Contoh Makalah Profesionalisme Guru

Contoh Makalah Profesionalisme Guru

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen merupakan tuntutan dari pentingnya keberadaan guru dan dosen sebagai pendidik yang harus dihargai kerja dan pengabdiannya untuk mencerdaskan bangsa. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sitem Pendidikan Nasional yang mensyaratkan bahwa untuk menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan  yang baik dan akuntabilitas pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan  perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global perlu dilakukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Oleh karena itu, isu yang paling hangat dibicarakan  sampai sekarang,  dalam dunia pendidikan nasional  adalah rendahnya  kualitas mutu pendidikan. Mengenai rendahnya mutu pendidikan yang berhubungan dengan kualitas pendidikan adalah masih rendahnya NEM, lulusan pendidikan nasional masih kalah bersaing dengan lulusan dari negeri tetangga dan kurangnya kualifikasi lulusan pendidikan dalam negeri yang tidak masuk dunia kerja, masih rendahnya  kualitas moral generasi muda yang ditandai semakin meningkatnya tindakan kriminal yang dilakukan  oleh kalangan generasi muda.

B. Rumusan Masalah
    Adapun rumusan masalah dalam tulisan ini yaitu:
1.    Bagaimana menjiwai tugas pendidik melalui peningkatan profesionalisme guru? 
2.    Bagaimana cara meningkatkan profesionalisme guru dalam membangun pendidikan yang berkualitas?
C. Tujuan Penelitian
    Adapun tujuan dari tulisan ini yaitu:
1.     Untuk mengetahui bagaimana menjiwai tugas pendidik melalui peningkatan profesionalisme guru. 
2.  Untuk mengetahui cara meningkatkan profesionalisme guru dalam membangun pendidikan yang berkualitas.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Profesionalisme Guru
Pendidik atau guru menurut UU No 14 tahun 2005 Pasal (1) disebutkan bahwa guru  adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik  pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Oleh karena itu, guru yang profesional adalah guru yang  mempunyai kompetensi.  Hal ini juga disebutkan dalam UU No. 14 tahun 2004 Pasal 10  ayat  (1)  yaitu bahwa guru dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
1.    Kompetensi Pedagogis
Kompetensi pedagogis merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam mengajar, mendidik dan mengembangkan. Pedagogik adalah ilmu mendidik. Oleh karena itu guru dituntut untuk memahami tentang ilmu mendidik atau teknik-teknik mendidik. Di antaranya adalah memahami karakter peserta didik atau psikologis siswa, mengetahui metodologi pengajaran, dan teknik penyampaian. Hal ini merupakan aktivitas pokok tugas guru. Salah satu tugas pokok pedagogis adalah kegiatan proses belajar mengajar yang meliputi (Ibrahim Bafadal, 2003: 32);
a. Kegitan evaluatif yaitu; upaya guru untuk secara kontinu menilai proses  dan keberhasilan pembelajaran yang dikembangkannya. Dari sini, guru menganalisis kelebihan dan kekurangan proses belajar mengajarnya;  guru diharapkan secara kontinu menganalisis kekurangan dan kelebihan materi, pendekatan, metode, teknik, strategi dan media pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran. Apakah materi, pendekatan, metode, strategi, dan media yang dikembangkan telah membuat anak mengalami belajar semaksimal mungkin sesuai dengan karakteristik individual siswa masing-masing.
b. Kegiatan reaktif /proaktif yaitu;  upaya guru mencari bahan atau materi, pendekatan, metode, teknik, dan strategi yang lebih baik  sebagai reaksi terhadap hasil evaluasi sebelumnya. Seharusnya yang perlu dilakukan oleh guru adalah dalam kegiatan ini yaitu; mencari terus menerus metode, strategi, materi yang lebih unggul untuk memaksimalkan keberhasilan proses pembelajaran yang terkait dengan belajar siswa yang sesuai dengan karakter individu masing-masing siswa.
c. Kegiatan Implementatif, dalam kegiatan ini guru menerapkan apa yang telah dikembangkan yang berbentuk materi, metode, strategi dan media guna mendapatkan keberhasilan yang unggul dalam proses pembelajaran.
2. Kompetensi Kepribadian
Kepribadian terkait dengan moralitas, etika atau akhlak. Guru bukan hanya berilmu, namun juga mempunyai akhlak yang tinggi, sebab guru merupakan teladan bagi para muridnya. Dalam bukunya Zakiah Daradjat, dkk, disebutkan bahwa guru yang mempunyai kepribadian yang baik di antaranya adalah (Zakiah, dkk, 2000:  42-43);
1.    Guru harus mencintai jabatannya sebagai guru, dengan mencintai jabatannya sebagai seorang guru, ia sadar bahwa dirinya adalah seorang pendidik yang mempunyai tanggung jawab secara moral dan kewajiban sebagai seorang guru. Jadi menjadi guru tidak sekedar hanya sebuah pekerjaan yang mendapatkan gaji belaka dan kedudukan atau jabatan pangkat, tetapi guru adalah sebuah panggilan jiwa yang menuntut tanggung jawab pekerjaan yang mempunyai implikasi moral yang tinggi.
2.    Bersikap adil terhadap semua muridnya. Dalam hal ini, guru tidak boleh pilih kasih terhadap murid yang memiliki kelebihan tertentu, misalnya, kecantikan fisik, kecerdasan otak, masih saudara, tetapi ia dituntut untuk mempunyai tanggung jawab sebagi seorang guru yang mengembangkan potensi semua peserta didik yang tidak melihat latar belakang siswa.
3.    Berlaku sabar dan tenang, di sekolah guru seringkali merasakan kekecewaan karena murid-murid kurang mengerti apa yang di ajarkannya. Murid-murid yang tidak mengerti kadang-kadang menjadi pendiam atau sebaliknya membuat keributan- keributan. Hal itu sudah jelas mengecewakan guru atau malah mungkin menyebabkannya putus asa. Dalam keadaan demikian guru harus tetap tabah dan sabar sambil berusaha mengkaji masalahnya dengan tenang, sebab mungkin juga kesalahan terletak pada dirinya yang kurang simpatik atau cara mengajarnya yang kurang terampil atau bahkan pelajaran yang belum terkuasai olehnya.
4.    Guru harus berwibawa, anak-anak ribut dan berbuat sekehendaknya, lalu guru merasa jengkel, berteriak sambil memukul-mukul meja. Ketertiban hanya dapat dikembalikannya dengan kekerasan, tetapi ketertiban karena kekerasan senantiasa bersifat semu. Guru yang semacam ini tidak berwibawa. Sebaliknya, ada juga guru yang sesaat ketika ia memasuki dan menghadap dengan tenang kepada murid-murid yang lagi ribut, segera kelas menjadi tenang, tidak ada kekerasan. Ia mampu menguasai anak-anak seluruhnya . inilah guru yang berwibawa.
5.    Guru harus bergembira, guru yang gembira memiliki sifat humor, suka tertawa dan suka memberi kesempatan tertawa kepada murid-muridnya. Dengan senyumnya ia memikat hati anak-anak didiknya. Sebab apabila pelajaran diselingi dengan humor, niscaya jam pelajaran terasa pendek saja. Guru yang gembira biasanya tidak lekas kecewa. Ia mengerti bahwa anak-anak didiknya tidak bodoh, tetapi belum tahu. Dengan gembira ia mencoba menerangkan pelajaran sampai anak didiknya itu memahaminya.
3. Kompetensi Sosial
Guru, di samping sebagai pendidik ia juga sebagai anggota masyarakat. Dalam interaksinya guru berada  dalam lingkungan sosial masyarakat sekolah dan juga sosial  masyarakat di luar sekolah. Oleh karena itu, dalam sekolah, guru harus menjalin kerjasama antar guru sebagai wujud anggota sosial masyarakat sekolah. Di samping itu, kedudukan guru dalam masyarakat juga dipandang sebagai  lapisan yang terhormat, maka ia dituntut untuk selalu memberikan contoh yang pertama kepada masyarkat untuk tanggap terhadap lingkungan masyarkat khusunya terhadap tetangga maupun yang lebih luas. Dengan demikian kompetensi sosial bagi guru merupakan hal yang harus dimiliki oleh guru dalam interaksinya baik di masyarkat sekolah maupun sosial masyarakat, tidak hanya hubungan pada sesama guru, tetapi juga hubungan pada siswa, dan masyarakat (Geoge, 2004: 55 ).           
4. Kompetensi Profesional
Guru diwajibkan mempunyai sertifikasi pendidikan melalui mekanisme tertentu.  Dengan sertifikasi pendidikan ini seorang guru bisa diakui sebagai pendidik profesional; dan kapasitasnya sebagai guru profesional maka ia berhak atas tambahan penghasilan tunjangan profesi. Oleh karena itu, sesuai  dengan; Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) disebutkan bahwa untuk menjadi guru SD atau MI misalnya; Pasal 29 ayat (2) secara eksplisit menyebutkan pendidik SD atau MI ditetapkan mempunyai kualifikasi akademik pendidikan minimum Diploma Empat atau Sarjana (S1). Dengan demikian maka untuk pendidik setingkat menengah baik pertama atau atas diwajibkan memiliki kualifikasi akademik sarjana atau magister.

BAB III
PEMBAHASAN

A. PROFESIONALISME GURU
Profesionalisme guru memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap keberlangsungan dan efektivitas proses belajar mengajar. Oleh sebab itu guru dituntut untuk bisa menyelami kondisi psikis para siswa ketika ia memberikan pelajaran. Dan lebih dari itu bisa mengatasi setiap permasalahan-permasalahan etis yang timbul di dalam kelas.
Pendekatan humanistik merupakan sebuah kemestian yang harus dilakukan oleh seorang guru supaya bisa menciptakan suasana dialogis ingklusive antara siswa dengan guru. Sehingga terjadi suatu kedekatan emosional yang erat. Berkaitan dengan teori humanistik ini Hamachaek mengatakan bahwa guru-guru yang efektif adalah guru-guru yang “manusiawi”, yang mempunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis daripada autokratik, dan mereka harus mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa baik secara perorangan maupun kelompok (Wasty Soemanto, 1990: 220).
Eksistensi guru sebagai seorang pendidik memperoleh banyak tantangan, baik itu dari siswa maupun dari masyarakat. Hal ini lebih disebabkan oleh kurang profesionalimenya guru dalam melancarkan efektihitas belajar dan mengajar. Sehingga wibawa para guru di mata murid-murid kian jatuh. Murid-murid masa kini khususnya yang menduduki sekolah-sekolah menengah pada umumnya hanya cenderung menghormati para guru  karena ada udang di balik batu. Sebagian siswa-siswa di kota menghormati guru karena ingin mendapat nilai yang tinggi atau naik kelas dengan peringkat tinggi tanpa kerja keras. Sebagian lainnya lagi menghormati guru agar mendapat dispensasi “harap dan maklum” apabila telat menyerahkan tugas (Muhibbin Syah,1995:  221).
Sikap dan prilaku masyarakat seperti itu memang tidak sepenuhnya tanpa alas an yang bersumber dari para guru. Ada sebagian guru yang terbukti memang berpenampilan tidak mendidik, ada yang memberikan hukuman biadab (corporial punishment) di luar batas norma pendidikan dan ada juga guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap murid perempuannya. Fenomena-fenomena yang terjadi itu secara filosofis memang bersumber dari diri seorang yang mempunyai predikat ”guru”  yang merupakan sosok publik figure dalam dunia pendidikan.
Di satu sisi banyak aksi-aksi penyudutan terhadap para guru, namun di sisi lain banyak mendapatkan penghargaan dan pujian. Hal ini karena jasa seorang guru sangat besar dalam menciptakan kemajuan zaman. Salah seorang pemikir barat mengatakan tidak ada guru maka tidak ada tekhnologi, tidak ada tehnologi maka manusia akan hancur dibodohi oleh dunia. Pendapat di atas tidak keliru karena guru memainkan paran yang sangat penting dalam pentas kehidupan global. Adanya sebuah lagu khusus tentang guru dan banyaknya muncul puisi-puisi dari para penyair kenamaan adalah bukti yang sangat kuat terhadap jasa-jasa yang diberikan oleh guru yang tidak bisa dihitung secara materi. Karena itu guru adalah orang yang memberikan ilmu, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membimbing murid untk mencapai tujuan pendidikan (Witheringthon, 1991: 85)
B. Kompetensi Profesionalisme Guru
Pengertian dasar kompetensi (competency) adalah kemampuan atau kecakapan. Padanan kata yang berasal dari bahasa Inggris cukup banyak dan yang lebih relevan dengan pembahasan ini ialah kata proficiency dan ability yang memiliki arti kurang  lebih sama yaitu kemampuan. Hanya proficiency lebih sering digunakan orang untuk menyakan kemampuan berperingkat tinggi.
Istilah professional aslinya dalah  kata – kata dari profession (pekerjaan) yang berarti sangat mampu melakukan pekerjaan. Berdasarkan pertimbangan arti di atas, maka pengertian guru professional adalah guru yang melaksanakan tugas keguruan  dengan kemampuan tinggi (profesionsi) sebagai sumber kehidupan. Kebalikannya adalah guru amatir yang di Barat  disebut sub-profesional seperti teacher-aid (asisten guru). Di negara-negara maju khususnya Australia, asisten guru ini dikaryakan untuk membantu professional dalam mengelola kelas, tetapi tidak mengajar.
    Dengan peran dan profesionalismenya sebagai pengajar, guru diharapakan mampu mendorong setiap anak untuk senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan melalui berbagai sumber dan media dan mampu membantu anak secara efektif, dapat mempergunakan berbagai kesempatan belajar dan berbagai sumber media belajar (Abu Ahmadi dan Drs. Widodo Supriyono, 1991: 99)
Dalam menjalankan kewenangan profesionalnya, guru dituntut memiliki  keanekaragaman kecakapan yang bersifat psikologis yang meliputi (Muhibbin Syah : 230):
1.    Kompetensi Kognitif (kecakapan ranah cipta)
Kompetensi ranah cipta merupakan sebuah kemestian yang harus dimiliki setiap calon guru dan guru professional. Di mana kompetensi kognitif ini mengandung pengetahuan yang bersifat deklaratif dan prosedural. Pengetahuan deklaratif (declarative knowledge ) merupakan pengetahuan yang berisfat statis normative dengan tatanan yang jelas yang diungkapkan secara lisan (oral). Sedangkan pengetahuan prosedural (prosedural knowledge) yang juga bersemayam dalam otak itu juga pada dasarnya  adalah pengetahuan praktis dan dinamis  yang mendasari keterampilan melakukan sesuatu. Pengetahuan dan keterampilan ranah cipta dapat diklasifikasikan dalam dua kategori, yatu: Kategori pengetahuan kependidikan/keguruan dan kategori pengetahuan bidang studi yang menjadi mata pelajaran yang akan diajarkan guru.
2.    Kompetensi afektif (kecakapan ranah rasa)
Kompetensi ranah afektif guru bersifat tertutup dan abstrak, sehingga amat sukar untuk didentifikasi. Kompetensi ranah ini sebenarnya meliputi seluruh fenomena perasaan dan emosi seperti; cinta, benci, senang dan sedih dan sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan orang lain. Sikap dan perasaan itu meliputi:
a.    Self concept dan self esteem
b.    Self efficacy dan contextual efficacy
c.    Attitude of self acceptance dan others acceptrance
3.    Kompetensi psikomotor (kecakapan ranah karsa)
Kompetensi psikomotor guru meliputi segala keterampilan atau kecakapan yang bersifat jasmaniah yang pelaksanaannya berhubungan  dengan tugas-tugasnya selaku pengajar. Guru yang professional memerlukan penguasaan yang prima atas sejumlah keterampilan ranah karsa yang ber;angsung yang berakitan dengan bidang studi garapannya.
Secara garis besar, kompetensi ranah karsa  guru terdiri atas dua kategori, yaitu: Kecakapan fisik umum dan kecakapan fisik khusus. Kecakapan fisik umum direflesikan  dalam brntuk gerakan dan tindakan umum jasmani guru seperti duduk, berdiri, berjalan dan lain sebagainya yang tidak langsung berkaitan dengan kreatifitas mengajar. Kompetensi ranah karsa ragam ini selayaknya direflesikan oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan tata krama yang berlaku. Adapun kecakapan ranah karsa guru yang khusus meliputi ketrampilan-ketrampilan ekspresi verbal (pernyataan lisan) dan nonverbal  tertentu yang direfleksikan oleh guru terutama ketika mengolah ekpresi proses belajar mengajar.

C.  Peranan Guru dalam Proses Belajar Mengajar
Dalam proses belajar mengajar, guru memunyai tugas untuk mendorong, membimbing dan memberi fasilitas  belajar bagi murid-murid untuk mencapai tujuan. Guru mempunya tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi di dalam kelas untuk membantu proses perkembangan anak. Penyamapian meateri pelajaran hanyalah merupakan salah satu dari berbagai kegiatan dalam belajar sebagai suatu proses yang dinamis dalam segala fase dan perkembangan anak.
Secara rinci tugas guru berpusat pada (Abu ahmadi dan Widodo Supriyono: 99):
1.    Mendidik anak dengan titik berat memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
2.    Memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai.
3.  Membantu perkembangan aspek-aspek pribadi, seperti sikap, nilai-nilai dan penyesuaian diri. Demikianlah dalam proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari itu, ia bertanggung jawab akan keseluruhan perkembangan kepribadian murid. Ia harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian rupa, sehingga dapat merangsang murid untuk belajar secara aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan.
Jadi, interaksi guru dalam proses belajar mengajar dengan siswa adalah sebagai interaksi etis universal yang mempunyai tanggung jawab moral  dan tanggung jawab struktural sebagai guru dan abdi negara yang berusaha untuk mengubah pola pikir, meningkatkan intelektualitas, memberikan stimulus, dan mengajarkan etika kemanusiaan kepada para murid.
Banyaknya kasus yang terjadi sekarang yang berkaitan dengan tindakan-tindakan sadisme atau tawuran yang dilakukan oleh para siswa merupakan sebuah PR yang harus diselesaikan oleh para guru dan tentunya bekerja sama dengan orang tua murid. Karena bagaimanapun juga seorang guru tidak bisa di salahkan begitu saja atas tindakan-tindakan sadisme tersebut  dengan alasan  keterputusan etika yang dicontohkan guru pada murid. Akan tetapi yang menjadi keharusan yang medesak adalah adanya upaya-upaya preventif untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan tersebut.
Munculnya respon dari berbagai kalangan yang menyatakan bahwa  tindakan sadisme para siswa lebih disebabkan oleh kurangnya atau tidak adanya pelajaran etika terhadap para murid, sementara dalam interaksi proses belajar mengajar guru lebih banyak memberikan pelajaran ilmu pengetahuan kepada murid  tanpa peduli terahadap sikap dan prikaku sang murid.
Oleh sebab itu disini para guru dituntut untuk bersikap profesional dalam mendidik anak. Dan langkah yang harus dilakukan adalah mendekati siswa dengan pendekatan emotional karena dengan begitu para guru bisa menyelami dan berempati dengan kondisi internal psikogis murid. Dengan demikian akan mudah memberikan pelajaran etika dan ilmu pengetahuan kepada mereka.

D. Sasaran Proses Belajar Mengajar
    Setiap kegiatan belajar mengajar, selalu memiliki sasaran (target). Sasaran, yang juga lazim disebut tujuan itu pada umumnya tertulis. Akan tetapi, ada juga sasaran yang tidak tertulis yang dikenal dengan objective in mind.  Sasaran yang dituju oleh  kegiatan belajr mengajar  adalah  bersifat gradual dan meliputi beberapa jenjang dari jenjang yang kongkret dan langsung dapat dilihat dan dirasakan samapai yang bersifat nasional dan universal. Ditinjau dari sudut waktunya, sasaran kegiatan belajar memngajar itu dikategorikan dalam 3 bagian:
1.    Sasaran-sasaran untuk jangka pendek.
2.    Sasaran-sasaran untuk jangka menengah, seperti tujuan pendidikan dasar, yakni untuk mempersiapkan siswa mengikuti pendidikan menengah.
3.    Sasaran–sasaran untuk jangka panjang, sepertu tujuan pendidikan nasional

E. Guru Yang sejati
Mengajar yang baik bukan sekedar persoalan-persoalan tehnik-tehnik dan metodologi belajar saja. Untuk menjaga disiplin kels guru sering bertindak otoriter, menjauhi siswa, bersikap dingin untuk menyembunyikan rasa taku kalau dianggap lemah. Ada bebarapa mitos pengajaran yang telah beralaku untuk beberapa generasi yaitu:
1.    Guru harus bersikap tenang , tidak berlebih-lebihan dan dingin dalam menghadapi segala situasi.
2.    Guru harus menyukai siswa-siswanya secara adil.
3.    Guru harus memperlakukan siswa-siswanya secara sama, tanpa memperdulikan watak-watak individual siswa.
4.    Guru harus mampu menyembunyikan perasannya, meskipun terluka hatinya, ia harus tidak menunjukkannya, terutama di hadapan siswa-siswanya yang masih muda.
5.    Guru harus dapat menjawab semua pertanyaan pertanyaan yang diajukan oleh siswa-siswanya.
Oleh sebab itu guru harus benar-benar mempunyai profesionalisme yang tinggi terhadap muridnya, yang mana profesionalisme tersebut tidak hanya dalam bidang materi peljaran saja, akan tetapi lebih dari itu dalam segala aspek kehidupan sehingga guru bukan hanya sebagai pengajar saja kan tetapi sebagai pendidik, pasilitator, motoivator, stimulator, dan publik figure yang menjadi tauladan bagi muridnya.

BAB IV
PENUTUP
   
A. Kesimpulan
1.    Profesionalisme merupakan suatu kemestian yang harus dimiliki oleh guru dalam mentransfer segal macam ilmu kepada para murid-muridnya.
2.    Guru adalah bukan seorang pengajar saja, akan tetapi seorang pendidik, stimulator, dan motivator bagi para muridnya.
3.    Guru merupakan sosok yang menjadi contoh dalam segala aspek kehidupan pada muridnya.
4.    Guru mempunyai tanggung jawab moral yang besar terhadap para siswa didiknya.
5.    Dari pemaparan diatas hendaklah mampu menjadi variabel penilaian guru profesianal (sertifikasi guru), bukan haya dinilai melalui sekumpulan kertas yang dinamakan portofolio saja tapi juga sapai menyentuh substansi kompetensi guru  dalam dunia pendidikan.
  

DAFTAR PUSTAKA


Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi, Jakarta, Bumi Aksara, 2003, hlm. 32.

Zakiah, dkk,. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hlm. 42-43

Geoge R. Knight, Filsafat Pendidikan: Isu-isu Kontemporer & Solusi Alternatif, Yogyakarta, Idea Pers, 2004, hlm. 55

Wasty Soemanto.  Psikologi Pendidikan : Landasan Kerja Pimpinan Pendidkian. (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1990). Hlm. 220

Muhibbin Syah, M.Ed. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cetakan kedua. (Bandung: PT. Rosdakarya. 1995). hlm. 2

Witheringthon. Psikologi Pendidikan. Penerjemah. M. Buchori. Cetakan
kelima. (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1991). Hlm. 85

Abu Ahmadi dan Drs. Widodo Supriyono. Psikologi Belajar. (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1991)

John Anderson. Cognitive Pschology  and Its Implication. 3rd. Edition. (New YorkW.H. Freeman and Company. 1990).

Muhibbin Syah, M.Ed. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cetakan kedua. (Bandung: PT. Rosdakarya. 1995).

Wasty Soemanto.  Psikologi Pendidikan : Landasan Kerja Pimpinan Pendidkian. (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1990).

Witheringthon. Psikologi Pendidikan. Penerjemah. M. Buchori. Cetakan kelima. (Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1991).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar