Sosiologi Hukum Dalam Teori Klasik Makro Dan Empiris

Sosiologi Hukum Dalam Teori Klasik Makro Dan Empiris | Grupsyariah (GS)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Negara Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran. Sistem hukum utamanya adalah sistem hukum Eropa Continental. Namum, di Indonesia juga masih banyak diberlakukan hukum adat yang berbeda-beda sehingga kajian tentang sisiologi hukum di Indonesia menjadi hal penting.

Sosiologi hukum mulai dikenal pada 1960-an. Kemunculan sosiologi hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman yang baru bagi masyarakat. Selama ini masyarakat kita memandang hukum sebagai sebuah sistem perundangan saja. Dengan hadirnya sosiologi hukum, pemahaman masyarakat tentang hukum menjadi luas dan tidak memandang hukum dari satu sudut saja.
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Begitu pula dengan hukum Islam dan implementasinya. Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur
kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat penulis rumuskan permasalahan yang akan menjadi topik pembahasan dalam penulisan makalah ini adalah Bagaimanakah Sosiologi hukum ditinjau dari dalam teori klasik, makro dan empiris.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Sosiologi Hukum
Sosiologi berasal dari berasal dari bahasa latin yaitu socious yang berarti kawan atau teman dan logos yang berarti ilmu. Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Pengertian sosiologi hukum menurut beberapa pakar :
1.       Menurut Soerjono Soekamto, Sosiologi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk mentaati hukum tersebut, serta faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya.

2.       Menurut Satjipto Rahardjo, Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum bukan dalam bentuk pasal undang-undang, melainkan hukum yang dijalankan sehari-harinya atau tampak kenyataannya.

3.       Menurut Auguste comte konsep “living law”  sosiologi hukum adalah suatu disiplin ilmu yang bersifat positif yaitu mempelajari gejala-gejala dalam masyarakat yang didasarkan pada pemikiran yang bersifat rasional dan ilmiah.
Teori sosiologi hukum termasuk dalam katgori teori hukum empiris. Penjelasan yang diberikan oleh teori tersebut senantiasa dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, apakah itu berupa kondisi-kondisi soial ataupun histories. Teori-teori sosiologis hukum berangkat dari pengamatan yang mendalam terhadap fakta atau kenyataan yang dilihatnya.
Teori-teori dalam sosiologi hukum bersifat komprehensif, yaitu memberikan penjelasan yang lebih luas dan menyeluruh terhadap suatu fakta atau kenyataan yang terjadi dikaitkan dengan kaidah-kaidah yang ada. Teori-teori tersebut dibangun untuk memberikan penjelasan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan, seperti sebab-muabab, asal-usul social dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebutadalah rangkaian pertanyaan sosiologis tidak dapat dijawab dengan hanya berdasarkan pada dogma-dogma atau doktrin-doktrin yang dibangun untuk menguatkan aspek legal formal yang ada yaitu perundang-undangan.
Teori sosiologi hukum memberikan pencerahan untuk menjawab berbagai macam permasalahan hukum pada sifat abad ke-20. Hal ini disebabkan permasalahan-permasalahan hukum pada abad ke-dua puluh terlalu besar dan rumit untuk dapat dijawab oleh teori hukum legal-positivistik. Pada abad ini pula, semakin banyak orang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam dan lebih jauh dari sekedar aspek yuridisnya saja, tetapi telah memasuki sosiologis yang mempengaruhinya.
Berdasarkan pengertian di atas, berarti Sosiologi Hukum: merupakan ilmu terapan yg menjadikan Sosiologi sebagia subyek, seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum, pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum, dampak dan efektivitas hukum, kultur hukum.
Hukum diberi muatan nilai baru yg bertujuan untuk mempengaruhi atau menimbulkan perubahan sosial secara terarah dan terencana. Secara ringkas Sosiologi Hukum dpt didefinisikan: sebagai ilmu pengetahuan ilmiah yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analistis.
Sosiologi hukum: dalam mengkaji kekuatan norma sosial dan menguji kenyataan hukum dalam masyarakat dilakukan dengan penelitian empirik. Artinya: Kajian obyek studi sosiologi hukum, di samping mempelajari proses pelembagaan norma sosial, konsistensi, kegunaan, dan gejala perilaku normatif, juga melihat efektivitas penerapan peraturan hukum/ undang2 di dlm masyarakat.
Oleh karena kajian sosiologi hukum dalam mencari, mempelajari dan menganalisis data empirik tumbuh berkembangnya norma-norma lebih berdasarkan kenyataan perilaku masyarakat, maka ia masuk dalam rumpun sosiologi.
B. Sosiologi Hukum Dalam Teori Klasik Makro Dan Empiris
Berikut ini adalah beberapa teori sosiologi hukum yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sosiolog yang berhasil dirangkum oleh penulis dalam makalah ini, antara lain, yaitu:
1. Teori Klasik (Aliran Sociological Jurisprudence) 
Menurut August Comte Teori klasik ialah Zaman teologi atau "fiktif" yaitu masa kanak-kanaknya kemanusiaan. Jiwa atau semangat manusia mencari penyebab dari timbulnya fenomena-fenomena, baik baik dengan cara menghubungkannya dengan benda-benda yang dimaksud (fetishisme atau memuja benda seperti jimat) atau dengan menganggap adanya makhluk gaib (agama politeis) atau dengan satu Tuhan saja (monoteisme). "Jiwa manusia menghadirkan gambaran bahwa fenomena dihasilkan lewat perbuatan kekuatan gaib (supranatural) yang jumlahnya sedikit atau banyak, secara langsung dan terus menerus". Masa ini adalah masa kepercayaan magis, percaya pada jimat, roh dan agama; dunia bergerak menuju alam baka, menuju kepemujaan terhadap nenek moyang, menuju ke sebuah dunia dimana "orang mati mengatur hidup".
Sedangkan menurut Eugen Ehrlich Teori Klasik adalah adanya pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup. Konsep ini menekankan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut oleh para antropolog sebagai pola-pola kebudayaan (culture patterns).
Eugen Ehrlich, seorang professor Austria termasuk sosiolog hukum pada era klasik. Pada tahun 1913, Ehrlich menulis buku berjudul “Fundamental Principles of the Sociology of Law”. Ia terkenal dengan konsep “living law”, Ehrlich mengatakan, bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, tetapi terletak di dalam masyarakat itu sendiri.
Kebaikan dari analisis Ehrlichterletak pada usahanya untuk mengarahkan perhatian para ahli hukum pada ruang lingkup sistem sosial, dimana akan ditemukan kekuatan-kekuatan yang mengendalikan hukum. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan untuk memahami hukum dalam konteks sosial. Akan tetapi, kesu;itannya adalah unutk menentukan ukuran-ukuran apakah yang dapat digunakan untuk menentukan suatu kaidah hukum yang benar-benar merupakan hukum yang hidup (dan dianggap adil dalam masyarakat).
2.    Teori Makro
Emile Dirkheim (1858-1917) Berpendapat bahwa teori Makro adalah kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis solidaritas yang ada dan dijumpai di masyarakat. Hukum dirumuskan olehnya sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya suatu sanksi didasarkan pada sifat pelanggaran, anggapan-anggapan dan keyakinan dalam masyarakat tentang baik dan buruknya suatu tindakan serta peranan sanksi tersebut dalam masyarakat. Pembedaan jenis sanksi tersebut berdasakan tipe solidaritas masyarakat.
Pendapat yang diungkapkan oleh Max Weber adalah perlu di dalami keterkaitan antara hukum dan bidang-bidang lain di luar hukum, seperti ekonomi, politik kekuasaan, dan budaya.
Sanksi-sanksi yang terdapat dalam kaidah hukum ini adalah baru dapat dijalankan apabila terdapat ketidak adilan dalam hubungan keperdataan orang per orang. Tipe solidaritas pada masyarakat ini adalah organic solidarity.
Inti teoritisi evolusi dalam hal ini evolusi kuno yang menganggap perkembangan evolusi menurut garis lurus (unlinear) memuat ide bahwa bentuk organisasi sosial paling primitive adalah keluarga matrilineal. Bentuk ini akhirnya menghasilkan bentuk kekeluargaan patrilineal dan patriarkhat karena laki-laki memperoleh dominasi. Walaupun demikian, teori evolusi masih mengandung banyak deskripsi yang cermat. Kebanyakan masyarakat telah beralih dari masyarakat sederhana ke masyarakat kompleks. Jadi, walaupun teori evolusi tentang adanya serangkaian tahap tidak sepenuhnya benar, namun teori evolusi itupun tidak sepenuhnya salah.
3. Teori empiris
Donald black bependapat Teori Empiris adalah Hukum dapat diamati secara eksternal hukum, dengan mengumpulkan berbagai data dari luar hukum, yang disebut dengan perilaku hukum (behavior of law), sehingga dapat memunculkan dalil-dalil tertentu tentang hukum.
Kaum empiris mendasarkan teori pengetahuannya pada pengalaman yang ditangkap oleh pancaindra.
John Locke berpendapat bahwa pikiran manusia pada saat lahir dianggap sebagai tabula rasa. Segenap data yang ditangkap pancaindra digambar di situ sebagaimana diungkapkannya sendiri: “Pengetahuan adalah hasil dari proses neuro-kimiawi yang rumit, di mana obyek luar merangsang satu organ pancaindra atau lebih, dan rangsangan ini menyebabkan perubahan material atau elektris di dalam organ badani yang disebut otak.”
Ada dua aspek utama teori empiris. Yang pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek). Yang kedua adalah bahwa pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan pada pengalaman manusia. Pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu harus memenuhi persyaratan pengujian publik. Aspek lain adalah prinsip keteraturan. Pengetahuan tentang alam didasarkan pada persepsi mengenai cara yang teratur tentang tingkah laku sesuatu. Selain itu, kaum empiris juga mempergunakan prinsip keserupaan, yakni bahwa bila terdapat gejala-gejala yang berdadsarkan pengalaman adalah identik atau sama, maka kita memiliki cukup jaminan untuk membuat kesimpulan yang bersifat umum tentang hal itu. 
Penjelasan yang diberikan oleh teori tersebut senantiasa dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, apakah itu berupa kondisi-kondisi soial ataupun histories. Teori-teori sosiologis hukum berangkat dari pengamatan yang mendalam terhadap fakta atau kenyataan yang dilihatnya.
C. Ciri-Ciri Sosiologi Hukum
Sosiologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan. Menurut Harry M. Johnson, yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sosiologi sebagai ilmu mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut.
a.       Empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulasi (menduga-duga).
b.       Teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret di lapangan, dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
c.       Komulatif, yaitu disusun atas dasar teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas sehingga memperkuat teori-teori yang lama.
d.       Nonetis, yaitu pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan baik atau buruk masalah tersebut, tetapi lebih bertujuan untuk menjelaskan masalah tersebut secara mendalam.
KESIMPULAN
Teori-teori dalam sosiologi hukum bersifat komprehensif, yaitu memberikan penjelasan yang lebih luas dan menyeluruh terhadap suatu fakta atau kenyataan yang terjadi dikaitkan dengan kaidah-kaidah yang ada. Teori-teori tersebut dibangun untuk memberikan penjelasan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan, seperti sebab-muabab, asal-usul social dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan tersebutadalah rangkaian pertanyaan sosiologis tidak dapat dijawab dengan hanya berdasarkan pada dogma-dogma atau doktrin-doktrin yang dibangun untuk menguatkan aspek legal formal yang ada yaitu perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi setia, Diana, krminologi hukum, Copyright: http://scribd.com
Rabbi Charles A. Kroloff, Pelayanan Terhadap Gelandangan, Copyright: http://misi.sabda.org.
Huda, Bang, Sosiologi Hukum, Copyright: www.banghuda.com.
M. Alfaris, Teori sosiolog hukumi, Copyright: salamdemokrasi.blogspot.com.
Kiri, Ikhwan, Teori sosiologi hukum, Copyright: http://ikhwan-kiri.blogspot.com.
Rosyid, Makalah Sosiologi hukum, http://alumni-syariah.blogspot.com.
Perdue , William D, 1986. Sociological Theory: Explanation, Paradigm, and Ideology. Palo Alto, CA: Mayfield Publishing Company.
Herliza, Rina, Teori Sosiologi Klasik, Copyright: http://rina-herliza.blogspot.com
Teori-teori dalam Sosiologi hukum, Copyright: http://as-sosunila.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar