Mengatasi Kecurangan Asuransi

I.       PENDAHULUAN


Undang-Undang Jamsostek No. 3 Tahun 1992 dan UU No 2 Tahun 1992 merupakan landasan bagi Industri asuransi termasuk jaminan kesehatan. Setiap perusahaan wajib mengikuti program jaminan pemeliharaan kesehatan. Bagi perusahaan yang telah memiliki program jaminan/ asuransi kesehatan minimal sama dengan program kesehatan jamsostek atau lebih baik, maka tidak wajib menjadi peserta Jamsostek. Peraturan tersebut telah menumbuh suburkan industri asuransi baik jiwa maupun asuransi kerugian serta Badan Jaminan Kesehatan untuk berkiprah ambil bagian dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan para pekerja. Saat ini jaminan/ asuransi kesehatan diselenggarakan oleh BUMN seperti PT ASKES dan PT JAMSOSTEK, serta Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan asuransi Kerugian, Penyelenggara Jaminan Kesehatan, Yayasan kesejahteraan karyawan dan Perusahaan-Perusahaan yang melakukan swakelola jaminan kesehatan karyawan beserta keluarganya.
Terbitnya UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN dan diluncurkannya program Askeskin (asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin) telah memperluas jangkauan peserta yang dijamin dengan mekanisme asuransi kesehatan. Dengan jumlah masyarakat miskin yang saat ini jumlahnya mencapai 76,4 juta orang, maka total penduduk Indonesia yang telah dicover oleh asuransi mencapai 45% dari seluruh penduduk Indonesia. Seiring dengan meluasnya jaminan/ asuransi kesehatan, aneka kecurangan dan aneka ketidak patutan telah diidentifikasi oleh berbagai pihak. Para pemegang polis menuding yang melakukan kecurangan dan ketidak patutan adalah badan pengelola termasuk perusahaan asuransi beserta para penjualnya (agen & broker), menurut pandangan badan pengelola jaminan yang melakukan kecurangan adalah para peserta, dokter dan pengelola rumah sakit. Kecurangan yang dilakukan oleh para pihak dapat digolongkan kejahatan kerah putih dan sangat berpengaruh terhadap membengkaknya biaya kesehatan yang pada gilirannya dapat merugikan Pemerintah, perusahaan, pengelola dan masyarakat luas. Guna mencegah kejahatan kerah putih dibidang kesehatan, PAMJAKI terpanggil untuk mengupas tuntas masalah tersebut yang digelar dalam bentuk seminar dengan mengundang para pakar yang berpengalaman mengenai aneka kecurangan dan ketidakpatutan tersebut. Pada seminar kali ini akan dipaparkan tentang pengalaman dari berbagai pihak tentang aneka modus kejahatan yang dilakukan oleh para pihak yang terkait. Diharapkan para pihak yang terkait baik Pemerintah serta para pelaku jaminan kesehatan dapat mencegah serta mempunyai kiat-kiat memerangi aneka kejahatan kerah putih dibidang jaminan kesehatan dan mencari jalan membendung atau memperkecil aneka bentuk kecurangan.



II.               PEMBAHASAN

A.    FRAUD DALAM ASURANSI KESEHATAN

PENGERTIAN FRAUD
“sebagai suatu bentuk upaya yang secara sengaja dilakukan dengan menciptakan suatu manfaat yang tidak seharusnya dinikmati baik oleh individu atau institusi dan dapat merugikan pihak lain”.
Health care fraud is an intentional deception or misrepresentation that the individual or entity makes knowing that the misrepresentation could result in some unauthorized benefit to the individual, or the entity or to some other party.”

PIHAK YANG MELAKUKAN FRAUD
  ü  Peserta (Member)
  ü  Pemberi Pelayanan Kesehatan
  ü  (Provider)
  ü  Perusahaan asuransi (Payor)
ü   
FRAUD OLEH PESERTA
  ü   Membuat pernyataan palsu tentang eligibilitas
  ü   Membuat pernyataan palsu dalam pengajuan klaim
  ü  Mengajukan klaim dengan bukti pendukung yang palsu
ü   
FRAUD OLEH PROVIDER
  ü  Pengajuan klaim dengan mencantumkan pelayanan yang tidak diberikan
  ü  Melakukan manipulasi diagnose tingkat keparahan penyakit dinaikkan sehingga jenis tindakan lebih berat
  ü   Membuat tanggal dan hari perawatan yang lebih lama
  ü  Memanipulasi tarip dengan menaikkan tarip
  ü  Memasnipulasi klaim obat diajukan dengan nama dagang tetapi diberikan obat generic

FRAUD OLEH PERUSAHAAN ASURANSI
  ü  Memanipulasi manfaat yang seharusnya didapatkan peserta tetapi tidak diberikan
  ü   Mengurangi benefit

MENGATASI FRAUD
Peran dan tanggungjawab masing-masing pihak:
1.      Pemerintah:
a)      menetapkan UU atau PP tentang fraud dan hukumannya
b)      Menetapkan standar-standar dalam pelayanan kesehatan sehingga ada “ukuran”
c)      Menetapkan badan yang bertanggun jawab dalam monitoring dan evaluasi terhadap kemungkinan terjadinya fraud
2.      Peserta asuransi kesehatan:
a)      Melengkapi identitas dengan tepat termasuk dalam pengajuan klaim
b)      Meminta informasi tentang manfaat yang menajdi haknya

Peran dan tanggungjawab masing-masing pihak:
1)      Pemberi Pelayanan Kesehatan:
a)      Mempertahankan kepercayaan perusahaan asuransi dengan pengajaun klaim yang benar.
b)      Mempertahankan kepercayaan peserta dengan memberikan pelayanan bermutu sesuai dengan haknya
2)      Perusahaan asuransi kesehatan:
a)      Melakukan investigasi rutin terhadap klaim yang diajukan
b)      Melakukan konsultasi rutin dengan MAB tentang jenis tindakan dan terapi provider.


TANDA-TANDA INSURANCE FRAUD DALAM ASURANSI JIWA
Personal  Accident  Insurance
Indikasi Umum
·         Klaim terjadi segera setelah asuransi ditutup
Ø  Tertanggung atau penerima manfaat kurang atau terlalu kooperatif dalam proses investigasi klaim.
·         Nilai uang pertanggungan yang cukup besar (bila dihubungkan dengan keadaan keuangan tertanggung dan insurable interest)
·         Total uang pertanggungan yang cukup besar dan ditutup pada beberapa perusahaan     asuransi yang berbeda
·         Tertanggung atau penerima manfaat memiliki hutang
·         Diagnosa menunjukkan injury yang dialami masih berhubungan dengan injury yang pernah dialami sebelumnya, dan tidak dinyatakan dalam surat permintaan asuransi
·         Dicurigai telah terjadi penghilangan bukti yang dapat membatalkan pembayaran klaim (terutama dalam hal intoxication)
 
Indikasi fraud khusus untuk Disability Insurance
·         Melibatkan ibu jari dan atau telunjuk dari tangan yang kurang digunakan (bagi   yang kidal melibatkan tangan kanan atau sebaliknya)
·         Kehilangan jari yang nilainya lebih tinggi pada skala tertentu dalam benefit disability
·         Kehilangan jari akibat proximal phalanx
·         Adanya bekas amputasi yang dilakukan secara profesional atau adanya bekas pembiusan lokal
·         Tidak ditemukan adanya rasa sakit yang sangat  dan rasa sakit menunjukkan penggunaan tenaga yang berulang
·         Jenis injury tidak sesuai dengan laporan kejadian
·         Dicurigai akibat usaha bunuh diri yang gagal
·          
 
Indikasi fraud khusus untuk Death Benefits
·         Mayat tidak ditemukan atau tidak dapat diidentifikasi
·         Penyebab kecelakaan menyerupai kejadian bunuh diri  seperti jatuh (melompat) dari ketinggian, tertembak di kepala pada jarak dekat, tabrakan dengan dinding, pohon atau kereta dengan kecepatan tinggi
·         Terdapat indikasi tertanggung menderita depresi akibat karakter atau permasalahan pribadi.
·         Manfaat kematian lebih besar dari uang pertanggungan disability dan atau benefit yang telah diterima 
·         Tertanggung meninggal di luar negeri dengan motif perjalanan wisata dan penyebab kematian yang tidak jelas

Indikasi fraud khusus untuk Temporary Impairment Benefits
·         Secara medis tertanggung menderita impairment yang berada pada ambang yang menyebabkan klaim dibayar dan atau hanya berdasarkan informasi subjektif dari tertanggung
 
Indikasi fraud khusus untuk Daily Allowance Or Hospital Daily Benefits
·         Ketidakmampuan untuk bekerja didiagnosa berdasarkan informasi subjektif, yaitu hanya karena gejala-gejala ringan seperti whiplash injury pada cervical spine, concussion, contusions atau tertariknya otot.
·         Frekuensi klaim yang tinggi dari pemegang polis.
·         Frekuensi klaim yang tinggi dalam keluarga tertanggung.
·         Lama perawatan dan atau ketidakmampuan bekerja karena jenis injury yang tidak umum.
·         Rawat inap yang dilakukan di luar negeri.
 
Health Products
 
Indikasi fraud khusus untuk Medical Expenses Insurance
·         Klaim dalam jumlah besar terjadi segera setelah asuransi ditutup dan tertanggung tidak dapat menyerahkan dokumen asli
·         Dokumen yang diserahkan tertanggung tidak sesuai dengan aturan yang umumnya berlaku, terutama untuk dokumen yang berasal dari luar negeri dan dicurigai terjadi pemalsuan dokumen
·         Tertanggung sering menggunakan drugs dan medical aids  dan  sering berganti dokter
·         Memiliki cover health insurance lain serta      tertanggung menolak untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan sehubungan dengan permintaan untuk menghilangkan waiting period
·         Sering berganti perusahaan asuransi  

Indikasi fraud khusus untuk Daily Allowance And Hospital Daily Benefits
Disamping indikator di atas untuk daily allowance and hospital daily benefits terdapat indikator lain yang perlu diperhatikan sbb:
·         Terdapat informasi yang kurang jelas atau diragukan tentang pekerjaan, pendapatan, perusahaan tempat bekerja dan lamanya gaji masih tetap akan dibayarkan dari tertanggung.
·         Ketidakmampuan untuk bekerja didiagnosa berdasarkan informasi subjektif, yaitu hanya karena gejala-gejala ringan seperti whiplash injury pada cervical spine, concussion, contusions atau tertariknya otot.
·         Frekuensi klaim yang tinggi dari pemegang polis dan dalam keluarga tertanggung
·         Lama perawatan yang tidak umum dan atau ketidakmampuan bekerja karena jenis injury yang tidak umum rawat inap yang dilakukan di luar negeri

 
B)    MORAL HAZARD

Moral hazard dan distribution of burden merupakan istilah-istilah ekonomi yang sudah ada artinya sendiri, tetapi di bahasa Indonesia belum mempunyai terjemahan yang cocok. Oleh karena itu untuk permulaan di sini dipakai istilah Inggrisnya saja.
Makna moral hazard mungkin dapat ditangkap dalam bahasa Indonesia sebagai "jebakan moral", akan tetapi masih memerlukan keterangan lebih lanjut. Di kamus Inggris maka "moral hazard" diterangkan sebagai "the hazard arising from the uncertainty or honesty of the insured". Rupanya, istilah "moral hazard" dipakai di bidang asuransi. Kalau pengusaha ambil asuransi resiko kebakaran untuk gudangnya, maka kalau ia kejepit hutang dan tidak jujur, ia membakarnya sendiri dan mengantongi ganti ruginya. Kalau semua deposito di semua bank dilindungi oleh jaminan terhadap bankrutnya bank maka ini bisa memberikan insentip bagi para deposan untuk menitipkan hartanya di bank gurem yang berani menawarkan suku bunga yang paling tinggi. Yang dirugikan adalah bank-bank yang bonafid yang tidak mau memberikan suku bunga tinggi demikian. Kalau bank-bank (swasta) tahu, dari pengalaman, bahwa Bank Indonesia akan menolong kalau mereka melanggar prudential requirements maka akibatnya mereka bisa nakal-nakalan dan nekad saja. "Jaminan" bank sentral disalahgunakan karena ada ketidak-jujuran pengurus atau pemilik bank-bank itu. Jebakan moralnya adalah bahwa seluruh ekonomi sebetulnya harus "membayar" atas akibat ketidakjujuran ini, dikala ekspansi kredit bank sentral demikian menyebabkan inflasi.
Masalah jebakan moral ini bisa muncul dalam penyelesaian hutang macet sektor swasta kepada kreditor luar negeri. Sampai sekarang baik pemerintah maupun IMF tidak mau mengucurkan uang dolar untuk membantu debitor yang terjebak krisis mata uang ini. Alasannya mudah dimengerti. Yang salah hitung adalah baik debitor maupun kreditornya. Pemerintah dan IMF tidak salah apa-apa, sehingga apa alasan rasional untuk menolongnya dengan penyediaan dana dolar? Kalau pemerintah, dengan menggunakan dana paket IMF, menolong mereka maka timbul "moral hazard": yang semberono dan yang tidak jujur justru diberi hadiah! Pada akhirnya, semua dana yang dipinjamkan oleh IMF harus dibayar kembali oleh rakyat Indonesia lewat pembayaran pajak, atau dengan menanggung inflasi. Ini tidak adil.
Akan tetapi, pengalaman di lain-lain negara yang pernah mengalami krisis moneter dan merebaknya hutang serta proyek macet, menunjukkan bahwa akhirnya pemerintah terpaksa ikut menanggung sebagian beban dalam bail-out, sudah tentu dengan mengorbankan uang dari pajak. Amerika Serikat akhirnya menggunakan uang pajak untuk menyelamatkan krisis bank-bank tabungan (loan-and-savings associations). Pemerintah Meksiko dan AS juga ikut menyelamatkan utang-utang swasta di krisis Meksiko. Terakhir ini, gejala yang sama mulai tampak di Jepang di mana pemerintah Jepang, yang semula enggan sekali, akhirnya cenderung menggunakan uang anggaran untuk menolong bank-bank yang bermasalah.
Alasan untuk intervensi pemerintah ini adalah agar penderitaan ekonomi, atau resesi, yang disebabkan oleh krisis moneter dan perbankan itu, tidak berkepanjangan. Di Jepang, krisis demikian telah berjalan bertahun-tahun dengan korban laju pertumbuhan ekonomi yang rendah sekali.
Maka timbul masalah "distribution of burden" atau membagi beban antara golongan-golongan ekonomi untuk keluar dari krisis. Krisis ekonomi tidak disebabkan oleh ulah rakyat atau masyarakat umum, akan tetapi dalam penyelesaiannya mereka dipanggil untuk ikut menanggung bebannya. Ini terang moral hazard, akan tetapi bisa mempercepat usainya krisis, dan kalau itu terjadi maka masyarakat umum juga ikut untung.
Di Indonesia, masalah moral hazard dan distribution of the burden dari penyelesaian krisis moneter ini belum menjadi kenyataan. Tetapi, akibatnya adalah kurs rupiah tetap di atas Rp 7000 atau Rp 8000 (selisihnya adalah cermin unsur ketidak pastian politik berhubungan dengan suksesi) karena terlalu banyak perusahaan nubruk dolar untuk mengangsur hutangnya.
Pada suatu waktu mungkin suatu keputusan harus diambil ke arah intervensi pemerintah. Yang bisa diusahakan adalah untuk memperkecil moral hazard ini. Misalnya, pertama-tama para deposan bank-bank (swasta) harus dijamin utuh depositonya. Ini untuk mengembalikan kepercayaan kepada perbankan swasta secara keseluruhan. Sekarang ini perbankan swasta tidak jalan dan rodanya tidak berputar. Yang tetap akan ditentang adalah mem-bail-out konglomerat.

D. Pengendalian Biaya Kesehatan
PT Askes (Persero) telah melakukan berbagai cara untuk mengendalikan biaya pelayanan kesehatan, antara lain:
1. Pengendalian prospective dan pengendalian retrospective.
Asuransi kesehatan dengan sistem managed care belum dipahami secara baik oleh peserta maupun masyarakat umum, sehingga mereka sering mengartikan sebagai suatu sistem yang bersifat birokratis dan merepotkan. Sekilas memang ada benarnya, tetapi sistem ini dapat memberikan dampak pengendalian biaya yang cukup bermakna.

Pengendalian prospective merupakan penilaian administrasi sebelum pelayanan kesehatan diterima pasien, dimana pada kondisi tertentu juga diperlukan konfirmasi kepada tenaga medis untuk memastikan bahwa pelayanan tersebut benar-benar diberikan kepada pasien.

Pengendalian prospective ini berkaitandengan berbagai aspek, yaitu:
a. Aspek yang berkaitan dengan kelengkapan administrasi berupa kartu peserta asli dan surat rujukan sesuai indikasi medis bagi peserta yang memerlukan pemeriksaan tingkat lanjut baik rawat jalan maupun rawat inap. Surat rujukan tidak diperlukan apabila pasien memerlukan pelayanan emergency. Untuk pelayanan obat, selain kartu peserta asli juga harus dilengkapi surat rujukan dan resep dokter.
b. Aspek yang berkaitan dengan ketentuan dalam prosedur pelayanan kesehatan, jenis dan jumlah obat yang diberikan, kasuskasus emergency yang dapat dijamin, persyaratan dalam pemberian pelayanan kesehatan sesuai indikasi medis, dan persyaratan dalam pemberian obat antibiotika non-DPHO dan obat kanker.
c. Aspek yang berkaitan dengan legalisasi jaminan oleh petugas PT Askes (Persero) atas pelayanan kesehatan dan obat yang masuk dalam kategori khusus, misalnya pemberian jaminan rawat inap, tindakan hemodialisis, pemeriksaan CT Scan, MRI, dan obat
khusus.
d. Aspek yang berkaitan dengan metode pembiayaan dari pemeriksaan atau tindakan yang dikelompokkan dalam biaya paket atau luar paket, misalnya biaya paket rawat inap, paket operasi, paket laboratorium, paket pemeriksaan radiologi, dan lain sebagainya.
Pengendalian retrospective dilakukan setelah pelayanan kesehatan
diterima oleh pasien, yaitu melalui berbagai tahap kegiatan, antara lain:

a. Verifikasi klaim biaya pelayanan kesehatan dari pihak provider (Rumah Sakit dan Apotik). Verifikasi ini bertujuan untuk menilai apakah klaim yang diajukan dari provider tersebut layak diganti oleh pihak asuransi. Dalam proses ini dilakukan penilaian terhadap kelengkapan dokumen klaim pelayanan dan kelayakan pemeriksaan atau tindakan medis yang diberikan kepada pasien apakah sesuai indikasi.
b. Telaah utilisasi (Utilization Review). Dengan memanfaatkan program komputer, kegiatan ini dapat dilakukan setiap saat, yaitu dengan melakukan evaluasi data pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pelayanan obat, serta data penyerapan biaya pelayanan di Rumah Sakit dan Apotik.
c. Umpan balik (feed-back UR) kepada Rumah Sakit dan Apotik. Secara periodik, PT Askes (Persero) melakukan pertemuan dengan pihak provider untuk membahas masalah dan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan dan pelayanan obat oleh peserta.
2. Pelaksanaan PPATRS
Program Pelayanan Administrasi Terpadu Rumah Sakit PPATRS) yang diterapkan pada Rumah Sakit yang bekerja sama dengan PT Askes (Persero) bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi peserta program Askes Sosial yang membutuhkan informasi atau legalisasi berkaitan dengan pemeriksaan atau tindakan yang dijamin PT Askes (Persero). Penempatan petugas di Rumah Sakit disesuaikan dengan besar-kecilnya jumlah kunjungan peserta pada masing-masing Rumah Sakit, sejalan juga dengan adanya penambahan jumlah peserta ASkeskin yang memanfaatkan Rumah Sakit yang menjadi provider PT Askes (Persero).

3. Penetapan DPHO
Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO) bertujuan sebagai standar obat yang dijamin oleh PT Askes (Persero). Standarisasi obat yang dilakukan PT Askes (Persero) bukan berarti membatasi ruang gerak para sejawat dalam memberikan terapi kepada pasien, namun lebih ditujukan sebagai alat kendali biaya atas pelayanan obat bagi peserta.Melalui penerapan DPHO tersebut, akan diperoleh standar obat yang memberikan manfaat besar bagi peserta, karena ada jaminan bahwa obat-obat tersebut mempunyai efek medis tinggi, efek samping obat rendah, serta memiliki harga yang lebih murah.
4. Program OUDD/ODDD Program One Unit Dose Dispensing (OUDD) dan One Day Dose
Dispensing (ODDD) ini dilaksanakan pada pelayanan obat rawat inap tingkat lanjutan di Rumah Sakit. Dengan program ini, obat diberikan secara teratu per unit atau per hari kebutuhan obat pasien, sehingga tidak terjadi pemborosan obat.
5. Pembentukan MAB
Sejak tahun 2004, PT Askes (Persero) memulai pembentukan Medical Advisory Board (MAB) di setiap wilayah kerja Kantor Regional, dan pada tahun 2006 diperluas pada wilayah propinsi. Anggota MAB terdiri dari para dokter spesialis, dimana bersama-sama PT Askes (Persero)
secara periodik melakukan pembahasan berbagai hal berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang diberikan terhadap peserta PT Askes (Persero). Hasil pertemuan / pembahasan ini akan menjadi
rekomendasi dan second opinion bagi petugas PT Askes (Persero) dalam melakukan verifikasi, baik sebelum maupun setelah pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien.
 

 
III.           PENUTUP

KESIMPULAN
upaya mengatasi munculnya fraud yang merugikan secara bermakna sebaiknya pemerintah meninjau atau menetapkan ketentuan hukum tentang fraud beserta ketentuan sanksi atau hukuman yang diberlakukan bagi pelaku fraud, juga pemerintah perlu pula meninjau atau menetapkan standar pelayanan, standar terapi, standar obat, dan alat kesehatan yang dapat menjadi acuan dalam keseluruhan tindakan layanan kesehatan.
Memang dalam menyikapi kisruh penyelenggaraan Askeskin belakangan ini, Presiden SBY pun telah meminta audit menyeluruh terhadap Askeskin yang bertujuan mengetahui secara objektif apakah telah terjadi penggelembungan jumlah tagihan dari PT Askes ke Depkes. "Audit perlu dilakukan karena ada masalah," tegas Presiden. (Lampost, 21-2)
Selanjutnya, Presiden mengatakan untuk sebuah program yang baru berjalan tiga tahun, wajar jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaan. Berdasar pada hasil audit itu pula bisa dirumuskan apa langkah sinergi, mekanisme, dan perbaikan pada masa-masa mendatang. Arahan Presiden amat bijak dan memang layak dilakukan. Kita memahami manakala audit hanya dilakukan pada akhir periode, tentu mengundang risiko terjadinya kelalaian di tengah jalan yang tidak mampu terdeteksi lebih awal.
Langkah lain menangkal terjadinya fraud adalah sebagaimana diingatkan Berlian T.P. Siagian (pakar dan praktisi askes) agar dapat melakukan benchmarking yang merupakan upaya mendeteksi adanya fraud kesehatan secara tidak langsung dengan membandingkan suatu tindakan atau kejadian dengan tindakan atau kejadian serupa di tempat lain dan melihat variasi dalam biaya dan variasi efektivitasnya. Perbedaan yang mencolok dapat mengindikasikan adanya fraud.
Sebenarnya ada lagi teknologi yang bisa dipakai untuk menegaskan kesahihan eligibilities seseorang dalam hal memperoleh layanan kesehatan, yakni dengan teknologi BIV (biometric identity verification), akan tetapi barangkali kini belum pas untuk diterapkan secara nasional karena alasan biaya maupun peluang aplikasi di lapangan yang memang banyak memiliki variabilitas, dan kita memang belum tuntas menyelesaikan masalah kartu gakin yang kini menjadi paspor untuk menikmati layanan.
Untuk mengatasi permasalahan moral hazard sewajarnya pihak pemerintah melakukan analisis kebijakan untuk mengkaji keberlangsungan program ini. Jika ingin dilanjutkan maka penyelenggaraan askeskin sebaiknya mengkuti kaedah-kaedah managed care yaitu dilakukannya mekanisme pengendalian biaya dan mutu, diantaranya dengan menerapkan mekanisme pembayaran prospektif pada PPK, memperbaiki standar terapi dan formularium obat, menerapkan administrasi kepesertaan yang baik, serta melakukan usaha anti fraud misalnya melalui mekanisme telaah utilisasi secara berkala. Upaya-upaya penyelenggaraan managed care akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan yang lain.



SARAN

·         Cakupan 42 % penduduk yang mempunyai asuransi kesehatan saat ini perlu diperhadapkan dengan kemungkinan terjadinya fraud
·         Perlu peran dan tanggungjawab serta komitmen masing-masing pihak untuk mencegah terjadinya fraud
·         Perlu adanya insititusi resmi yang menangani fraud


 
DAFTAR PUSTAKA


  1. http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=3047&Itemid=2
  1. http://www.lampungpost.com/cetak/cetak.php?id=2008040707332425
  1. http://usph.wordpress.com/2007/08/17/mengapa-subsidi-askeskin-membengkak-adakah-moral-hazzard/
  1. http://infoasuransi.com/index.php?option=com_content&task=view&id=131&Itemid=52
  1. http://www.tempointeraktif.com/ang/min/02/47/ekbis4.htm
  1. http://www.pacific.net.id/pakar/sadli/0198/210198.html
  1. http://fragmensore.blogspot.com/2006/01/ekonominya-kesehatan.html
  1. http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=156399
  1. http://www.aamai.or.id/web/index.php?cat_id=0.1.2.0.0&lang=1&PHPSESSID=22f147d60a7a9178f887857c9e2e9fae
  1. http://www.reindo.co.id/reinfokus/edisi10/tanda2_fraud.htm
  1. http://dgk.or.id/archives/2006/08/17/mencegah-carding-fraud-dengan-sms/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar