Tugas Permasalahan Kewarganegaraan

Permasalahan Kewarganegaraan (status anak dalam pernikahan perempuan WNI dengan laki-laki WNA)

Di indonesia sering terjadi pernikahan campuran, yang dilakukan oleh warga negara indonesia dengan warga negara asing. Yang dimaksud dengan warga negara indonesia disisni dikhususkan untuk perempuan warga negara indonesia yang menikah dengan laki-laki warga negara asing. Dalam hal ini yang menjadi persoalan bukanlah tentang perkawinannya melainkan status anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Dalam UU no 62 tahun 1958 perempuan indonesia yang menikah dengan laki-laki asing merasa sangat dirugikan, dan anak yang dilahirkan tidak bisa mendapat kewarganegaraan indonesia sesuai dengan kewarganegaraan ibunya.

Undang-undang itu menggariskan bahwa Indonesia menganut asas ius sanguinis patriarkal. Artinya, anak yang lahir dari perkawinan ibu WNI dan ayah WNA otomatis mengikuti kewarganegaraan sang ayah. Sementara itu, status kewarganegaraan anak WNA untuk menjadi WNI hanya bisa setelah si anak berusia 18 tahun. Sehingga jika setiap tahunnya keluarga kawin campuran itu menetap di Indonesia, bahkan anak-anak hasil perkawinan tersebut tiap tahunnya harus memperpanjang KITAS (Kartu Ijin Tinggal Sementara)  dan berurusan dengan pihak imigrasi. Jika tidak akan terkena sanksi overstay, status penduduk gelap, dan akan kena deportasi. Selain itu, dengan berklakunya UU tentang kewarganegaraan yang lama wanita Indonesia juga akan kehilangan kewarganegaraannya jika menikah dengan pria dari negara-negara yang mewajibkan kewarganegaraan yang sama, seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan Zimbabwe. Dan masih banyak lagi kelemahan dan masalah yang dimiliki oleh UU no 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan yang dirasakan oleh kaum wanita yang menikah dengan laki-laki asing. Contohnya jika terjadi perceraian tentu hak asuh si anak sangat sulit dimenangkan oleh sang ibu karena tidak memiliki kewarganegaraan dari sang ibu. Misal juga sang ibu yang ingin membawa kabur anaknya kembali ke Indonesia karena perlakuan yang tidak menyenangkan dari sang suami di luar negeri, hal ini jika dilaporkan tentu akan terjadi kasus penculikan yang dilakukan oleh sang ibunya sendiri. Padahal sang ibu tentu tidak ingin menculik anaknya sendiri, karena anaknya adalah milik sang ibu juga.

Dari ketidakadilan yang dirasakan oleh para wanita yang melakukan pernikahan dengan warga asing tersebut menuntut para wanita tersebut ingin memperjuangkan hak-hak yang dimiliki atas anak yang telah dilahirkan. Dan perjuangan yang dilakukan oleh kaum wanita tersebut tidak membutuhkan waktu yang sedikit, melainkan membutuhkan waktu yang sangat lama. Setelah lebih dari 47 tahun wanita pelaku pernikahan campuran bersama anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan itu terikat dalam berbagai peraturan yang ironis, dan kini akhirnya mereka bisa bernafas lega. Mereka tidak lagi dianggap sebagai kaum minoritas yang selalu tertindas dan tidak punya kekuatan hukum di negeri sendiri. Beban dan tekanan psikologis, yang harus mereka tanggung bertahun-tahun dan telah terjadi berbagai kasus yang disebabkan oleh hal tersebut ( UU no 62 tahun 1958), kini sedikit bisa terangkat dan dirasakan oleh kaum wanita pelaku kawin campuran sudah memiliki kekuatan hukum.

Hal tersebut tidak lepas dari berlakunya UU yang baru tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-undang baru tersebut telah membawa perubahan besar terhadap kaum wanita pelaku pernikahan campuran. Di bawah UU yang baru, anak-anak hasil perkawinan campur memiliki dua kewarganegaraan sampai mereka berusia 18 tahun plus 3 tahun. Bagitu juga dengan para ibunya, yang boleh memilih kewarganegaraan yang diinginkannya, kecuali untuk empat negara seperti Bhutan, Taiwan, Iran dan Zimbabwe. Undang-undang kewarganegaraan yang baru tersebut adalah UU no 12 tahun 2006. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, kasus-kasus yang dulu pernah terjadi kini semakin dapat dikurangi. Dan hal tersebut disambut baik oleh kaum wanita pelaku perkawinan campuran. Karena usaha yang dilakukannya untuk mendapatkan hak atas anak yang dilahirkannya tersebut dapat terpenuhi dan tidak merupakan usaha yang sia-sia belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar