Etika Propesi

11. PENGERTIAN SERTA FUNGSI ETIKA DAN MORAL

    Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yakni Ethos adalah ta etha artinya adat kebiasaan.
James J.Spillane SJ berpendapat bahwa etika atau ethics memperhatikan dan mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia :
(1)etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
(2)moral memiliki arti: a) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, asusila; b) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan.
       Moral merupakan landasan dan patokan bertindak bagi setiap orang dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan maupun dalam lingkungan keluarga dan yang terpenting moral berada pada batin dan atau pikiran setiap insan sebagai fungsi kontrol untuk penyeimbang bagi pikiran negatif yang akan direalisasikan.
Moral sebenarnya tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya, setempat yang diyakini kebenarannya. Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Hal tersebut akan lebih mudah kita pahami manakala mendengar orang mengatakan perbuatannya tidak bermoral. Perkataan tersebut mengandung makna bahwa perbuatan tersebut dipandang buruk atau salah karena melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
       Franz Magnis suseno membahas, ajaran tentang moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Ajaran moral bersumberkan kepada berbagai manusia dalam kedudukan yang berwenang, seperti para bijak, antara lain para pemuka agama dan masyarakat, tulisan-tulisan para bijak.
       Sumaryono mengklasifikasikan moralitas atas:
1.moralitas objektif
Moralitas perbuatan yang melihat perbuatan manusia sebagaimana apa adanya. Jadi perbuatan itu mungkin baik atau buruk, mungkin benar atau salah terlepas dari berbagai modifikasi kehendak bebas yang dimiliki oleh setiap pelakunya. Contoh: membunuh merupakan perbuatan tidak baik.
2.moralitas subjektif
Moralitas perbuatan yang melihat perbuatan manusia tidak sebagaimana adanya karena dipengaruhi oleh sejumlah faktor pelakunya, seperti emosional,latar belakang, pengetahuan, dsbnya.
3.moralitas intrinsik
Moralitas perbuatan yang menentukan suatu perbuatan atas benar atau salah, baik atau buruk berdasarkan hakikatnya terlepas tidak bergantung dari pengaruh hukum positif, contohnya berilah kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hal tersebut pada dasarnya sudah merupakan kewajiban. Meskipun kemudian diatur dalam hukum positif, tidaklah memberikan akibat yang signifikan.
4.moralitas ekstrinsik
Moralitas perbuatan yang menentukan suatu perbuatan benar atau salah, baik atau buruk berdasarkan hakikatnya bergantung dari pengaruh hukum positif. Hukum positif dijadikan patokan dalam menentukan kebolehan dan larangan atas suatu perbuatan.
EY. Kanter tidak hanya membahas etika pada wilayah individu akan tetapi terdapat pendapatnya, bahwa moralitas individu mendapat ruang gerak dalam wilayah moralitas masyarakat (publik). Moralitas publik adalah moralitas yang terwujud dan didukung oleh wilayah publik, artinya didukung oleh struktur kekuasaan politik, ekonomi dan ideologi. Mutu moralitas publik banyak ditentukan oleh pelaksanaan kepemimpinan dalam suatu negara, misalkan cara pengambilan keputusan dibuat dengan etis ataukah tidak. Etika merefleksikan mengapa seseorang harus mengikuti moralitas tertentu atau bagaimana kita mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan berbagai moralitas.
        Pengertian moral, menurut Bartens yang dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad menyatakan bahwa kata yang sangat dekat dengan etika adalah moral. Kata ini berasal dari bahasa latin “mos”, jamaknya mores yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etismologis kata etika sama dengan kata moral yang mengandung pengertian adat kebiasaan. Perbedannya dari bahasa asalnya yakni etika berasal dari bahasa Yunani,sedangkan moral berasal dari bahasa latin.
Pemahaman persamaan antara etika dan moral dapat diartikan sebagai suatu nilai dan norma yang berfungsi sebagai patokan dan panutan bagi setiap person ataupun kelompok, maupun dalam sosial kemasyarakatan dalam mengatur tingkah lakunya.
       Liliana Tedjosaputro membagi moralitas kedalam dua bagian yakni:
(1)moralitas dapat bersifat intrinsik, berasal dari diri manusia itu sendiri sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada;
(2)moralitas yang bersifat ekstrinsik, penilaiannya didasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat perintah ataupun larangan.
    pelaksanaan peraturan hukum membutuhkan moral dari pelaku. Hukum meskipun harus mengacu pada kepentingan sosial kemasyarakatan agar tercapai suatu kepastian dan keadilan hukum, namun produk hukum itu sendiri tidak dapat lepas dari produk politik yang tidak dapat mengcover seluruh kehendak masyarakat, sehingga pelaksanaan hukum dengan baik dan ikhlas sesungguhnya bergantung pada moral setiap individu, bukan bergantung pada sifat memaksa dari hukum. Guna memudahkan pengertian tersebut maka dapat diberikan suatu gambaran manakala seseorang tidak melaksanakan suatu peraturan ataupun etika maka orang tersebut merasa  sebagai beban moral.
Shidharta mengemukakan, setiap manusia yang sehat secara rohani pasti memiliki sikap moral dalam menghadapi keadaan-keadaan yang menyertai perjalanan hidupnya. Sikap moral ini ada yang hadir begitu saja tanpa harus disertai pergulatan atas pilihan-pilihan dilematis,namun ada pula sikap moral yang perlu direnungkan secara mendalam sebelum ditetapkan menjadi suatu keputusan. Sikap moral itulah yang pada umumnya dijadikan pedoman bagi manusia ketika mengambil suatu tindakan. Renungan terhadap moralitas tersebut merupakan pekerjaan etika. Dengan demikian,setiap manusia siapapun dan apapun profesinya membutuhkan perenungan-perenungan atas moralitas yang terkait dengan profesinya. Dalam konteks inilah lalu timbul suatu cabang etika yang disebut etika profesi.
Etika merupakan hasil perenungan dari moralitas yang dirasakan perlu adanya etika dalam kehidupan, karena merupakan kewajiban moral untuk mewujudkan sesuatu yang baik baik bagi diri sendiri, kelompok, masyarakat, maupun bangsa dan negara.
Pendapat Imanuel Kant, diterjemahkan oleh Lili Tjahjadi tentang membedakan moralitas menjadi dua:
(1)moralitas hetronom, sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak sipelaku sendiri, misalnya karena mau mencapai tujuan yang diinginkan ataupun karena perasaan takut pada penguasa yang memberi tugas kewajiban itu;
(2)moralitas otonom, kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya sebagai suatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai hal yang baik. Didalam moralitas otonom orang mengikuti dan menerima hukum bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya taupun lantaran takut pada penguasa, melainkan itu dijadikan kewajiban sendiri berkat nilainya yang baik. Moralitas demikian menurut Kant disebut sebagai otonom kehendak yang merupakan prinsip tertinggi moralitas, sebab ia berkaitan dengan kebebasan, hal yang hakiki dari tindakan mahluk rasional atau manusia
      Pendapat lain menyatakan moral berasal dari dalam relung hati yang terdalam sehingga perbuatan baik ataupun buruk sebenarnya dirinya sendiri sebagai penilai utama, sedangkan etika  merupakan manifestasi dari moral yang berasal dari adat kebiasaan dan sosial kemasyarakatan yang telah berproses menjadi suatu bentuk etika sebagai pedoman bertindak baik ranah formal maupun non formal sehingga sering dikatakan suatu perbuatan baik bila dilaksanakan maka telah beretika serta sebaliknya dikatakan tidak beretika.
       Mengutip dari Srisumantri, bahwa Nilai-nilai etika dan moral harus diletakkan sebagai landasan atau dasar pertimbangan dalam setiap kegiatan di bidang keilmuan. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles darwin, adalah ketika menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Pikiran merupakan faktor penentu dan pemutus suatu tindakan yang akan kita lakukan, pikiran yang baik dapat menghasilkan moral atau etika yang baik sedangkan pikiran yang buruk akan menghasilkan tindakan yang buruk, yang perlu dipahami bahwa segala gerakan organ tubuh merupakan pikiran sebagai pemimpin. Pada kondisi manusia yang telah mampu mempergunakan pikiran sebagai filter atau alat kontrol bagi perbuatannya maka hal yang buruk dapat ditiadakan minimal dapat ditekan.
       Pendapat Alvin Tofler yang diterjemahkan Koesdyantinah memberi gambaran betapa manusia dewasa ini dan dimasa-masa mendatang akan mengalami indeks kesementaraan, yang mengakibatkan manusia terjebak dalam keanekaragaman gaya hidup dan banyak kepribadian. Menurutnya,”Apabila keanekaragaman bertemu dan berpadu dengan kesementaraan dan kebaruan, masyarakat akan meroket kesuatu krisis adaptasi yang historis. Kita akan menciptakan lingkungan yang demikian sementaranya asingnya dan kompleksnya sehingga mengancam jutaan orang dengan kehancuran adaptif. Kehancuran ini adalah kejutan masa depan”.
       Ajaran-ajaran moral guna meningkatkan moralitas agar manusia menjadi baik, sedangkan etika bertugas memberikan argumentasi rasional dan kritis guna mendukung ajaran moral. Dalam perkembangan jaman yang makin kompleks timbullah tantangan yang dihadapi oleh ajaran-ajaran moral makin kompleks. Indoktrinasi dalam ajaran-ajaran moral akan sering dipertanyakan jika tidak lagi mampu memberikan orientasi yang jelas bagi penganutnya. Kekaburan orientasi itu muncul justru karena bertambah banyaknya ragam orientasi yang ada. Salah satu dari keragaman itu ditandai oleh berbagai ideologi yang saling menawarkan diri sebagai pilihan terbaik. Padahal apa yang baik menurut satu pihak sering dianggap buruk oleh yang lainnya. Etika yang telah disepakati oleh setiap kelompok akan menepis kehilangan orientasi sehingga kebenaran sebenarnya bersifat relatif karena kebenaran merupakan produk pikiran masing-masing sehingga perlu adanya kesepakatan yang tentunya tidak dapat melepaskan diri dari kebenaran universal.
Lilana memaparkan bahwa,dalam perkembangannya kajian etika, terdapat banyakaliran-aliran didalamnya. Beberapa aliran penting dalam etika adalah sebagai berikut:
1.etika naturalisme ialah aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia sendiri;
2.etika hedonisme ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu adalah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan);
3.etika utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil dan besarnya manfaatbagi manusia (utility=manfaat);
4.etika idealisme ialah aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada sebab musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi;
5.etika vitalisme ialah aliran yang menilaibaik buruknya perbuatan manusia itu sebagai ukuran ada tidak adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu;
6.etika theologis ialah aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidak sesuainya perbuatan itu dengan perintah Tuhan (Theos=Tuhan).
Franz Magnis Suseno mengemukakan pendapat tentang, etika berfungsi untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Etika adalah pemikiran sistematis dan yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Pengertian ini perlu dicari dengan landasan pemikiran sebagai berikut:
1.kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral. Dalam keseharian kita banyak bertemu dan bergaul dengan berbagai orang dan karakter yang serba berbeda dari suku yang beragam, daerah asal yang bervariasi, agama berbeda, dan sebagainya. Kita ada ditengah-tengah pandangan mengenai etika dan moral yang beraneka ragam bahkan tidak jarang saling bertentangan sehingga kita bingung mengikuti moralitas yang mana. Untuk menentukan pilihan itulah perlu refleksi kritis etika.
2.Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang kian lama menuju modernisasi. Meski masih belum dijumpai batasan baku tentang makna modernisasi, konsep ini membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menentang pandangan-pandangan moral tradisional.
3.Proses perubahan sosial budaya dan moral ternyata tidak jarang digunakan berbagai pihak untuk memancing di air keruh. Adanya pelbagai ideologi yang ditawarkan sebagai penuntun hidup, masing-masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup. Etika dapat dijadikan tatanan untuk mengkritisi secara objektif dan memberi penilaian agar tidak mudah terpancing, tidak naif, atau ekstrem untuk cepat-cepat menolak hanya karena masih relatif baru dan belum biasa.
4.Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang disatu pihak menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dilain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu
Refleksi kritis etika tidak hanya untuk menentukan moralitas mana yang dipakai karena terdapat norma yang bertentangan. Refleksi kritis etika merupakan alat untuk memecahkan permasalahan moral, seperti perubaham moral yang diakibatkan oleh proses transformasi menuju modernisasi yang menentang keberadaan pandangan moral tradisional.
       Etika yang berkaitan dengan etika profesi merupakan etika yang senantiasa mengikuti perkembangan modernisasi yang tak dapat dibendung, sehingga perlunya etika yang kritis untuk mengatasi kendala yang ada. Tidak dapat dipungkiri penyandang profesi, pemuka masyarakat/adat, filosof, hukum yang berfungsi sebagai salah satu faktor penentu etika yang kritis.
Keadilan, kepastian hukum, equality before the law merupakan harapan moral masyarakat yang masih terus diperjuangkan.
2. ETIKA CABANG DARI FILSAFAT
      Filsafat dapat dimaknai sebagai pandangan hidup, tentunya pandangan hidup yang cinta akan kebijaksanaan, disis lain filsafat dapat diartikan sebagai ilmu yang selalu mencari hakekat yang terdalam.
Filsafat sebagai pandangan hidup merupakan suatu produk nilai atau sistem nilai yang diyakini kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman perilaku oleh individu, kelompok, masyarakat.
       Pada prinsipnya cabang filsafat dapat dikelompokkan pada tiga cabang filsafat yaitu:
(1) ontologi;
(2)epistemologi;
(3)aksiologi.
       Ontologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang keberadaan sesuatu. Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang asal, syarat susunan, metode, dan validitas pengetahuan. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki tentang hakikat nilai, kriteria, dan kedudukan suatu nilai. Pada kelompok aksiologi dapat dimasukkan cabang-cabang filsafat etika dan estetika. Dapat disimpulkan etika merupakan cabang dari filsafat tentang hakikat nilai atau aksiologi yang merupakan nilai berkaitan dengan sikap dan perilaku manusia atau kelompok manusia. Etika membahas tentang nilai-nilai yang baik bagi manusia dan nilai inilah dikenal sebagi moral.
 Menurut EY.Kanter : Etika sama artinya dengan filsafat moral atau ilmu tentang moralitas. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral melainkan filsafat atau pemikiran rasional-kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Jadi etika bukan sebuah ajaran melainkan sebuah ilmu.
       Filosof Plato mengungkapkan filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada. Filsafat merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang didalamnya mencakup empat persoalan sebagai berikut:
A)apakah yang dapat kita ketahui ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh metafisika (ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang non fisik atau tidak terlihat).
B)apakah yang boleh kita kerjakan ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh etika.
C)sampai dimananakah pengharapan kita ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh agama.
D)apakah yang dinamakan manusia ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh antropologi (ilmu tentang manusia).
Mengamati pemikiran plato maka makin mendukung opini bahwa etia merupakan bagian dari filsafat hal tersebut merupakan jawaban terhadap tujuan utama dari filsafat yang berarti cinta akan kebijaksanaan adalah untuk kebaikan umat manusia yang bijaksana penuh dengan kedamaian. Guna mendukung pendapat Plato dapat kita padukan dengan pendapat Aristoteles yang dikutip dari I Gede A.B.Wiranata sebagai berikut:
“ Pembagian filsafat menurut Aristoteles
a. Filosofia teoritika/spekulatif
    Filsafat yang bersifat objektif, yang terdiri atas:
1.fisika (mengkaji tentang dunia materiil);
2.matematika (mengkaji tentang barang menurut kuantitasnya);
3.metafisika (mengkaji tentang “ada”).
b. Filosofia praktika (Filsafat yang memberi petunjuk dan berbagai pedoman mengenai tingkah laku hidup dan kesusilaan yang seharusnya dilakukan/diperbuat), yang meliputi:
1.etika (mengkaji tentang kesusilaan dalam hidup perseorangan);
2.ekonomia (mengkaji tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan);
3.politika (mengkaji tentang kesusilaan dalam tantanan hidup kenegaraan).
Filosofia produktiva (pencipta) (filsafat yang mengkaji dan membimbing serta menuntun manusia tentang pengetahuan sehingga menjadikan manusia produktif melalui sebuah ketrampilan yang bersifat khusus)”.
Aristoteles merupakan tokoh filsafat yang menempatkan etika sebagai pembahasan utama dalam tulisannya “Ethika Nichomachela” dengan pendapatnya, tata pergaulan dan penghargaan seorang manusia, yang tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan kepada hal-hal yang alruistik, yaitu memperhatikan orang lain.
Menurut Srisumantri yang dikutip dari Liliana, filsafat dalam perkembangannya antara lain mencakup:
1.epistimologi (filsafat pengetahuan);
2.etika (filsafat moral);
3.estetika (filsafat seni);
4.metafsika;
5.filsafat politik;
6.filsafat;
7.filsafat agama;
8.filsafat pendidikan;
9.filsafat hukum;
10.filsafat sejarah;
11.filsafat matematika.
Sebagai bagian filsafat dan bahkan sebagai salah satu cabang filsafat yang paling tua, maka etika juga dikembangkan sebagai bagian dari kajian ilmu pengetahuan.
Filosof H.De Vos juga menyatakan etika sebagai bagian dari filsafat.
      Etika dapat dibedakan menjadi, etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas tentang prinsip moral, pengertian dan fungsi etika, tanggung jawab, suara hati. Etika khusus merupakan etika yang sudah dikaitkan dengan konteks bidang tertentu, kehidupan pribadi, antar pribadi.
      Etika dapat dikaji dari berbagai aspek, akan tetapi secara garis besar terdapat tiga aspek yang dominan dalam mempelajari etika yaitu:
1)aspek normatif
aspek normatif ialah aspek yang mengacu pada norma-norma/standar moral yang diharapkan untuk mempengaruhi perilaku, kebijakan, keputusan, karakter individual, dan struktur profesional. Dengan aspek ini diharapkan perilaku dengan segala unsur-unsurnya tetap berpijak pada norma, baik norma-norma kehidupan bersama ataupun norma-normamoral yang diaturdalam standar profesi bagi kaum profesi;
2)aspek konseptual
diarahkan pada penjernihan konsep-konsep/ide-ide dasar, prinsip-prinsip, problema-problema dan tipe-tipe argumen yang dipergunakan dalam membahas isu-isu moral dalam wadah kode etik. Kajian konseptual ini juga untuk mempertajam pemahaman-pemahaman kode etik dengan tetap menekankan pada kepentingan masyarakat dan organisasi profesi itu sendiri;
3)aspek deskriptif
kajian ini berkaitan dengan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dan spesifikasi yang dibuat untuk memberikan gambaran tentang fakta-fakta yang terkait dengan unsur-unsur normatif dan konseptual. Aspek ini memberikan informasi tentang fakta-fakta yang berkembang, baik di masyarakat maupun dalam organisasi profesi, sehingga penanganan aspek normatif dan konseptual dapat segera direalisasikan.
       Etika merupakan cabang filsafat sebagai ilmu yang merupakan philosopical study of morality, sehingga subyek yang melakukan etika adalah manusia, dengan demikian etika sebagai filsafat manusia.

3. PENGERTIAN PROFESI DAN PROFESI HUKUM
     Pekerjaan pada umumnya berbeda dengan profesi baik dari segi ketrampilan maupun tanggung jawab yang diembannya. Berkaitan dengan pekerjaan pada umumnya Cycle Kluckohn yang dikutip oleh koentjaraningrat menyatakan: antropolog seperti Cycle Kluckohn dan Florence Kluckohn juga menempatkan diri untuk menelaah hakikat kerja (karya) bagi manusia. Menurut mereka ada nilai-nilai budaya yang memandang kerja itu sekedar untuk memenuhi nafkah, namun ada pula yang memandang kerja sebagai upaya menggapai kedudukan dan kehormatan. Orientasi nilai budaya ketiga dari hakikat kerja adalah bahwa bekerja merupakan upaya terus menerus untuk berkarya yakni dengan mencapai hasil yang lebih baik dan lebih baik lagi.
       Thomas Aquinas berpendapat, perwujudan kerja mempunyai empat tujuan sebagai berikut:
1.dengan bekerja, orang dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan hidup sehari-harinya;
2.dengan adanya lapangan kerja, maka pengangguran dapat dihapuskan/dicegah. Ini juga berarti bahwa dengan tidak adanya pengangguran,maka kemungkinan timbulnya kejahatan dapat dihindari pula;
3.dengan surplus hasil kerjanya, manusia juga dapat berbuat amal bagi sesamanya;
4.dengan kerja orang dapat mengontrol atau mengendalikan gaya hidupnya.
      Profesi oleh berbagai ahli diartikan sebagai pekerjaan dengan keahlian khusus menuntut pengetahuan tinggi, dengan berbagai pelatihan khusus.
Menurut pendapat Brandels yang dikutip oleh A.Pattern Jr, dikutip dari Supriadi, untuk dapat disebut sebagai profesi,pekerjaan itu sendiri harus mencerminkan adanya dukungan yang berupa:
1.ciri-ciri pengetahuan (intellectual character);
2.diabadikan untuk kepentingan orang lain;
3.keberhasilan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan finansial;
4.keberhasilan tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik, serta pula bertanggung jawab dalam memajukan dan penyebaran profesi yang bersangkutan;
5.ditentukan adanya standar kualifikasi profesi.
       Profesi bukan hanya dibutuhkan oleh seseorang atau kelompok akan tetapi menyangkut kebutuhan publik sehingga peran negara dibutuhkan untuk mengesahkan/mengangkat seseorang menjadi penyandang profesi agar meniadakan/meminimalkan kerugian atau tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap pihak yang membutuhkan jasa profesi serta tidak merugikan kepentingan publik. Berkaitan dengan pendapat tersebut, maka terdapat pendapat Daryl Koehn yang dikutip dari Supriadi mengatakan meskipun kriteria untuk menentukan siapa yang memenuhi syarat sebagai profesional amat beragam, ada lima ciri yang kerap disebut kaum profesional sebagai berikut:
1)mendapat izin dari negara untuk melakukan suatu tindakan tertentu;
2)menjadi anggota organisasi/pelaku-pelaku yang sama-sama, mempunyai hak suara yang menyebarluaskan standar dan/atau cita-cita perilaku yang saling mendisiplinkan karena melanggar standar itu;
3)memiliki pengetahuan atau kecakapan “esoterik” (yang hanya diketahui dan dipahami oleh orang-orang tertentu saja) yang tidak dimiliki oleh anggota-anggota masyarakat lain;
4)memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka,dan pekerjaan itu tidak amat dimengerti oleh masyarakat yang lebih luas;
5)secara publik dimuka umum mengucapkan janji untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan dan akibatnya mempunyai tanggung jawab dan tugas khusus.
Profesi hukum memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan profesi lainnya,karena profesi ini berkaitan langsung dengan pengaturan kehidupan sosial kemasyarakatan, kemudian berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Profesi hukum secara khusus berhubungan dengan masyarakat pencari keadilan. Profesi hukum sebagai profesi diantara profesi lain tidak dapat lepas atau berdiri sendiri sebagai suatu gambaran pada saat suatu perusahaan dalam proses go public maka selain profesi hukum berperan juga profesi dibidang ekonomi ikut andil didalamnya, sehingga interaksi antar profesi  merupakan ciri dari profesi. Perkembangan hukum dewasa ini akibat pemikiran filosofi bahwa manusia memiliki hak dasar yang harus dilindungi sebagai Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi sebagai hak hukum yang tertinggi. Adapun Hak Asasi manusia yang berlaku universal, meliputi:
1)hak-hak asasi pribadi (personal rights), merupakan kebebasan menyatakan pendapat, memeluk agama, beraktifitas dan sebagainya;
2)hak-hak asasi ekonomi (property rights), merupakan hak memiliki sesuatu, memperalihkannya, seperti membeli dan menjualnya, serta memanfaatkannya;
3)hak-hak asasi dan kebudayaan (social and cultural rights), seperti hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan, dsb.
4)hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan;
5)hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights).
       Perkembangan penegakan hukum dan/ hak asasi manusia menimbulkan profesi hukum makin berkembang bahkan pada Undang-undang nomor: 18 Tahun 2003, tentang Advokat jelas mengatur Advokat sebagai oficium Nobille (profesi terhormat) serta sebagai pembela Hak Asasi Manusia.
       Sebagai suatu kriteria profesi hukum dapat ditelaah dari pertemuan para Advokat tanggal 27 Juni 1971dalam piagam Baturaden yang merumuskan tentang unsur-unsur untuk dapat disebut profession, yaitu:
a)harus ada ilmu (hukum) yang diolah didalamnya;
b)harus ada kebebasan, tidak boleh ada dicust verhouding (hubungan dinas) hierarkis.
c)mengabdi kepada kepentingan umum, mencari nafkah tidak boleh menjadi tujuan;
d)ada clienten verhouding, yaitu hubungan kepercayaan diantara Advokat dan client;
e)ada kewajiban merahasiakan informasi dari client dan perlindungan dengan hak merahasiakan itu oleh undang-undang;
f)ada imuniteit terhadap penuntutan tentang hak yang dilakukan dalam tugas pembelaan;
g)ada kode etik dan peradilan kode etik (tuchtrechtspraak);
h)ada honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaan atau banyaknya usaha atau pekerjaan yang dicurahkan (orang tidak mampu harus ditolong tanpa biaya dan dengan usaha yang sama).
Batasa profesi yang diberikan tidak dapat dikategorikan sebagai profesi pada umumnya. Batasan profesi yang dapat berlaku pada profesi hukum pada umumnya ditetapkan pada tahun 1977 oleh Peradin dalam seminar pembinaan profesi hukum sebagai berikut:
1.dasar ilmiah berupa ketrampilan untuk merumuskan sesuatu berdasarkan teori akademi dan memerlukan sesuatu dasar pendidikan yang baik dan diakhiri dengan suatu sistem ujian;
2.praktik sesuatu. Adanya suatu bentuk perusahaan, yang berdiri, sehingga memungkinkan dipupuknya hubungan pribadi dalam memecahkan kebutuhan para klien yang bersifat pribadi pula (person by person basis) diiringi dengan sistem pembayaran honorarium;
3.fungsi penasihat. Fungsi sebagai penasihat sering-sering diiringi dengan fungsi pelaksanaan dari pelaksana dari penasihat yang diberikan;
4.jiwa mengabdi. Adanya pandangan hidup  yang bersifat objektif dalam menghadapi persoalan, tidak mementingkan diri sendiri, tidak mengutamakan motof-motif yang bersifat materiil;
5.adanya suatu kode yang mengedalikan sikap dari pada anggota.
Kebutuhan klien terhadap kinerja profesi sebatas keahlian dan tuntutan profesinya tidak menyangkut pribadi penyandang profesi sehingga terdapat batasan yang jelas tidak menyimpang dari segi profesionalisme kinerja profesi.
6. MANFAAT ETIKA PROFESI & TANGGUNG JAWAB PROFESI
       Etka profesi pada awalnya terbentuk guna kepentingan kelompok profesi itu sendiri karena bermula dari pemasalahan-permasalahan yang imbul, dalam perkembangannya  sesuai dengan situasi dan kondisi ilmu pengetahuan filsafat yang terkait dengan etika maka berkembang menjadi  lebih maju sesuai dengan hasil penelitian empiris yang didukung oleh norma yang ada diperoleh suatu hipotesa dan sampailah pada hasil akhir  profesi guna kepentingan masyarakat dengan konsekuensi logis etika profesi merefleksikan kinerjanya secara etis atas kebutuhan masyarakat.      
Etika profesi merupakan bagian dari kebutuhan profesi dalam sistem pergulatan profesi baik diantara profesi itu sendiri maupun terhadap masyarakat.
     Perkembangan masyarakat yang makin majemuk , mengglobal, berkembang maju baik bidang ekonomi, teknologi, serta bidang yang lain. Komunikasi antar daerah maupun negara makin cepat membuktikan mobilitas masyarakat makin meninggi dan tidak terkendali. Seiring dengan hal tersebut maka peran profesi makin dibutuhkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kualitas dari profesi harus makin meningkat guna mengimbangi kemajuan jaman serta kuantitas dari bertambahnya jenis kebutuhan penanganan oleh profesi akibat kemajuan dari berbagai bidang merupakan tantangan profesi yang harus didukung perangkat etika profesi yang memadai sebagai suatu tanggung jawab profesi. Tanggung jawab etika profesi tidak dapat lepas dari manfaat etika profesi. Adapun manfaat etika profesi dalam perkembangan terdiri dari:
(a)manfaat terhadap diri sendiri. Penyandang profesi memiliki kesempatan luas untuk mengabdikan diri demi kepentingan publik.
(b)manfaat terhadap masyarakat. Masyarakat dapat memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhannya mengingat profesi memiliki keahlian khusus yang tidak dimiliki pihak lain.
(c)Manfaat terhadap negara. Penyandang profesi dapat berperan serta memajukan negara dengan keahlian bidang tertentu yang dimilikinya. Segala bidang dalam aktifitas negara saling terkait, apabila segala bidang kehidupan dapat berjalan dengan maksimal maka mekanisme pembangunan dalam segala bidang menjadi maju yang berdampak pada kemajuan negara.
(d)Manfaat terhadap hukum. Negara kita adalah negara hukum dan hukum sebagai panglima yang tertinggi. Profesi pada bidangnya masing-masing tetap hukum menjadi panutan bagi profesi sesuai pandangan segala segi kehidupan harus berpatokan pada hukum yang berlaku. Profesi hukum merupakan profesi yang terdepan dalam berupaya menegakkan hukum berfungsi sebagai panutan bagi profesi selain hukum dan masyarakat.
Emmanuel levinas menyatakan respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada).
Setiap orang memiliki kebebasan baik secara natural maupun secara yuridis untuk menentukan sikap dalam kehidupan sehari-hari termasuk memilih pekerjaan/profesi yang akan digeluti. Kebebasan tersebut menimbulkan konsekuensi logis terhadap dampak positif maupun negatif yang harus diterima dengan analogi segala langkah kehidupan tidak dapat lepas dari efek positif dan efek negatif. Tanggung jawab tidaklah dapat lepas dari akibat kebebasan memilih yang harus diterima dengan lapang dada.
Kebebasan tidaklah dapat dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya mengingat kebebasan dapat menyentuh hak hukum atau kebebasan orang lain. Kebebasan harus diartikan sebagai kebebasan hukum yakni kebebasan sesuai ketentuan hukum yang berupaya mengcover moral , hukum kebiasaan, dan adat istiadat yang berlaku dimasyarakat.
Tanggung jawab merupakan bentuk pelaksanaan kewajibannya dan yang tak kalah pentingnya tanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuat. Tanggung jawab oleh sebagian ahli hukum diartikan sebagai tanggung gugat. Tanggung gugat sebenarnya merupakan tanggung jawab atas tuntutan hukum, tapi disisi lain terdapat tanggung jawab moral yang tidak dapat digantikan oleh tanggung gugat secara hukum, bahkan moral pertanggungjawabannya diwakilkan pada kode etik melalui Dewan Kehormatan. Terdapat pertanggungjawaban lain yang tidak dapat terselesaikan yaitu tanggung jawab hati nurani serta dampaknya terhadap nama baik penyandang profesi.
7. ETIKA BERKAITAN DENGAN HUKUM
       Etika merupakan bagian dari filsafat yang selalu berupaya menuju pada kebaikan kehidupan manusia baik secara lahir maupun batin, sedangkan hukum untuk mengatur tata kehidupan manusia baik individu, kelompok maupun masyarakat/publik, sehingga hak orang lain tidak berbenturan dengan hak orang lain serta adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Paul Scholten menyatakan, bahwa baik hukum maupun moral (etika) kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia. Keduanya sama, yaitu mengatur perbuatan-perbuatan kita.
Hukum dan etika memiliki nilai kemanfaatan yang sama yaitu mencita-citakan tertib kehidupan masyarakat serta memberi jawaban atas kebutuhan keadilan masyarakat dengan penegakan nilai-nilai kebenaran.
Etika dalam perkembangannya dikodifikasikan dalam bentuk kode etik oleh setiap kelompok sosial bahkan didukung berlakunya oleh peraturan perundangan sehingga kode etik itu sendiri bukanlah etika pada umumnya tetapi menyatu dengan ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun demikian tetap memberikan nuansa yang berbeda dari segi sanksi yang dijatuhkan bila terjadi pelanggaran. Sanksi pelanggaran kode etik sesuai dengan kesepakatan kelompok yang dituangkan dalam kode etik, pada umumnya dalam bentuk sanksi administratif. Kewenangan atas keputusan melebihi sanksi administratif merupakan kewenangan peraturan perundangan dalam hal ini otoritasnya diserahkan kepada para penegak hukum.



8. KODE ETIK PROFESI
       Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang merupakan kesatuan moral yang melekat pada suatu profesi sesuai kesepakatan organisasi profesi yang disusun sesara sistematis.
Kode etik dapat dikatakan merupakan sekumpulan etika yang telah tersusun dalam bentuk peraturan berdasarkan prinsip moral pada umumnya yang disesuaikan dan diterima sesuai jiwa profesi guna mendukung ketentuan hukum yang berlaku demi kepentingan profesi, pengguna jasa profesi, masyarakat/publik, bangsa dan negara.
Pengaturan etika disusun dalam bentuk kode etik dipandang penting mengingat jumlah penyandang profesi makin banyak sehingga membutuhkan ketentuan baku yang mampu mengendalikan serta mengawasi kinerja profesi. Selain makin banyaknya penyandang profesi, juga menghindari kesalahan profesi tanpa ada pertangungjawaban dengan mengotak-atik kelemahan etika guna mengamankan penyandang profesi itu sendiri. Faktor lain yang mendukung dibentuknya kode etik secara baku karena tuntutan masyarakat yang makin kompleks dan kritis sehingga ada kepastian hukum tentang benar atau tidaknya penyandang profesi dalam menjalankan tugasnya.
      Penegakan terhadap pelaksanaan kode etik secara konsekuen dilakukan oleh organisasi profesi sebagai pencetus lahirnya kode etik. Keberadaan organisasi profesi dipandang penting untuk menjatuhkan sanksi bagi pelanggar kode etik. Sanksi-sanksi diharapkan lebih efektif karena telah dibahas diantara penyandang profesi, sehingga terdapat beban moral bagi pelanggar yang secara psikis merasa dikucilkan dalam pergaulan profesi bahkan akan menjadi lebih berarti manakala organisasi profesi telah diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk memberikan Ijin praktek. Kewenangan tersebut dapat mengakibatkan  pencabutan ijin praktek. Selain organisasi sebagai penegakan etika, juga merupakan wadah bagi pengembangan profesi, sebagai tempat tukar menukar informasi, membahas dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan profesi, membela hak-hak anggotanya.
Menurut E.Holloway dikutip dari Shidarta, kode etik itu memberi petunjuk untuk hal-hal sebagai berikut:
1.hubungan antara klien dan penyandang profesi;
2.pengukuran dan standar evaluasi yang dipakai dalam profesi;
3.penelitian dan publikasi/penerbitan profesi;
4.konsultasi dan praktik pribadi;
5.tingkat kemampuan kompetensi yang umum;
6.administrasi personalia;
7.standar-standar untuk pelatihan.
      Ditambahkan oleh Holloway, bahwa kode etik (standar etika) tersebut mengandung beberapa tujuan sekaligus, yaitu untuk:
1.menjelaskan dana menetapkan tanggung jawab kepada klien, lembaga (institution), dan masyarakat pada umumnya;
2.membantu penyandang profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etis dalam pekerjaannya;
3.membiarkan profesi menjaga reputasi (nama baik) dan fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan buruk  dari anggota-anggota tertentu dari profesi itu;
4.mencerminkan pengharapan moral dari komunitas masyarakat (atas pelayanan penyandang profesi itu kepada masyarakat);
5.merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atas kejujuran dari penyandang profesi itu sendiri.
Kode etik oleh Edgar Bodenheimer dapat dikelompokkan kedalam jenis aturan yang disebut autonomic legislation. Biasanya kode etik tidak pernah dianggap sebagai bagian dari hukum positif suatu negara, Namun disadari atau tidak, kode etik dapat saja secara diam-diam diadopsi menjadi salah satu jenis sumber formal hukum.
        Perkembangan hukum di Indonesia terdapat beberapa Undang-undang yang mencantumkan kode etik harus ditaati sehingga kode etik merupakan bagian dari hukum positif yang akan menimbulkan sanksi hukum bagi pelanggar disisi lain penegakan kode etik juga merupakan tujuan dari hukum positif. Adapun Undang-undang tersebut antara lain:
1)pasal 17 ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen, melarang pelaku usaha periklanan memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangan yang berlaku;
2)Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 2003, tentang Advokat;
3)Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2004, tentang jabatan Notaris, pada pasal 85 disinggung beberapa jenis sanksi yang bisa dikaitkan dengan pelanggaran kode etik.
10. PENGAWASAN SERTA PENINDAKAN ORGANISASI   PROFESI TERHADAP PENYANDANG PROFESI YANG MELANGGAR KODE ETIK.
   Organisasi merupakan kelompok dari sebagian masyarakat yang mempunyai tujuan yang sama serta berinteraksi sosial dalam organisasi dengan didukung oleh perangkat aturan demi kepentingan organisasi maupun kepentingan masyarakat. Pendapat serupa juga dikemukakan Max Weber yang dikutip oleh Miftah Thoha sebagai berikut:
organisasi atau kelompok kerja sama merupakan suatu hubungan sosial yang dihubungkan dan dibatasi oleh aturan-aturan. Aturan-aturan ini sejauh mungkin dapat memaksa seseorang untuk melakukan kerja sebagai suatu fungsi yang ajek, baik dilakukan oleh pimpinan maupun oleh pegawai-pegawai administrasinya.
Aspek dari pengertian dimaksud oleh Max Weber ialah bahwa suatu organisasi atau kelompok kerja sama ini mempunyai unsur kekayaan sebagai berikut. Organisasi merupakan tata hubungan sosial, dalam hal ini seorang individu melakukan proses interaksi sesamanya didalam organisasi tersebut.
1.Organisasi mempunyai batas-batas tertentu (boundaries) sehingga seseorang yang melakukan hubungan interaksi dengan lainnya tidak atas kemauan sendiri. Mereka dibatasi oleh aturan-aturan tertentu;
2.Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan, yang bisa membedakan suatu organisasi dengan kumpulan-kumpulan kemasyarakatan. Tata aturan ini menyusun proses interaksi diantara orang-orang yang bekerja sama didalamnya sehingga interaksi tersebut tidak muncul begitu saja;
3.Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang berstruktur didalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja untuk menjalankan sesuatu fungsi tertentu. Istilah lain dari unsur ini ialah terdapatnya hierarki (hierachy). Konsekuensi dari adanya hierarki ini bahwa didalam organisasi ada pimpinan atau kepala dan bawahan atau staf.
       Pendapat Max Weber lebih condong kearah interaksi, struktur organisasi, serta pentingnya aturan dalam organisasi, sedangkan Kelompok masyarakat tidak akan membentuk suatu organisasi tanpa adanya kehendak yang sama serta yang terpenting mempunyai tujuan organisasi yang akan dicapai demi kepentingan bersama yang juga merupakan kepentingan anggota juga, bahkan yang dikatakan sebagai tujuan organisasi merupakan motivasi awal terbentuknya suatu organisasi, sedangkan Amitai Etziomi yang dikutip oleh Miftah Thoha mengemukakan bahwa:
organisasi sebagai pengelompokan orang-orang yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Kelompok semacam ini mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1.mempunyai pembagian kerja, kekuasaan, dan pertanggungan jawab yang dikomunikasikan. Pembagian ini tidaklah dikomunikasikan. Pembagian ini tidak dilakukan secara acak (random) melainkan sengaja dilakukan untuk meningkatkan usaha mencapai tujuan tertentu;
2.adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang dapat dipergunakan untuk mengendalikan usaha-usaha organisasi yang telah direncanakan dan yang dapat diarahkan untuk mencapai tujuan. Pusat kekuasaan ini juga harus dapat dipergunakan untuk menilai kembali secara ajek pelaksanaan organisasi, dan menyempurnakan struktur yang dianggap perlu untuk meningkatkan efisiensi; dan
3.adanya suatu pergantian kepegawaian, misalnya seseorang yang cara kerjanya tidak memuaskan dapat dipindahkan dan diganti oleh orang lain. Dalam organisasi juga dapat dilakukan usaha memadukan kembali kegiatan kepegawaian dengan cara pemindahan atau promosi.
Pelaksanaan organisasi baik struktur maupun sistem kerja organisasi diarahkan pada tujuan organisasi yang merupakan kehendak dari para anggotanya, sehingga pendapat ini lebih melihat pada cita-cita sebagai realita dari suatu organisasi. Tujuan dari organisasi sebagai suatu patokan dasar justru dapat membaca itikad dari suatu organisasi baik terhadap anggota organisasi, sesama organisasi, masyarakat maupun negara. Lebih lanjut Richard scott  yang dikutip oleh  Miftah Thoha mengemukakan organisasi sebagai tujuan khusus dalam hal-hal sebagai berikut:
organisasi itu sebagai suatu kolektivitas yang sengaja dibentuk untuk mencapai suatu tujuan khusus tertentu sedikit banyak didasarkan pada asas kelangsungan, akan lebih jelas persoalannya bahwa organisasi itu bagaimanapun adanya, mempunyai gambaran prospek yang jelas, dan berbeda dari sekedar khususnya tujuan atau kelangsungan aktivitas. Perbedaan gambaran itu meliputi hal-hal antara lain:
1.adanya batas-batas yang jelas;
2.adanya aturan-aturan yang normatif;
3.adanya jenjang otoritas;
4.adanya suatu sistem komunikasi; dan
5.adanya suatu sistem insentif yang mampu mendorong berbagai tipe partisipasi dalam usaha bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu.
Tujuan yang khusus merupakan pengendali suatu organisasi tidak melenceng dari cita-cita organisasi sehingga diharapkan organisasi dapat terfokus pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Peran organisasi dengan patokan yang jelas memberikan kesempatan luas yang terkondisi positif untuk mencapai tujuan yang dapat mengcover kehendak masyarakat maupun kehendak anggota. Tujuan organisasi dapat terwujud apabila didukung oleh seperangkat sistem yang didalamnya terdapat aturan atau batasan yang jelas bagi organisasi baik secara umum maupun khusus bagi anggotannya. Kriteria dari suatu organisasi secara umum memiliki kesamaan dengan organisasi profesi, akan tetapi letak perbedaan pada tujuan dari suatu organisasi terpengaruh oleh latar belakang dari sejarah perkembangannya, karena mendapat pengaruh dari fungsi profesi berdasarkan kondisi jaman yang tidak lain memiliki perbedaan atas kebutuhan masyarakat atas fungsi profesi itu sendiri.
Terbentuknya beberapa Organisasi profesi  hukum  menimbulkan  dilema dalam  penegakan etika profesi, karena setiap organisasi profesi memiliki Kode Etik masing-masing. Anggota dari suatu organisasi dapat pindah ke organisasi lain apabila akan dijatuhi sanksi dari organisasinya, sehingga penegakan etika profesi hanya sebagai wacana ataupun cita-cita dari organisasi profesi. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut:
secara jujur harus diakui, bahwa pengembangan etika profesi hukum di Indonesia kurang berjalan dengan baik dalam dunia hukum kita. Banyak pelanggaran etika profesi yang tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga semacam Dewan atau Majelis Pertimbangan Profesi yang bertugas menilai pelanggaran etika masih belum berwibawa dimata para anggotanya. Kondisi demikian menyebabkan bahan kajian etika profesi hukum di Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti pada ketentuan-ketentuan normatif yang abstrak. Padahal kajian ini pasti akan lebih menarik jika dibentangkan bersama contoh kasus nyata yang dihadapi para fungsionaris hukum kita. Munculnya berbagai organisasi profesi sejenis dengan Kode Etiknya sendiri-sendiri, semakin mengurangi nilai kajian ini dimata orang-orang yang mempelajari etika profesi hukum.
Kajian terhadap efektifitas hukum ataupun etika profesi tidak dapat dicermati dari nilai yang ada, akan tetapi harus disertai gambaran riel yang terjadi dimasyarakat. Anggota Organisasi profesi/profesi hukum wajib  mematuhi  Kode Etik layaknya mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad bahwa:
sama halnya dengan penegakan hukum adalah penegakan Kode Etik. Penegakan Kode Etik adalah usaha melaksanakan Kode Etik sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya supaya tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan Kode Etik yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali, karena Kode Etik adalah bagian dari hukum positif, maka norma-norma penegakan hukum Undang-undang juga berlaku pada penegakan Kode Etik.
Penegakan Kode Etik serupa dengan penegakan terhadap hukum positif, bahkan dengan ditegakkannya Kode Etik maka berarti telah menegakkan hukum karena Kode Etik sebagai bagian dari hukum positif.  Sebagai konsekuensi penegakan Kode Etik maka organisasi profesi memiliki perangkat Pengawas guna mengawasi keseharian profesi/profesi hukum dalam menjalankan tugasnya, serta Dewan Kehormatan dalam memeriksa dan mengadili profesi/profesi hukum yang melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Liliana Tedjosaputro sebagai berikut:
organisasi profesi merupakan unsur pendukung bagi suatu profesi. organisasi profesi ini merupakan wadah untuk mengembangkan dan memajukan profesi, tempat untuk bertukar pikiran, tukar menukar informasi dan perlindungan dikalangan anggotanya, serta tempat untuk menyelesaikan permasalahan profesi. Bahkan organisasi profesi bertanggung jawab adanya penyalahgunaan tanggung jawab profesi yang terjadi dikalangan profesi dan juga penjatuhan sanksi akibat adanya pelanggaran profesi.
Organisasi profesi yang solid akan memberikan kewibawaan yang tinggi bagi para anggotanya dan dimata anggota masyarakat dan juga Pemerintah. Organisasi profesi yang solid akan memberikan rasa nyaman dan perlindungan bagi anggotanya. Apabila ada pelanggaran, penjatuhan sanksi yang objektif diterima dengan lapang dada oleh anggota yang melanggar Kode Etiknya.
Penjatuhan sanksi yang objektif merupakan suatu harapan demi tegaknya etika profesi sekaligus merupakan pelindung bagi para anggotanya dan memiliki kewibawaan dimata masyarakat. Pengertian objektif itu sendiri memiliki makna yang dapat diperdebatkan, mengingat yang ditegakkan adalah etika yang merupakan sekumpulan nilai sehingga penegakannya tidak dapat lepas dari subyek yang menilai. Sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut:
nilai tidak lain adalah kualitas dari sesuatu. Sesuatu yang dimaksud disini adalah sesuatu obyek yang tertentu. Apabila kualitas tersebut dilihat dari kondisi sebenarnya maka nilai demikian disebut nilai objektif. Nilai objektif tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari subyek yang memberikan penilaian. Subyek ini dapat berupa individu, kelompok masyarakat, suatu bangsa, atau universal. Nilai yang diberikan oleh subyek disebut nilai subyektif dan pada umumnya nilai memang bersifat subyektif karena subyeklah yang memberikan keputusan tentang nilai itu. Secara teoritis kedua macam nilai ini dapat dibedakan, tetapi dalam prakteknya sangat sulit untuk menentukan mana nilai objektif dan subyektif. Walaupun kriteria nilai objektif adalah dilihat dari obyeknya, namun tetap saja yang menentukan nilai dari obyek itu adalah si subyek, itulah sebabnya ada pendapat yang mengatakan bahwa nilai itu senantiasa bersifat subyektif, dan semakin banyak subyek yang memberikan nilai yang sama pada suatu obyek, maka dikatakan semakin bernilai objektiflah obyek yang bersangkutan.
Nilai objektif dan subjektif saling bertaut sehingga sulit dipisahkan, karenanya suatu nilai dapat menjadi objektif harus melalui proses yang objektif pula dan dalam organisasi dapat diwujudkan dalam bentuk penilaian anggota atas suatu obyek agar dapat bersifat objektif. Pembahasan dari para anggota atas proses penegakan Kode Etik sangat berpengaruh dalam menegakkan etika profesi. Pembahasan dan penilaian bersama menimbulkan anggota organisasi dapat menerima sanksi pelanggaran secara lapang dada karena anggota telah menyadari atas resiko terhadap pelanggaran yang telah diperbuat.
       Penegakan  terhadap Kode Etik bukan saja melalui sanksi terhadap anggotanya, akan tetapi dimulai dari sosialisasi kepada anggotanya dalam setiap rapat organisasi mengenai tujuan pokok rumusan etika, yang dijelaskan oleh Suhrawardi K.Lubis sebagai berikut:
namun demikian dapat diutarakan bahwa prinsip-prinsip yang umum dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda-beda satu sama lain. Hal ini dapat terjadi disebabkan perbedaan, adat-istiadat, kebiasaan, kebudayaan dan peranan tenaga ahli profesi yang didefinisikan dalam suatu negara dengan negara tertentu tidak sama. Adapun yang menjadikan tujuan pokok dari rumusan etika yang dituangkan dalam Kode Etik profesi adalah:
1.standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab kepada klien, lembaga (institution), dan masyarakat pada umumnya;
2.standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaannya;
3.standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi atau nama dan fungsi profesi dalam masyarakat melawan kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu;
4.Standar - standar etika mencerminkan / membayangkan pengharapan  moral-moral dari komunitas.  Dengan demikian, standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi akan menaati Kitab Undang-undang etika (Kode Etik) profesi dalam pelayanannya; dan
5.standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi.
       Tujuan dari rumusan etika harus disadari oleh anggota profesi sebagai suatu kepentingan bersama bahkan sebagai kepentingan person profesi dalam memberikan arah serta standar dalam melaksanakan profesinya, sehingga layaknya Kode Etik sebagai suatu Undang-undang.  
       Pengertian pelanggaran terhadap Kode Etik memiliki makna yang luas, karena pelanggaran dimaksud juga merupakan pelanggaran terhadap hukum, sedangkan pengertian pelanggaran terhadap hukum juga merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik. Sedemikian pentingnya Kode Etik harus ditegakkan serupa hukum positif mengingat keberadaan Kode Etik sebagai hukum khusus yang terkait dengan kepentingan publik. Hal serupa juga dikemukakan oleh Todung Mulya Lubis sebagai berikut: “dengan demikian, tempat Kode Etik itu adalah dalam perangkat hukum khusus yang memang mempunyai karakteristik khusus, akan tetapi mempunyai fungsi penting di dalam masyarakat profesi, karena rasa hormat terhadap etika profesi inilah yang memelihara kredibilitas profesi itu dimata masyarakat”.
       Kredibilitas profesi Advokat dimasyarakat bukan semata-mata demi kepentingan Advokat, tetapi harus dikembalikan pada tujuan keberadaan Advokat yang terdiri dari berbagai kepentingan dan hal tersebut dapat ditelaah dari sifat pemberlakuan Kode Etik. Sesuai yang dikemukakan oleh Oemar Seno Adji bahwa:
Kode Etik sebagai wadah peraturan-peraturan perilaku yang disepakati bersama oleh masyarakat profesi, pada umumnya mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para profesionalis. Kode Etik juga mengandung dalam falsafah hukum, apa yang dikualifisir sebagai normatieve etiek. Sebagai normatieve etiek, umumnya dapat dikatakan bahwa Kode Etik mengandung ketentuan-ketentuan yang bersifat gesinnung, yaitu:
1.kewajiban pada diri sendiri;
2.kewajiban-kewajiban pada umum;
3.ketentuan-ketentuan mengenai kerekanan; dan
4.kewajiban terhadap orang ataupun profesi yang dilayani.
Luasnya  cakupan  Kode  Etik  memerlukan  perhatian  khusus  tidak  saja terhadap penegakannya, akan tetapi juga terhadap materi, sistem pengawasan dan penindakan. Penegakan tanpa diimbangi oleh faktor pendukung yang lain menimbulkan kelemahan hukum yang justru dapat dimanfaatkan demi kepentingan mengelabui Kode Etik itu sendiri. Berkaitan  dengan  penegakan  Kode  Etik,  maka  Hadi  Herdiansyah  dan rekan mengutip dari B.Arief Sidharta menyatakan sebagai berikut:
faktor lemahnya pelaksanaan dan penegakan Kode Etik profesi hukum antara lain adalah:
1.banyak pengemban profesi hukum dan masyarakat pada umumnya tidak mengetahui dan memahami secara baik dan lengkap tentang substansi dan prosedur yang diatur dalam Kode Etik profesi hukum;
2.dalam praktek, Kode Etik profesi hukum tidak ditegakkan dengan menggunakan mekanisme atau prosedur dan sanksi yang telah diatur dalam Kode Etik yang bersangkutan;
3.substansi Kode Etik, sanksi dan aturan prosedural penegakannya belum cukup lengkap dan jelas;
4.faktor kultural yang kurang mendukung kultur kelembagaan. Seperti sikap ewuh pakewuh, sikap melindungi sejawat secara berlebihan, karena pemahaman dan penghayatan yang keliru terhadap pengertian solidaritas dan moralitas;
5.tingkat responsivitas lembaga-lembaga yang bertugas menegakkan Kode Etik pada umumnya masih rendah;
6.Tingkat konsistensi lembaga dalam menjatuhkan sanksi kepada pelanggar Kode Etik masih rendah; dan
7.Karakter organisasi profesi hukum yang tertutup dan eksklusif menyebabkan sempitnya kesempatan masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap profesi hukum yang menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah.
Pengawasan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Komisi  Pengawas  merupakan  bentuk  penegakan hukum terhadap penegak hukum, hal tersebut  sebagai  dasar  bagi  penegak hukum untuk menegakkan supremasi hukum.
    pada perkembangan dunia ilmu pengetahuan yang makin modern, maka peran organisasi profesi makin luas demi kepentingan umum. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut:
organisasi profesi merupakan wadah penting untuk pembinaan profesi. Pembinaan ini terutama ditujukan kepada manusia-manusia yang menyandang profesi tersebut, yakni masyarakat atau komunitas profesi. Setiap profesi selalu didukung oleh sistem nilai yang dituangkan dalam standar kualifikasi dan kompetensi dari penyandang profesi ini. Sistem nilai ini juga tercermin dari Kode Etik profesi, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga organisasi profesi, dan sebagainya. Sistem nilai tersebut juga hadir dalam praktek keseharian yang dilakukan dalam hubungan antara para penyandang profesi dengan para pengguna jasa mereka. Dengan kata lain, sistem nilai ini mengejawantah sebagai budaya (kultur) profesi, atau sebaliknya, penyandang profesi adalah pendukung kebudayaan.
Peran  organisasi  profesi  tidak  hanya  pengawasan  dan  penindakan, akan  tetapi   juga dibutuhkan fungsi pembinaan bagi para anggotanya dengan tujuan efektifitas dilaksanakannya etika profesi. Pembinaan yang dilakukan oleh organisasi profesi diharapkan dapat meminimalkan pelanggaran etika dalam organisasi ataupun anggota organisasi. Organisasi profesi dapat berperan sesuai dengan yang diharapkan, apabila sistem dalam organisai profesi tertata dengan baik sehingga mekanisme organisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, bahkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi harus tertata dengan baik serta sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, selanjutnya baru dapat mengatur anggotanya.
       Organisasi merupakan manajemen yang tentunya dikelola oleh pengurus, dengan kata lain meskipun anggaran dasar, anggaran rumah tangga maupun Kode Etik sudah sesuai dengan ketentuan yang ada tanpa didukung oleh manajemen yang profesional maka organisasi tidak akan mampu melakukan pembinaan, pengawasan maupun penindakan terhadap anggotanya. Besesuaian dengan pendapat Shrode dan Voich, yang dikutip oleh Abdul Wahid dan Anang Sulistyono sebagai berikut:
apabila kita sudah mulai berbicara mengenai organisasi, maka suatu hal yang pokok adalah bagaimana organisasi itu akan “dibuat berjalan”. Proses ini tidak lain merupakan kegiatan manajemen. Manajemen ini bisa diartikan sebagai seperangkat kegiatan atau suatu proses untuk mengoordinasikan dan mengintegrasikan penggunaan sumber-sumber daya dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi melalui orang-orang, teknik-teknik dan informasi dan dijalankan dalam kerangka suatu struktur organisasi.
Pendapat  tersebut  menempatkan  orang-orang guna mencapai tujuan organisasi, karena suatu sistem manajemen pelaksanaannya dilakukan oleh pengurus. Kualitas pengurus organisasi memegang peranan penting baik dari segi keilmuan maupun dari segi moralitas serta komitmen yang tinggi terhadap organisasi itu sendiri. Organisasi profesi memiliki tantangan yang berat terhadap penindakan atas penyalahgunaan profesi oleh anggota sejawat demi terwujudnya profesionalisme dalam penerapannya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Supriadi bahwa:
dalam kenyataannya,ditengah-tengah masyarakat sering terjadi penyalahgunaan profesi hukum oleh anggotanya sendiri. Terjadinya penyalahgunaan profesi hukum tersebut disebabkan adanya faktor kepentingan. Sumaryono mengatakan bahwa penyalahgunaan dapat terjadi karena adanya persaingan individu profesional hukum atau tidak adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum dapat dilihat dua hal yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu disatu sisi, cita-cita etika yang terlalu tinggi, dan disisi lain, praktek pengembalaan hukum yang berada jauh dibawah cita-cita tersebut. Selain itu, penyalahgunaan profesi hukum terjadi karena desakan pihak klien yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunya ingin menang. Klien kadangkala tidak segan-segan menawarkan bayaran yang menggiurkan baik kepada penasihat hukum ataupun Hakim yang memeriksa perkara.
Tantangan organisasi profesi bukan hanya penindakan penyalahgunaan profesi, akan tetapi dituntut mampu mengawasi kinerja profesi agar tidak melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik profesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar