Liberalisasi Islam
Tantangan bagi Peradaban Melayu
Oleh: Adian Husaini, MA
A. Islam dan Peradaban Melayu
Ramai para cendekiawan merumuskan, bahawa unsur pokok suatu peradaban (civilization) adalah agama. Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Sebab itu, Bernard Lewis, menyebut peradaban Barat dengan sebutan “Christian Civilization”, dengan unsur utama agama Kristian. Samuel P. Huntington juga menulis: “Religion is a central defining characteristic of civilizations.” Menurut Christopher Dawson, “The great religions are the foundations of which the great civilizations rest.” Di antara empat peradaban besar yang masih eksis – Islam, Barat, India, dan Cina, menurut Huntington, terkait dengan agama Islam, Kristian, Hindu, dan Konghucu. 1
Peradaban-peradaban kuno, seperti Mesopotamia dan Mesir Juno juga menempatkan agama sebagai unsur utama peradaban mereka. Marvin Perry mencatat:
“Religion lay at the center of Mesopotamian life. Every human activity - political, military, social, legal, literary, artistic - was generally subordinated to an overriding religious purpose. Religion was the Mesopotamians' frame of reference for understanding nature, society, and themselves; it dominated and inspired all other cultural expressions and human activities.” 2
Begitu juga dalam tradisi peradaban Mesir Kuno, agama menempati peranan yang sangat penting:
“Religion was omnipresent in Egyptian life and accounted for the outstanding achievements of Egyptian civilization. Religious beliefs were the basis of Egyptian art, medicine, astronomy, literature, and government.” 3
Pakar sejarah Melayu, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, menyebutkan, bahawa dalam perjalanan sejarah ketamadunan Melayu, kedatangan Islam di wilayah kepulauan Melayu-Indonesia merupakan peristiwa terpenting dalam sejarah kepulauan tersebut. (the coming of Islam seen from the perspective of modern times … was the most momentous event in the history of the Archipelago). Bahasa Melayu yang kemudian menjadi bahasa pengantar di kepulauan Melayu-Indonesia (the Malay-Indonesian archipelago) merupakan “bahasa Muslim” kedua terbesar yang digunakan oleh lebih dari 100 juta jiwa. 4
Sebab itu, Melayu kemudian menjadi identik dengan Islam. Sebab, agama Islam merupakan unsur terpenting dalam peradaban Melayu. Islam dan bahasa Melayu kemudian berhasil menggerakkan ke arah terbentuknya kesadaran nasional. Al-Attas mencatat masalah ini:
“Together with the historical factor, the religious and language factors began setting in motion the process towards a national consciousness. It is the logical conclusion of this process that created the evolution of the greater part of the Archipelago into the modern Indonesian nation with Malay as its national language… The coming of Islam constituted the inauguration of a new period in the history of the Malay-Indonesian Archipalego” 5
Kamus Dewan yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1989, juga menegaskan keidentikan antara Islam dengan Melayu. Disebutkan, bahawa istilah “masuk Melayu” mempunyai dua erti, yaitu (1) mengikut cara hidup orang-orang Melayu dan (2) masuk Islam.
Berangkat dari pentingnya peranan agama dalam suatu tamadun, maka dapat dijelaskan, bahwa tanda-tanda kehancuran suatu peradaban dapat dilihat sejauh mana unsur utama (agama) dalam peradaban tersebut tetap terpelihara dengan baik. Jika agama yang menjadi pondasi utama peradaban itu sudah rosak, maka dapat diartikan, peradaban itu telah mengalami satu perubahan yang signifikan. Mungkin peradaban itu tinggal hanya namanya sahaja. Tetapi, hakikatnya, peradaban tersebut sudah rosak atau sudah hancur.
B. Al-Quran dan Kehancuran Tamadun
Beberapa ayat al-Quran al-Karim memberikan penjelasan tentang kehancuran suatu bangsa. Penjelasan al-Quran ini sangatlah penting untuk menjadi pelajaran, khususnya bagi kaum Muslimin, agar mereka tidak mengulang kembali tindakan-tindakan yang dilakukan oleh umat terdahulu, yang boleh menjejaskan dan menghancurkan peradaban mereka.
Allah SWT berfirman:
Maka apabila mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba (sekonyong-konyong), maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (QS al-An’am:44).
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepatutnya berlaku keputusan Kami terhadap mereka, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS al-Isra’:16)
Dua ayat dalam al-Quran yang menjelaskan tentang kehancuran suatu negeri itu bercerita, bahwa kehancuran suatu kaum berhubungan dengan hal-hal: (1) sikap kaum yang melupakan peringatan Allah SWT, sehingga mereka lupa diri dan hidupnya dihabiskan untuk sekedar mencari kesenangan demi kesenangan (hedonisme). Hal ini juga disebutkan dalam al-Quran surat at-Taubah ayat 24. (2) tindakan elite-elite atau pembesar masyarakat yang melupakan Allah SWT dan membuat kerusakan di muka bumi. Apabila di dalam suatu peradaban sudah tampak dominan adanya para pembesar, tokoh masyarakat, orang-orang kaya yang bergaya hidup ranggi, atau sesiapa saja yang bermewah-mewah dalam hidupnya, maka itu pertanda kehancuran peradaban itu sudah dekat.
Akan tetapi, dari kedua hal tersebut, inti dari kehancuran peradaban atau bangsa, adalah kehancuran iman dan kehancuran akhlak. Apabila iman kepada Allah SWT sudah rosak, maka secara otomatis pula akan terjadi pembangkangan terhadap aturan-aturan Allah SWT.
Rasulullah saw berkata:
Rasulullah saw berkata:
“Apabila perzinahan dan riba sudah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri.” (HR Thabrani dan al-Hakim).
Dalam sejarah manusia, berbagai kehancuran peradaban di muka bumi sudah begitu banyak terjadi. Dan Allah SWT menganjurkan kaum Muslimin agar mengambil pelajaran (hikmah) dari peristiwa-peristiwa sejarah tersebut. “Maka berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana hasilnya orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul Allah SWT) (QS an-Nahl:36)
Sebagai misal, Kaum ‘Ad, telah dihancurkan oleh Allah SWT karena berlaku takabbur dan merasa paling berkuasa dan paling kuat. Mereka merasa tiada siapa saja yang dapat mengalahkan mereka, sehingga mereka berkata: “Siapa yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” (QS Fusshhilat:15). Begitu juga kehancuran yang menimpa Fir’aun, Namrudz, dan sebagainya. Di masa Rasuullah saw, kaum Muslim yang jumlahnya sangat besar dan berlipat-lipat daripada kaum kuffar, hampir saja dikalahkan dalam Perang Hunain (QS at-Taubah:25).
Sejarah juga mencatat, bagaimana Peradaban Islam di Spanyol yang sangat agung dan sudah bertahan selama 800 tahun dapat dihancurkan oleh kaum Kristian dan akhirnya kaum Muslimin dimusnahkan dari bumi Spanyol. S.M. Imamuddin menyebutkan beberapa faktor penyebab kehancuran peradaban Islam di Spanyol. Yang terpenting adalah adanya perpecahan dan kecemburuan antar suku. Bahkan ada beberapa penguasa Muslim di Spanyol, seperti Ma’mun dari Toledo dan Dinasti Nasrid, mendapatkan kekuasaan dengan bantuan kekuatan Kristian untuk menghancurkan kekuatan Muslim lainnya.6 Sejarah jatuhnya Palestina ke tangan Zionis Yahudi juga boleh dijadikan pelajaran bagi kaum Muslimin.
Bagaimana suatu kaum yang minoriti dari segi jumlah dapat mengalahkan kaum Muslim yang sangat besar. Pada tahun 1917, ketika Deklarasi Balfour diumumkan, jumlah orang Yahudi di Palestina adalah 56.000 orang, sedangkan jumlah orang Arab Palestina sekitar 644.000 orang. Tahun 1922, terdapat 83.794 orang Yahudi dan 633.000 orang Arab di Palestina. Pada tahun 1931, terdapat 174.616 orang Yahudi dan 750.000 orang Arab. Tahun 1947, menjelang pembagian wilayah Palestina oleh PBB, jumlah orang Yahudi sudah mencapai 608.225 orang. Sedangkan orang Arab Palestina mencapai 1.237.332 orang. Pada tahun 1917, kaum Zionis baru menguasai 2,5 persen dari tanah Palestina. Tahun 1947 – setahun menjelang berdirinya negara Israel 14 Mei 1948 -- kaum Zionis baru menguasai 6,5 persen tanah Palestina.7
Mengapa kaum Muslimin kalah di Palestina, dan sampai sekarang kaum Muslimin yang jumlahnya sekitar 1,2 milyar jiwa belum boleh merebut kembali Kota Suci Jerusalem dan Masjid al-Aqsha dari tangan Zionis Israel? Padahal, jumlah kaum Yahudi seluruh dunia, sampai sekarang tidak lebih dari 16 juta jiwa. Bahkan, hampir setiap hari ada berita tentang pembunuhan kaum Muslimin di Palestina oleh kaum Zionis. Mulai 28 September 2000 sampai 18 Mei 2003 sudah 3.238 orang Palestina yang menjadi korban keganasan Zionis Israel. 8
Bagaimana suatu kaum yang minoriti dari segi jumlah dapat mengalahkan kaum Muslim yang sangat besar. Pada tahun 1917, ketika Deklarasi Balfour diumumkan, jumlah orang Yahudi di Palestina adalah 56.000 orang, sedangkan jumlah orang Arab Palestina sekitar 644.000 orang. Tahun 1922, terdapat 83.794 orang Yahudi dan 633.000 orang Arab di Palestina. Pada tahun 1931, terdapat 174.616 orang Yahudi dan 750.000 orang Arab. Tahun 1947, menjelang pembagian wilayah Palestina oleh PBB, jumlah orang Yahudi sudah mencapai 608.225 orang. Sedangkan orang Arab Palestina mencapai 1.237.332 orang. Pada tahun 1917, kaum Zionis baru menguasai 2,5 persen dari tanah Palestina. Tahun 1947 – setahun menjelang berdirinya negara Israel 14 Mei 1948 -- kaum Zionis baru menguasai 6,5 persen tanah Palestina.7
Mengapa kaum Muslimin kalah di Palestina, dan sampai sekarang kaum Muslimin yang jumlahnya sekitar 1,2 milyar jiwa belum boleh merebut kembali Kota Suci Jerusalem dan Masjid al-Aqsha dari tangan Zionis Israel? Padahal, jumlah kaum Yahudi seluruh dunia, sampai sekarang tidak lebih dari 16 juta jiwa. Bahkan, hampir setiap hari ada berita tentang pembunuhan kaum Muslimin di Palestina oleh kaum Zionis. Mulai 28 September 2000 sampai 18 Mei 2003 sudah 3.238 orang Palestina yang menjadi korban keganasan Zionis Israel. 8
Kehancuran dan kejatuhan berbagai kaum, negeri, bangsa, dan tamadun, inilah yang sepatutnya direnungkan secara mendalam dan sungguh-sungguh oleh kaum Muslimin, khususnya para ulama dan cendekiawan Muslim di wilayah Peradaban Melayu. Apakah gejala-gejala kehancuran suatu negeri atau peradaban seperti yang disebutkan dalam al-Quran dan pernah terjadi dalam sejarah manusia sudah ditemukan dalam wilayah peradaban Melayu? Kalau gejala-gejala itu sudah ada, bagaimana cara menghindarkannya?
Tulisan pada bagian berikutnya akan menfokuskan pada fakta-fakta tentang tanda-tanda kehancuran keimanan (Tauhid/aqidah Islam) yang terjadi di wilayah peradaban Melayu, khususnya yang terjadi di Indonesia. Di kalangan kaum Muslimin, tidak ada ikhtilaf sedikit pun, bahwa Tauhid atau aqidah Islamiyah adalah asas tegaknya agama Islam. Jika asas Tauhid ini runtuh atau rosak, maka akan runtuhlah bangunan agama Islam. Mungkin karena menyadari pentingnya akidah Islam untuk menjaga ketahanan masyarakat, JAKIM menyatakan:
"Kerajaan tidak pernah bersikap sambil lewa dalam hal-hal yang berkaitan dengan akidah umat Islam. Segala pendekatan dan saluran digunakan secara bersepadu dan terancang bermula dari pendidikan hinggalah ke penguatkuasaan undang-undang semata-mata untuk melihat akidah umat Islam terpelihara di bumi Malaysia". 9
Kalimat itu boleh diertikan bahawa Kerajaan Malaysia akan bersikap sungguh-sungguh untuk menghalangi masuknya fahaman-fahaman yang merosak akidah Islam. Kalimat setegas itu untuk menjaga akidah Islam belum pernah secara resmi disampaikan oleh Kerajaan Indonesia. Dalam Konstitusi Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 pasal 29, disebutkan: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi, tidak secara tegas negara Indonesia menyatakan untuk melindungi akidah Islam. Sebab itu, di Indonesia berbagai fahaman yang merosak akidah Islam berkembang dengan bebasnya, termasuk yang disebarkan oleh tokoh-tokoh dan cendekiawan Muslim; bahkan ada yang disebarkan oleh orang-orang yang disebut sebagai ulama dan kyai. Tentunya hal ini sangat merugikan dan boleh membawa kesan yang serius terhadap akidah umat Islam yang awam, karena para tokoh, cendekiawan dan ulama itu dijadikan sebagai contoh dan teladan bagi umatnya.
C. Sekularisasi dan hadiah Kristian
Sebenarnya, sejak Peradaban Barat menguasai dunia, kaum Muslimin di seluruh dunia Islam sudah menghadapi masalah sekularisasi, dan kemudian juga liberalisasi Islam. Dua peradaban itu – Barat dan Islam – memiliki perbedaan yang asasi dari segi pandangan hidup. Peradaban Barat yang merupakan ramuan dari ajaran Kristian, filsafat Yunani, dan tradisi Romawi memang bertentangan secara mendasar dengan pandangan hidup Islam. Karena itu, akan selalu terjadi “konfrontasi” antara Islam dengan Barat (permanent confrontation). Barat akan selalu melihat Islam sebagai tantangan terhadap pandangan hidup mereka. Tentang konflik abadi Islam-Barat ini, Naquib al-Attas mencatat:
“The confrontation between Western culture and civilization and Islam, from the historical religious and military levels, has now moved on to the intellectual level; and we must realize, then, that this confrontation is by nature a historically permanent one. Islam is seen by the West as posing a challenge to its very way of life; a challenge not only to Western Christianity, but also to Aristotelianism and the epistemological and philosophical principles deriving from Graeco-Roman thought which forms the dominant component integrating the key elements in dimensions of the Western worldview.” 10
Al-Attas juga menekankan, bahawa dalam melihat ancaman Islam, Barat tidak bersikap pasif, tetapi sangat aktif memerangi Islam dalam berbagai bidang. Dalam sebuah risalahnya kepada kaum Muslimin, al-Attas mengingatkan:
“Shahadan, maka sesungguhnya tiada hairan bagi kita jikalau agama Kristaan Barat dan orang Barat yang menjelmakan Kebudayaan Barat itu, dalam serangbalasnya terhadap agama dan orang Islam, akan senantiasa menganggap Islam sebagai bandingnya, sebagai tandingnya, sebagai taranya dan seterunya yang tunggal dalam usaha mereka untuk mencapai kedaulatan duniawi. Dan kita pun tahu bahawa tiadalah dapat Islam itu bertolak-ansur dalam menghadapi serangan Kebudayaan Barat, justru sehingga Kebudayaan Barat itu tentulah menganggap Islam sebagai seterunya yang mutlak; dan kesejahteraannya hanya akan dapat terjamin dengan kemenangannya dalam pertandingan mati-matian dengan Islam, sebab selagi Islam belum dapat ditewaskan olehnya maka akan terus ada tanding dan seteru yang tiada akan berganjak daripada mencabar dan menggugat kedaulatan serta faham dasar-dasar hidup yang dida’yahkan olehnya itu.” 11
Agama Kristian, yang merupakan agama mayoriti daripada Peradaban Barat, telah lama tersekularkan atau ter-Barat-kan (Westernized Christian) E.L. Mascall, dalam bukunya, The Secularization of Christianity, menyatakan, “… that instead of converting the world to Christianity they are converting Christianity to the World. “ 12
Karena itu, tidaklah menghairankan jika kaum Kristian tidak memandang sekularisme sebagai ancaman bagi agama mereka. Gereja tidak memandang sekularisme atau sekularisasi sebagai hal yang selalu negatif. Menurut seorang tokoh Kristian di Indonesia, Tom Jacobs SJ, "Revolusi Perancis berarti didirikannya negara sekular. Seluruh proses ini, khususnya sekitar revolusi Perancis, tidak hanya terang bersifat anti-Gereja, tetapi anti-agama, bahkan menjadi ateis. Namun perkembangan ke arah sekularisme atau sekularisasi sebetulnya belum berarti sesuatu yang negatif." Tom Jacobs menjelaskan, sekularisasi dapat dilihat sebagai usaha pemurnian agama dan reaksi terhadap "sakralisasi" yang melampaui batas. Pada dasarnya, sekularisasi sebagai usaha "desakralisasi" adalah suatu reaksi melawan kuasa pimpinan Gereja, yang mau menguasai seluruh dunia. Maka akhirnya permasalahan itu kembali kepada soal yang dirumuskan oleh Paus Gelatius I: Karena Gereja mengidentifikasikan diri dengan kuasa dunia, maka reaksi terhadap kuasa gereja ini menjadi suatu proses melawan Gereja dan agama. 13
Arend Theodore van Leeuwen mengatakan, bahwa penyebaran agama Kristian ke seluruh dunia membawa pesan sekularisasi. Oleh kaum sekular Kristian, hubungan erat antara gereja dan negara di abad pertengahan adalah kesalahan dan “pencerahan” (renaissance) berhasil membawa misi sekularisasi Kristian ini kembali ke rel-nya. Secara umum, sejarah revolusioner Barat sampai sekarang adalah melanjutkan proses sekularisasi dan hal itu merupakan proses yang tak bisa dihentikan dan terus berputar. Sebab itu, kata Leeuwen, budaya sekular merupakan hadiah Kristian kepada dunia.14
D. Sekularisasi dan Liberalisasi Islam di Indonesia
Sebagaimana di bagian dunia Islam lainnya, wilayah Peradaban Melayu, juga tidak terlepas dari usaha sekularisasi oleh Barat. Di Indonesia, usaha sekularisasi sudah dilakukan sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1930-an, Soekarno yang ketika itu belum menjadi Presiden sudah menulis beberapa artikel yang mendukung sekularisasi yang dilakukan Musthafa Kemal Attaturk di Turki. Dalam Majalah Pandji Islam nomor 12 dan 13 tahun 1940, Soekarno menulis sebuah artikel berjudul “Memudakan Islam”. Menurut Soekarno langkah-langkah sekularisasi yang dijalankan kemal Attaturk adalah tindakan “paling modern” dan “paling radikal”. Katanya: “Agama dijadikan urusan perorangan. Bukan Islam itu dihapuskan oleh Turki, tetapi Islam itu diserahkan kepada manusia-manusia Turki sendiri, dan tidak kepada negara. Maka oleh karena itu, salahlah kita kalau kita mengatakan bahwa Turki adalah anti-agama, anti-Islam. Salahlah kita, kalau kita samakan Turki itu dengan, misalnya, Rusia.”
Mengutip Frances Woodsmall, Soekarno mencatat:
“The attitude of modern Turkey towards Islam has been anti-orthodox, or anti-ecclesiatical, rather than anti-religious… The validity of Islam as a personal belief has not been denied. There has been no cessation of the services in the mosque, or rather religious observances.”
Jadi, kata Soekarno, apa yang dilakukan Turki sama dengan yang dilakukan negara-negara Barat. Di negara-negara seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgia, Jerman, dan lain-lain, urusan agama diserahkan kepada individu pemeluknya, agama menjadi urusan pribadi, dan tidak dijadikan sebagai urusan negara, tidak dijadikan sebagai agama resmi negara.
Pemikiran Soekarno itu ditentang oleh tokoh-tokoh Islam seperti A. Hassan dan Mohammad Natsir. A. Hassan mengritik keras pandangan Soekarno tentang sekularisme. Di Majalah yang sama ia menulis artikel berjudul “Membudakkan Pengertian Islam”. Hassan menyebut logika Soekarno sebagai “logika otak lumpur”. Sebagian besar pejabat pemerintah Turki di masa Attaturk, menurut A. Hassan, adalah pemabok, hobi dansa, dan pelaku berbagai kegiatan maksiat lainnya. Tetapi, itulah yang justru dipuji Soekarno sebagai tindakan paling modern dan radikal. Mereka juga yang menghapus hukum-hukum Allah dari masyarakat Turki. Tuliosan Arab diganti dengan Latin. A. Hassan mencontohkan, di negara Rusia saja, orang Islam bebas salat di masjid dan boleh berazan dalam bahasa Arab. Sedangkan di Turki, oleh Kemal Attaturk, azan pun harus dilakukan dengan bahasa Turki. A. Hassan juga membantah logika Soekarno bahwa pengaruh Islam di Turki hilang karena diurus oleh pemerintah. Faktanya, penguasa Islam waktu itu tidak menjalankan dan mengurus Islam sebagaimana semestinya diajarkan oleh Islam. Bahkan, tak jarang, agama hanya dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Akan tetapi, kata A. Hassan, ini bukan berarti Islam tidak sanggup mengurus negara.15
Usaha kelompok sekular di Indonesia berhasil menggagalkan berdirinya negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, kelompok nasionalis sekular terus berhadapan dengan kelompok nasionalis Islam. Kedua kelompok ini akhirnya bersepakat membentuk Panitia Sembilan yang dipimpin oleh Soekarno dan pada tanggal 9 Juli 1945 berhasil menyusun Piagam Jakarta. Piagam ini memuat kata-kata: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya (yang kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”. Soekarno mengatakan, bahwa "tujuh kata" itu adalah "kompromi untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama." 16
Dalam sejarah perjalanan politik Indonesia, kelompok sekular tetap berhasil mempertahankan dominasinya dalam politik Indonesia, sejak kemerdekaan sampai zaman reformasi. Usaha-usaha untuk menetapkan Islam sebagai agama resmi negara atau menerapkan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara senantiasa mengalami kegagalan. Bahkan, setelah reformasi, tokoh-tokoh Islam turut menolak dimasukkannya “tujuh kata” dari Piagam Jakarta ke dalam konstitusi. Sebagai contoh, pada tanggal 10 Agustus 2000, tiga tokoh Islam Indonesia, yaitu Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Syafii Ma’arif, dan Prof. Dr. Nurcholish Madjid membuat pernyataan bersama. Isinya: menolak masuknya Piagam Jakarta dalam pasal UUD 1945. Ada tiga alasanm yang dikemukakan: (1) pencantuman Piagam Jakarta akan membuka kemungkinan campur tangan negara dalam wilayah agama yang akan mengakibatkan kemudharatan, baik bagi agama maupun pada negara sebagai wilayah publik, (2) dimasukkannya Piagam Jakarta akan membangkitkan kembali prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai “negara Islam” di Indonesia, (3) Dimasukkannya Piagam Jakarta bertentangan dengan visi negara nasional yang memperlakukan semua kelompok di negeri iji secara sederajat.17
Perubahan besar yang terjadi di kalangan tokoh-tokoh Islam ini menunjukkan suksesnya gerakan sekularisasi di Indonesia. Usaha ini dimulai oleh Nurcholish Madjid, yang ketika itu menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi mahasiswa Islam terbesar. Pada tanggal 2 Januari 1970, dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, di Menteng Raya 58, Nurcholish Madjid membacakan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Nurcholish Madjid menulis dalam makalah itu: “… dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan merobah kaum muslimin menjadi kaum sekularis. Tapi dimaksudkan untuk menduniakan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi dan melepaskan ummat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrowikannya.”
Dalam wawancara dengan Harian Kompas tanggal 1 April 1970, Nurcholish mengatakan: “Orang yang menolak sekularisasi lebih baik mati saja. Karena sekularisasi adalah inherent dengan kehidupan manusia sekarang di dunia ini (saeculum berarti jaman atau keadaan sekarang, juga berarti dunia ini). Dalam makalahnya yang lain, “Sekali Lagi tentang Sekularisasi”, ia juga memaparkan pengertian sekularisasi. Agama Islam, katanya, bila diteliti benar-benar dimulai dari proses sekularisasi terlebih dahulu. Justru ajaran Tauhid itu merupakan pangkal tolak proses sekularisasi secara besar-besaran.
Nurcholish juga mengatakan: “Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep 'Negara Islam' adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinyaadalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan pribadi."
Terhadap pikiran Nurcholish tersebut, cendekiawan Muslim Indonesia, Prof. Rasjidi berkomentar "kata-kata tersebut bukan kata-kata orang yang percaya kepada Quran, akan tetapi merupakan kata orang yang pernah membaca Injil. Dalam Matheus 22-21 disebutkan: Render unto Caesar the things which are caesar' and unto God the thing which are God's. Prof. Tahir Azhary, pensyarah di Faulti Hukum Universiti Indonesia, juga menilai gagasan pembaharuan Nurcholih mengarah kepada sekularisasi Islam, selain mengecewakan umat Islam, menurut Azhary, Nurcholish juga tidak berhasil memahami bagaimana sesungguhnya hubungan antara Agama Islam dan kehidupan kenegaraan dan masyarakat.18
Meskipun mendapatkan tentangan keras dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia, fahaman sekularisasi Nurcholish Madjid tetap berjalan dan membawa kesan yang besar terhadap para intelektual Muslim, disebabkan kuatnya dukungan kerajaan Orde Baru dan mass media di Indonesia. Nurcholish Madjid membungkus fahaman sekularisasinya dengan kata “pembaruan”. Ia diberi sebutan oleh Majalah Tempo sebagai "Penarik Gerbong Kaum Pembaharu". Greg Barton juga menyebut peran Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid sangat sentral dalam gerakan kaum neo-modernis pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Gerakan ini mendapat sebutan berbagai nama, seperti "Pembaruan Pemikiran Islam", "akomodasionis", "substansialis", "progresif", dan "liberal". Mass media Barat, kadangkala menyebut Nurcholish Madjid sebagai "voice of reason" (suara kebenaran) atau "heart of his nation" (hati nurani bangsanya). Greg Barton menjelaskan beberapa prinsip gagasan Islam Liberal: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. Menurut Barton, ada empat tokoh Islam Liberal di Indonesia, yaitu Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, dan Djohan Efendi. 19
Tokoh-tokoh Islam Liberal di Indonesia kemudiannya menjadikan sekularisasi sebagai program penting gerakan liberalisasi Islam. Koordinator Jaringan Islam Liberal, Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekuler... sebab, negara sekuler bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus. 20
Aktivis Islam Liberal lainnya, Dr. Denny JA, juga menulis:
Sudah saatnya komunitas Islam Liberal di Indonesia mengembangkan sebuah teologi tersendiri yang sah secara substansi dan metodologi, yaitu Teologi Islam Liberal. Ini sebuah filsafat keagamaan yang bersandar kepada teks dan tradisi Islam sendiri, yang memberi pembenaran kepada sebuah kultur liberal. Dalam politik, teologi itu menjadi Teologi Negara Sekular (TNS), yaitu sebuah filsafat keagamaan, yang menggali dari teks dantradisi Islam, yang parallel atau membenarkan perlunya sebuah negara yang sekular sekaligus demokratis.21
Jadi, perjuangan kelompok Islam Liberal di Indonesia secara jelas mahu membentuk negara sekular. Mereka sudah menyatakan secara terbuka dan mendapat dukungan yang kuat dari tokoh-tokoh Islam di Indonesia. Hal inilah yang belum pernah terjadi dalam sejarah Islam di Indonesia. Sebab, dulunya yang mengembangkan fahaman sekular bukanlah dari kelompok-kelompok dan organisasi Islam, tetapi dari kelompok sekular atau kebangsaan.
E. Mencanggah aqidah, syariah, dan al-Quran
Fahaman gerakan Islam Liberal bukan hanya memperjuangkan negara sekular dan menolak syariat Islam, tetapi mereka juga sudah mencanggah aqidah Islam. Sebagai contoh, kelompok liberal Islam sering mengatakan, bahwa Islam bukanlah satu-satunya agama yang benar. Semua agama adalah sama. Semuanya boleh masuk sorga Allah SWT. Koordinator Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla mengatakan:
Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. 22
Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency).” … “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. 23
Prof. Dawam Rahardjo, seorang tokoh Muhammadiyah Indonesia, membela keberadaan fahaman kelompok Ahmadiyah di Indonesia. Dia mengatakan:
Ahmadiyah sama dengan kita....Jadi kita tidak bisa menyalahkan atau membantah akidah mereka, apapun akidah mereka itu. Kita menyangka, akidah mereka menyimpang. Misalnya, mereka percaya kalau Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi. Tapi kalau sudah menjadi kepercayaan mereka, mau apa? Itu 'kan soal kerpercayaan. Itu 'kan sama saja dengan kita percaya pada Nabi Muhammad saw. 24
Prof. Dr. Said Aqiel Siradj, ketua Syuriah Pengurus Besar NU, mengatakan:
"Agama yang membawa misi Tauhid adalah Yahudi, Nasrani (Kristian) dan
Islam. Ketiga agama tersebut datang dari Tuhan melalui seorang rasul dan nabi pilihan. Agama Yahudi diturunkan melalui Musa, Nasrani diturunkan melalui 'Isa (Yesus), dan Islam melalui Muhammad. Kedekatan ketiga agama samawi yang sampai saat ini masih dianut oleh umat manusia itu semakin tampak jika dilihat dari genealogi ketiga utusan (Musa, 'Isa, dan Muhammad) yang bertemu pada Ibrahim (Abraham). Ketiga agama tersebut mengakui Ibrahim sebagai "the foundation father's" bagi agama taukhid. Singkatnya, ketiga agama tersebut sama-sama memiliki komitmen untuk menegakkan kalimah Tauhid... Dari ketiga macam Tauhid di atas, tauhid Kanisah Ortodoks Syria tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan Islam. 25
Cendekiawan Muslim terkenal yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Dr. Alwi Shihab mengatakan:
Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengertian lain, eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. 26
Dr. Abdul Munir Mulkhan, wakil sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan:
Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.27
Ucapan-ucapan itu disampaikan oleh tokoh-tokoh dan cendekiawan Islam terkenal di Indonesia yang juga pengurus organisasi-organisasi Islam yang penting, dan bukan oleh orang awam, atau masyarakat umum, atau pendeta Kristian. Sebab itu, boleh dikatakan, telah terjadi suatu perkembangan besar dalam pemikiran Islam di Indonesia. Ulil Abshar Abdalla adalah Koordinator Jaringan Islam Liberal (Islib) Indonesia, dan juga Ketua Lakpesdam NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul ‘Ulama). NU adalah Organisasi Islam terbesar di Indonesia. Prof. Dawam Rahardjo adalah wakil ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang juga Presiden International Institute of Islamic Thought/IIIT Indonesia. Prof. Dr. KH Said Aqil Siradj adalah Ketua Syuriah NU yang juga Direktur Pasca Sarjana Universitas Islam Malang (Jawa Timur). Dr. Alwi Shihab adalah cendekiawan Muslim terkenal lulusan al-Azhar University dan Temple University, yang sekarang juga Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa. Sedangkan Dr. Abdul Munir Mulkhan, selain tokoh Muhammadiyah juga dosen agama dan penulis artikel di serta buku di beberapa mass media di Indonesia. Di samping mereka, masih ada lagi ratusan aktivis organisasi Islam dan penulis-penulis yang aktif menyebarkan fahaman liberal Islam di Indonesia.
Sebelum tokoh-tokoh itu berbicara tentang fahaman “persamaan agama” (yang mereka sebut dengan pluralisme agama), sudah ada tokoh-tokoh lain yang berbicara hal yang sama. Kyai Haji Abdurrahman Wahid, apabila menjadi Presiden Indonesia, pernah berpidato dalam malam Perayaan Natal Bersama, tanggal 27 Desember 1999:
Bagi saya, peringatan Natal adalah peringatan kaum Muslimin juga. Kalau kita konsekuen sebagai seorang Muslim merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad saw, maka adalah harus konsekuen merayakan malam Natal. 28
Tokoh gerakan sekularisasi di Indonesia, Nurcholish Madjid, juga tidak hanya berpendapat dalam bidang social-politik, tetapi juga mempromosikan Teologi Inklusif. Pendapatnya ditulis oleh Sukidi dalam sebuah buku berjudul “Teologi Inklusif Cak Nur”. Cak Nur adalah sebutan untuk Nurcholish Madjid. Ditulis dalam buku tersebut:
"Bangunan epistemologis teologi inklusif Cak Nur diawali dengan tafsiran al-islam sebagai sikap pasrah ke hadirat Tuhan. Kepasrahan ini, kata Cak Nur, menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al Quran, bahwa semua agama yang benar adalah al-islam, yakni sikap berserah diri kehadirat Tuhan (QS 29:46)_ "Dalam konteks inilah, sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan pemikiran teologi inklusif Cak Nur. Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi "muslim" itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi bagi penganut agama lain, khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristian. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapa pun di antara kita - baik sebagai orang Islam, Yahudi, Kristian, maupun shabi'in --, yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan ... (QS 2:62, 5:69). Dengan kata lain, sesuai firman Tuhan ini, terdapat jaminan teologis bagi umat beragama, apa pun "agama"-nya, untuk menerima pahala (surga) dari Tuhan. Bayangkan betapa inklusifnya pemikiran teologi Cak Nur ini." 29
Lebih jauh, konsep inklusivisme dan pluralisme Nurcholish Madjid itu bukan semata wacana, tetapi sudah dieksperimenkan di sekolah-sekolah Paramadina (Madania School), mulai SD-SMU. Secara sederhana, kata Budhi Munawar Rachman, tokoh Paramadina, wawasan aplikasi konsep pluralisme di sekolah-sekolah Paramadina, dimulai dengan menghormati orang yang berbeda agama dan tidak menghina mereka. Orang yang berbeda agama lantas tidak diklaim "kafir". Juga tidak menyebut agama lain itu sesat dan menyesatkan. Dari situlah dimulai langkah pertama untuk bisa menerima friendship dan partnership dalam suatu kenyataan bernama sekolah. 30
Konsep Teologi Inklusif atau Pluralis yang mengakui kebenaran semua agama – seperti yang disampaikan para tokoh Islam di Indonesia itu jelas-jelas bercanggah dengan konsepsi Tauhid Islam, yang secara tegas disebutkan dalam al-Quran:
"Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam" (QS Ali Imran: 19). "Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS Ali Imran: 85).
Mencermati fenomena sekularisasi-liberalisasi di Indonesia seperti itu, boleh dikatakan bahawa negara Muslim terbesar di dunia itu sedang mengalami proses penghancuran aqidah secara besar-besaran. Coba bayangkan, sebagai contoh, pada tahun 1981, diterbitkan sebuah buku berjudul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib. Diantara isinya ada kata-kata Ahmad Wahib:
Wah, andaikata hanya tangan kiri Muhammad yang memegang kitab, yaitu al-Hadits, sedang dalam tangan kanannya tidak ada Wahyu Allah (Alquran), maka dengan tegas aku akan berkata bahwa Karl Marx dan Frederich Engels lebih hebat dari utusan Tuhan itu. Otak kedua orang itu yang luar biasa dan pengabdiannya yang luar biasa pula, akan meyakinkan setiap orang bahwa kedua orang besar itu adalah penghuni sorga tingkat pertama, berkumpul dengan para nabi dan syuhada._31
Apa yang terjadi seketika itu? Majelis Ulama Indonesia meminta pemerintah melarang buku Ahmad Wahib itu. Tetapi, penerbitan bu tersebut dibela oleh Prof. Dr. Mu’thi Ali, bekas Menteri Agama Indonesia, yang waktu itu juga rektor IAIN Yogyakarta. Prof. Dr. Rasjidi menyatakan, terbitnya buku itu merupakan tragedi bagi umat Islam. Sekarang, tahun 2003, buku itu dicetak kembali, kerjasama antara LP3ES dengan Freedom Institute. Buku itu dipromosikan secara besar-besaran, begitu juga dengan fahaman Ahmad Wahib yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam:
Tanggal 7 Maret 2003, Harian Kompas menulis berita:
Freedom Institute-sebuah lembaga kajian independen yang bergerak dalam pengembangan kebebasan berpikir-dan HMI Cabang Ciputat menyelenggarakan sayembara penulisan esai tentang pemikiran keislaman Ahmad Wahib. Ahmad Wahib (1943-1971) adalah aktivis HMI dari Universitas Gadjah Mada (UGM) di akhir tahun 1960-an. Dia dikenal luas setelah buku catatan hariannya diterbitkan oleh LP3ES pada tahun 1981, dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam. Dalam buku tersebut, terekam sosok Wahib sebagai aktivis Islam yang bergulat dengan tema Islam, modernitas, dan keindonesiaan, dengan perspektif yang liberal, progresif, dan terbuka._ Pemenang penulisan itu akan mendapati hadiah Rp 30 juta._
Itulah yang terjadi di Indonesia sekarang. Fahaman-fahaman yang salah dan bertentangan dengan aqidah Islam, malahan dipromosikan dan disebarluaskan ke tengah masyarakat secara bebas, melalui buku, jurnal, televisi, radio, akhbar, dan sebagainya. Akan tetapi, yang diserang oleh kelompok Islam Liberal bukan hanya aqidah dan syariat Islam, melainkan juga al-Quran. Kelompok ini memiliki program untuk menerbitkan al-Quran Edisi Kritis, karena al-Quran yang sekarang, yaitu Mushaf Utsmani, mereka anggap masih perlu diragukan validitasnya. Taufik Adnan Amal, pensyarah mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, menulis satu paper berjudul Edisi Kritis al-Quran, yang isinya menyatakan:
Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan edisi kritis Alquran. 32
Istilah Quran Edisi Kritis adalah istilah yang sudah mapan di kalangan orientalis yang menekuni bidang al-Qur'an dan merujuk kepada usaha mereka untuk membongkar Mushaf Usmani, baik dari segi susunan surah-surahnya, kronologinya, qiraahnya, jumlah surah dan ayat-ayatnya dan lain-lain. Mereka ingin melakukan dekonstruksi terhadap Mushaf Utsmani. Dr. Ugi Suharto, pensyarah di ISTAC-IIUM telah menyanggah rencana kelompok Islam Liberal ini. Menurut Dr. Ugi Suharto, upaya para orientalis itu sudah gagal dan orientalis sekarang sudah tidak berminat lagi untuk membentuk Quran Edisi Kritis. Encyclopaedia of the Qur'an, Leiden 2001, 1: 420b. menulis:
"Hence, the battle for a critical edition of the text of the Qur'an including most notably a chronological ranking of the suras (SEE CHRONOLOGY AND THE QUR'AN), is not as persistent as it was in the period between T. Noldeke and R. Blachere." 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar