BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi sebagai suatu proses memang mengalami akselerasi sejak beberapa dekade terakhir, dimana di dalam proses tersebut dunia telah dimampatkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Keadaan yang demikian telah mengisyaratkan bahwa relasi antar kekuatan bangsa-bangsa di dunia akan sangat mewarnai permasalahan sosial, ekonomi, dan hukum dari masing-masing negara. Meskipun permasalahan yang demikian pada mulanya tampak domestik, akan tetapi lambat laun menyikapkan adanya kekuatan antar bangsa. Dari titik ini permasalahannya menjadi kian rumit dan kalangan intelektual berusaha untuk mendeskripsikan fenomena tersebut. Yang pada awalnya memiliki arah domestik, bersifat lokal, dan serta telah masuk kedalam tataran global. Disamping itu, hal tersebut juga muncul bersmaan dengan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara luas. Maka implikasi dari kehidupan dunia yang bersatu inilah yang disebut sebagai era globalisasi, dimana hal tersebut selalu diidentikkan dengan adanya gejala trasnformasi, atau melampaui batas-batas transnasional (Roland Robertson : 1990).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, serta globalisasi keuangan terutama telah mengakibatkan semakin mendunianya perdagangan barang dan jasa. Kemajuan tersebut tidak selamanya menimbulkan dampak positif bagi negara dan masyarakat. Kemajuan dalam berbagai bidang justru terkadang menjadi sarana yang subur bagi perkembangan kejahatan (Adrianus Meliala, 1995). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang teramat pesat itu, disatu sisi berkembang pula metode-metode kejahatan yang memang dilakukan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime).
Dewasa ini kejahatan kerah putih sudah dalam taraf transnasional yang tidak lagi mengenal batas-batas negara. Bentuk kejahatannya telah dirasakan semakin canggih serta sangat terorganisasi dengan sangat terselubung dan rapi, sehingga bentuk kejahatan tersebut seolah tidak bias diraba dengan pasti, hal itu akan menjadi sangat sulit dideteksi oleh aparat penegak hukum. Sebagai suatu contoh adalah dalam dunia ekonomi, yang memang telah jauh memasuki taraf transnasional, perkembangan sektor perbankan sangat menguntungkan bagi masyarakat maupun suatu negara, akan tetapi sarana perbankan banyak pula yang justru digunakan sebagai tempat pelarian harta-harta hasil dari kejahatan yang sengaja ditujukan untuk menghilangkan asal-usul bahwa harta tersebut berasal dari cara-cara yang illegal. Disini pelaku kejahatan akan selalu berusaha menyelamatkan uang hasil kejahatannya melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan metode pencucian uang (money laundering).
Dengan adanya kemajuan di bidang teknologi ataupun globalisasi di sektor keuangan, khususnya di perbankan secara implisit sudah tergambarkan bahwa pelaku tindak pidana pencucian uang adalah pelaku kejahatan yang memiliki keahlian di bidang teknologi, terutama yang memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan segala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau bahkan orang-orang yang memiliki kekuasaan secara politis. Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaku kejahatan atau tindak pencucian uang adalah orang yang mempunyai kekuasaan, baik berwujud intelektual, ataupun keahlian yang tinggi. Hal ini pula yang membedakan antara pelaku tindak pidana pencucian uang sebagai penjahat berkerah putih dengan pelaku kejahatn jalanan atau berkerah dekil. Dengan metode pencucian uang tersebut, pelaku kejahatn berusaha mengubah sesuatu yang didapat secara illegal menjadi legal.
Organisasi yang pertama kali menaruh perhatian yang sangat besar terhadap masalah pencucian uang adalah The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), yang pendiriannya bertujuan untuk mengupayakan berbagai cara dan tindakan untuk memberantas praktik kejahatan pencucian uang. Badan tersebut berhasil membuat rekomendasi yang sangat berguna dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Kemudian sebenarnya yang perlu dipikirkan adalah bahwa bangsa Indonesia sampai saat ini masih dikategorikan sebagai negara yang rawan praktik pencucian uang. Sebenarnya proses legislasi yang menyangkut ketentuan tentang pencucian uang sudah mengalami banyak kemajuan.
Selain membuat Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), bahkan beberapa waktu yang lalu telah dilakukan amandemen terhadap beberapa pasal dalam undang-undang tersebut, kemudian berubah menjadi Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 sebagai hasil amandemen, pemerintah juga telah membemtuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yakni sebuah lembaga yang memantau arus peredaran uang haram di Indonesia. Akan tetapi dalam hal pencucian uang, Indonesia masih dikategorikan sebagai negara yang sangat rawan, atau dikatakan sebagai surga bagi praktik ilegal pencucian uang, akibat lemahnya kontrol keuangan terhadap system perbankan nasional. Sehingga sangatlah maklum apabila dalam penanganan pencucian uang Indonesia memang masih sangat tertinggal. Meskipun belum termasuk dalam kategori atau tingkatan yang dikenai sanksi atau peringatan.
Sebenarnya terdapat beberapa alasan yang dijadikan sebagai dasar memasukkan Indonesia ke dalam major laundering countries, pertama adalah selama ini pihak Penyedia Jasa Keuanagan, dalam hal ini bank tidak pernah menanyakan asal usul dari mana sumber uang yang disimpan oleh setiap nasabahnya. Kemudian yang kedua, Indonesia menganut sistem devisa bebas dengan sistem perekonomian yang terbuka, siapa saja menurut sistem ini boleh memiliki devisa, menggunakannya untuk kepentingan apa saja dan tidak ada kewajiban untuk menjualnya kepada negara atau bank sentral. Ketiga, ketentuan rahasia bank di Indonesia cukup ketat dengan kondisi di Indonesia, dimana terdapat saving investment gap, yang mengakibatkan Indonesia memerlukan banyak pinjaman dana dari luar negeri. Kelima, kemungkinan besar banyaknya pelarian-pelarian pelaku tindak pidana pencucian uang, dalam hal ini peredaran uang hasil kejahatan yang berasal dari negara-negara lain yang sangat keras dalam hal penekanan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hal itulah yang akan menjadikan Indonesia sebagai sarang atau penyimpangan uang hasil kejahatan tersebut.
Selain beberapa alasan diatas, untuk memerangi tindak pidana pencucian uang adalah permasalahan yang berkaitan dengan kerangka hukum yang belum memadai dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan tersebut. Oleh karena itu secara umum terdapat beberapa alasan yang mendasari bahwa tindak pidana pencucian uang harus diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu (Guy Stessen, 2000) :
1. Pengaruh tindak pidana pencucian uang terhadap uang sistem keuangan dan perekonomian sangat diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Dimana uang hasil tindak pidana tersebut cenderung diinvestasikan, yang selanjutnya dapat dialihkan dari suatu negara ke negara lain, yakni dengan hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan nasional maupun internasional, yang pada akhirnya akan menyebabkan fluktuasi global.
2. Dengan ditetapkannya pencucian sebagai tindak pidana maka hal itu akanmemudahkan bagi para penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya karena telah memiliki landasan hukum.
3. Dengan dinyatakannya pencucian uang sebagai tindak pidana dengan diikuti adanya kewajiban pelaporan setiap transaksi keuangan dalam jumlah tertentu atau yang bersifat mencurigakan, maka akan memudahkan bagi para penegak hukum untuk menyelidiki kasus tindak pidana pencucian uang sampai pada otak pelaku yang sebenarnya paling menikmati hasil kejahatan tersebut.
4. Bahwa dampak yang ditimbulkan oleh tindak pidana pencucian uang tersebut terbukti sanagt besar bagi masyarakat, dimana implikasi negatif dari praktik pencucian uang (yang pada dasarnya sudah negatif) juga tidak terbayangkan implikasi negatifnya, antara lain bahwa dengan membiarkan masyarakat menikmati uang haram tersebut berarti mengijinkan organized crime membangun fondasi usaha yang ilegal dan membiarkan mereka menikmati hasil aktifitasnya, sehingga underground banking systems banyak bermunculan di mana-mana, kemudian praktik pencucian uang juga menciptakan kondisi persaingan persaingan tidak jujur, bahwa dengan perlakuan yang permisif terhadap pencucian uang maka hal itu berarti turut membangun etos persaingan yang tidak jujur dan moral bisnis menurun, wibawa hukum merosot drastis, disamping itu juga perkembangan praktik pencucian uang akan sangat melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya, angka-angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro masyarakat menjadi menurun semakin banyaknya uang yang berjalan diluar kendali sistem perekonomian pada umumnya.
Kemudian, sebenarnya yang dapat digunakan sebagai suatu bahan pertimbangan adalah bahwa bangsa Inonesia termasuk dalam major laundering countries, dimana dalam hal ini menjadikan Indonesia termasuk dalm negara yang menjadi salah satu pantauan dunia internasional dalam kasus tindak pidana pencucian uang tersebut.
Selain hal-hal tersebut diatas, permasalahan lain yang ditimbulkan bahwa tindak pidana pencucian uang sangat besar dampaknya bagi masyarakat, sehingga sangat dikhawatirkan akan menimbulkan akibat-akibat sebagai berikut:
1. Kegiatan pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, penyelundup, ataupun pelaku kejahatan lainnya yang berkaitan akan semakin mudah untuk memperluas kegiatan operasinya.
2. Kegiatan pencucian uang mempuntai potensi yang sangat besar untuk merongrong masyarakat keuangan (financial community) sebagai akibat besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Secara tidak langsung potensi melakukan tindak pidana lain berupa korupsi akan sangat terbuka seiring dengan peredaran jumlah uang haram yang sangat besar.
3. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi, merongrong sektor swasta yang sah (underminting the legitimate private sector), ataupun membahayakan upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang dilakukan oleh pemerintah (risks to privatization efforts), indikasinya telah terlihat bahwa Indonesia merupakan negara yang sedang bergulat dalam menggejalanya kegiatan pencucian uang dengan maraknya privatisasi perusahaan-perusahaan negara akhir-akhir ini. Sehingga disamping itu maraknya pencucian uang telah benar-benar merusak reputasi negara, baik itu dimata masyarakat ataupun dunia.
Peter J Quirk dalam tulisannya Money Laundering : Muddying the Macroeconomy, 1997, mengatakan bahwa dengan pencucian uang permintaan uang sering berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain, sehingga dapat mengacaukan statistik jumlah mata uang yang dikeluarkan suatu negara, menyebabkan data moneter tidak tepat, dan dapat menimbulkan konsekuensi sebaliknya bagi volatilitas terutama terhadap dollarized economies yang menjadi tidak pasti atas gerakan agregat-agregat moneter. Dampak distribusi pendapatan dari hasil pencucian uang harus dipertimbangkan sampai pada batas tertentu, kegiatan-kegiatan kejahatan mengalihkan pendapatan dari para high saver kepada low saver, dari ivestasi yang sehat kepada investasi yang beresiko dan berkualitas rendah (Remy Sjahdeini, 2001).
Sebenarnya sisi lain yang menyebabkan kegiatan pencucian uang harus segera diberantas adalah karena akan sangat cepat menjalar dalam berbagai sektor, seiring dengan semakin menggejalanya era globalisasi di berbagai bidang, yang mengakibatkan konsekuensi dalam pasar global akibat peredaran uang yang begitu besar serta tidak jelas asal usulnya. Faktor lainnya adalah dengan pesatnya kemajuan teknologi dibidang informasi, yaitu dengan munculnya jenis uang baru yang disebut electric money (E-money), yang berhubungan dengan electric commerce (E-commerce), sehingga disebut sebagai cyberlaundering. Kemudin secara sistematis terdapat beberapa faktor yang menjadikan tindak pidana pencucian uang semakin menjalar di Indonesia, yaitu:
1. Perkembangan pasar modal yang diikuti dengan uang yang begitu besar dengan asal- usul yang tidak jelas. Serta kemajuan teknologi yang sangat cepat menyebabkan perkembangan kejahatan yang semakin canggih pula.
2. Ketentuan rahasia bank yang sangat ketat di Indonesia, sehingga sangat menghambat para penegak hukum dalam usaha mencegah ataupun memberantas tindak pidana pencucian uang tersebut.
3. Minimnya kesungguhan dari setiap negara yang bersangkutan mendapatkan keuntungan dari penempatan uang-uang haram dalam sistem perbankan yang dimiliki. Uang yang disimpan secara ilegal di bank dibutuhkan untuk menjadi investment capital bagi pembangunan, khususnya negara berkembang seperti halnya Indonesia yang serba kekurangan dana bagi kegiatan pertumbuhan ekonominya.
4. Tidak dikriminalisasikannya pencucian uang di negara yang bersangkutan, bahkan tidak memiliki sistem perundang-undangan yang memadai, padahal kita semua telah mengetahui bahwa sifat kriminalitas dari pencucian uang adalah berkaitan dengan latar belakang dari perolehan sejumlah uang yang sifatnya gelap, haram atau kotor yang kemudian dikelola dengan aktivitas-aktivitas tertentu.
Bagi negara kita yang dipandang sebagai sasaran empuk tindak pidana pencucian uang, bisa dikatakan bahwa faktor penyebabnya adalah gabungan antara kelemaham sistem sosial, termasuk di dalamnya adalah sistem hukum nasional dengan keterbelakangan sistem keuangan. Proses pemutihan uang haram semakin mudah dilakukan karena kombinasi antara kemajuan teknologi dan deregulasi bidang perekonomian telah mempercepat integrasi perekonomian internasional dengan perekonomian dunia, sehingga akan sangat memudahkan keluar masuknya uang kotor melalui transaksi pasar, yakni transaksi barang dan jasa, faktor produksi modal maupun tenaga kerja antara Indonsia dengan luar negeri (Anwar Nasution, 1998).
Sebenarnya permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia dalam usaha memerangi tindak pidana pencucian uang adalah bukan hanya terletak pada sistem rahasia bank, akan tetapi keberadaan Undang-Undang yang mengatur tidak didukung oleh kemampuan atau bahkan kemauan para penegak hukum di Indonesia yang masih terlalu bersikap kaku terhadap bentuk-bentuk mengandung perbedaan dengan apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Mengenai permasalahan perbedaan atau penyimpangan terhadap hukum positif yang berlaku, dalam hal ini seperti yang terkandung pula dalam UU TPPU, sebenarnya tidak akan menjadi permasalahan yang begitu besar manakala hal tersebut telah diketahui dan memang dalam hal ini yang diperlukan adalah adanya perubahan pola pikir positivisme, dimana hukum akan selalu tampil kaku bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Akan tetapi yang masih perlu dipikirkan secara lebih mendalam adlah manakala hal tersebut sudah berjalan, bahwa apakah hal-hal yang bertentangan dengan KUHAP tersebut akan menjadi masalah, sedangkan disisi lain kita mengetahui bahwa untuk memberantas tindak pidana pencucian uang diperlukan terobosan-terobosan baru dalam hukum itu sendiri. Untuk mengkaji masalah tersebut, diperlukan bahan perbandingan yang cukup dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan KUHAP. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dalam bentuk Penulisan hukum/Skripsi, dengan judul: "ANALISIS TERHADAP KETENTUAN HUKUM PID ANA FORMIL DALAM UU NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG BERSIFAT PENYIMPANGAN DARI KETENTUAN KUHAP"
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Dalam penelitian ini perumusan masalah dari masalah-masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang yang bersifat penyimpangan dari KUHAP
2. Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dibandingkan dengan KUHAP
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan harus memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Suatu penelitian dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah antara lain sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bentuk ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang yang bersifat penyimpangan dari KUHAP.
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dibandingkan dengan KUHAP
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek dalam lapangan hukum khususnya penyelesaian tindak pidana pencucian uang.
b. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.
c. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
D. Manfaat Penelitian
Adanya suatu penelitian selain mempunyai tujuan yang jelas juga diharapkan memberikan manfaat terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
b. Hasil penelitian ini dapat menambah literatur, referensi dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang masih merupakan bahasan yang tergolong baru dalam penerapan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
b. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya memulihkan kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana pencucian uang.
E. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapai. Akan tetapi denagn mengadakan klasifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dana terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai suatu maksud. (Winarno Surakhat, 1982:131). Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 2006: 7). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif, dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai data utama. Dalam hal ini adalah UU No. 25 Tahun 2003 tentang pencucian uang dan KUHAP.
2. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi: bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
3. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi: bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum Primer yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Undang-Undang Nomor.8 Tahun 1981 taetang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan bahan pustaka lainnya yang berkaitan dengan penelitian. antara lain berupa buku-buku atau literatur yang berkaitan atau membahas tentang tindak pidana pencucian uang.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini adalah penelitian kepustakaan. Yaitu teknik pengumpulan data sekunder berupa buku-buku, dokumen-dokumen resmi, laporan hasil penelitian, literatur, karya ilmiah yang berkaitan dengan materi yang diteliti untuk mendapatkan data-data sekunder.
5. Teknik Analisis Data
Penganalisisan data merupakan tahap yang paling penting dalam penelitian hukum normatif. Di dalam penelitian hukum normatif, maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum tertulis. Sistemasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan perundang-undangan mengenai Pencucian Uang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.n-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. (Soerjono Soekanto, 2006:251)
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.
Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif (Interactive Model of Analysis) yaitu proses analisis dengan menggunakan tiga komponen yaitu reduksi data, sajian data dan kemudian penarikan kesimpulan (verifikasi ). Selain itu dilakukan pula suatu proses antara tahap-tahap tersebut sehingga data yang terkumpul berhubungan satu sama lain secara otomatis. (H.B.Sutopo, 2002: 94-96 ).
Untuk lebih jelas, masing-masing tahap dapat dijabarkan secara singkat sebagai berikut :
a. Pengumpulan data
Merupakan proses pencarian data dari berbagai sumber, yang mana data-data tersebut relevan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, guna memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungj awabkan.
b. Reduksi Data
Yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data yang kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data sudah dimulai sejak peneliti mengambil keputusan tentang kerangka kerja konseptual, tentang pemilihan kasus, pertanyaan yang diajukan dan tentang tata cara pengumpulan data yang dipakai.
c. Penyajian data
Yaitu sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
d. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi
Yaitu mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proposisi. Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya yakni yang merupakan validitasnya (H.B Soetopo, 2002 : 91-95)
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan karya ilmiah yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terbagi dalam 4 (empat) bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab pendahuluan ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang hukum acara pidana dan tinjauan umum tentang tindak pidana pencucian uang.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil penelitian dan pembahasan berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai . bentuk ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang yang bersifat penyimpangan dari KUHAP dan kelebihan dan kelemahan ketentuan hukum pidana formil dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang dibandingkan dengan KUHAP.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisi simpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar