar, demi dhuha, demi ashar, dan lain-lain selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia. Ini berarti bahwa waktu itu sangat penting dan perlu diperhatikan, karena sangat besar pengaruh dan dampaknya baig proses perjalanan kehidupan manusia. Misalnya “wal ashri” yang bisa diartikan dengan kata “Demi masa” atau “Demi Waktu Ashar”. Allah bersumpah “Wal Ashri” maksudnya adalah agar supaya manusia benar-benar memperhatikan dan memanfaatkan waktu dengan cara berfikir dan tenaga untuk mendatangkan dan mendapatkan hasil guna memenuhi kebutuhannya sehingga mampu member kepada orang lain dan tidak hanya menerima.
Sebaliknya, sikap malas dengan tidak memanfaatkan waktu untuk bekerja keras, pasti merugi karena mentalnya sudah rusak, dan menyia-nyaikan potensi nikmat, serta tidak memperoleh hasil yang bisa digunakan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. “Miskin” dilihat dari segi etimologi berasal dari akar kata (sa-ka-na) yang arti dasarnya adalah diam, tenang, tidak bergerak. Maksudnya, bahwa orang miskin itu disebabkan karena ia tidak bergerak, malas, pasif, dan tidak menggerakan dan memanfaatkan potensi yang ia miliki.
Oleh karena itu, Rosulullah SAW. Dalam hadis di atas, memprotes dan mencela sikap meminta-minta seperti yang dilakukan sahabat Hakim ibn Hizam, dengan menggunakan bahasa yang sangat halus, indah dan menarik, yaitu “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah”. Ungkapan bahasa seperti ini tentu saja tidak menyinggung perasaan, tidak menyakitkan, tidak mematahkan semangat tetapi justru membesarkan semangat dan memotivasi supaya rajin bekerja sehingga tidak meminta-minta dan membebankan kebutuhannya kepada orang lain. Dalam kesempatan lain, Nabi SAW sebelum bersabda sebagaimana hadis diatas, beliau terlebih dahulu mengajak dan menasehati agar rajin bekerja untuk mendapatkan rizki. Artinya beliau merangkai akan perintah dan keutamaan bekerja dengan ungkapan  hadis diatas. Makna dari hasil usaha sendiri itu jauh lebih baik daripada mengemis dan meminta-minta. Hadis yang dimaksud adalah riwayat Muslim bersumber dari Abu Hurairah, Nabi SAW. Bersabda:
“Sesungguhnya berpagi-pagi salah seorang diantara kamu pergi mencari kayu bakar dan membawanya diatas punggungnya tergantung pada orang lain itu adlah lebih baik dari pada ia menolaknya. Sesungguhnya tangan diatas (memberi) lebih utama dari pada tangan dibawah (menerima) dan mulailah kepada orang yang mempunyai tanggungan dan beban hidup.”
Bukhori juga meriwayatkan hadis lain yang bersumber dari Miqdam ibn Ma’dikarib, Nabi SAW bersabda:


“Seseorang makan sesuatu makanan dari hasil usaha tangannya sendiri adalah yang terbaik.”
Umat Islam harus mensyukuri nikmat pemberian Allah SWT kepadanya dengan cara mengoptimalkan potensi yang dimiliki dengan cara bekerja keras dan maksimal untuk mendapatkan rezeki yang terdapat di berbagai bidang dan lini kehidupan. Dengan mendapatkan rezeki sebagai hasil dari bekerja keras, maka ia dapat memenuhi kebutuhan, memberi dan mengeluarkan infaq dan zakat sebagaimana yang banyak diperintahkan dalam ajaran agama, baik dalam ayat al-Qur’an maupun dalam hadis. Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan mengeluarkan zakat yaitu dalam (Q.S. At-Taubah: [9] : 103). Yang berbunyai sebagai berikut ini:
         •        

Artinya:   “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. At-Taubah: [9] : 103).

Pada umumnya masyarakat muslim memahami ayat tentang penrintah mengeluarkan zakat ini hanya secara literal dan persial sehingga meyakini sebagai perintah yang sifatnya individual dan di tujukan hanya kepada orang-orang kaya saja, bukan secara kolektif kepada seluruh umat Islam. Pemahaman itu tidak salah tetapi kurang tepat sehingga perlu ditingkatkan. Sebetulnya ayat tersebut diatas yang memerintahkan mengeluarkan zakat ini tidak hanya di tujukan untuk orang-orang kaya saja. Akan tetapi, dipahami bahwa ayat ini juga menuntut dan mendorong, serta memacu bagi umat Islam secara umum termasuk  yang belum mempunyai harta kekayaan agar supaya bekerja keras dan kreatif, supaya nantinya dengan kerja keras itulah mendatangkan penghasilan yang maksimal dan pada gilirannya nanti juga menjadi mampu dan mengeluarkan zakat.
Minimal mendapatkan penghasilan yang bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Hal ini dipahami demikian, karena pada ayat selanjutnya yaitu ayat 105 lebih mempertegas lagi supaya bekerja keras dan optimal.
               

Artinya “Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang Telah kamu kerjakan.” (Q.S At-Taubah [9]: 105).
          Ayat ini bisa dipahami bahwa perintah dan kewajiban zakat dapat dilaksanakan dengan baik, kalau umat Islam rajin bekerja dengan baik. Dengan kerja keras, akan memperoleh penghasilan yang cukup bahkan lebih, sehingga dengan penghasilan yang lebih itulah kewajiban zakat dapat dilaksanakan dan ibadah-ibadah lain yang diperintahkan Allah SWT dan Rosulnya. Dengan demikian, Allah SWT dapat melihat prestasi ibadah kita berkat hasil dari kerja keras itu. Begitu juga Rosulullah SAW. Kelak akan menyaksikan umatnya bisa melaksanakan risalahnya dengan baik. Dan orang-orang beriman akan melihat dan merasakan hasil dan prestasi kerja keras kita.
          Nabi SAW menegaskan dalam hadis tersebut diatas bahwa “Tangan diatas lebih baik daripada tangan dibawah” maksudnya adalah memberi, dan memberi adalah tangan yang bekerja dan menghasilkan. Tangan yang hanya menerima adalah tangan yang malas. Ungkapan bahasa hadis tersebut adalah sangat indah dan halus, namun tegas yaitu agar supaya rajin bekerja. Bekerja yang bisa memberi adalah tidak hanya sekedar asal kerja, akan tetapi harus bekerja yang mendatangkan hasil. Bekerja dengan baik dalam bahasa agama disebut sebagai amal salih, yaitu yang produktif, memberikan manfaat, memnuhi syarat dan nilai serta sesuai dengan ajaran agama.
Manusia di anugerahi Oleh Allah SWT berupa daya atau kekuatan pokok yaitu: (1) daya fisik yang menghasilkan kegiatan fisik dan keterampilan, (2) daya piker yang mendorong pemikirannya agar berfikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan (3) daya kalbu yang menjadikan manusia mampu berkhayal, mengekspresikan keindahan, beriman dan merasa, serta berhubungan dengan Allah SWT, sang Pencipta, (4) daya hidup yang menghasilkan semangat juang, kemampuan menghadapi tantangan dan menanggulangi kesulitan. Menggunakan dan memanfaatkan keempat daya tersebut secara optimal akan melahirkan kerja yang saleh sebagaimana yang diharapkan. Untuk lebih jelas dan detail serta operasional kerja yang saleh di sini akan dikemukakan rumusan Toto Tasmara mengenai kerja yang saleh yang  oleh beliau di istilahkan dengan Etos Kerja Muslim, yaitu:
1.       Memiliki jiwa kepemimpinan. Kepemimpinan berarti suatu kemampuan untuk mengambil posisi dan sekaligus memainkan peran sehingga kehadiran dirinya memberikan pengaruh pada orang lain dan lingkungannya.
2.       Selalu berhitung. Setiap langkah dalam kehidupannya selalu memperhitungkan segala aspek dan resikonya dan tentu saja perhitungan yang rasional.
3.       Menghargai waktu. Waktu merupakan sehelai kertas kehidupan yang harus ditulis dengan kalimat kerja dan prestasi.
4.       Tidak pernah merasa puas berbuat kebaikan. Merasa puas didalam berbuat kebaikan adalah tanda-tanda kematian kreativitas.
5.       Hidup berhemat dan efesien. Berhemat berarti mengestimasikan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.
6.       Memiliki jiwa wiraswasta. Memikirkan segala fenomena yang ada di sekitarnya, merenung dan kemudian bergelora semangatnya untuk mewujudkan setiap perenungan batinnya dalam bentuk yang nyata dan realitas dan setiap tindakannya diperhitungkan dengan laba rugi, manfaat dan mudharat.
7.       Memiliki insting bertanding dan bersaing. Insting bertanding merupakan mahkota kebesaran setiap muslim yang sangat obsesif untu kselalu tampil meraih prestasi. Tidak akan menyerah pada kelemahan dan atau pengertian nasib.
8.       Keinginan untuk mandiri.
9.       Haus untuk memiliki sifat keilmuan
10.     Berwawasan makro universal. Dengan wawasan mikro akan menjadi manusia bijaksana dan realistis dalam membuat perencanaan dan tindakan.
11.      Memperhatikan kesehatan dan gizi. Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya jasadmu mempunyai hak atas dirimu”. Sebagai konsekuensinya adalah harus dipelihara dan diperhatikan sesuai dengan ukuran-ukuran normative kesehatan.
12.     Ulet dan pantang menyerah. Keuletan merupakan modal yang sangat besar dalam menghadapi segala macam tantangan dan tekanan.
13.     Berorientasi pada produktivitas. Produktivitas artinya keluaran yang dihasilkan berbanding dengan masukan dalam bentuk waktu dan energy.
14.     Memper kaya jaringan silarutahmi. Dalam pola silaturahmi proses komunikasi terjalin dan dikembangkan sehingga menjadi proses saling mempengaruhi atau tukar menukar informasi.
Dengan demikian Islam adalah agama kerja dan amal, artinya agama yang tidak membiarkan umatnya sebagai pemalas dan pengangguran, tapi justru sangat menekankan agar hidup umatnya lebih bermanfaat dan berkualits melalui kerja keras dan prestasi.
Bahkan pada dasarnya manusia diciptakan Allah SWT bertujuan ingin menjadikan segala aktivitasnya (kerja dan usahanya) berkesudahan dan menjadi ibadah kepada Allah SWT. Hal ini dipahami dari firman Allah SWT yang sangat popular.
      

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S Ad-Dzariyat [51]: 56).
Prof. Dr. Quraish Shihab menafsirkan bahwa huruf lam (yang dibaca li) pada kata (Li ya’budun) mengandung arti “akibat, dampak, atau kesudahan,” bukan dalam arti “agar”.
Oleh karena itu, dipahami bahwa segala aktivitas manusia berakhir sebagai ibadah kepada Allah SWT. Tentu saja aktivitas atau kerja yang dimaksud adalah harus disertai dengan keikhlasan dan diawali dengan basmalah untuk meningkatkan akan tujuan akhir yang ingin di capai dari aktivitasnya itu. Bekerja, berkarya dan berprestasi adalah ciri khas seorang muslim.
BAB II KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini yaitu, Islam memerintahkan umatnya untuk selalu bekerja keras dalam dimana saja dan kapan saja, agar mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari dan bisa berzakat untuk orang yang kurang mampu. Islam melarang orang untuk meminta-minta dan melarang umatnya agar tidak malas dalam bekerja.
Oleh karena itu, dipahami bahwa segala aktivitas manusia berakhir sebagai ibadah kepada Allah SWT. Tentu saja aktivitas atau kerja yang dimaksud adalah harus disertai dengan keikhlasan dan diawali dengan basmalah untuk meningkatkan akan tujuan akhir yang ingin di capai dari aktivitasnya itu. Bekerja, berkarya dan berprestasi adalah ciri khas seorang muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Sayidi Wajidi, M.Ag, Hadis Tarbawi,  Pustaka Firdaus, Jakarta: 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar