Sunnah Ketika Thawaf


Sunnah Ketika Thawaf
flickr.com

Apa saja yang disunnahkan dalam thawaf? Berikut beberapa sunnah ketika thawaf yang diangkat secara ringkas.
 
Pertama: al Idh-tibaa’
Yaitu menjadikan pertengahan rida’ (kain ihrom bagian atas) di bawah ketiak kanan ketika memulai menjalankan thowaf, kemudian meletakkan ujung yang lainnya di pundak kiri, sehingga nampak pundak kanan itu terbuka.
 
Dari Ya’la bin Umayyah, ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan thowaf dalam keadaan idh-tibaa’”(HR. Ibnu Majah no. 2954. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
 
Idh-tibaa’ disunnahkan bagi laki-laki dilakukan di setiap putaran ketika thowaf. Ketika selesai dari thowaf, tidak lagi dalam kondisi idh-tibaa’, artinya pundak kanan kembali ditutup. Sampai-sampai ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah memakruhkan shalat dalam keadaan pundak kanan masih terbuka (artinya: dalam keadaan masih idh-tibaa’).
 
Kedua: ar  Roml
Yaitu berjalan cepat dengan memperpendek langkah, sehingga pundak dalam keadaan bergetar dan tidak sampai melompat. Roml ini dilakukan ketika thowaf pada tiga putaran pertama. Sedangkan sisanya berjalan seperti biasa.
 
Dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata,
 “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai di Makkah, beliau mendatangi hajar Aswad dan menciumnya, kemudian beliau berjalan ke sebelah kanannya. Beliau melakukan ar roml sebanyak tiga kali, dan berjalan biasa empat kali.” (HR. Muslim no. 1218)
 
Ar roml sebagaimana al idh-tibaa‘, hanya disunnahkan untuk laki-laki. Sedangkan wanita tidak disunnahkan melakukan ar roml dan tidak disunnahkan pula al idh-tibaa’.
 
Ketiga: Memulai thowaf dari Hajar Aswad dari arah sisi rukun Yamani.
Disunnahkan memulai thowaf dari dekat dengan Hajar Aswad dari arah rukun Yamani. Kemudian memulai thowaf tersebut dengan menghadap Hajar Aswad sambil mengangkat tangan.

Sebagaimana dijelaskan bahwa memulai thowaf dari Hajar Aswad itu wajib. Namun memulainya dengan seluruh badan dari Hajar Aswad tidaklah wajib menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah, namun dikatakan wajib menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.
 
Keempat: Menghadap Hajar Aswad ketika memulai thowaf dan mengangkat tangan sambil bertakbir ketika menghadap Hajar Aswad.
 
Kelima: Istilam (mengusap) dan mencium Hajar Aswad.
Istilam (mengusap) Hajar Aswad dan menciumnya ketika memulai thowaf dan di setiap putaran thowaf, juga setelah melakukan shalat dua raka’at thowaf.  Demikian pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
 
Cara istilam adalah meletakkan tangan pada Hajar Aswad dan menempelkan mulut pada tangannya dan menciumnya. Ulama Hanafiyah menganjurkan untuk mencium Hajar Aswad itu sendiri.
 
Dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu,
Beliau pernah mendatangi Hajar Aswad lantas menciumnya. Ia pun berkata,
“Aku tahu engkau hanyalah batu, tidak bisa memberikan bahaya dan tidak bisa pula mendatangkan manfaat. Aku pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, maka aku pun menciummu.” (HR. Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270)
 
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan untuk mengusap Rukun Yamani dan Hajar Aswad pada setiap thawaf.” Nafi’ berkata, “Dan Abdullah bin Umar melakukan hal tersebut.” (HR. Abu Daud no. 1876 dan Ahmad 2/18. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
 
Keenam: Istilam (mengusap) Rukun Yamani
Cara istilam adalah meletakkan kedua tangan pada Rukun Yamani. Rukun Yamani adalah rukun yang terletak sebelum Hajar Aswad. Para fuqoha’ mengatakan bahwa rukun Yamani tidak perlu dicium dan tidak perlu sujud di hadapannya.

Adapun selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani, maka tidak disunnahkan untuk diusap. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengusap dua rukun ini saja (yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani) dan tidak yang lainnya.
 
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhum, ia berkata,
“Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh sesuatu dari Ka’bah kecuali dua rukun Yamani  (yaitu Hajar Aswad dan Rukun Yamani)“.  (HR. Bukhari no. 1609 dan Muslim no. 1267)[1]
 
Ketujuh: Berdo’a di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani.
Dari ‘Abdullah bin As Saaib, ia berkata
“Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata di antara dua rukun: Robbanaa aatina fid dunya hasanah wa fil aakhirooti hasanah, wa qinaa ‘adzaban naar (Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta selamatkanlah kami dari adzab neraka).” (HR. Abu Daud no. 1892. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
 
Kedelapan: Berjalan mendekati Ka’bah bagi laki-laki dan menjauh dari Ka’bah bagi perempuan.
Inilah yang dikatakan sunnah oleh ulama Syafi’iyah. Namun jika tidak bisa melakukan ar roml (berjalan cepat dengan memperpendek langkah) ketika berada dekat dengan Ka’bah,maka melakukan ar roml itu lebih utama meskipun jauh. Kecuali jika keadaannya sangat padat atau takut bertabrakan dengan wanita bila jauh dari Ka’bah, maka ketika itu mendekati Ka’bah itu lebih utama walaupun tidak mampu melakukan ar roml.
 
Kesembilan: Menjaga pandangan dari berbagai hal yang melalaikan.
Bagi orang yang berthowaf, ia dianjurkan menjaga pandangannya dari setiap hal yang melalaikan dari amalan thowafnya. Karena thowaf itu adalah ibadah dan kedudukannya sebagaimana shalat. Sudah sepantasnya setiap orang melakukan amalan thowaf tersebut dengan sempurna.
 
Kesepuluh: Berdzikir dan berdo’a secara siir.
Yaitu berdzikir dan berdo’a ketika thowaf dilakukan secara siir (tanpa mengeraskan suara) karena Allah itu Maha Mendengar. Sehingga dengan demikian tidak mengganggu atau menyakiti yang lainnya.
 
Kesebelas: Beriltizam pada Multazam
Multazam adalah dinding antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah. Hal ini dianjurkan setelah seseorang melakukan thowaf wada’. Ini dilakukan dalam rangka mencontoh Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam di mana beliau beriltizam dengan cara menempelkan dadanya dan pipinya yang kanan, kemudian pula kedua tangan dan telapak tangan membentang pada dinding tersebut. Ini semua dalam rangka merendahkan diri pada pemilik rumah tersebut yaitu Allah Ta’ala.
 
Multazam adalah juga di antara tempat terkabulnya do’a. Berdo’alah dengan berbagai do’a yang mudah dipanjatkan.
 
Keduabelas: Membaca Al Qur’an Ketika Thowaf
Disunnahkan membaca Al Qur’an ketika thowaf tanpa mengeraskan suara. Demikian pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanafiyah, dzikr itu lebih utama ketika itu.
 
Demikian beberapa sunnah ketika thowaf. Masih ada beberapa bahasan lainnya ketika thowaf yang insya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lainnya. (muslim.or.id)
 
[Disarikan dari: Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, Diterbitkan oleh Kementrian Waqaf dan Urusan Islamiyah Kuwait, 29/134-140]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar