Riwayat Panglima Besar Jenderal Soedirman atau Bapak Tentara Nasional Indonesia
(Sumber: Sumadio, Bambang, Utoyo Kolopaking.1988.Panglima Besar Soedirman Bapak TNI. Jakarta: PT. Bimantara Bayu Nusa.)
Route Gerilya Panglima Besar Soedirman.
Berangkat dari Yogyakarta: Yogyakarta, Bantul, Palbapang, Bakulan (dukuh Bakulan, Kecamatan Jetis, Yogyakarta), Kretek (Kecamatan Kretek, Bantul), Grogol (Kecamatan Paliyan, Bantul), Parangtritis (Kecamatan Kretek, Bantul), Karangtengah (Kecamatan Imogiri, Bantul), Panggang (Kecamatan Panggang, Gunung Kidul), Paliyan (Kecamatan Paliyan, Gunungkidul), Playen (Kecamatan Playen, Gunungkidul), Siyono, Wonosari, Semanu, Bedoyo, Pracimantoro (Pracimoro Wonogiri) , Pulo, Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Jatisrono (Wonogiri), Purwantoro (Wonogiri), Sumoroto (Kauman, Ponorogo), Ponorogo, Jetis (Jetis, Ponorogo), Sambit (Sambit, Ponorogo), Sawoo (Sawoo, Ponorogo), Nlongsor, Trenggalek, Kalangbert, Tulungagung, Kediri, Karangnongko, Goliman, Bajulan (Nganjuk, Jawa Timur), Salamjudeg, Makuto, Sawahan (Nganjuk, Jawa Timur), Gedangklutuk, Wates, Ngliman, Seran, desa Jambu(Ponorogo), desa Jambu (Ponorogo), desa Wayang (Ponorogo), desa Banyutowo (Ponorogo), desa Sedayu (Ponorogo), desa Warungbung (Ponorogo), desa Gunungtukul (Ponorogo), desa Ngindeng (Kecamatan Sawoo, Ponorogo), desa Tumpakpelem (Kecamatan Sawoo, Ponorogo), Nglongsor (Kecamatan Tugu, Trenggalek), Trenggalek (Trenggalek), Karangan (Kecamatan, Karangan, Trenggalek), Suruhwetan (Trenggalek), Dongko (Trenggalek), Panggul (Kecamatan Panggul, Trenggalek), Bodag (Ngadirojo, Pacitan), Nogosari (Ngadirojo, Pacitan), Gebyur, Pringapus, Wonosidi (Tulakan, Pacitan), Ketro (Tulakan, Pacitan), Wonoketro (Kecamatan Nawangan, Pacitan), Tegalombo (Tegalombo,Pacitan), Mujing (Nawangan, Pacitan), Nawangan (Nawangan, Pacitan), Ngambar (Kecamatan Karangtengah, Wonogiri), dukuh Sobo (dukuh Sobo, desa Pakis, Kecamatan Nawangan, Pacitan).
Kembali ke Yogyakarta: Sobo (dukuh Sobo, desa Pakis, Kecamatan Nawangan, Pacitan), Tirtomoyo (Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri), Baturetno (Kecamatan Baturetno, Wonogiri), Polo (Wonogiri), Ponjong (Kecamatan Ponjong, Wonogiri), desa Karangmojo (Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul), desa Grogol (Kecamatan Paliyan, Gunungkidul), Gari (Kecamatan Wonosari), Piyungan (Kecamatan Piyungan, Bantul), Prambanan (Kecamatan Prambanan, Klaten), Yogyakarta.
Tanggal 24 Januari 1916. Pada hari itu di dukuh Rembang, telah dilahirkan seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Soedirman. Anak ini kelak menjadi salah seorang pahlawan bangsanya. Karena ia selalu mendahulukan kepentingan masyarakatnya, bahkan kepentingan bangsanya daripada kepentingan pribadinya.
Pada waktu ia dilahirkan Indonesia masih dijajah Belanda. Dukuh Rembang terletak di desa Batarbarang, onderdistrict Bodaskarangjati, district Tjahjana, Regentschap Poerbalingga, sekarang dukuh Rembang, desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Penduduk desa hidup sebagai petani. Namun tanahnya tidak terlalu sbubur. Walaupun banyak di aliri sungai-sungai yang bermata air di gunung Slamet, namun lahan persawahannya tidak mudah untuk dikerjakan karena ditaburi batu-batu yang berasal dari ledakan gunung Slamet berabad-abad yang lalu.
Karena keadaan tersebut di atas, maka banyak penduduknya yang bekerja sebagai buruh di tempat lain. Demikian pula ayah Soedirman yang bernama Karsid Kartawiraji. Pak Karsid bekerja sebagai pengawas, kerja di perkebunan tebu milik pabrik gula di dekat kota Purwoketro. Di jaman penjajahan banyak terdapat pabrik gula milik perusahaan Belanda. Pabrik-pabrik demikian merupakan penghasil kekayaan bagi kaum penjajah. Rakyat Indonesia hanya bekerja sebagai buruhnya.
Pada waktu Soedirman lahir yang menjabat camat di Rembang adalah kerabatnya sendiri, yaitu suami kakak ibu Soedirman. Pak camat bernama Raden Cokrosunaryo, sedang isteri pak camat bernama Turiwati. Ibu Soedirman sendiri bernama Siyem.
Pak camat Cokrosunaryo belum dikarunia anak walaupun sudah lama berumah tangga. Tidak mengherankan kalau kemudian memperlakukan Soedirman sebagai anak sendiri untuk mengisi kesunyian dalam kehidupan keluarga mereka. Bahkan kemudian Soedirman sepenuhnya menjadi anak angkat keluarga Conrosunaryo.
Menjadi anak camat tetnulah menyenangkan daripada menjadi anak seorang buruh perkebunan tebu. Namun Soedirman sesungguhnya tidak sempat merasakannya. Setahun setelah ia menjadi anak Pak Cokrosunaryo, pak camat itu menjalani pension.
Keluarga Cokrosunaryo kemudian pindah ke Cilacap. Keluarga Karsid Kartawiraji ikut pula pindah. Sejak kepindahan itu, Soedirman tidak lagi menjadi anak yang tingal di desa pegunungan, tetapi menjadi anak sebuah ibukota kabupaten.
Kota Cilacap terletak di pantai selatan Jawa Tengah. Pelabuhannya adalah sebuah pelabuhan alam. Teluknya indah dan cukup dalam sehingga kapal-kapal yang cukup besar dapat merapat ke dermaga. Di hadapan kota Cilacap terdapat pulau Nusakambangan yang terkenal itu.
Keluarga Cokrosunaryo tinggal di kampung Manggisan. Untuk menambah penghasilan Pak Cokrosunaryo menjadi agen penjualan mesin jahit Singer.
Pada tahun 1925 Soedirman bersekolah di sekolah Hollands Inlandse School (H.I.S).
Soedirman tamat H. I. S. pada tahun 1931. Ia kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama. Singkatan untuk pendidikan demikian yang berasal dari Bahasa Belanda adalah MULO. Namun di jaman penjajahan ada pula sekolah-sekolah yang didirikan oleh pihak swasta Indonesia. Antara lain Perguruan Taman Siswa. Sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara ini sesungguhnya adalah suatu alat perjuangan untuk mendidik bangsa Indonesia agar menjadi patriot-patriot yang sanggup menentang penjajah. Oleh karena itu Sekolah tersebut selalu diintai oleh Polisi Belanda. Soedirman melanjutkan pelajaran ke Taman Dewasa, yaitu Sekolah Lanjut Tingkat Pertama di lingkungan Perguruan Taman Siswa, di Purwokerto. Sekolah H. I. S. adalah sebuah sekolah dasar tujuh tahun. Sekolah ini dikhususkan untuk orang Indonesia. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Belanda.
Walaupun bahasa pengantar untuk berbagai pelajaran adalah basahasa Belanda, masih ada pelajaran bahasa daerah atau bahasa Melayu. Seseorang yang taman H. I. S. pada umumnya sudah cukup pandai menggunakan bahasa Belanda.
Di rumah Soedirman dididik taat menjalankan agama Islam. Ia tumbuh menjadi anak yang saleh. Selain itu ia mempunyai kewajiban membantu pekerjaan rumah tangga. Misalnya memelihara tanaman di kebun, mengurus persediaan air untuk masak dan mandi, dan berbagai pekerjaan yang lain.
Sebagai anak keluarga pensiunan, Soedirman tidak memperoleh kemewahan apapun. Ia tidur di atas tikar yang dibentangkan dib alai-balai. Dan jika ada tamu yang menginap di rumah pak Cokro, maka Soedirman menyerahkan balai-balainya kepada tamu untuk menghormatinya. Ia membentangkan tikar di lantai untuk tidur.
Sebagaimana lazimnya di lingkungan keluarga yang masih menganut adat kuno, maka Soedirman tidak makan bersama dengan orang tuanya di meja makan. Ia baru makan setelah melayani orang tuanya. Biasanya ia makan di dapur. Kesederhanaan keluarga Soedirman juga tercermin pada pakaian sehari-hari yang dikenakannya.
Berkat pendidikan yang diperoleh di rumah, Soedirman tidak takut menghadapi kesulitan. Bahkan setelah menginjak usia remaja, ia suka menguji ketangguhan dirinya.
Soedirman berpembawaan pendiam, namun wataknya sesungguhnya keras. Olahraga kegemarannya adalah bermain bola. Ia suka bermain sebagai “back”. Sesuai dengan wataknya permainannya juga keras. Ia menjadi pemain belakang yang disegani lawan. Menurut cerita keluarganya, walaupun Soedirman adalah seeorang pemain belakang, tetapi kadang-kadang memasukkan bola ke gawang lawan.
Soedirman pada tahun 1932 meninggalkan Taman Dewasa dan masuk MULO (Sekolah Lanjut Tingkat Pertama) Wiworo Tomo. Sekolah ini, selain member pelajaran umum juga mementingkan pendidikan agama Islam. Selain itu juga menanamkan rasa kebangsaan.
Soedirman semakin mendalam kesadarannya mengenai Islam. Disbanding dengan teman-temannya di sekolah maupun sepermainan, ia yang paling taat menalankan perintah agamanya. Hal ini menimbulkan keseganan teman-temannya. Tetapi ada juga yang mengejek dengan member gelar “kajine” (Si Haji).
Pada tahun 1934 Soedirman tamat MULO Wiworo Tomo dan meninggalkan Purwokerto kembali ke Cilacap. Pada tahun 1935 Raden Cokrosunaryo meninggal dunia. Soedirman yang telah mulai belajar di Sekolah Guru (H. I. K.) Muhammadiyah di Solo terpaksa menghentikannya. Ia kembali ke Cilacap dan kemudian menjadi guru di H. I. S. Muhammadiyah di Cilacap.
Untuk melawan kaum penjajah, rakyat Indonesia membentuk berbagai organisasi. Ada yang bersifat politik ada pula yang bersifat social. Organisasi-organisasi tersebut, dengan berbagai cara menanamkan kesadaran nasionalisme dalam hati sanubari masyarakat Indonesia.
Sala satu organisasi adalah Muhammadiyah. Melalui berbagai kegiatan social yang berlandaskan agama Islam ditanamkannya jiwa wiraswasta dalam masyarakat, di samping cinta tanah air dan kekuatan terhadap agama.
Selain menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, Soedirman juga giat dalam kepemudaan dan kepanduannya. Di kalangan ini ia mulai menampakkan kepemimpinannya. Mereka yang dipimpinnya menyegani dan mencintainya.
Pada suatu ketika Hizbul Wathan, yaitu kepanduan Muhammadiyah mengadakan perkemahan di daerah Batur. Batur terletak di pegunungan yang memisahkan daerah Pekalongan dan daerah Banyumas. Ke arah timur pegunungan ini membentang sampai ke Dieng. Batur terkenal dingin hawanya.
Soedirman termasuk dalam pimpinan perkemahan ini. Pada suatu malam udara di perkemahan sangat dingin. Kebanyakan peserta perkemahan meninggalkan tenda-tenda dan berlindung ke dalam rumah-rumah penduduk. Tetapi Soedirman tetap tinggal dalam kemah. Seorang sejawatnya mengajaknya ikut ke rumah penduduk.
Soedirman menolak dengan laasan bahwa ia ingin melatih dirinya untuk menghadapi keadaan yang lebih dingin lagi yang kelak mungkin dijumpainya.
Pada tahun 1935 Soedirman mempersunting Alfiah, gadis yang juga lulusan Wiworo Tomo. Orang uanya adalah Haji Jubaedi yang bertempat tinggal di Plasen, Cilacap.
Pada tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerahkan pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Hawaii, yaitu Pearl Harbour. Maka pecahlah perang Pacific, dan perang Dunia Kedua pun sudah meliputi seluruh dunia.
(Peta 1, Pelabuhan Pearl Harbour)
Jepang yang tidak mempunyai sumber bahan mentah ingin merebut daerah jajahan Belanda, Inggris dan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik. Lalu menggantikan Negara-negara barat itu sebagai penjajah.
Pada tanggal 9 Maret 1942 Jepang mendaratkan tentaranya di beberapa tempat di Pulau Jawa. Tentara Belanda yang kurang terlatih dan tidak mempunyai semangat tempur dikalahkan dengan mudah oleh tentara Jepang.
Serangan Jepang ke daerah jajahan Belanda melibatkan sebagian besar masyarakat Indonesia dalam usaha untuk menangkalnya. Walaupun sesungguhnya peperangan itu bukan peperangan rakyat Indonesia, namun banyak yang iikut dalam berbagai usaha yang terutama bertujuan mengurangi korban jika terjadi serangan udara.
Soedirman bergabung pada kelompok penjaga terhadap serangan udara. Khususnya bertugas mengamati udara agar jika ada pesawat Jepang yang datang untuk menyerang. Dapat dibunyikan tanda bahaya sedini mungkin.
Pada mulanya kedatangan tentara Jepang mendapat sambutan hangat dari masyarakat, karena mereka telah mengusir Belanda. Tetapi dalam waktu singkat sudah mulai Nampak bahwa Jepang sesungguhnya berniat untuk menggantikan Belanda sebagai penjajah.
Keinginan Jepang untuk menggantikan kolonialis barat di Asia ternyata tidak mudah dapat dilaksanakan. Setelah pada mulanya berhasil merebut sebagian bersar dari daerah jajahan bangsa barat di Asia, mereka kemudian mengalami kekalahan demi kekalahan.
Untuk mengatasi kekalahan itu, tentara Jepang di Indoneisa semakin memeras kekayaan bumi Indonesia. Pemerasan itu sedemikian rupa sehingga rakyat sangat menderita. Jepang memaksa para petani menyerahkan hasil panennya sehingga para petani kekurangan makanan.
Apalagi orang yang bertempat tingal di kota-kota. Selain mengambil kekayaan alam Indonesia, Jepang juga memeras tenaga rakyat. Banyak yang dikerahkan menjadi tenaga kerja paksa. Mereka dikerahkan untuk bekerja membuat benteng-benteng pertahanan Jepang, bekerja di hutan untuk menebang kayu guna keperluan peperangan dan sebagainya. Mereka bekerja sangat keras dan berat, tetapi tidak mendapat perawatan kesehatan. Beribu-ribu meningalkan jauh dari kampung halamannya dan tak tentu rimbanya pula.
Tenaga kerja paksa ini dikenal dalam bahasa Jepang dengan nama “romusha”. Nama itu mengandung arti yang biasa saja. Namun karena nasib para romusha yang amat mengerikan itu, maka nama itu juga jadi menyeramkan.
Karena berbagai penderitaan yang disebabkan oleh Jepang, maka di kalangan masyarakat timbul keresahan. Di beberapa daerah timbul pemberontakan. Jepang mencari akal agar rakyat tidak terlalu membenci merreka. Mereka mengangkat pemimpin-pemimpin masyarakat untuk duduk dalam Dewan Perwakilan Daerah bentukan Jepang. Tujuannya agar mereka mewakili masyarakat. Yang diutamakan adalah para pemimpin masyarakat golongan Islam. Mereka mengira bahwa dengan demikian bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam akan membantu mereka memenangkan Perang Pasifik yang mereka sebut Perang Asia Timur Raya. Keadaan ini terutama terjadi di Jawa.
Melihat penderitaan rakyat banyak akibat pendudukan Jepang, Soedirman berusaha ikut meringankan penderitaan itu. Ia bersama dengan kalangan Muhammadiyah mendirikan koperasi di Cilacap. Koperasi itu diberi nama PERBI. Soedirman kemudian dipilih menjadi ketuanya. Usahanya untuk meringankan penderitaan rakyat tidak hanya berhenti di sini. Soedirman juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Masyarakat (BPMR).
Kegiatan Soedirman di Muhammadiyah dan selanjutnya di bidang koperasi menyebabkan dirinya menjadi tokoh masyakat. Pada waktu Jepang mengangkat sejumlah pemimpin masyarakat menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah, Soedirman ditunjuk untuk duduk dalam Dewan Perwakilan Daerah Karesidenan Banyimas yang berkedudukan di Purwokerto. Ia menjadi anggota Dewan tersebut dari tahun 1943 hingga 1944.
Keadaan Jepang di medan perang Pasifik semakin terdesak. Mereka berusaha melibatkan rakyat daerah yang mereka duduki untuk turut membantu mereka dalam peperangan. Di berbagai daerah Indonesia dikerahkan pemuda dalam pasukan Heiho. Yaitu pasukan dengan prajurit Indonesia, tetapi dimpin perwira Jepang. Mereka dijadikan tenaga bantuan di medan perang. Banyak di antara mereka yang tewas. Tetapi yang selamat memperoleh pengalaman yang kelak akan berguna dalam membela tanah airnya.
Di jawa dibentuk Tentara Pembela Tanah Air disingkat PETA. Soedirman dipilih pula oleh penguasa Jepang untuk menjadi komandan batalyon PETA. Untuk itu ia mengikuti latihan di pusat latihan perwira PETA di Bogor. Ia kemudian menjadi Komandan dan batalyon di kota Kroya, Jawa Tengah. Kota ini kota kecil namun penting karena terdapat persimpangan jalan kereta api yang perlu dijaga.
Soedirman sebagai perwira PETA tetap bersikap sebagaimana sebelumnya. Berdisiplin, peka terhadap masyarakat, dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sikap ini sering menyebabkan dirinya bertentangan dengan para anggota tentara Jepang yang menjadi pelatih atau pengawas PETA di batalyon yang dipimpinnya. Khususnya mengenai cara hidup orang Jepang yang tidak sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia, khususnya dari segi adat dan agama. Soedirman juga menentang perlakuan sewenang-wenang oleh Jepang terhadap prajurit PETA walaupun dalihnya adalah untuk menegakkan disiplin.
Para prajurit PETA merasa sangat prihatin melihat penderitaan yang dialami oleh para romusha. Mereka sering melihat perlakuan yang kejam oleh Jepang terhadap para romusha yang mengerjakan pembuatan benteng-benteng pertahanan Jepang untuk menghadapi pendaratan tentara Sekutu, terutama Inggris dan Amerika Serikat. Perasaan inilah yang antara lain menyebabkan timbul pemberontakan PETA di Blitar yang dipimpin oleh salah seorang perwiranya yaitu Sopriadi.
Sejak tahun 1944 tentara Jepang terus mengalami kekalahan di semua medan perang melawan Sekutu. Dalam pada itu mereka semakin khawatir akan timbulnya pemberontakan di daerah yang masih mereka duduki. Antara lain di Jawa. Mereka berusaha untuk lebih banyak mengambil hati rakyat dengan berbagai janji yang muluk, namun di samping itu mereka juga semakin keras menindas, baik langsung atau tidak langsung. Pada bulan Juli 1945 sejumlah perwira pimpinan PETA dikumpulkan di Bogor oleh tentara Jepang. Tidak jelas apa tujuannya. Tetapi banyak yang menduga bahwa mereka akan disingkirkan agar tidak menggerakkan pasukannya untuk memberontak. Di antara para perwira itu terdapat Soedirman.
Pada tanggal 8 Agustus 1945 sebuah pesawat pembom Angkatan Udara Amerika Serikat menjatuhkan bom atom yang pertama di dunia di kota Hiroshima, Jepang. Bom atom kedua dijatuhkan di kota Nagasaki pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Dengan demikian daerah-daerah yang diduduki Jepang harus dikembalikan kepada penguasa sebelumnya.
(Peta 2, kota Hiroshima (Prefektur Hiroshima), Jepang)
(Peta 3, kota Nagasaki (Prefektur Nagasaki), Jepang)
Bangsa Indonesia tidak sudi untuk diperlakukan sebagai benda yang dipindah tangankan antara Negara penjajah. Kita bertekad untuk merdeka.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, di Pegangsaan Timur Nomor 56, Bung Karno membaca proklamasi yang menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bung Karno didampingi Bung Hatta dan sejumlah pemimpin bangsa serta disaksikan oleh masyarakat. Sejak saat itu Indonesia tidak lagi menjadi jajahan Negara lain. Naskah proklamasi berbunyi.
“Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini meyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”
Jakarta, 17 Agustus 1945
Atas nama bangsa
Soekarno-Hatta
Proklamasi 17 Agustus 1945 berkumandang di seluruh tanah air. Namun ternyata diperlukan pengorbanan dalam perjuangan untuk mempertahankannya. Belanda berusaha menggagalkan karena mereka memerlukan hasil Indonesia untuk membiayai pembangunan kembali negerinya yang mengalami kerusakan dalam Perang Dunia Kedua yang baru usai.
Untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan, bangsa Indonesia perlu mempersenjatai dirinya.
Setelah proklamasi Soedirman dapat meninggalkan pengasingannya di Bogor. Namun sementara itu Jepang telah membubarkan tentara PETAdan mengirimkan anggotanya ke tempat asal masing-masing. Dengan demikian Jepang merasa terlepas dari ancaman pemberontakan bersenjata yang dipelopori PETA. Mereka mengetahui benar betapa bencinya rakyat kepada mereka.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, maka Belanda segera berusaha untuk kembali menjadi penjajah di Indonesia. Namun mereka tidak datang degan terang-terangan karena belum mempunyai kekuatan pasukan untuk menghadapi rakyat Indonesia yang telah menyatakan kemerdekaannya. Belanda berlindung di belakang tentara Inggris yang diperintahkan oleh Pemimpin tentara Sekutu untuk menerima penyerahan Jepang di daerah Asia Tenggara serta membebaskan orang-orang Eropa yang di tawan Jepang. Mereka sebenarnya tidak begitu memasalahkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun karena mereka melindungi Belanda yang berusaha kembali ke Indonesia, maka mereka pun ditentang oleh Indonesia. Maka terjadilah pertempuran Surabaya yangsekarang kita peringati sebagai hari Pahlawan pada 10 November setiap tahun.
Pada tanggal 22 Agustus 1945 dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Badan Keamanan Rakyat adalah badan yang bertanggung jawab atas keamanan rakyat dan harus menjaga jangan sampai Belanda kembali menjajah kita. Dengan sendirinya Badan Keamanan Rakyat (BKR) memerlukan senjata. Di berbagai tempat terjadi pertempuran untuk merebut senjata dari Jepang. Soedirman ditunjuk untuk memimpin Badan Keamanan Rakyat (BKR) di daerah Banyumas. Ia bermarkas di kota Purwokerto.
Badan Keamanan Rakyat (BKR) Banyumas perlu dipersenjatai. Untuk itu harus diusahakan agar dapat memperoleh senjata yang berada di tangan Jepang. Di kota Purwokerto terdapat satu batalyon Jepang yang lengkap persenjataannya. Walaupun di berbagai daerah telah terjadi kekerasan untuk memperoleh senjata dari tangan Jepang, namun Soedirman akan berusaha untuk memperoleh tanpa pertumpahan darah. Ia kemudian memimpin suatu delegasi untuk bertemu dengan pemimpin Jepang yang masih tetap bercokol di Purwokerto. Walaupun pada mulanya Jepang bersikap keras tidak mau menyerahkan senjata mereka, namun akhirnya mereka menyadari bahwa tidak ada gunanya bagi mereka untuk mempertahankan senjata itu sekedar untuk mentaati perintah Sekutu yang telah mengalahkan mereka. Sebaliknya pihak Indonesia juga sanggup member jaminan akan keselamatan mereka meninggalkan daerah Banyumas. Dengan demikian Badan Keamanan Rakyat (BKR) daerah Banyumas memperoleh persenjataan lengkap tanpa pertumpahan darah berkat kepemimpinan dan kemahiran diplomasi delegasi yang dipimpin oleh Soedirman.
Inggris yang datang untuk membebaskan tawanan dari tangan Jepang dan melucuti Jepang telah pula sampai di Semarang. Kemudian mereka bergerak kea rah selatan sehingga sampai kota Magelang. Seperti juga di tempat lain, Belanda ikut menyelundup dan berusaha kembali berkuasa. Maka tidak dapat dicegah terjadinya pertempuran yang bermula di kota Magelang dan kemudian berkobar hebat menjadi pertempuran Ambarawa yang mashur itu.
Badan Keamanan Rakyat (BKR) sejak 5 Oktober 1945 telah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Soedirman menjadi Panglima Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang berkedudukan di Purwoketro. Daerah Divisi V meliputi Jatiwangi, Cirebon, Tegal, Purworejo, Cilacap dan Purwoketro sendiri. Divisi ini mengirimkan pasukannya dalam pertempuran Ambarawa. Dan karena persenjataannya yang cukup lengkap merupakan salah satu pasukan yang besar peranannya dalam mengusir Inggris dari tempat tersebut.
Pada tanggal 26 November 1945, komadan kesatuan yang dikerahkan dari Purwoketro, yaitu Letnan Kolonel Isdiman gugur dalam suatu serangan udara. Sejak itu Kolonel Soedirman sebagai Komandan Divisi terjun sendiri memimpin pasukan di medan pertempuran.
Berkat kepemimpinannya, berbagai pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan pasukan rakyat dapat dipersatukan di bawah suatu komando. Kemudian dapat dikerahkan dalam suatu serangan umum yang berhasil mengusir pasukan Inggris dari Ambarawa setelah pertempuran empat hari empat malam.
Sambil melakukan pertempuran di mana-mana untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Tentara Keamanan Rakyat terus disempurnakan organisasinya serta pengaturannya. Tentara Kemanan Rakyat (TKR) harus dapat menjadi pasukan inti yang bersama lascar-laskar yang dibentuk oleh masyarakat mengadakan perlawanan bersenjata terhadap Belanda maupun Inggris yang berusaha menegakkan penjajahan kembali.
Usaha pengaturan Tentara Kemanan Rakyat (TKR) itu dipimpin oleh Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Sumohardjo. Letjen Oerip adalah seorang militer professional yang telah banyak pengalaman ketentaraan sebagai anggota tentara Belanda. Walaupun Oerip adalah bekas tentara Belanda, namun tidak pernah sedikitpun terlintas dalam hati yang sebenarnya untuk kembali dalam barisan Belanda. Sesungguhnya Oerip Soemohardjo sewaktu berdinas sebagai mayor dalam tentara Belanda juga sudah tidak selalu sejalan dengan pendirian Belanda pimpinannya. Ia adalah seorang yang selalu menampilkan harkat orang Indonesia di hadapan Belanda penjajah. Oleh karena itu tidaklah mengherankan sikapnya langsung berpijak pada Republik Indonesia.
Menjelang akhir tahun 1945 dirasakan perlunya seorang Panglima Besar untuk memimpin Tentara Kemanan Rakyat (TKR). Dalam suatu pertemuan para perwira senior dari berbagai kesatuan dan daerah dipilihlah Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V, sebagai Panglima Besar. Pada saat itu Soedirman baru berusia 29 tahun. Bahwa seorang Perwira muda itu telah dipilih untuk menduduki jabatan tertinggi dalam ketentaraan adalah luar biasa. Hal itu tentulah ada hubungannya dengan kepemimpinan yang ditampilkannya sewaktu memimpin perebutan Ambarawa.
Pada tanggal 25 Februari 1946, Tentara Kemanan Rakyat (TKR) berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Soedirman yang telah dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal ditetapkan menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
Usaha Belanda untuk kembali berkuasa di Indonesia berjalan terus.
Di meja perundingan mereka berusaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengajukan berbagai syarat yang sebenarnya merugikan kedudukan Republik Indonesia. Selain itu mereka juga terus menambah kekuatan militernya di Indonesia dan jika ada kesempatan mengadakan gerakan-kgerakan untuk merebut daerah-daerah Republik Indonesia. Semua itu berjalan di bawah asuhan Inggris.
Belanda merasa bahwa ia memerlukan waktu yang lebih banyak sebelum dapat menghimpun kekuatan yang dapat menghancurkan Republik Indonesia. Oleh karena itu mereka meminta agar diadakan penghentian tembak-menembak antara pihak Indonesia dengan Belanda. Kemudian mereka mengusulkan untuk mengadakan perundingan. Pihak Indonesia keberatan untuk mengadakan perundingan karena ingin membuktikan bahwa Republik Indonesia adalah suatu Negara hukum dan setiap perundingan sebenarnya adalah suatu pengakuan adanya Republik Indonesia oleh Belanda.
Pada bulan Oktober serta November 1946 dilakukan perundingan gencatan senjata antara pihak Belanda-Indonesia- Inggris. Pada kesempatan tersebut Jenderal Soedirman berkunjung ke Jakarta. Di Jakarta Panglima Besar mendapat sambutan meriah dari masyarakat. Bahkan sempat melakukan sembahyang Idul Adha bersama masyarakat Jakarta.
Adapun perundingan gencatan senjata itu sendiri tidak membawa hasil.
Walaupun perundingan gencatan senjata tidak berhasil, perundingan melalui jalur diplomasi diteruskan. Maka lahirlah perjanjian Linggarjati yang hasilnya diumumkan pada tanggal 15 November 1946. Hasil perundingan Linggarjati ternyata tida dapat menyelesaikan masalah karena pada dasarnya Belanda tetap ingin kembali berkuasa penuh di Indonesia.
Sebagai panglima Besar Jenderal Soedirman juga mengadakan kunjungan ke berbagai daerah di Jawa untuk memperoleh keterangan langsung mengenai keadaan di medan pertempuran serta memberi petunjuk kepada para panglima beserta komandan bawahan mereka.
Dalam perjalanan demikian Panglima Besar Soedirman disertai Kepala Staf Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo.
Kunjungan Panglima Besar Soedirman dapat mengobarkan semangat para pejuang. Serangan-serangan tentara kita semakin meningkat.
Namun karena keterbatasan persenjataan serta perlengkapan lainnya, kita tidak berhasil untuk mengusir Belanda dari tempat yang telah mereka duduki. Walaupun demikian keadaan mereka jauh dari tenteram dan aman. Para pejuang kita terus mengganggu dan menimbulkan korban di kalangan mereka.
Belanda merasa sudah kuat dan ingin menghabisi Republik Indonesia dengan kekuatan militer. Pada tanggal 21 Juli 1947 tentara Belanda menyerang daerah-daerah yang belum mereka kuasai, baik di Jawa maupun di Sumatera.
Tentara Belanda mempunyai persenjataan yang lengkap dan modern segera dapat menduduki tempat-tempat di sepanjang jalan raya Sumatera maupun Jawa. Namun hal ini tidak berarti bahwa tentara kita telah hancur. Kota-kota tersebut sengaja tidak dipertahankan dengan gigih karena pertimbangan persenjataan Belanda lebih baik.
Setelah Belanda menduduki berbagai tempat, ternyata mereka harus berhadapan dengan serangan balik tentara kita yang melakukan perang gerilya. Dengan demikian maka cita-cita Belanda untuk menyelesaikan perang dengan cepat tidak terlaksana. Yang terjadi adalah perlawanan gaya baru oleh tentara kita yang sangat menyulitkan Belanda. Perlawanan semesta oleh rakyat semakin kuat.
Kekuatan rakyat yang bersenjata tergabung dalam berbagai kesatuan kelaskaran. Termasuk di antaranya berbagai kesatuan Tentara Pelajar. Walaupun mereka masih pelajar yang duduk di bangku sekolah menengah, namun mereka tidak gentar menghadapi tentara Belanda yang bersenjata lengkap dan berlatih baik.
Di daerah-daerah yang diduduki Belanda perasaan tetap bergelora untuk meneruskan perjuangan mengusir penjajah.
Berbagai pihak di seluruh dunia menilai tindakan Belanda sebagai usaha untuk menghancurkan Republik Indonesia, yaitu sebuah Negara yang telah didirikan dengan persetujuan rakyatnya. Oleh karenanya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa turut campur dan meminta agar permusuhan segera dihentikan. Pada tanggal 4 Agustus 1947 diberlakukan gencatan senjata yang diprakarsai oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa. Tetapi pertempuran tidak segera terhenti karena Belanda masih tetap melakukan penyerangan dan gerakan permusuhan lainnya.
Selama Perang Kemerdekaan Pertama, Panglima Besar Soedirman bersama dengan Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo tetap mengadakan hubungan dengna para komandan di berbagai front pertempuran. Berbagai perintah siasat diberikan. Selain itu juga beliau menyampaikan pidato melalui radio yang ditunjukan kepada seluruh rakyat.
Dalam pidato itu selalu dikumandangkan bahwa perjuangan kita adalah perjuangan benar dan diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya pasti juga akan mencapai kemenangan, walaupun masih banyak pengorbanan yang harus diberikan. Walaupun Panglima Besar Soedirman tidak hadir sendiri di medan perang pertempuran, tetapi selalu hadir dalam hati sanubari para pejuang sebagai Bapak Tentara Indonesia.
Serangan Belanda yang mengorbankan Perang Kemerdekaan Pertama ternyata tidak berhasil menghapus Republik Indonesia dari muka bumi. Bahkan seluruh dunia memperhatikan apa yang terjadi di Tanah Air kita. Belanda dipaksa untuk mengadakan perundingan lagi dengan Republik Indonesia. Hal ini mereka lakukan, namun mereka tetap merencanakan untuk mengadakan serangan militer lagi untuk menghapus Repulik Indonesia.
Pemimpin tentara di bawah Panglima Besar Soedirman menyadari benar hal ini. Maka disusunlah pertahanan dengan pengaturan yang lebih baik lagi. Walaupun sebagian besar kota-kota itu adalah daerah yang masih dengan bebas dapat dijelajah oleh pasukan kita.
Tugas seorang Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia sungguh tidak ringan. Selai adanya ancaman dari Belanda, Jenderal Soedirman juga harus menyelesaikan berbagai masalah politik yang sering mengganggu persatuan kekuatan yang diperlakukan untuk menghadapi Belanda. Antara lain pemberontakan komunis di Madiun. Panglima Besar Soedirman tetap setia kepada sumpahnya sebagai prajurit dan selalu mengutamakan pembebasan Tanah Air dari penjajahan. Namun rupanya fisik Soedirman tidak cukup tegar untuk melaksanakan tugasnya itu. Pada pertengahan tahun 1948 Soedirman menderita serangan penyakit paru-paru yang berat. Demikian beratnya sehingga salah sebuah dari paru-parunya terpaksa dibuang melalui suatu pembedahan. Pembedahan itu berhasil dengan cukup memuaskan. Namun perlu diikuti oleh istirahan jangka panjang untuk memulihkan kesehatan secara sempurna. Bagi seorang yang mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap tugas yang diberikan oleh nusa dan bangsanya hal itu terasa berat. Sampai-sampai seorang perwira bawahannya yang oleh Soedirman dianggap sebagai saudara tua terpaksa memperingatkan dengan agak keras agar Panglima Besar Soedirman memikirkan kesehatannya terlebih dahulu sebelum menjalankan tugasnya kembali.
Perwira itu adalah Kolonel Gatot Soebroto.
Karena sifat pribadi Panglima Besar Soedirman yang penuh rasa penghargaan kepada siapa pun melakukan tugas dengan baik, maka para perawat di rumah sakit amat terkesan oleh sikap ramah Pak Soedirman.
Sikap nya sama sekali tidak mengesankan sebagai orang yang tertinggi pangkatnya dalam ketentaraan. Bahkan telah dituliskan sebuah syair untuk menyatakan terima kasihnya kepada rumah sakit maupun dokter dan perawat yang telah merawatnya. Inilah syairnya:
Rumah nan Bahagia
Seperempat abad lamabya,
Tegak berdiri hingga kini,
Panti Rapih rumah nan bahagia,
Naungan Putra Pertiwi.
Orang sakit nan menderita,
Gering tiba sehatlah pergi,
Berkat kegiatan usaha,
Beserta kesucian hati.
Selama tegak dan teguhnya,
Besar jasanya hingga kini,
Seluruh pengurus pegawainya,
Ikhlas serta jujur pekerti.
Sambil baring aku berdoa,
Tuhan Allah Yang Maha Suci,
Limpahkan berkat karunia,
Atas rumah bahagia ini.
Moga kiranya terus berjasa,
Dulu, kini dan hari nanti,
Untuk masyarakat Indonesia,
Yang tetap merdeka abadi.
Yogyakarta, 11 November 1948
Orang rawata yang berterimakasih
Panglima Besar Tentara Republik Indonesia
Letnan Jenderal Soedirman
Sewaktu Panglima Besar Soedirman masih dalam keadaan istirahat untuk memulihkan kekuatannya, Belanda melaksanakan niatnya yang terakhir untuk menghancurkan Republik Indonesia. Pada tanggal 19 Desember 1948 jam 5 pagi (05.00 am), Belanda melancarkan serangan ke Yogyakarta Ibukota Negara Republik Indonesia waktu itu. Maka meletuslah Perang Kemerdekaan kedua, sebagai puncak perjuangan kemerdekaan nasional bangsa.
Sehari sebelumnya, pak Soedirman mengumumkan bahwa beliau telah memegang kemali komando sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia, meskipun keadaan masih jauh dari sehat. Rupanya Pak Soedirman sudah mempunyai firasat bahwa cepat atau lambat Belanda akan menyerang juga.
Pada tanggal 19 Desember 1948 dini hari setelah dimulai latihan perang-perangan di wilayah Divisi III, termasuk ibukota Yogyakarta, sebagai samara persiapan konkrit di lapangan menghadapi serbuan musuh yang setiap saat dapat terjadi.
Pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 pagi buta, di saat pesawat-pesawat Belanda meraung-raung di atas udara kota Yogyakartam Panglima Besar Jenderal Soedirman masih terbaring di tempat pembaringan dalam rumah kediamannya di Jalan Binataran Wetan.
Badan masih terasa lemah.
Namun untuk pertama kalinya sesudah berbaring selama tiga bulan karena sakitnya, ia meninggalkan tempat tidurnya untuk memperhatikan keadaan.
Sesungguhnya serangan Belanda sudah diduga akan terjadi oleh Pimpinan Angkatan Perang kita. Yang belum jelas hanyalah kapan hal itu akan terjadi.
Oleh karenanya Pak Soedirman tidak merasa terkejut.
Beberapa hari sebelumnya sesuai rencana Dewan Siasat Militer dan demi menjaga kesehatannya, Panglima Besar Soedirman sudah diminta stafnya untuk meninggalkan kota Yogyakarta menuju ke pangkalan pengunduran di satu tempat di Jawa Timur. Akan tetapi nasehat itu ditolak. Karena meninggalkan kota sebelum Yogyakarta jatuh ke tangan musuh dianggapnya sebagai perbuatan pengecut yang melarikan diri dari medan pertempuran. Maka diperintahlah Kapten Soepardjo Rustam, Ajudan Panglima Besar pergi ke Istana Presiden (sekarang Gedung Agung) untuk menerima instruksi.
Tiba di Istana, tampak Presiden Soekarno sedang menunggu kedatangan para menteri dan pembesar lainnya untuk mengadakan sidang cabinet darurat. Sudah hadir waktu itu antara lain KSAU Komodor Suryadarma, Wakil KSAP Kolonel Simatupang, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX, Ir. Juanda, Sutan Syahrir dan Dokter Leimena. Instruksi Presiden pada Panglima Besar Soedirman, baru dapat diberikan sesudah ada keputusan Sidang cabinet. Kapten Soepardjo tidak dapat berbuat lain kecuali menunggu selesainya siding.
Karena tidak sabar menunggu ajudan, maka Pak Soedirman dikawal Komandan Pengawal Kapten Tjokropranolo dan Dokter Letnan Koloner dr. Suwondo menyusul ke Istana.
Di istana sudah berkumpul lebih nayak Menteri. Saat itu Pak Soedirman datan hanya dengan pakaian piyama yang terbungkul mantel tebal dan bermaksud mengajak Presiden meninggalkan Ibukota Negara untuk bersama rakyat memimpin perang gerilya selagi kesempatan ke luar Istana masih ada.
Dua kali Presiden menasehatinya agar pulang saja untuk istirahat, namun Pak Soedirman menolak dan tetap menunggu di luar ruang sidang, menanti hasil keputusan sidang cabinet. Dalam pada itu keadaan disekitar Istana makin bertambah genting karena serangan udara musuh yang membabi buta.
Akhirnya atas anjuran dokter Suwondo, Pak Soedirman mau meninggalkan tempat itu untuk kembali ke rumah kediamannya di Jalan Bintaran mengingat keadaan fisiknya yang makin melemah.
Sementara itu pukul 08.00 pagi (08.00 am) dikeluarkan perintah kilat melalui corong radio Republik Indonesia Yogyakarta yang bunyinya:
Perintah Kilat
No. 1/P.B/D/48
1) Kita telah diserang.
2) Pada tangal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang kota Yogyakarta dan lapangan terbang Maguwo.
3) Pemerintah Belanda telah membatalkan Persetujuan Genjatan Senjata.
4) Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Dikeluarkan di Tempat.
Tanggal-19 Desember 1948
Jam-08.00
PANGLIMA B ESAR ANGKATAN PERANG REPUBLIK INDONESIA
Letnan Jenderal Soedirman
Di rumah kediaman Jalan Bintaran dilakukan persiapan-persiapan untuk meninggalkan rumah tersebut. Dokumen-dokumen penting dibakar agar tidak jatuh ke tangan musuh. Kemudian Pak Soedirman dengan rombongan menuju ke Kadipaten, satu tempat dalam kompleks Keraton. Atas persetujuan Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX tempat ini boleh dipakai anak-anak dan Ibu Soedirman yang sedang mengandung.
Di sinilah isteri Panglima Besar Soedirman akan menetap selama ditinggalkan suaminya. Sesuai rencana yang digariskan oleh Dewan Siasat Militer bulan Mei 1948, pangkalan pengunduran pertama bagi Panglima Besar Soedirman adalah satu tempat di Jawa Timur, yang harus ditempuh melalui bagian selatan Yogyakarta, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, Kediri. Sedang pucuk Pimpinan Pemerintahan akan diungsiikan ke daerah Wonosari bila ibukota Negara Yogyakarta diduduki musuh.
Kurang lebih pukul 14.00 hari itu juga Komandan Komando Militer Kota Yogyakarta Kolonel Abdul Latif Hendraningrat melaporkan bahwa pasukan musuh telah memasuki kota.
Memenuhi sumpahnya akan mempertahankan kemerdekaan Negara sampai titik darah penghabisan, maka dalam keadaan kesehatan yang masih lemah tetapi terdorong oleh kemauan keras yang member kekuatan padanya, Panglima Besar Soedirman memutuskan untuk segera meninggalkan kota Yogyakarta berangkat menuju ke medan gerilya. Dan mulailah perjalanan gerilya Pak Soedirman dalam puncak perjuangan kemerdekaan nasional terbesar yang pernah dialami oleh Negara Republik Indonesia. Satu perjalanan yang membuktikan kesetiaan Panglima Besar prasetyanya sebagai prajurit dan pejuang.
Sekalipun dalam keadaan sakit, Pak Soedirman akan selalu berada di tengah-tengah anak buahnya yang sedang menyabung nyawa mempertahankan kemerdekaan Bangsanya.
Dengan pengawalan sejumlah kecil prajuritnya, mobil Panglima Besar yang diselimuti daun-daun sebagai penyamar, meluncur keluar tembok benteng keraton Yogyakarta menuju ke Imogiri lewat Bantul sebelah selatan kota Yogyakarta. Di tengah perjalanan rute diubah dengan mendadak. Jalan menuju ke Imogiri sudah dihalanghalangi batang-batan pohon yang malang melintang ditengah jalan. Kendaraan dibelokkan kea rah pantai selatan, menuju ke desa Kretek kurang lebih 20 kilometer sebelah selatan Yogyakarta.
Perjalanan menuju ke Kretek siang itu berulang kali terhneti oleh tembak-tembakan senapan mesin dari udara. Pesawat-pesawat pemburu musuh terbang rendah mengintai tiap gerakan pasukan yang melewati jalan besar. Pada saat-saat kendaraan harus dihentikan dengan mendadak untuk menghindari tembakan musuh dari udara, Pak Soedirman digotong keluar mobil untuk dicarikan perlindungan di semak-semak belukar di kanan kiri jalan.
Dengan cara lari, berhenti, berlindung kemudian lari lagi, akhirnya rombongan tiba dengan selamat di Kretek menjelang maghrib. Akan tetapi mulai Kretek, perjalanan lebih jauh dengan mobil tidak mungkin dilakukan karena jalan terputus oleh sebab tidak adanya jembatan untuk menyeberang kali Opak yang melintasi desa tersebut.
Sebelum menyeberang sungai, pak Soedirman beristirahat sejenak di rumah Camat Kretek. Ketika diperiksa kesehatannya, dr. Suwondo menyatakan bahwa keadaan Pak Soedirman tidak lebih buruk dari hari-hari sebelumnya. Kelelahan dan keterlambatan makan hari itu juga menyebabkan kondisi fisik Pak Soedirman menjadi agak lemah. Menjelang tengah malam, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Dengan sangat hati-hati rombongan menyeberang kali Opak dan menginap di desa Grogol beberapa kilometer di seberang sungai.
Malam itu tiga orang pengawal dipimpin Kapten Soepardjo, ditugaskan mendahului pasukan menuju ke Wonogiri lewat jalan pintas untuk mencari hubungan dengan pasukan Kolonel Gatot Subroto, Panglima Divisi II di daerah Surakarta. Sebelumnya, dua pengawal lainnya diutus masuk kota Yogyakarta untuk minta perhiasan dari Ibu Soedirman sebagai tambahan bekal di perjalanan. Dalam rombongan kecil ini selain Ajudan, dokter dan Komdan Pasukan Pengawal, ikut pula Komandan Brigade V DIvisi II Letnan Kolonel Suadi dan Harsono Tjokroaminoto, seorang pejabat tinggi Negara. Selebihnya adalah beberapa perwira pertama, bintara dan tamtama.
Pengawalan oleh sejumlah kecil prajurit selama Panglima Besar Soedirman berpindah-pindah tempat, memang direncanakan dari semula. Kecuali bertujuan agar dapat bergerak dengan cepat dan lincah, pasukan yang kecil juga mengurangi orang-orang yang berlalu-lalang. Juga mempermudah penyamaran bila sewaktu-waktu diperlukan dan mengurangi kemungkinan diintai dari udara. Pengawalan dalam jumlah agak besarb aru diperlukan apabila Pak Soedirman berhenti di satu tempat lebih dari satu atau dua hari lamanya.
Dalam pada itu kisah jatuhnya kota Yogyakarta ke tangan musuh dimulai dari pemboman terhadap kompleks lapangan terbang Maguwo (sekarang Bandara Adisucitp) oleh 2 pesawat pembom Mitchell Belanda dan penembakan dari pesawat-pesawat pemburu Mustang terhadap sasaran militer di sekitar landasan, lalu disusul dengan bantuan pesawat angkut Dakota yang menerjunkan 2 kompi Korps Pasukan Khusus Belanda untuk merebut lapangan terbang. Satu pertempuran singkat tak seimbang antara pasukan khusus musuh yang terlatih baik dan berpengalaman melawan sepasukan taruna muda Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang mempertahankan lapangan terbang Maguwo, menelan banyak korban di pihak kita. Setelah berhasil merebut lapangan terbang, mendaratlah 2 batalyon tentara KNIL dari Brigade Kolonel Van Langen yang diterbangkan dari Semarang. Selesai pendaratan, dengan perlindungan tembakan mitralyur dan roket-roket dari udara terhadap jalan, jembatan dan gedung-gedung tertentu dalam kota, bergeraklah 2 batalyon infantry itu menuju ke Ibukota Yogyakarta. Sebagian melewati jalan besar Solo-Yogyakarta, yang lain mengambil jalan Wonosari-Yogyakarta lewat selatan langsung memasuki jantung kota.
Kecilnya jumlah pasukan kita yang mempertahankan kota pagi tu disebabkan karena adanaya latihan perang-perangan di luar kota. Dengan lambat tapi pasti musuh bergerak maju dan merebut kota pada kira-kira pukul 15.00 siang.
Tanpa perlawanan apapub dari pasukan pengawal istana, pasukan musuh menyerbu istana dan menangkap Presiden Soekarno, wakil presiden Drs. Mohammad Hatta dan pemimpin-pemimpin Negara lainnya untuk ditawan. Para pengawal mendapat perintah untuk tidak mengadakan perlawanan. Presiden Soekarno bersama Haji Agus Salim dan Sutan Syahrir kemudian ditawan di Prapat. Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta, Mr. Ali Sastroamidjoyo dan Mr. Mohammad Rum diasingkan di Bangka. Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara yang kebetulan berada di Bukittinggi, kemudian diberi mandate untuk memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Beberapa meteri lainnya yang berada di luar kota Yogyakarta, kemudian diangkat sebagai anggota Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa (KPPD) di Pulau Jawa.
Sesudah beristirahat seperlunya di desa Grogol, pagi tanggal 20 Desember 1948 atau hari kedua setelah Ibukota Yogyakarta jatuh ke tangan musuh, perjalanan dilanjutkan dengan mengusung Panglima Besar di atas andu. Tujuan hari itu adalah Paliyan melewati Prangtritis (Bantul, Yogyakarta) DAN DESA Panggang kea rah Timur, menyusuri jalan setapak yang jarang dilalui orang. Jalan sempit yang terus menanjak itu beralas batu-batuan tajam sepanjang lereng pegunungan Kabupaten Gunung Kidul yang tandus. Panas matahari itu menambah beratnya pendakian. Perjalanan yang terus menerus menanjak menyebabkan para pengawal yang sehat-sehat sekalipun mulai kehabisan tenaga. Apalagi Pak Soedirman yang sakit karena baru mengalami pembedahan salah satu paru-parunya. Hanya keteguhan watak dan ketabahan hati Pak Soedirman yang dapat menaklukkan rasa sakit dan penderitaannya.
Medan ganas itu banyak ditumbuhi banyak alang-alang setinggi kepala. Pohon-pohon yang roboh merintangi jalan setapak, mempersulit para pengusung tandu melakukan tugasnya dan memaksa Panglima Besar Soedirman yang duduk di dalamnya, mengerahkan sisa-sisa tenaganya yang sudah amat lemah untuk memegang kuat-kuat sandaran kursinya, agar tidak terlempar ke luar tandu dan jatuh di atas batu-batu tajam atau jurang yang menganga di bawahnya.
Adakalanya rombongan kecil itu terpaksa menuruni tebing-tebing yang terjal sehingga Pak Soedirman harus turun dari tandu. Dan ketika hujan sekonyong-konyong turun, tanah di bawah kaki menjadi sangat becek dan licin. Sungai-sungai kecil mengalirkan airnya yang keruh dengan sangat derasnya, dan pakaian menjadi basah kuyup. Pada saat-saat seperti itu satu-satunya kekuatan yang menebalkan semangat para pengawal adalah rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Besar, bahwa sejauh itu Panglima Besar Jenderal Soedirman dapat diselamatkan dari kejaran musuh dan terhindar dari maut yang menghadang setiap waktu. Ditambah dengan rasa bangga bahwa Pak Soedirman yang sakit masih tetap berada di tengah-tengah anak buahnya untuk bersama-sama berjuang merebut kemerdekaan dari kaum penjajah.
Akhirnya perjalanan hari itu berhenti tengah malam di Paliyan setelah sehari penuh berjalan sepanjang 20 kilometer lebih. Di tempat ini seorang di antara tiga pengawal yang diperintahkan mendahului rombongan sehari sebelumnya, telah bergabung kembali dan melaporkan bahwa Pak Soedirman akan dijemput oleh anak buah Kolonel Gatot Subroto di Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, kira-kira 30 kilometer dari Paliyan.
Hari berikutnya adalah 21 Desember 1948. Pagi-pagi pasukan sudah meninggalkan Paliyan menuju ke Plauen, kurang lebih 10 kilometer dari Wonosari, Ibukota Kabupten yang semula disiapkan sebagai tempat pengunduran pertama Presiden dan Pemimpin-pemimpin tinggi Negara lainnya. Di dekat Wonosari terdapat sebuah lapangan terbang dan pemancar radio Angkatan Udara Republik Indonesia. Dari pemancar ini diketahui bahwa tidak semua pemimpin yang berada di Istana waktu Belanda menyerbu, ditangkap musuh. Colonel Simatupang lolos dari tangkapan musuh. Demikian juga beberapa Menteri yang hari itu tidak berada di Yogyakarta. Menteri keuangan Mr. A. A. Maramis berada di New Dehli, India. Beberapa meteri lainnya berada di Surakarta, Jawa Timur dan di Sumatera.
Jarak Paliyan-Playen sejauh 8 kilometer ditempuh dalam 4 jam. Selama itu Pak Soedirman tetap berada di atas tandu. Setiba di Playen tandu ditinggalkan. Perjalanan dilanjutkan dengan menaikkan Pak Dirman di atas dokar yang ditarik orang, melewati jalan tanah pedesaan untuk menghindari jalan besar. Tujuan berikutnya adalah Semanu, 12 kilometer dari Playen. Tiba di Semanu hari sudah gelap. Apa yang akan terjadi hari esoknya, tiada seorang pun tahu.
Pagi-pagi esok harinya tanggal 22 Desember 1948, sudah disiapkan tandu baru untuk mengusung Pak Soedirmanlewat Bedoyo ke Pracimantoro di Kabupaten Wonogiri. Medan yang dilalui tidaklah seberapa berat. Sebelum sore rombongan sudah tiba di Pracimantoro.
Dengan mobil Staf Gubernur Militer/ Panglima Dicisi II Kolonel Gatot Subroto yang sudah siap menunggu di tempat penjemputan yang direncanakan, Panglima Besar langsung dilarikan ke Wonogiri dan menginap semalam di sebelah timur jembatan Bengawan Solo. Hari itu Belanda menduduki Ibukota Kabupaten Sukoharjo, 18 kilometer sebelah utara Wonogiri.
Sebelum fajar esok harinya Pak Soedirman dan rombongan sudah berangkat dengan mobil menuju Kediri lewat Ponorogo, Trenggalek dan Tulungagung.
Setengah jam setelah keberangkatan, Wonogiri diserang musuh dari udara. Belanda mengira bahwa Panglima Besar Soedirman masih berada di tempat itu. Di Jetis (Kecamatan Jetis, Ponorogo) sebelah selatan Ponorogo Pak Soedirman istirahat di rumah Kyai Mahfud seorang tokoh ulama terkenal di Jawa Timur. Pukul 16.00 sore konvoi kendaraan dilanjutkan ke Trenggalek lewat jalan besar.
Berhenti sebentar di tempat ini. Kapten Soepardjo ditugaskan mencari hubungan dengan Kolonel Sungkono Panglima Divisi I Jawa Timur yang bermarkas di Kediri. Karena lama tidak dapat menghubungi Kediri, perjalanan diteruskan ke Tulungagung tetapi terhenti di desa Bendo menjelang maghrib.
Di sini rombongan Pak Soedirman dihentikan oleh pasukan dari Batalyon 102 Zainal Fanani. Kapten Soepardo ditahan di Markas Batalyon dan digeledah. Sementara itu Panglima Besar beserta pengawal menunggu di luar markas. Untuk mereka tidak dilucuti.
Dalam saku Kapten Soepardjo diketemukan peta perjalanan serta catatan-catatan kemiliteran lain. Seorang perwira yang memeriksa bertambah curiga tatkala Ajudan Panglima Besar menolak menyebutkan identitas orangy ang berada dalam mobil. Sementara itu Pak Soedirman minta supaua diijinkan sembahyang maghrin di mesjid tidak jauh dari markas Batalyon.
Mendapat laporan dari anak buahnya tentang kedatangan orang yang mencurigakan, Komandan Batalyon Mayor Zainal Fanani mendatangi mesjid untuk meemriksa sendiri orang yang sedang bersembahyang itu. Alangkah terperanjatnya Komandan Batalyon ketika diketahui bahwa tawanan itu adalah Panglima Besar Soedirman yang ketika itu memakai mantel tebal, ikat kepada dan selop hitam dan menyamar bernama Pak De. Setelah mohon maaf dan member hormat, Mayor Fanni memperislahkan Pak Soedirman beristirahat di tempat yang lebih aman.
Malam itu juga beberapa orang pengawal diutus ke Tulungagung untuk menghubungi Kolonel Sungkono Panglima Divisi I di Kediri untuk mendapat penjemputan.
Sesudah ada hubungan dengan Kediri maka Pak Soedirman dijemput oleh anggota staf Divisi I dan berangkatlah rombongan meninggalkan Bendo.
Pada pukul 04.00 pagi tanggal 24 Desember 1948 sampailah Pak Soedirman dengan selamat di kota Kediri, yang hari itu belum diduduki musuh. Dalam pertemuan antara Pak Soedirman dengan Kolonel Sungkono pagi itu juga, Panglima Divisi melaporkan situasi pertempuran di daerah Jawa Timur dan posisi musuh saat itu. Letnan Kolonel Suadi hari itu diutus menghubungi Panglima Divisi II Kolonel Gatot Subroto di Gunung Lawu, Jawa Tengah (Karanganyar, Jawa Tengah).
Dua hari sebelumnya, Kediri diserang dari udara oleh 4 pesawat Mustang musuh. Namun demikian,, kehidupan kota berjalan seperti biasa, sekalipun di beberapa penjuru kota tampak kesibukan-kesibukan dari pasukan bersenjata. Kebanyakan pengawal Pak Soedirman menghabiskan hari itu dengan beristirahat sepuas-puasnya setelah lima hari terus menerus melakukan pengawalan siang malam.
Pukul 17.00 datang perintah untuk meninggalkan kota Kediri menuju Sukorame, satu tempat di seberang sungai Brantas sebelah barat kota. Berkendaraan sampai di batas kota Kediri, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki kembali.
Sekitar pukul 20.00 malam Pak Soedirman diturunkan dari tandu dan rombongan menginap di Sukorame.
Esok harinya tanggal 25 Desember 1948 musuh menduduki kota Kediri. Markas Divisi I pindah ke desa Genjeng di lerang Gunung Wilis Kabupaten Nganjuk.
Kurang diketahui apakah peristiwa ini ada hubungannya dengan kedatangan Pak Soedirman di Kediri atau tidak. Yang jelas, hari itu Sukorame menjadi tidak aman lagi bagi kedudukan Panglima Besar Soedirman. Dalam perang rakyat semesta memang tidak ada tempat yang seratus persen aman. Tiap tempat tiap saat dapat diserang dari darat maupun udara oleh musuh. Karena itu rombongan Pak Soedirman harus membiasakan diri untuk hidup mengembara dari satu desa ke desa lain, dengan resiko tertembak, tertawan, tertangkap, kurang makanan, kurang obat dan kurang segala-galanya. Penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin Indonesia merupakan tujuan yang maha penting yang amat tinggi nilainya bagi kemenangannya, baik psikologis maupun politisi.
Siang harinya rombongan pindah ke Karangnongko yang terletak di kaki lereng Gunung sebelah timur. Medan yang ditempuh mirip pegunungan di Jawa Tengah. Waktu rombongan memasuki rumah yang diinapi malam itu, masuklah tiba-tiba orang yang tidak dikenal mendekati tempat istirahat Pak Soedirman. Ketika akan ditangkap oleh pengawal, orang itu melarikan diri di kegelapan malam. Kapten Soepardjo menduga orang itu adalah mata-mata musuh. Serempak seluruh pengawal diperintahkan untuk berjaga-jaga lebih waspada.
Didampingi Kolonel Bamang Supeno Kepala Staf Teritorial Jawa, pada pagi hari berikutnya, tanggal 26 Desember 1948, Pak Soedirman secara sembunyi-sembunyi dipapah keluar rumah lalu digendong bergantian oleh para pengawal, munuju ke tepi hutan di sebelah utara Karangnongko di lereng Gunung Wilis. Gerakan sangat rahasia ini dipimpin oleh Katen Tjokropranolo. Setibanya di hutan rombongan beristirahat sebentar untuk menyiapkan tandu baru, lalu meneruskan perjalanannya ke desa Guwoliman.
Sementara itu Kapten Soepardjo dengan 5 orang pengawal lainnya ditinggal di Karangnongko. Satu diantara pengawal itu mempunyai tubuh yang kurus mirip Pak Soedirman.
Waktu hari sudah agak siang, banyak orang datang untuk melihat-lihat tandu Pak Dirman di samping rumah. Dengan memakai mantel Pak Soedirman, tutup kepala dan kacamata hitam, pengawal yang kurus itu dinaikkan ke atas tandu lalu diusung kea rah selatan dari desa Karangnongko. Empat lainnya menjadi penggotongnya, sedang Kapten Soepardjo berjalan di sampingnya. Disaksikan banyak orang di sepanjang jalan dengan Pak Soedirman palsu di dalamnya, terus digotong menuju ke satu tempat kira-kira 3 kilometer sebelah selatan Karangnongko.
Di jalan yang agak sepia tandu diturunkan. Secepat kilat “Sang Panglima” itu meloncat keluar, melepaskan mantel, kacamata dan tutup kepalanya lalu berenam lari dengan cepat menjauhi tandu, takut kalau dilihat penduduk yang mungkin berada di sekitarnya. Lewat tegalan dan semak-semak belukar mereka menyusul induk pasukannya yang lebih dulu meninggalkan Karangnongko menuju Guwoliman di lereng utara Gunung Wilis. Sorenya tempat di mana tandu itu ditinggalkan di mitralyur 3 pesawat pemburu Belanda.
Setibanya di Guwoloman pada tanggal 27 Desember 1948, Kolonel Bambang Supeno diutus Panglima Besar Soedirman mencari hubungan dengan beberapa pemimpin Pemerintah Pusat, yang diperkirakan berada di lereng-lereng Gunung Lawu Jawa Tengah. Hari itu pula datang melapor Panglima Divisi I dengan Staf. Esok harinya tanggal 28 Desember 1948 perjalanan dilanjutkan ke desa Bajulan (Nganjuk, Jawa Timur). Di desa ini Pak Soedirman menetap sampai tanggal 6 Januari 1949.
Desa ini letaknya lebih tinggi lagi di lereng Gunung Wilis. Dua orang pengawal ditugasnkan mencari pemancar radio gerilya di daerah Sawahan Kabupaten Nganjuk untuk memperoleh berita-berita tentang situasi pertempuran satuan-satuan Tentara Nasional Indonesia dan anggota pasukan bersenjata lainnya, sekaligus juga menyampaikan instruksi-instruksi Panglima Besar Soedirman pada komandan pasukan yang langsung menghadapi musuh.
Banyak berita diperoleh dari radio gerilya Sawahan (Nganjuk), baik berita maupun luar negeri. Antara lin ditangkap siaran radio bahwa saat itu Perdana Menteri India PJ Nehru sedang mengundang wakil-wakil beberapa Negara Asia untuk menghadiri Konferensi Asia di New Dehli, India, untuk membahas antara lain masalah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan agresi Belanda di Indonesia. Delegasi Indonesia terdiri dari Mr. A. Mramis, LN Palar juru bicara Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa dan Dr. Suarsono duta Republik Indonesia di India.
Sementara itu datanglah empat orang pengawal tambahan yang menyusul dari Yogyakarta.
Sesudah seminggu lamanya berada di Bajulan (Nganjuk, Jawa Timur), rombongan berangkat lagi menuju daerah Ponorogo. Hari itu tanggal 7 Januari 1949.
Dari Bajulan (Nganjuk, Jawa Timur) yang terletak di Kabupaten Nganjuk, Pak Soedirman ditandu mendaki Gunung Wilis melewati Salamjudek, Liman dan Serang di puncak gunung, lalu menuruni lereng menuju ke desa Jambu di Kabupaten Ponorogo. Dari desa Liman berangkatlah Kapten Soepardo dengan tugas menyampaikan pesan Panglima Besar Soedirman pada Dr. Murjani, Gubernur Jawa Timur (Gubernur Jawa Timur Kedua, periode 1947-1949) yang ikut bergerilya di lereng Gunung Wilis bersama Residen Dul Arnowo.
Rute Bajulan-Jambu ditempuh dalam waktu 3 hari, selama itu pula Pak Soedirman terus menerus di atas tandu.
Rombongan tiba di desa Jambu (Ponorogo) 9 Januari 1949 tepat pada saat tentara Belanda dari Brigade Infanteri ke IV KNIL, menyerbu ibukota Kabupaten Ponorogo. Serangan itu dilakukan melalui Pulung (Kecamatan Pulung, Ponorogo) 20 kilometer sebelah timur Ponorogo tidak jauh dari desa Jambu. Pulung adalah Pusat Pemerintahan Kabupaten Ponorogo dalam gerilya, di lereng Gunung Wilis sebelah barat daya.
Pak Soedirman menugaskan Kapten Sopardjo mencari hubungan dengan anggota-anggota Pemerintah Pusat yang dikabarkan berada tidak jauh dari desa Jambu. Menteri Pembangunan dan Pemuda Supeno, Menteri Kehakiman Mr. Susantro Tirtoprodjo dan anggota BKNIP Susilowati, ternyata berada di Wayang (Kecamatan Pulung, Ponorogo) sebelah selatan Jambu.
Sekembalinya Kapten Soepardjo dari tugas pada tanggal 10 Januari 1949, rombongan Pak Soedirman pindah ke desa Wayang (Kecamatan Pulung, Ponorogo). Hari itu Kolonel Bambang Supeno yang dua minggu sebelumnya diutus mencari hubungan dengan Pimpinan Pemerintah dalam gerilya, tiba pula di desa Wayang dari lereng Gunung Wilis Jawa Timur.
Pada tanggal 12 Januari 1949 Pak Soedirman pindah ke Banyutowo (Ponorogo), sebelah timur desa Wayang (Ponorogo). Di tempat ini Pak Soedirman mengadakan pembicaraan dengan Menteri Supeno (Menteri Pembangunan dan Pemuda), Mr. Susanto (Menteri Kehakiman) dan Kolonel Bambang Supeno. Ini merupakan pertemuan terakhir dengan Menteri Supeno (Menteri Pembangunan dan pemuda) karena dua belas hari kemudian yakni pada tanggal 24 Februari 1949, Menteri Pembangunan dan pemuda kita itu tertembak serdadu Belanda di desa Genter (Nganjuk, Jawa Timur. Dalam minggu ity banyak pemimpin dan komandan pasukan menghadap Panglima Besar Soedirman untuk melaporkan keadaan dan menerima instruksi-instruksi.
Menurut laporan, Perintah Kilat Panglima Besar Nomor 1 tanggal 19 Desember 1948 sudah dilaksanakan dengan baik. Pasukan-pasukan Tentara Nasional Indonesia telah berada di pangkalan pengunduran masing-masing sesuai rencana yang digariskan.
Serangan-serangan terhadap patroli Belanda oleh para gerilyawan kita dilakukan di mana-mana. Pasukan-pasukan bersenjata berdasarkan persetujuan Renville hijrah ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, sudah mulai masuk kembali ke kantong-kantong gerilya di daerah pendudukan.
IY Kasimo, Menteri Persediaan Makanan Rakyat, Prawoto Mangkusasmito dan Zainul Arifin anggota BKPKNIP dan RP Suroso yang sudah lanjut usia, Pegawai Tinggi Kementerian Dalam Negeri, setelah meninggalkan Surakarta pada tanggal 19 Desember 1948, kini berada di lereng Gunung Lawu berdekatan dengan markas Divisi I. Menteri Agama Kyai Haji Maskur berada di lereng gunung Wilis Jawa Timur. Menteri dalam Negeri Sukiman yang mula-mula turut bergerilya kemudian turun ke kota, ditawan musuh di rumahnya.
Menteri Negara Sri Hamengkubuwono ke-IX yang juga Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, menolak tawaran untuk bekerjasama dengan Belanda dan tidak ditawan.
Antara lain dilaporkan bahwa Komando-komando Utama dalam angkatan perang Republik Indonesia menjalankan tugasnya sesuai rencana. Colonel Sungkono, Panglima Divisi-memimpin perang gerilya dari lereng Gunung Wilis, Jawa Timur, Kolonel Gatot Subroto Panglima Divisi II berada di lereng Gunung Lawu, Kolonel Bambang Sugeng Panglima Divisi III bermarkas di lereng Gunung Sumbing (Magelang, Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah) dan membawahi Letnan Kolonel Bakhrun Komandan dan Brigade Pekalongan dan Banyumas, Letnan Kolonel Ahmad Yani Komandan Brigade IX Kedu dan Semarang, Letnan Kolonel Suharto Komandan Brigade X yang langsung berhadapan dengan Tijger Brigade Belanda, pasukan tempur kebanggaan Belanda yang bermarkas di Yogyakarta di bawah pimpinan Kolonel Van Langan.
Brigade X pimpinan Letnan Kolonel Suharto membawahi 2 batalyon infanteri tanpa senjata, dibantu kompi taruna Akademi Militer, detasemen brigade 16 dan dua peleton tentara pelajar dari Brigade 17, satu-satuan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), kompi CPM dan beberapa satuan lain.
Pasukan-pasukan tersebut bergerak di dataran Yogyakarta. Sebagian berada di pinggir kota, sebagian lain malahan dimasukkan dalam kantong-kantong gerilya di dalam kota. Markas brigadenya berpindah-pindah tempat di dataran Yogyakarta.
Colonel Simatupang, wakil KSAP, berada di Banaran Kabupaten Kulon Progo pada minggu-minggu pertama sesudah meninggalkan Yogyakarta. Kolonel Hidayat, Panglima tentara dan Teritorium Jawa bermarkas di Manisrenggo di kaki Gunung Merapi, berpindah-pindah di sekitar lereng Gunung Sumbing. Dua panglima ini berada di bawah komando KSAP/ Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia Letnan Jenderal Soedirman.
Akhirnya apa yang selama itu tidak diharap-harapkan terjadi juga. Pada pukul 09.00 pagi tanggal 17 Januari 1949 sepasukan patrol Belanda Ponorogo lewat Pulung (Kecamatan Pulung, Ponorogo) mendekati desa Banyutowo sampai satu kilometer dari tempat di mana Panglima Besar Soedirman berada. Tembak-menebak dengan Pengawal Panglima Besar Soedirman tidak dapat delakkan. Dalam pertempuran itu Pak Dirman berhasil diselamatkan dari sergapan musuh dan diamankan dari sergapan musuh dan diamankan ke desa Sedayu di punggun Gunung Wilis, sebelah Timur Banyutowo.
Turut pula dalam rombongan itu Menteri Susangto dan Bupati Ponorogo yang kebetulan berada di tempat yang sama. Namun kontak senjata itu telah melukai beberapa orang pengawal.
Dalam hujan deras yang jatuh sore dan malam harinya, rombongan mendaki jalan setapak yang becek dan licin di tengah hutan pinus tiba di Sedayu pukul 06.00 pagi, esok harinya, rombongan Menteri langsung berpisah untuk meneruskan perjalanannya ke Sawahan Nganjuk. Ke mana Bapak Bupati Ponorogo selanjutnya pergi tidaklah jelas waktu itu.
Akan tetapi pada tanggal 19 Januari 1949 pukul 11.00 pagi, desa Sedayu pun diserbu musuh berkekuatan tiga peleton.
Mereka mengejar sejak rombongan berada di Banyutowo karena sudah mengetahui Panglima Besar Soedirman berada di tengah-tengah rombongan. Tanpa melepas satu tertembakan pun pasukan tempur dari brigade infanteri ke IV KNIL itu mengepung desa Sedayu dari segala jurusan.
Karena lelahnya, Pak Soedirman tidak kuat lagi berjalan sendiri dan terpaksa digotong masuk dalam hutan rotan di atas bukit Dukuh Cempoko Gong, tidak jauh dari desa Sedayu. Dari bukit tempat persembunyian ini terlihat jelas gerak-gerik musuh di desa Sedayu.
Seluruh isi desa Sedayu digeledah satu persatu. Rumah-rumah kosong yang ditinggalkan penduduk yang lari ke hutan-hutan sekelilingnya, dirusak dan diobrak-abrik karena serdadu itu tidak menemukan yang mereka cari.
Orang-orang tua, wanita dan anak-anak yang bersembunyi di belakang rumah-rumah karena tidak sempat lari, diseret, disiksa dan ditangkap bersama-sama para pengungsi dari kota yang berada di situ. Para pengungsi dipaksa untuk turun kembali ke kota. Waktu hari masih terang, adegany ang menegangkan itu terlihat jelas dari bukit-bukit di atasnya. Tetapi jelang matahari terbenam pemandangan jadi kabur. Sukar dibedakan mana musuh dan mana rakyat yang ditawan. Juga tidak jelas lagi, sampai mana musuh sudah mendekati tempat persembunyian Pak Soedirman. Ketika malam datang, sudah tidak ada jalan lain kecuali menunggu di tempat persembunyian sambil berdoa. Apa yang akan terjadi hari esok, tak seorang pun tahu.
Turut dalam penyelamatan Pak Soedirman di hutan rotan itu dokter Suwondo, Harsono Tjokroaminoto dan lima orang pengawal. Kapten Tjokropranolo menjaga Pak Soedirman dari bukit lain bersama beberapa anak buahnya, sedan Kapten Soepradjo berada sendirian di dalam rumah yang semula di tempati Pak Soedirman. Sambil menjaga peralatan dan obat-obatan yang ketinggalan, ia mengawasi gerak-gerik musuh dari pos terdepan. Seperti diduga sebelumnya, malam itu masih tetap bertahan di Sedayu. Barangkali mereka menunggu sampai orang yang dicarinya turun ke kampung.
Tiba-tiba tampak titik-titik api menyala di desa yang gelap itu.
Mula-mula kecil dan samar-samar. Lama-kelamaan api itu menjadi besar dan pemandangan bagaikan kebakaran di waktu malam. Serdadu-serdadu Belanda itu menyalakan obor masing-masing utuk melanjutkan pencariannya malam hari.
Dari kejahuan terdengar rintihan orang-orang dan anak-anak bercampur hiruk-pikuknya teriakan dari serdadu-serdadu itu. Bertambah malam, musuh bertambah beringas. Namun sejauh itu tidak sebutir pun peluru ditembakkan dari senapannya. Waktu para pengawal mulai khawatir kalau-kalau hutan rotan akan segera dibakar, tiba-tiba satu obor tampak mendekati rumah di mana Kapten Soepardjo bersembunyi.
Tatkala mata sudah mulai mengantuk, pandangan menjadi kabur. Obor-obor mulai mati dengan sendirinya. Suara gaduh tidak terdengar lagi. Malam menjadi sunyi kembali. Diufuk timur fajar mulai menyingsing. Satu keajaiban telah terjadi semalam: entah apa sebabnya, musuh mengurungkan niatnya menggeledah rumah di mana Kapten Soepardjo berada.
Esok harinya tanggal 20 Januari 1949, musuh belum juga meninggalkan Sedayu. Walau tidak seberingas hari sebelumnya, serdadu-serdadu itu masih mondar-mandir keluar masuk rumah penduduk dan di tegalan sekitar desa.
Orang-orang yang ditawan tidak tampak lagi. Ada yang dilepaskan, ada yang dibaw kembali ke kota. Satu demi satu musuh meninggalkan Sedayu. Lewat tengah hari sebagian besar sudah pergi. Ketika serdadu terakhir meninggalkan desa, hujan turun dengan lebatnya. Maka tibalah malam dan Pak Soedirman keluar dari persembunyiannya.
Sejak musuh menyerang sehari sebelumnya, tidak seorang pun dari anggota rombongan Pak Soedirman tidak makan seharian. Menurut dr. Suwondo, kesehatan Panglima Besar Soedirman saat itu bertambah burul. Beliaut tidak kuat lagi berjalan sendiri menuruni bukit.
Beberapa pengawal harus memapahnya. Hujan tidak terhenti-henti. Jalan setapak sangat licin. Tanpa penerangan malam, rombongan bergerak perlahan-lahan setapak demi setapak. Meskipun sangat lemah karena sakitnya, Pak Soedirman masih berhasil mencapai gubuk di atas lading terpencil sebelah timur Sedayu setelah digendong bergantian dua jam lamanya.
Hari ini tanggal 22 Januari 1949, pagi-pagi Kapten Soepardjo bersama dua orang pengawal turun ke kampung terdekat untuk menukarkan kain sarung dengan makanan kain sarung dengan makanan seadanya. Sejam kemudian mereka kembali membawa nasi jagung, nasi rebus dan seekor ayam bakar, untuk dimakan para pengawal yang kelaparan termasuk Pak Soedirman.
Sangat mengherankan bahwa keesokan harinya Pak Soedirman dapat bersembahyang Subuh. Kesehatannya pulih kembali. Menurut dr. Suwondo, kemauan keras, rasa tanggung jawab yang besar dan tekadnya yang tidak kenal menyerah adalah sebagian dari faktor-faktor yang menyebabkan Pak Soedirman dapat bertahan demikian lama.
Dua hari berikutnya yakni pada tanggal 24 Januari 1949 rombongan meninggalkan Sedayu dan bergerak menuju ke Longsor (Ponorogo-Kediri), satu tempat di pinggir jalan besar Ponorogo-Kediri, kurang lebih 10 kilometer sebelah barat Trenggalek. Perjalanan panjang kali ini memakan waktu lima hari.
(Peta daerah Gunung Wilis, Jawa Timur)
Selama itu pula Pak Sudirman digotong di atas tandu. Perjalanan menuruni lereng Gunung Wilis melewati desa Warungbung (Kecamatan Sooko, Ponorogo), desa Gunung Tukul (desa Suru, Kecamatan Sooko, Ngindeng (Kecamatan Sawoo, Ponorogo), Sawoo (Kecamatan Sawoo, Ponorogo) dan Tumpak Pelem (Kecamatan Sawoo, Ponorogo). Dari tempat terkahir ini Kapten Soepardjo mencari hubungan dengan Komando Distrik Militer Trenggalek. Kota Trenggalek saat itu tidak diduduki Belanda.
Setelah melewati hari-hari penuh ketegangan dan kekhawatiran karena Panglima Besar Soedirman hampir tertangkap musuh, hari ini tanggal 29 Januari 1949 rombongan meneruskan perjalanannya dari Longsor ke Suruh Wetan (Trenggalek) melalui jalan besar dengan kendaraan bermotor lewat Trenggalek.
Dengan demikian kota Trenggalek telah dilewati Pak Soedirman sebanyak dua kali dalam waktu satu bulan.
Bermalam sehari di Suruh Wetan (Trenggalek), rombongan meneruskan perjalanan mendekati pantai selatan Kabupaten Trenggalek. Sebagian naik kendaraan, sebagian berjalan kaki. Setelah melewati Dongko (Kecamatan Dongko, Trenggalek) dan Panggul (Kecamatan Panggul, Trenggalek), malamnya tanggal 31 Januari 1949, Pak Soedirman tiba di Bodag (Kecamatan Panggul, Trenggalek- Kecamatan Ngadirojo, Pacitan). Di sini rombongan berhenti 3 hari lamanya. Sementara itu diperoleh kabar bahwa Dewan Kemanan Perserikatan Bangsa-bangsa mengesahkan Resolusi 4 negara anggotanya tentang penghentian permusuhan antara Indonesia dan Belanda, pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta dan lain-lain.
Pada tanggal 4 Februari 1949 dimulai lagi pendakian lereng-lereng pegunungan di daerah Pacitan. Dan kembali Panglima Besar diusung di atas tandu menuju ke desa Nogosari (Kecamatan Ngadirojo, Pacitan).
Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, perjalanan di daerah Pacitan tidak terasa berat. Banyak bantuan tenaga diberikan oleh rakyat setempat, demikian juga bantuan logistic dari Komando Onder Distrik Militer sepanjang rute yang dilewati. Di Nogosari (Kecamatan Ngadirojo, Pacitan) rombongan berhenti tiga hari untuk kemudian dilanjutkan kea rah barat. Tujuan berikutnya adalah desa Pingapus (Kecamatan Tulakan, Pacitan). Di sini Pak Soedirman menetap seminggu, yakni dari tanggal 8-14 Februari 1945.
Kurir-kurir datang membawa berita, surat-surat dan radiogram penting. Kapten Tjokropranolo diutus menyampaikan surat untuk Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX di Yogyakarta yang jauhnya 125 kilometer lebih dari desa Pringapus (Kecamatan Tulakan, Pacitan). Bersaman dengan itu, berangkat pula meninggalkan Pak Soedirman, Harsono Tjokroaminoto dan dr. Suwondo, masing-masing untuk mencari keterangan-keterangan mengenai keadaan politik dan berusaha mencari obat-obatan. Dengan kepergian mereka, tinggalah lima orang pengawal yang menunggui Pak Soedirman dari dekat.
Kecuali Kapten Tjokropranolo yang kembali dengan selamat dari tugas kurir ke Yogyakarta bersama 3 orang pengawalnya, petugas-petugas lain yang berangkat bersamanya tidak kembali bergabung sampai perang gerilya selesai.
Pada tanggal 13 Februari 1949 Pak Soedirman pindah ke desa Gebryur. Istirahat tiga hari di sini, lalu meneruskan Wonoketro (Kecamatan Nawangan, Pacitan), di mana dapat didatangkan seorang dokter dari Kabupaten Pacitan. Di sini Pak Dirman menetap sebulan lamanya. Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan kota Yogyakarta baru sekarang dapat melakukan tugas pekerjaan sehari-hari yang agak teratur. Ada semacam jam kerja pukul 12.00 siang , jam-jam untuk istirahat sebentar dan bekerja kembali sampai pukul 16.00 sore. Sesudah sembahyang maghrib biasanya Pak Soedirman berkumpul dengan para pengawal untuk berkelakar dengan santai. Kadang-kadang mereka diajak membicarakan soal-soal politik, pendidikan dan agama.
(Peta Daerah Kecamatan Nawangan, Pacitan)
Selama sebulan berada di Wonoketro (Kecamatan Nawangan, Pacitan) banyak berdatangan penghubung-penghubung dari Staf Divisi-divisi seluruh Jawa. Serangan Umum terhadap Ibukota Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 1949 oleh pasukan yang dipimpin Letnan Kolonel Suharto dapat diikuti dengan seksama dari desa terpencil di daerah Pacitan ini. Dari Divisi II di lereng Gunung Lawu dikirim tambahan pengawal dipimpin Letnan Kolonel Suadi. Kapten Ranuwijaya dari Batalyon Digdo Pacitan turut membantu mengamankan kedudukan Panglima Besar Soedirman di daerah komandonya.
Dari desa Wonoketro (Kecamatan Nawangan, Pacitan) diketahui bahwa 10 sesudah Serangan Umum atas Yogyakarta yang terkenal itu, Belanda menyerang kota Wonosari (Kecamatan Nawangan, Pacitan) secara besar-besaran. Pesawat pemburu, pembom dan pengangkut sejumlah 30 buah dikerahkan untuk merebut lapangan terbang Angkatan Udara Republik Indonesia di Gading beserta pemancar radionya.
Ambil bagian dalam serangan itu pasukan penerjun dan satu Batalyon Infanteri yang menyerbu dari arah barat kota Pacitan. Belanda mengira Pimpinan Pemerintah Pusat dan bahkan Panglima Besar Soedirman berada di Wonosari (Kecamatan Nawangan, Pacitan). Dikiranya Wonosari menjadi pangkalan pasukan Tentara Nasional Indonesia yang melakukan serangan umum atas Yogyakarta.
Pada tanggal 21 Maret 1949 Pak Soedirman dan rombongan meninggalkan Wonokerto untuk pindah ke Nawangan dengan menyeberangi jalan besar Ponorogo-Pacitan di malam hari, di daerah Tegalombo (Kecamatan Tegalombo, Pacitan) dikuasai Belanda.
Hari itu desa Pringapus yang disinggahi Pak Soedirman sebulan yang lalu diserang musuh dari udara. Perjalanan berat karena medan yang berbukit-bukit menjadi terasa ringan berkat bantuan rakyat yang dengan sukarela turut memikul tandu dan menolong mengangkut peralatan lainnya yang biasanya dibawa sendiri oleh para pengawal. (kemudian di daerah Nawangan, didirikanlah monument Panglima Jenderal Soedirman)
Setelah melewaji Mujing dan Nawangan, perjalanan diteruskan ke Ngambasari (Kecamatan Karangtengah, Wonogiri) 10 kilometer sebelum melintasi perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah. Di tempak ini Pak Soedirman mendadak jatuh sakit. Untunglah setelah dua hari istirahat, kesehatannya berangsur-angsur pulih kembali.
Tujuan berikutnya adalah Tirtomoyo. Kota kecamatan di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Karena belum sembuh betul dari sakitnya, Pak Soedirman hanya menempuh perjalanan sejauh 5 kilometer sehari. Hari itu adalah 23 Maret 1949. Ngambarsari (Kecamatan Karangtengah, Wonogiri) yang ditinggalkan sehari sebelumnya, diserang dari udara. Tampaknya Belanda berusaha terus memburu Pak Soedirman sejak dari Jawa Timur. Waktu itu musuh sangat aktif melakukan patrol di daerah Tirtomoyo (Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri). Rencana semula untuk menyeberangi perbatasan provinsi Jawa Timur dan provinsi Jawa Tengah terpaksa ditangguhkan. Selama 10 hari rombongan hanya berputar-putar di sekitar daerah tersebut. Karena kesehatan Pak Soedirman yang agak mundur memaksa rombongan mengurungkan niatnya menuju Tirtomoyo (Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri) dan meninggalkan daerah tersebut pada tanggal 1 April 1949.
Sementara itu satu tempat lain untuk dijadikan Markas Gerilya ditawarkan oleh Jaswadi Darmowidodo, lurah desa Pakis, Kecamatan Nawangan, Pacitan. Lokasinya berada di sela-sela punggung bukit pada ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut. Letaknya amat tersebumbunyi hingga sulit didekati musuh, baik dari darat maupun udara. Rumah yang kelak menjadi tempat menetap Panglima Besar terlama sepanjang gerilya terletak di dukuh Sobo, kelurahan Pakis, Kecamatan Nawangan, Pacitan.
Rumah ini direlakan pemiliknya Karsosemito Kebayan dukuh tersebut untuk digunakan sebagai markas gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Dari dukuh Sobo dapat dikirim dengan mudah kurir-kurir langsung ke Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX di Yogyakarta, atau ke komandan-komandan pasukan di sekitar Yogyakarta dan Surakarta. Berita-berita radio dalam negeri dan luar negeri dapat diterima dengan teratur. Dari Sobo banyak dikirim surat-surat, radiogram maupun amanat-amanat ke Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera, perwakilan RepublikIndonesia di New Dehli, India, melalui Radio Gerilya Republik Indonesia yang berada di lereng Gunung Lawu dibawah pimpinan Mayor Maladi. Biasanya surat-surat itu ditulis Pak Soedirman sendiri, lalu dikirim lewat para kurir.
Selama berada di Sobo banyak komandan dan pasukan, para pemimpin Pemerintah dan organisasi-organisasi politik mengunjungi Panglima Besar Soedirman. Waktu delegasi Republik Indonesia sedang melakukan pendahuluan dengan pihak Belanda di Jakarta berhubung dengan adanya Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa tanggal 28 Januari 1949, Panglima Besar Soedirman mengirimkan radiogram kilat ke Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera yang isinya mengingatkan bahwa Belanda mulai menderita kekalahan-kekahalan di banyak medan pertempuran melawan pasukan Tentara Nasional Indonesia, sedang kita semakin kuat kedudukannya di bidang militer dan politik. Karena itu Pemerintah Darurat Republik Indonesia harus bersikap tegas menghadapi perundingan dengan Belanda agar kita tidak mengalami kekecewaan yang kita alami dengan perjanjian Renville. Kepada Kolonel Hidayat Panglima Tentara dan Teritorium Sumatera dikirim pula radiogram kilat lain ke Sumatera yang menekan agar dalam menghadapi perundingan, pucuk pemimpin Angkatan Perang harus satu dalam pendirian dan sikap, jangan sampai hasil-hasilnya perpecahan di antara para pejuang bersenjata. Diperingatkan agar para komandan bawahan jangan sekali-kali mengadakan perundingan sendiri-sendiri dengan pihak musuh.
Dari dukuh Sobo (desa Pakis, Kecamatan Nawangan, Pacitan) dikeluarkan amanat Panglima Besar tanggal 1 Mei 1949 pada para komandan kesatuan yang antara lain berisi perintah semua menunaikan tugas dan kewajiban masing-masing sebaik-baiknya dan menjaga disiplin tentara, dan jangan turut memikirkan adanya perundingan dengan Belanda, karena soal ini menjadi tanggung jawab pucuk pimpinan Angkatan Perang. Kepada seluruh prajurit Panglima Besar berpesan supaya percaya dan yakin, bahwa kemerdekaan suatu Negara yang didirikan atas timbunan ribuan korban jiwa dan harta benda dari rakyat dan bangsa tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapa pun juga.
Panglima Besar Soedirman telah siap lengkap dengan syarat-syarat dan usul-usul yang akan dimajukan pada Pemerintah yang disesuaikan dengan semangat dan jiwa perjuangan tentara dan rakyat pada dewasa itu, pula mengingat serta memperhatikan suara-suara dari para komandan, terutama yang langsung memimpin pertempuran. Amanat itu diakhiri dengan seruan: “Berjuang terus. Saya tetap memimpin kamu sekalian. Tuhan Insya Allah melindungi kita semua”.
Kepada pemimpin partai-partai politik di daerah Ponorogo dan sekitarnya yang saat itu saling bentrok karena perbedaan ideology, Pak Soedirman mengingatkan, melalui surat rahasia tanggal 9 Mei 1949 bahwa dalam perjuangan suci ini kita harus menghilangkan perselisihan dan menggalang persatuan dan harus satu dalam sikap dan satu dalam tindakan.
Dalam pada itu diterima laporan bahwa di Jakarta pada tanggal 7 Mei 1949 telah ditanda-tangani persetujuan Roem-Royen sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa tentang penghentian permusuhan antara Indonesia dan Belanda dan kemungkinan akan diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
Di samping itu juga telah di dengar berita tentang meninggal dunia Panglima Besar tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal Spoor secara mendadak dua minggu sesudah penanda-tanganan persetujuan Roem-Royen.
Tanggal 3 Juni 1949, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan Perintah Harian Nomor 27/PB/D/49 yang memerintahkan agar para komandan pasukan bersenjata di seluruh daerah Yogyakarta memelihara kesatuan komandao dan harus taat dan tunduk pada segala perintah dan instruksi dari Komando Militer Tertinggi di daerah Yogyakarta, Letnan Kolonel Suharto.
Lewat suratnya kepada Wakil KSAP Kolonel Simatupang tanggal 6 Juni 1949 Panglima Besar Soedirman menegaskan penolakan terhadap usul delegasi Indonesia di Jakarta agar Angkatan Perang mengirimkan wakil militer ke Jakarta.
Tanggal 17 Juni 1949 dikeluarkan order harian Panglima Besar Soedirman kepada segenap militer dan sipil di seluruh Indonesia yang menyerukan supaya dengan tegas dan tepat membela persatuan, kedaulatan, disiplin Negara dan disiplin tentara demi keselamatan nusa dan bangsa.
Tanggal 20 Juni 1949 Panglima Besar Soedirman melontarkan protes keras terhadap keluarnya pernyataan delegasi Republik Indonesia di Jakarta tanggal 7 Mei 1949 yang menggunakan istilah “Pengikut-pengikut Republik yang sedang mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Bangsa dan Negaranya”.
Berdasarkan persetujuan Roem-Royen maka mendaratlah di Maguwo pada tanggal 6 Juli 1949 pesawat terbang Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Indonesia, yang membawa Presiden Soekarno, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta dan beberapa pemimpin tinggi Negara dari tempat pengasingannya.
Ketika Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta, Pak Soedirman sebenarnya keberatan untuk meninggalkan medan gerilya. Tetapi karena adanya surat-surat dari Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX , Kolonel Gatot Subroto dan pemimpin-pemimpin gerilya yang lain, akhirnya beliau mau kembali ke Yogyakarta. Secara psikologis Pak Soedirman belum dapat menerima perkembangan politik sampai saat itu.
Pagi-pagi tanggal 17 Juli 1949, berangkatlah Pak Soedirman meninggalkan markas gerilyanya terakhir di duku Sobo (kelurahan Pakis, Kecamatan Nawangan, Pacitan) untuk kembali ke Ibukota Yogyakarta.
Setelah berpamitan dengan Lurah Pakis, Kebayan Dukuh Sobo dan rakyat di desa Pakis, diusunglah tandu yang mengangkut Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Jarak sepanjang kurang lebih 100 kilometer akan ditempuh dengan berjalan kaki, menyelusuri desa satu ke desa yang lain, dari Provinsi Jawa Timur sampai Provinsi Jaw Tengah. Di sepanjang perjalanan bersejarah yang dilalui, rakyat saling berebut mengusung tandu Pak Soedirman sebagai tanda rasa kagum dan hormat terhadap perjuangan dan pengorbanan seorang prajurit yang berani, jujur dan rendah hati.
Setelah melewati Tirtomoyo (Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri), Pulo (Kelurahan Kasihan, Kecamatan Ngadirojo, Wonogiri) dan Karangbendo di Kabupaten Wonogiri, tibalah rombongan di Ponjong Kabupaten Wonogiri (Kecamatan Ponjong, Wonogiri) tanggal 8 Juli 1949, siang hari. Malam harinya pukul 21.00 datanglah Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade X Divisi III untuk menjemput pak Soedirman. Pagi hari berikutnya Pak Soedirman melanjutkan perjalanan ke Plungan dan menginap semalam sebelum memasuki kota Yogyakarta. Pada hari berikutnya datanglah Kolonel Simatupang dan Mayor Jenderal Suhardjo untuk menjemput Pak Soedirman. Tidak jauh dari tempat itu sudah menunggu beberapa kendaraan yang akan membawa Pak Soedirman beserta rombongan memasuki kota Yogyakarta. Pukul 13.00 siang 10 Juli 1949 Panglima Besar Jenderal Soedirman tiba di Ibukota Negara Republik Indonesia Yogyakarta.
Maka bertemulah Pak Soedirman dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Safrudin Prawiranegara yang telah menunggu di Istana Negara.
Sesudah itu, masih dalam pakaian yang sama seperti ketika memimpin perang gerilya, Pak Soedirman menuju ke alun-alun utara Yogyakarta untuk menerima apel besar pasukan gerilya Tentara Nasional Indonesia yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Suharto.
Sekembalinya dari hutan-hutan di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk bergerilya selama enam bulan lebih dalam keadaan sakit, Panglima Besar Jenderal Soedirman masih menyiapkan dua buah amanatnya melalui corong Radio Republik Indonesia Yogyakarta.
Dalam menyambut peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan Keempat tanggal 17 Agustus 1949, Pak Soedirman menegaskan bahwa Tentara Nasional Indonesia lahir karena proklamasi, hidup dengan Proklamasi dan bersumpah mati-matian hendak mempertahankan Proklamasi. Sungguhpun dalam keadaan sakit, Pak Soedirman tidak mau ketinggalan untuk menghadiri upacara Hari Angkatan Perang yang diperingati tanggal 5 Oktober 1949 di Yogyakarta.
Dalam pidato radio malam sebelumnya, antara lain diingatkan oleh Panglima Besar Soedirman bahwa prajurit Tentara Nasional Indonesia bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya. Kita masuk tentara karena keinsyafan jiwa dan rela berkorban demi bangsa dan Negara.
Setelah beberapa waktu lamanya beristirahat di rumah kediamannya di Jalan Widoro dibawalah Pak Soedirman ke Rumah Sakit Pnti Rapih Yogyakarta untuk dirawat. Sidang Dewan Siasat Militer tanggal 21 Juli 1949 yang dipimpin Presiden Soekarno, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, diadakan di rumah sakit dihadiri pula Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta, Mr Safrudin Prawiranegara, Dr. Leimena, Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX, Kolonel Nasution, Kolonel Simatupang dan beberapa pembesar lainnya.
Beberapa hari kemudian Pak Soedirman dipindahkan ke Sanatorium Pakem di lereng Gunung Merapi dekat Kaliurang, Sleman.
Dari Pakem, Pak Soedirman dikirim kembali ke Rumah Sakit Panti Rapih untuk selanjutnya beristirahat di Pesanggrahan Badakan Magelang.
Namun Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan bahwa saatnya sudah tiba untuk memisahkan jasad Pak Soedirman dari kawan-kawan seperjuangnya, rakyat dan bangsanya dan dari keluarganya.
Pada hari Minggu, 29 Januari 1950, Pak Soedirman meninggal di Magelang. Hari berikutnya jenazahnya dikebumikan di makam pahlawan Taman Bahagia Yogyakarta setelah disembahyangkan di Masjid Agung, banyak masyarakat yang mengiringi jenazah, mengantarkan Panglima Jenderal Soedirman ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):
(Source: Sumadio, Bambang, Mr. Utoyo Kolopaking.1988.Panglima Soedirman TNI. Jakarta: PT. Bimantara Nusa Bayu.)
Route Soedirman Guerrilla Commander.
Departure from Yogyakarta: Yogyakarta, Bantul, Palbapang, Bakulan (hamlet Bakulan, Jetis District, Yogyakarta), Clove (Clove district, Bantul), Grogol (Paliyan district, Bantul), Parangtritis (Kretek district, Bantul), Karangtengah (District Imogiri Bantul), Bake (Bake District, South Mountain), Paliyan (District Paliyan, Gunungkidul), Playen (District Playen, Gunungkidul), Siyono, Wonosari, Semanu, Bedoyo, Pracimantoro (Pracimoro Wonogiri), Pulo, Eromoko, Wuryantoro, Wonogiri, Jatisrono (Wonogiri), Purwantoro (Wonogiri), Sumoroto (Kauman, Roxburgh), Roxburgh, Jetis (Jetis, Roxburgh), Sambit (Sambit, Roxburgh), Sawoo (Sawoo, Roxburgh), Nlongsor, Terri, Kalangbert, Tulungagung, Kediri, Karangnongko, Goliman, Bajulan (Nganjuk, East Java), Salamjudeg, Makuto, Sawahan (Nganjuk, East Java), Gedangklutuk, Wates, Ngliman, Seran, the village of Guava (Roxburgh), the village of Guava (Roxburgh), the village Wayang (Roxburgh), Banyutowo village (Roxburgh), the village Sedayu (Roxburgh), the village Warungbung (Roxburgh), the village Gunungtukul (Roxburgh), the village Ngindeng (District Sawoo, Roxburgh), the village Tumpakpelem (District Sawoo, Roxburgh), Nglongsor (District Monument, Psychology), Terri (Terri), Authorship (District, Authorship, Terri), Suruhwetan (Terri), Dongko (Terri), pelvis (Pelvic District, Terri), Bodag (Ngadirojo, Pacitan), Nogosari (Ngadirojo, Pacitan), Gebyur, Pringapus, Wonosidi (Tulakan, Pacitan), Ketro (Tulakan, Pacitan), Wonoketro (District Nawangan, Pacitan), Tegalombo (Tegalombo, Pacitan), Mujing (Nawangan, Pacitan), Nawangan (Nawangan, Pacitan), Ngambar (District Karangtengah, Wonogiri) , Sobo hamlet (Sobo hamlet, village of Ferns, District Nawangan, Pacitan).
Back to London: Sobo (Sobo hamlet, village of Ferns, District Nawangan, Pacitan), Tirtomoyo (District Tirtomoyo, Wonogiri), Baturetno (District Baturetno, Wonogiri), Polo (Wonogiri), Ponjong (District Ponjong, Wonogiri), village Karangmojo ( District of Karangmojo, Gunungkidul), Grogol village (District Paliyan, Gunungkidul), Gari (District Wonosari), Piyungan (District Piyungan, Bantul), Prambanan (Prambanan district, Klaten), Yogyakarta.
Dated January 24, 1916. On that day in the hamlet of Apex, was born a boy who later was named Soedirman. This boy will be one of the heroes of his nation. Because he always put the interests of society, even the interests of his people rather than personal interests.
At the time Indonesia was ruled he was born the Netherlands. Apex is located in the village hamlet Batarbarang, onderdistrict Bodaskarangjati, district Tjahjana, Regentschap Poerbalingga, now Apex hamlet, village Bantarbarang, District Apex, Purbalingga, Central Java. Villagers living as a farmer. But the soil is not too sbubur. Although many rivers aliri eyed Slamet mountain water, but land persawahannya not easy to do because it is paved stones that come from volcanic eruptions Slamet centuries ago.
Because of the above circumstances, many people who work as laborers in other places. Similarly Soedirman father named Karsid Kartawiraji. Mr. Karsid worked as a supervisor, working on a sugar plantation owned sugar mill near the town of Purwoketro. In the colonial era there are many sugar mills owned by a Dutch company.Such factories are producing wealth for the colonizers. Only the people of Indonesia to work as laborers.
Sudirman was born at the subdistrict office in Apex is his own kin, the husband's mother's brother Soedirman. Pak Raden Cokrosunaryo subdistrict, district head pack being named Turiwati wife. Soedirman own mother called Siyem. Mr. camat Cokrosunaryo although children have not been blessed with a long marriage. Not surprisingly, then treat the Sudirman as the children themselves to fill the silence in their family life. Even then Soedirman fully be adopted Conrosunaryo family. Being a child camat tetnulah fun than being the son of a sugar cane plantation workers. But did not get to feel it really Soedirman. A year after he became a child Cokrosunaryo Pak, pak subdistrict is undergoing pension. Cokrosunaryo family later moved to Cilacap. Kartawiraji Karsid family were also moved. Since the move, Soedirman no longer be disenfranchised children in the mountain village, but a child of a district capital. Cilacap town situated on the southern coast of Central Java. The harbor is a natural harbor. Beautiful bay and deep enough so that ships can dock large enough to dock. In front of the town there Cilacap Nusakambangan island is famous for. The family lived in the village Cokrosunaryo Manggisan. To increase income to sales agents Cokrosunaryo Mr. Singer sewing machine. In 1925 Sudirman attends inlandse Hollands School (HIS). Sudirman graduation H. I. S. in 1931. He then continued his education Advanced School of First Instance. Abbreviation for education as derived from the Dutch language is MULO. But in the colonial period there were schools founded by private parties Indonesia. College Park students among others. The school was founded by Ki Hajar Dewantara is indeed a means of struggle to educate the Indonesian people to be patriots who could oppose the invaders. Therefore, the School is always under surveillance by the Dutch police. Sudirman went to the Park Adult lessons, ie First School Advanced Level Students in the College Park, in Navan. H. School I. S. is a seven-year primary school. The school is devoted to the people of Indonesia. Introductory language is Dutch. Although the language of instruction for various subjects are basahasa the Netherlands, there is still a subject area or the Malay language. H. A person who parks I. S. in general are smart enough to use the Dutch language. Sudirman was educated at home running a devout Muslim religion.He grew into a pious child. In addition he has an obligation to help with household work. For example, maintaining plants in the garden, take care of water supply for cooking and bathing, and various other jobs. As a child of the family retired, Soedirman not get any luxuries. He slept on a mat that is spread dib-alai hall. And if there are guests staying at Clark's house, then Soedirman balainya handed to the guest-hall in his honor. He spread a mat on the floor to sleep. As usual in the family who still adhered to the ancient custom, the Sudirman not eat with their parents at the dinner table. He had to eat after serving his parents. Usually he ate in the kitchen. Simplicity is also reflected in the Sudirman family everyday clothes he wore. Thanks to the education acquired at home, Sudirman was not afraid to face difficulties. Even after a teenager, he likes to test his toughness. Soedirman innately quiet, but her character really hard. His favorite sport is playing ball. He likes to play as a "back". In keeping with her character playing too loud. He became a respected opponent defender. According to family stories, although Sudirman is the defender were a man, but sometimes the ball into the opposing goal. Sudirman in 1932 left the park and go MULO Adult (School of Advanced Level One) Wiworo Tomo. This school, in addition to member education on general subjects are also concerned with the Islamic religion. It also instill a sense of nationhood. Soedirman deepening awareness about Islam. Compared with his friends at school and sepermainan, he was the most devout religious orders menalankan. This raises the reluctance of his friends. But there is also a member mocking title of "kajine" (The Hajj). In 1934 Sudirman MULO Wiworo Tomo graduated and left the Navan back to Cilacap. In 1935 Prince Cokrosunaryo died.Sudirman who had begun studying at the School Teachers (HIK) Muhammadiyah in Solo was forced to stop. He returned to Cilacap and later became a teacher at H. I. S. Muhammadiyah in Cilacap. To fight the invaders, the people of Indonesia to form a variety of organizations. There's a political nature there is also a social nature.These organizations, in many ways to instill awareness of nationalism in the heart of Indonesia. Sala is an organization Muhammadiyah. Through a variety of social activities that are based embedded entrepreneurial spirit of Islam in society, in addition to the patriotism and power of religion. In addition to being a teacher at the school Muhammadiyah, Sudirman was also active in youth and scouting. Among these he began to show leadership. They lead their respect and love. At one point Hizbul Wathan, the Muhammadiyah held a scouting camp in the area of Batur. Batur is located in the mountainous region separating Pekalongan and Banyumas. To the east of these mountains stretched up to Dieng. Cold weather was famous Batur. Soedirman included in this camp leadership. One night very cold air at the campground. Many campers leave the tents and take refuge in the houses. But Sudirman stayed in the tent. A colleague asked her to come home residents. Soedirman refused to laasan that he wanted to train her to face the colder conditions that may be encountered later. In 1935 Sudirman Alfiah marry, a girl who is also a graduate of Wiworo Tomo. Oth person is Haji Jubaedi who resides in the placenta, Cilacap. On December 8, 1941 Japan gave the United States naval base in Hawaii, the Pearl Harbour. Then came the Pacific war, and the Second World War was already covers the whole world.
(Map 1, Harbor Pearl Harbour)
Japanese who have no source of raw materials to seize the Dutch colonies, Britain and the United States in Southeast Asia and the Pacific. Then replace the Western countries as colonizers. On March 9, 1942 Japanese troops landed at several places on the island of Java. Dutch troops are poorly trained and do not have the fighting spirit was defeated easily by the Japanese army. Japanese invasion of the Dutch colony Indonesia most of the people involved in the effort to went. Although it was not really fighting the war the people of Indonesia, but many are iikut in a variety of businesses that primarily aims to reduce casualties in the event of air raids. Soedirman joined the group guard against air attacks. Particular duty to observe the air if there is a Japanese planes coming to attack. Alarm can be sounded as early as possible. At first the arrival of Japanese troops received a warm welcome from the people, because they had expelled the Dutch. But in a short time already appears that the Japanese really intend to replace the Dutch as colonists. Japan's desire to replace western colonialism in Asia was not easy to be implemented. After initially won some bersar of the western colonies in Asia, they then suffered defeat after defeat. To overcome that defeat, the Japanese army in Indonesia, supplying the blackmail of Earth Indonesia. Blackmail is such that people really suffer. Japan forced the farmers deliver their crops so that farmers lack of food. Especially those located in cities disenfranchised. In addition to taking the natural wealth of Indonesia, Japan is also taxing the people. Many are deployed into the labor force. They were deployed to work to make the Japanese fortifications, worked in the forest to cut wood for purposes of war and so on. They worked very hard and heavy, but did not get health care. Leaving thousands of far from home and do not necessarily rimbanya anyway. Forced labor is known in Japanese as "romusha". That name means the ordinary. However, because the fate of the romusha a very terrible, hence the name also so scary. Because many of the suffering caused by Japan, the unrest among the people arise. In some areas of rebellion arose. Japanese people do not find reason to hate merreka too. They raised their community leaders to sit in the formation of the Regional Representatives Council of Japan. The goal is that they represent the community. Priority is the Islamic group of community leaders.They thought that by doing so the majority of the Indonesian people are Muslims will help them win the Pacific War which they call the Greater East Asia War. This situation is particularly the case in Java. See many people suffering from the Japanese occupation, Sudirman was trying to alleviate the suffering involved. He along with the establishing of cooperatives in Cilacap Muhammadiyah.Cooperative was named PERBI. Sudirman then elected chairman.His efforts to alleviate the suffering of the people do not just stop here. Sudirman also became members of the Governing Body of the Food Society (BPMR). Soedirman activities in Muhammadiyah and subsequently in the field of cooperative society caused him to become leaders. At the time of Japan raised a number of community leaders to be members of the Regional Representatives Council, Sudirman was appointed to sit in the Regional Representatives Council Banyimas residency based in Navan. He became a member of the Board from 1943 to 1944. The state of Japan in the Pacific increasingly desperate battle. They tried to involve the people of the area they had occupied to assist them in battle. In various regions of Indonesia Heiho troops deployed in the youth. That forces with Indonesian soldiers, but dimpin Japanese officers. They are used as aid workers on the battlefield. Many of those killed. But the survivors to gain experience that will be useful in defending the homeland. In Java formed Defenders of the Homeland Army abbreviated PETA. Sudirman also selected by the Japanese authorities to be a battalion commander PETA. For this he followed the officer training at the training center in Bogor PETA. He later became commander and battalion in the city Kroja, Central Java. The city is small but important town because there is a grade crossing that needs to be maintained. Sudirman as PETA officers remain as before. Disciplined, sensitive to the community, and piety to God Almighty. This attitude often led to his conflict with the members of the Japanese soldiers who become coaches or supervisors in the battalion he leads PETA.Especially about the Japanese way of life that does not comply with the customs of Indonesia, especially in terms of customs and religion. Sudirman also opposes abuses by Japanese soldiers against PETA, although he argued was to enforce discipline. The soldiers PETA feel very sorry for the suffering endured by the romusha. They are often seen by Japan's brutal treatment of the working romusha making fortifications Japan to face the landing of Allied troops, especially UK and USA. The feeling is that among other causes arising in Blitar PETA rebellion led by one of the officers Sopriadi. Since 1944, Japanese forces continued to experience losses on all fronts war against the Allies. In the meantime, they are increasingly concerned about an uprising in the occupied areas still. Among other things in Java. They tried to take more care of the people with a variety of grandiose promises, but in addition they are also increasingly harsh oppressive, either directly or indirectly. In July 1945 a number of officers led PETA gathered in Bogor by Japanese soldiers. It is unclear what purpose. But many suspect that they will be removed so as not to move his army to revolt.Among the officers there Soedirman. On August 8, 1945 an Air Force bomber dropped an atomic bomb the United States a world first in the city of Hiroshima, Japan. The second atomic bomb was dropped on the city of Nagasaki on August 14, 1945 Japan surrendered unconditionally to the Allies.Thus the areas occupied by Japan should be returned to the previous ruler.
(Map 2, the city of Hiroshima (Hiroshima Prefecture), Japan)
(Map 3, the city of Nagasaki (Nagasaki Prefecture), Japan)
The Indonesian people are not willing to be treated as objects transferred between countries invaders. We are determined to be free. On August 17, 1945, in East Pegangsaan No. 56, Bung Karno read a proclamation that declared the independence of Indonesia. Bung Karno and Bung Hatta was accompanied by a number of national leaders and witnessed by the public. Since then Indonesia is no longer a colony of another country. Text of the proclamation reads. "Proclamation
Our nation is meyatakan Indonesia with Indonesia's independence.The things about the transfer of authority and others, organized and thorough manner within the shortest possible time "
Jakarta, August 17, 1945 On behalf of the nation
Soekarno-Hatta
Proclamation of August 17, 1945 reverberated throughout the country. However, it is necessary sacrifices in the struggle to maintain it. The Dutch tried to derail because they require Indonesia to finance the rebuilding of his country that were damaged in the Second World War a new over. To maintain independence was proclaimed, Indonesia needs to arm themselves. After the proclamation of the Sudirman can leave exile in Bogor. But while the Japanese army had dissolved PETAdan send members to their respective places of origin. Thus Japan was separated from the threat of armed rebellion spearheaded by PETA. They know well how much people hate them. After Japan surrendered to the Allies, the Dutch immediately attempted to return to the invaders in Indonesia. But they do not come degan blatant because the troops do not have the strength to face the people of Indonesia who have declared their independence. Holland took refuge behind British soldiers who were ordered by the Leader of the Allies to accept the surrender of Japan in Southeast Asia, and to free the people of Europe are in Japanese prisoner. They did not really memasalahkan independence of Indonesia. But because they are trying to protect the Dutch returned to Indonesia, they were opposed by Indonesia.Then there was the battle Surabaya yangsekarang as we commemorate Heroes Day on 10 November each year. On August 22, 1945 established the People's Security Body (BKR).People's Security Agency is the agency responsible for the safety of the people and must keep from the Netherlands to re-colonize us.By itself the People's Security Body (BKR) require a weapon. In many places there is fighting to wrest the weapon from Japan.Sudirman was appointed to lead the People's Security Body (BKR) in the Banyumas. He is based in the town of Navan. People's Security Body (BKR) Banyumas need to be armed. To that must be cultivated in order to obtain weapons in the hands of Japan. In the town of Navan there is a full battalion of Japanese weaponry. Although in many areas there has been violence to obtain guns from the hands of Japan, but Soedirman will seek to obtain without bloodshed. He then led a delegation to meet with Japanese leaders who still remained in Navan. Although the Japanese initially be hard not to give up their weapons, but eventually they realize that it is useless for them to retain the weapon just to obey the command of the Allies who had defeated them. Indonesia is also capable of the opposite party will guarantee the safety of their members leave the area Banyumas. Thus the People's Security Body (BKR) Banyumas obtain a full arsenal without bloodshed thanks to the leadership and diplomatic skills of a delegation led by Soedirman. England who came to free captives from the hands of Japan and Japan have also to disarm in Semarang. Then they move towards the south so until the city of Magelang. As well as elsewhere, the Netherlands joined and tried to sneak back to power. It can not be prevented the occurrence of fighting that began in the town of Magelang, and then broke out into a great battle that Mashur Ambarawa it. People's Security Body (BKR) since October 5, 1945 has been the People's Security Army (TKR). Soedirman became Commander of Division V of People's Security Army (TKR) is located in Purwoketro. Regional Division V include Jatiwangi, Cirebon, Tegal, Purworejo, Cilacap and Purwoketro own. The division is sending his troops in battle Ambarawa. And as a pretty complete arsenal is one of the major forces drove British role in the area. On 26 November 1945, komadan unity of Purwoketro deployed, Lieutenant Colonel Isdiman killed in an air raid. Since then Colonel Sudirman as the Division Commander plunge himself led the troops on the battlefield. Thanks to his leadership, the various forces of People's Security Army (TKR) and forces people to be united under one command.Can then be deployed in a general attack that drove the British troops after the battle of Ambarawa four days and nights. While doing battle everywhere to defend the independence of the Republic of Indonesia. People's Security Forces continue to be refined its organization and its settings. People's Security Army (TKR) should be able to force the common core-lascar camps established by the conduct of armed resistance against the Dutch and British who tried to enforce the rule again. People's Security Army business settings (TKR) was led by Chief of General Staff Lt. Gen. Oerip Sumohardjo. Lt. Oerip is a professional military that has a lot of experience as a member of the Dutch army.Although Oerip is a former Dutch soldier, but never the least occurred in the real heart to come back in the ranks of the Netherlands. Indeed Oerip Soemohardjo while serving as mayor in the Dutch army also was not always in line with the founding of the Dutch leaders. He was a man who always show dignity in the face of Dutch colonial Indonesia. It is therefore not surprising that his company is grounded in the Republic of Indonesia. Towards the end of 1945 felt the need for a Commander in Chief to lead the People's Security Army (TKR). At a meeting of senior officers from various regions of unity and was chosen Colonel Sudirman, commander of Division V, as Commander in Chief. At that time the 29-year-old Soedirman. That a young officer had been selected for the highest office in the army is remarkable. It's certainly something to do with the leadership of the display while leading the struggle Ambarawa. On February 25, 1946, the People's Security Army (TKR) is changed to Army of the Republic of Indonesia (TRI). Sudirman who had been promoted to General of the set to be Commander in Chief of the Armed Forces of the Republic of Indonesia (APRI). Dutch efforts to return to power in Indonesia continues. At the bargaining table they are trying to gain advantage by proposing a variety of adverse conditions the actual position of the Republic of Indonesia. In addition, they also continued to increase its military power in Indonesia and if there is a chance-kgerakan maneuver to seize areas of the Republic of Indonesia. All of that goes under the tutelage of England. Holland feels that he needs more time before it can muster the strength to destroy the Republic of Indonesia. They therefore requested that the ceasefire held between the Indonesia and the Netherlands. Then they proposed to conduct negotiations.Indonesia objected to the parties negotiate because they want to prove that the Republic of Indonesia is a country of law and every negotiation is actually a recognition of the Republic of Indonesia by the Dutch. In October and November 1946 carried out a cease-fire negotiations between the Dutch-Indonesian-English. On the occasion of General Sudirman been to Jakarta. Commander in Chief in Jakarta received a standing ovation from the public. Even had time to perform Eid prayer with the people of Jakarta. The truce talks itself does not bring results. Although the cease-fire negotiations are not successful, the negotiations continued through diplomatic channels. Thus was born Linggarjati agreement that was announced on November 15, 1946.The results turned out to TIDA Linggarjati negotiations to resolve the problem because it is basically the Dutch still want a full return to power in Indonesia. As commander of the Great General Sudirman also paid a visit to various areas in Java to obtain direct information about the situation on the battlefield and to provide guidance to their subordinate commanders and their commanders. In this way Soedirman accompanied Commander Chief of Staff Lt. Gen. Oerip Soemohardjo. Commander Visits Soedirman can rekindle the spirit of the fighters.Attacks on our troops is increasing. However, due to limitations of armaments and other supplies, we did not manage to expel the Dutch from the place they had occupied. Yet their situation is far from peaceful and safe. The fighters continued to harass us and causing casualties among them.Holland felt it was strong and wanted to finish off the Republic of Indonesia with military force. On July 21, 1947 Dutch soldiers attacked the areas not under their control, both in Java and Sumatra. Dutch soldiers have a complete and modern weaponry may soon occupy the places along the highway Sumatra and Java. But this does not mean that our army has been destroyed. The cities are deliberately not maintained by persistent because better consideration of the Dutch arms. After the Dutch occupation of different places, it turns out they have to deal with counter-attack our troops do a guerrilla war. Thus, the ideals of the Netherlands to finish the war does not happen quickly.What happens is a new style of resistance by our troops is very difficult for the Netherlands. Resistance universe by the people grew stronger. Power of the people who are members of various armed kelaskaran unity. Included among the various Students' Army unit.Although they are still students who sit in high school, but they are not afraid to face the heavily armed Dutch soldiers and good practice. In areas occupied by the Dutch sense to continue the struggle still raging repel invaders. Various parties around the world assess the actions of the Netherlands in an attempt to destroy the Republic of Indonesia, a country that has been established with the approval of the people.Therefore the Security Council of the United Nations intervened and requested that hostilities cease immediately. On August 4, 1947 to brokered cease-fire imposed by the Security Council of the United Nations. But the battle is not immediately stopped because the Dutch are still attacking and movement of other hostilities. During the War of Independence First, Commander Soedirman along with Chief of General Staff Lt. Gen. Oerip Soemohardjo dengna relationship continues to hold the commanders on the battle fronts. Various tactics command is given. In addition, he delivered a speech via radio to all the people shown. In a speech that always echoed that our struggle is a struggle true and blessed by God Almighty. Therefore must also be achieved victory, although there are many sacrifices that must be given.Although Commander Soedirman not present themselves in the battlefield fighting, but always present in the hearts of the fighters as the Father of Indonesian Army. Dutch attack that compromised the First War of Independence was not successfully remove the Republic of Indonesia from the earth.Even the whole world is watching what is happening in our country.The Dutch were forced to hold more talks with the Republic of Indonesia. This they did, but they are still planning to hold another military attack to remove the Republic of Indonesia. The leader of the army under the Commander Soedirman aware of this. Then drafted defense with a better arrangement. Although most of these cities are still areas that can be freely explored by our troops. Duties of a Commander in Chief of the Armed Forces of the Republic of Indonesia was not light. Jam the threat from the Netherlands, General Sudirman must also complete a variety of political issues that often interfere with the power of unity that is treated to face the Netherlands. Among others, the communist insurgency in Madison. Commander Soedirman remained faithful to his oath as a soldier and always put the country liberation from colonialism. But apparently not strong enough physically Soedirman to carry out that task. In mid-1948 Sudirman suffering from lung disease is severe. Thus a weight so that one of his lungs had to be discarded through a surgery. Surgery was successful with quite satisfactory. However, it should be followed by a long-term istirahan to restore perfect health. For those who have a great responsibility towards the task given by the homeland and the nation it was heavy.To the extent a subordinate officer of the Sudirman regarded as the elder brother was forced to warn with a little hard to think of health Commander Soedirman first before running the job again. The officer is Colonel Gatot Subroto. Due to the personal nature of the Great Commander Soedirman full sense of reward to anyone doing a good job, the nurses at the hospital had been impressed by the friendly attitude of Mr. Sudirman. His attitude did not impress as one of the highest rank in the army.Has even written a poem to express his gratitude to the hospital and the doctors and nurses who had cared for him. Here's his poem:
Happy house nan
Lamabya quarter century,
Standing up to now,
Neat nan nursing home happy,
Auspices of the Son of Earth.
Nan ill people suffer,
Gering got healthier to go,
Thanks to business activities,
And their purity of heart.
During upright and firmly,
Major services up to now,
Entire board of officers,
Sincere and honest character.
As I lay I pray,
Holy Lord God Almighty,
Bestow the gift,
On this happy home.
Moga would continue meritorious,
In the past, now and days later,
To the people of Indonesia,
Which remain independent forever.
Jakarta, 11 November 1948
People are grateful rawata
Army Commander in Chief of the Republic of Indonesia
Lieutenant General Sudirman
When Commander Soedirman still in a state of rest to recover his strength, the Netherlands carry out his intention to destroy the Republic of Indonesia last. On December 19, 1948 at 5 am (5:00 am), the Dutch launched attacks on the capital of the Republic of Indonesia Yogyakarta at the time. Then the second War of Independence erupted, as the nation's top national liberation struggle. A day earlier, Mr. Sudirman announced that he has held kemali command as Commander in Chief of the Armed Forces of the Republic of Indonesia, although the situation is still far from healthy.Apparently Mr. Sudirman already have a hunch that sooner or later the Dutch would attack as well. On December 19, 1948 in the morning after the war began training in the Division III, including the capital Jakarta, as a vague preparation of concrete on the ground facing the enemy invasion can occur at any time. On Sunday, December 19, 1948 early morning, in the Netherlands as the planes roared over the city air Yogyakartam Great Commander General Sudirman was lying on a couch in his home in Jalan Binataran Wetan. Body still feels weak. But for the first time after lying down for three months because of his illness, he left his bed to watch the situation. Indeed the Dutch attack was expected to occur by the Head of our Armed Forces. What is unclear is when it will happen. Therefore Mr. Sudirman not surprised. A few days earlier as planned and the Council of Military Strategy in order to maintain their health, Commander Soedirman been asked his staff to leave the city of Yogyakarta to the withdrawal base at one place in East Java. But the advice was rejected. Due to leave the city before falling into enemy hands Yogyakarta regarded as an act of cowardice who had fled from the battlefield. So diperintahlah Capt. Supardjo Rustam, Adjutant Commander in Chief went to the Presidential Palace (now the Great House) to receive instructions. Arriving at the palace, was President Soekarno was waiting for the arrival of the ministers and other authorities to convene an emergency cabinet session. Already present at that time, among others, Air Force Chief Cmdr Suryadarma, Deputy Colonel KSAP Simatupang, Sri Sultan Hamengkubuwono to-IX, Ir. Juanda, Sutan Syahrir and Doctor Leimena. Instruction on Soedirman Commander, will be given after the cabinet meeting no decision.Soepardjo captain can not do nothing but wait for the completion of the siding. Because not wait aide, then escorted Mr. Sudirman Guard Commander Lieutenant Captain and Doctor Tjokropranolo Koloner dr. Suwondo catch up to the Palace. In the palace has been gathered over nayak Minister. At that time Mr. Sudirman compaction with only the clothes pajamas terbungkul thick coat and intends to invite the President to leave the State Capital to lead a guerrilla war with the people outside the palace while the opportunity still exists. Twice the President advised him to go home for breaks, but Mr Soedirman refused and kept waiting outside the courtroom, waiting for the results of the council cabinet. In the Palace of the circumstances surrounding the increasingly precarious due to enemy air attack blindly. Finally the doctor ordered Suwondo, Mr. Sudirman want to leave it to return to his home in Jalan Bintaran given a weakened physical condition. Meanwhile, at 08.00 am (8:00 am) flash command issued through the mouthpiece of the Republic of Indonesia Yogyakarta radio that says:
Quick commands
No. 1/P.B/D/48
1) We have been attacked.
2) On the date December 19, 1948 Dutch Armed Forces attacked the city and the airport Maguwo.
3) The Dutch government has canceled the ceasefire agreement.
4) All of the Armed Forces carry out the plan which has been established to deal with the Dutch attack.
Issued in place.
Date-December 19, 1948
Hours, 8:00
WARS FORCE COMMANDER B ESAR REPUBLIC OF INDONESIA
Lieutenant General Sudirman
On the Road residence Bintaran made preparations to leave the house. Important documents were burned to keep from falling into enemy hands. Then Mr. Soedirman with the group headed to the Duchy, a place in the palace complex. The approval of the Sri Sultan Hamengkubuwono IX may be used where this child and mother who was pregnant Soedirman. This is where the wife of Commander Soedirman will persist as long as her husband left. Appropriate plan outlined by the Council of Military Strategy in May 1948, the first resignation of a base commander Soedirman is one place in East Java, which should be pursued through the southern part of Yogyakarta, Wonogiri, Roxburgh, Terri, Kediri. Was the top Government Leaders will diungsiikan to the state capital of Yogyakarta Wonosari when the enemy occupied. Approximately at 14.00 the same day the city of Yogyakarta Military Commander Colonel Abdul Latif Hendraningrat reported that enemy troops had entered the city. Fulfill his vow will maintain the independence of the State to the death, then in a state of health is still weak, but impelled by a member willpower her strength, Commander Soedirman decided to leave the city of Yogyakarta headed for the guerrilla terrain. And began traveling in the peak Soedirman Pak guerrilla national liberation struggle of the largest ever experienced by the Republic of Indonesia. One way to prove loyalty to the Great Commander prasetyanya as a warrior and fighter. Even in sickness, Mr. Soedirman will always be in the midst of his men who were risking lives to maintain the independence of his Nation. Escorted by a small number of soldiers, the Great Commander-covered car leaves as undercover, shot out towards the walls of the fort palace of Yogyakarta to Bantul Imogiri through the southern city of Yogyakarta. Along the way the route changed abruptly. Imogiri road to the bridge was dihalanghalangi tree trunks that poor across the middle of the road. The vehicle was deflected towards the south coast, heading to the village Kretek approximately 20 kilometers south of Yogyakarta. Way to Kretek afternoon terhneti by repeatedly shooting a machine gun from the air. Enemy planes flying low hunter stalking each movement of troops through the streets. At times the vehicle must be stopped abruptly to avoid enemy fire from the air, Mr. Sudirman was carried out of the car to look for shelter in the bush undergrowth on either side of the road. By way of running, stop, take cover and then run again, the group finally arrived safely at Kretek before maghrib. But the start Kretek, travel further by car because it was not possible because the road was interrupted by the lack of time to cross the bridge that crosses the village Opak. Before crossing the river, taking a break in the pack Soedirman Kretek Head home. When checked his health, dr. Suwondo said that the state of Pak Soedirman no worse than previous days.Fatigue and eat the same day delay caused Mr. Sudirman physical condition to be rather weak. By midnight, the journey continues by foot. With great care and group crossing times Opak Grogol stay in the village a few kilometers across the river. That night three guards led by Capt. Supardjo, troops assigned to the Wonogiri preceded by a short cut to make contact with army Colonel Gatot Subroto, commander of Division II in Surakarta.Previously, two other guards were sent into the city of Yogyakarta to ask for jewelry from Mrs. Soedirman as additional stock in the trip.In this small group in addition to Adjutant, doctors and Komdan Guards, were also the Division II V Brigade Commander Lt. Colonel Suadi and Harsono Tjokroaminoto, a top official of the State. The rest are some of the first officers, noncommissioned officers and enlisted men. Escorted by a small number of soldiers during the Great Commander Soedirman to move where, was planned from the beginning. Unless the aim to move quickly and swiftly, a small force also reduces the people milling around. Also facilitate the disguise if at any time required and reduces the likelihood under surveillance from the air. Escort in number rather besarb aru necessary if Mr. Sudirman stop in one place more than one or two days. In the city of Yogyakarta is the story of the fall into the hands of the enemy started shelling of the airfield complex Maguwo (now Airport Adisucitp) by two Dutch Mitchell bombers and shooting of the hunters Mustang aircraft on military targets around the runway, then followed with the help of transport aircraft Dakota who fielded two companies of the Dutch Special Forces Corps to seize the airfield.A brief battle was balanced between the enemy special forces trained and experienced against an army of young cadets Indonesian Air Force (Air Force) who maintain the airfield Maguwo, claiming heavy casualties on our side. After seizing the airfield, mendaratlah second battalion of the Brigade KNIL Colonel Van Langen who was flown from Semarang. Completed the landing, protected by machine gun fire and rockets from the air on roads, bridges and some buildings in the city, move two infantry battalions were headed for the capital city of Yogyakarta. Partly through the streets of Yogyakarta, Solo, others take the road through the south of Yogyakarta Wonosari-straight into the heart of the city. The small number of our troops defending the city in the morning due tu adanaya war exercises outside the city. Slowly but surely advancing enemy and captured the city at about 15:00 o'clock in the afternoon. Without resistance apapub of the palace guard, the enemy troops stormed the palace and arrested President Soekarno, vice president of Drs. Mohammad Hatta and other state leaders for the prisoner. The guards had orders to hold no resistance. President Sukarno with Haji Agus Salim and Sutan Syahrir then held captive in Prapat. Vice President of Drs. Mohammad Hatta, Mr.Sastroamidjoyo and Mr Ali. Mohammad Rum sequestered in the Pacific. Mr. Minister prosperity. Syafruddin Prawiranegara who happened to be in London, then given a mandate to lead the Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI). Some other meteri outside the city of Yogyakarta, was then appointed as a member of the Central Government Commissariat in Java (KPPD) in Java. After a rest as needed in Grogol village, the morning of December 20, 1948 or the second day after the capital city of Yogyakarta fell into enemy hands, the journey continues to carry the Great Commander above Andu. The purpose of the day is past Paliyan Prangtritis (Bantul, Yogyakarta) AND VILLAGE Bake towards the East, along the path less traveled one. Narrow road which continues to climb the bare sharp rocks along the mountain slopes of South Mountain District is barren. The heat of the sun's ascent adds to the weight. The journey continued to climb causing the guards who was healthy even begin to run out of steam. Moreover, Mr. Sudirman who just had surgery the pain of one of his lungs. Only the firmness of character and determination to conquer Pak Soedirman pain and suffering. Malignant field is much overgrown with weeds as high as many heads. By fallen trees blocking the path, make the stretcher-bearers do its job and force Commander Soedirman sitting in it, breathing their last strength that is very weak to firmly hold back in his chair, so as not thrown off the stretcher and fell on sharp rocks or yawning abyss below. Sometimes a small group that was forced down the steep cliffs that Mr. Sudirman be dropped from the stretcher. And when the rain suddenly fell, the ground beneath the feet become extremely muddy and slippery. Small rivers that drain the water was turbid with a very swift, and clothing became soaked. At such times the only force that guards the bold spirit of gratitude to God Almighty, that as far as the Great Commander General Sudirman can be saved from the pursuing enemy and avoid facing death every time. Coupled with a sense of pride that Mr. Sudirman the sick remained in the midst of his men to get together to fight for independence from the colonizers. Finally the day trip stops at midnight after a full day walking Paliyan along 20 kilometers more. In this place one of the three guards who were ordered ahead of the group the day before, had rejoined and reported that Mr. Sudirman will be picked up by the Colonel's men in the District Pracimantoro Gatot Subroto, Wonogiri, about 30 kilometers from Paliyan. The next day was December 21, 1948. In the morning the troops had left Paliyan towards Plauen, approximately 10 kilometers from Wonosari, Capital Kabupten originally prepared as the first resignation of President and leaders of other state high. There Wonosari near an airfield and a radio transmitter Indonesian Air Force. Of the transmitter is known that not all leaders are in the Palace when the Dutch invaded, captured enemy. Colonel Simatupang catch escaped from the enemy. Likewise, some days the minister was not in Yogyakarta. Finance minister Mr. A. A.Maramis was in New Dehli, India. Some other meteri in Surakarta, East Java and Sumatra. Distance Paliyan-Playen pursued as far as 8 kilometers in 4 hours.During that time Mr. Sudirman remain on the stretcher. Arriving on a stretcher Playen abandoned. The journey continues with the increase in the Sudirman-drawn carts, people, dirt roads through the countryside to avoid a big way. The next goal is Semanu, 12 kilometers from Playen. Semanu arrived at after dark. What will happen the next day, no one knows. Early the next morning on December 22, 1948, prepared a new stretcher for carrying the Pak Soedirmanlewat Bedoyo to Pracimantoro in Wonogiri. Through which the field is not how severe. Before the afternoon the group had arrived at Pracimantoro.By car the Military Staff of Governor / Commander Colonel Gatot Subroto Dicisi II who is ready to wait in the pick-up planned, Commander in Chief immediately rushed to Wonogiri and stay overnight at the bridge east of Solo. Dutch occupation of the capital that day Sukoharjo district, 18 kilometers north of Wonogiri. Before dawn the next day Mr. Sudirman and his entourage had left by car to Karachi via Roxburgh, Terri and Tulungagung. Half an hour after departure, Wonogiri attacked the enemy from the air. Holland thinks that Commander Soedirman still in place. In Jetis (Jetis District, Roxburgh) south of Roxburgh Mr. Sudirman rest at home Kyai Mahfud a famous cleric in East Java. At 16:00 pm the motorcade proceeded to Terri via road. Stopped briefly in this place. Soepardjo captain assigned to make contact with Commander Colonel Sungkono Division I East Java which is based in Karachi. Because the old can not contact Kediri, Tulungagung forwarded to the trip but stopped in the village before sunset Bendo. Here the group was stopped by Mr. Sudirman troops from Battalion 102 Fanani Zainal. Captain Soepardo detained and searched at Headquarters Battalion. Meanwhile, Commander in Chief and their bodyguards waited outside the headquarters. For they are not stripped. Capt. Supardjo found in a pocket travel maps and other military records. An officer who examined grew suspicious when the Commander in Chief's aide declined to orangy ang identity was in the car. Meanwhile, Mr. Sudirman ask supaua allowed maghrin prayer in the mosque not far from the battalion headquarters. Received reports from his subordinates about the arrival of a suspicious person, Battalion Commander Major Zainal went to the mosque for meemriksa Fanani own person who is praying it. How Terperanjatnya Battalion Commander when it is known that prisoners Soedirman Commander who was wearing a thick coat, and tie the black slippers and disguises named Mr. De. Once the member apologize and respectfully, Mr. Mayor Fanni memperislahkan Soedirman rest in a safer place. That same night some people were sent to escort Colonel Sungkono Tulungagung to contact the Commander of Division I in Karachi to get a pick-up. Then there is a connection with the Karachi Pak Soedirman picked up by a staff member went Division I and his party left Bendo. At 4:00 am on December 24, 1948 arrived safely at the Sudirman Pak Karachi city, the day was not yet occupied. In a meeting between Mr. Sudirman by Colonel Sungkono that morning, Commander of the Division reported a combat situation in East Java and the position of the enemy at that time. Lieutenant Colonel Suadi that day was sent to contact the Division II Commander Col. Lawu Gatot Subroto in Central Java (Karanganyar, Central Java). Two days earlier, Karachi was attacked from the air by four enemy planes Mustang. However, the, city life as usual, although in some parts of the city seems busy-busyness of the armed forces. Most escort Mr. Sudirman spent the day resting heart's content after five days continuously under guard day and night. At 17.00 came the order to leave the city of Karachi to Sukorame, a place across the Brantas river west of the city. Driving to Karachi city limits, proceed by foot back. Around 20:00 the night Mr. Sudirman derived from litter and his entourage to stay at Sukorame. The next day on December 25, 1948 the enemy occupied the city of Karachi. Headquarters Division I moved to the village of Mount Wilis lerang Genjeng in Nganjuk District. Less is known whether these events have anything to do with the arrival of Mr. Sudirman in Karachi or not. Clearly, that day became no longer safe Sukorame for the position of Commander Soedirman. In war the people of the universe there is no one hundred percent safe place. Every place at every moment to be attacked from land and air by the enemy. Pak delegation therefore Soedirman must get used to life wandering from one village to another, with a risk shot, captured, arrested, less food, less medicine and less of everything. Arrest of the leaders of Indonesia is the all-important goal of the highest value for the victory, both psychologically and politicians. In the afternoon the party moved to Karangnongko located at the foot of the slopes of Mount east. Adopted similar terrain in the mountains of Central Java. When the group entered the diinapi home that night, suddenly entered an unknown person approached Mr. Sudirman resting place. As will be captured by the guards, the man fled in the darkness of night. Captain Soepardjo suspect the man is an enemy spy. Simultaneously all guards are instructed to be more vigilant guard. Accompanied by Colonel Bamang Supeno Territorial Chief of Staff of Java, the next morning, dated December 26, 1948, Mr. Sudirman secretly being carried out of the house and held alternately by the guards, munuju to the edge of the woods on the north slopes of Mount Wilis Karangnongko. Highly secretive movement is led by Katen Tjokropranolo. Arriving at the jungle entourage took a break to prepare new litters, and then continued on his way to the village Guwoliman. Meanwhile Capt. Supardjo with 5 other guards, left at Karangnongko. One of the guards that have a thin body like Mr. Sudirman. Time of day it was already daylight, many people came to see the Sudirman stretcher beside the house. With Mr. Sudirman coat, cap and sunglasses, skinny guard who was raised up on a stretcher and carried towards the south of the village Karangnongko. Four others became penggotongnya, was Capt. Supardjo walked beside him.Witnessed by many people along the way by Mr. Sudirman false in them, continue to go to one place carried approximately 3 kilometers south of Karangnongko. On the road the stretcher down a little sepia. Quick as a flash "The Chief" jumped out, took off her coat, goggles and cap his head and ran quickly away from the six litters, fearing that people may be seen in the vicinity. Through moor and scrub-shrub after holding their first troops that left Karangnongko to Guwoliman on the northern slope of Mount Wilis. In the afternoon where the litters were left in the machine gun 3 Dutch fighter. Arriving at Guwoloman on December 27, 1948, Colonel Bambang Supeno Soedirman Commander sent to make contact with some leaders of the Central Government, which is estimated to be on the slopes of Mount Lawu Central Java. Also that day I went to report to the Division Chief of Staff. The next day on December 28, 1948 the journey continues to the village Bajulan (Nganjuk, East Java). In this village Mr. Sudirman settled until January 6, 1949. The village is located higher on the slopes of Mount Wilis. Two guards looking ditugasnkan guerrilla radio transmitters in the area Sawahan Nganjuk District to obtain news of the fighting units of the situation of the Indonesian National Army and members of other armed forces, as well as convey instructions to the Commander Soedirman commander who directly face the enemy. Many guerrilla radio news from Sawahan (Nganjuk), both news and overseas. Between lin caught a radio broadcast that it was Prime Minister of India Nehru PJ was invited representatives from several Asian countries to attend the Asia Conference in New Dehli, India, to discuss among other issues the independence struggle of Indonesia and the Dutch aggression in Indonesia. The Indonesian delegation consists of Mr. A. Mramis, LN Palar spokesman for Indonesia at the United Nations and Dr. Suarsono ambassador of the Republic of Indonesia in India.
Meanwhile, four people came to the following additional guards from Yogyakarta. After a long week at Bajulan (Nganjuk, East Java), the group set off again towards the Roxburgh area. The date was January 7, 1949. Of Bajulan (Nganjuk, East Java), located in District Nganjuk, Mr. Sudirman stretchered past Salamjudek climb Mount Wilis, Liman and Attack at the top of the mountain, then down the slope toward the village of Jambu in Ponorogo. The captain departed from the village of Liman Soepardo with the task of delivering the message to Dr Commander Soedirman. Murjani, Governor of East Java (East Java Governor Secondly, the period of 1947-1949) who joined the guerrillas on the slopes of Mount Wilis bersama Resident Arnowo Dul. Route-Guava Bajulan taken within 3 days, during which Mr. Sudirman continuously on a stretcher. Entourage arrived in the village of Jambu (Roxburgh) January 9, 1949 just in time for the Dutch troops of the IV Infantry Brigade KNIL, stormed the capital of Ponorogo. The attack was carried out through Pulung (Pulung District, Roxburgh) 20 kilometers east of Roxburgh is not far from the village of Jambu. Pulung the County Government Center in guerrilla Roxburgh, on the slopes of Mount Wilis southwest. Mr. Sudirman commissioned Captain Sopardjo make contact with members of the Central Government is rumored to be not far from the village of Jambu. Minister of Youth Development and Supeno, the Minister of Justice Mr. Susantro BKNIP Susilowati Tirtoprodjo and members, were all in Wayang (Pulung District, Roxburgh) south of Guava. Upon returning from duty Capt. Supardjo on January 10, 1949, the group moved to the village of Pak Soedirman Wayang (Pulung District, Roxburgh). Colonel Bambang Supeno day two weeks earlier that was sent to make contact with guerrilla leaders in government, also arrived in the village from the slopes of Mount Wilis Puppet East Java. On January 12, 1949 Mr. Sudirman move to Banyutowo (Roxburgh), east of the village of Wayang (Roxburgh). In this place Mr. Sudirman Supeno talks with the Minister (and Minister of Youth Development), Mr. Susanto (Minister of Justice) and Colonel Bambang Supeno.This is the last meeting with the Minister Supeno (Minister of Development and youth) for the twelve days later on February 24, 1949, Minister of Development and our young Dutch soldier was shot in the village Genter (Nganjuk, East Java. In the weeks ity many leaders and commanders Commander of troops facing Soedirman to report on the state and received instructions. According to reports, the Great Commander Quick Order No. 1 dated December 19, 1948 has been implemented properly. The armies of Indonesian National Army has been at the base of each appropriate retirement plan outlined. The attacks against the guerrillas patrol the Netherlands we do everywhere. Armed forces based on the approval of Renville moved to Central Java and East Java, have started to go back into the pockets of guerrilla warfare in the occupied territories. IY Kasimo, Minister of People's Food Supply, and Zainul Arifin Mangkusasmito Prawoto BKPKNIP and RP Suroso members who are elderly, High Employee Interior Ministry, after leaving Surakarta on December 19, 1948, now located on the slopes of Mount Lawu adjacent to the headquarters of Division I. Religious Affairs Minister Haji Maskur Kyai on the slopes of Mount Wilis East Java. State Minister in the early Sukiman participated in guerrilla and then down into the city, captured the enemy at home. State Minister Sri Hamengkubuwono IX is also the Head of the Special Region of Yogyakarta, declined the offer to cooperate with the Netherlands and not in captivity. Among others, reported that the Commandos Major in the army of the Republic of Indonesia carry out their duties according to plan.Sungkono Colonel, Commander of the Division-leading a guerrilla war from the slopes of Mount Wilis, East Java, Colonel Gatot Subroto Commander of the Second Division on the slopes of Mount Lawu, Colonel Bambang Sugeng Chief of Division III based on the slopes of Mount cleft (Magelang, Waterford and Wonosobo, Central Java) and the charge of Lieutenant Colonel and Brigade Commander Bakhrun Pekalongan and Banyumas, Lieutenant Colonel Ahmad Yani Kedu IX Brigade Commander and Semarang, Brigade Commander Lieutenant Colonel Suharto X that directly deal with Tijger Brigade Netherlands, the Dutch pride of combat forces based in Yogyakarta under the command of Colonel VanLangan. X Brigade Lieutenant Colonel Suharto led oversees two battalions of infantry without guns, Military Academy cadets helped the company, detachment of the brigade and two platoons of 16 soldiers from Brigade 17 students, the unit of Indonesian Air Force (Air Force) and Navy of the Republic of Indonesia (ALRI), CPM company and several other units. The troops are moving on the plains of Yogyakarta. Partially located in the suburbs, while others even included in the pockets of guerrillas in the city. Brigade headquarters to move where the plains of Yogyakarta. Colonel Simatupang, vice KSAP, located in District Banaran Kulonprogo in the first weeks after leaving Yogyakarta. Colonel Hidayat, commander of the army and Territory-based Java Manisrenggo at the foot of Mount Merapi, moving around the slopes of Mount cleft. These two commanders were under the command KSAP / Commander in Chief of the Armed Forces of the Republic of Indonesia Lieutenant General Sudirman. Finally, what is for it not to expect will happen. At 9:00 am on January 17, 1949 Dutch army patrol passed Pulung Roxburgh (Pulung District, Roxburgh) Banyutowo village close to one kilometer from the place where the commander was Soedirman.Guards Shoot-guess the commander can not delakkan Soedirman.Sudirman in the fighting were rescued from enemy ambush and secured from enemy ambush and secured to the village of Mount Wilis Sedayu in punggun, Banyutowo east. Also participated in the group and the Regent Ponorogo Susangto Minister who happened to be in the same place. But the fire had been injured several guards. In a heavy rain that fell late afternoon and evening, the group climbed the muddy trails and slippery in the middle of a pine forest in Sedayu arrived 06.00 am the next day, the group split up to direct the Minister to continue his journey to Sawahan Nganjuk. Where to go next Ponorogo Regent is not clear at that time. However, on January 19, 1949 at 11:00 am, the village was invaded by an enemy force Sedayu three platoons. They are pursuing since the group already knows Banyutowo because Soedirman Commander was in the middle of the group.Without removing any of the tertembakan infantry brigade combat troops from the IV KNIL Sedayu surrounded the village from all directions. Because tired, sir Soedirman no longer walk on his own strong and had carried into the woods on the hill Hamlet rattan Cempoko Gong, not far from the village Sedayu. From the hill hiding place was apparent movements of the enemy in the village Sedayu. Sedayu whole village were searched one by one. Empty houses left by people who fled into surrounding forests, destroyed and turned upside down since the soldier did not find what they are looking for. Old people, women and children who hid in the back of the houses because they do not have time to run, dragged, tortured and arrested along with the refugees from the city that was there. The refugees were forced to fall back to the city. While it was still light, adegany ang thrilling it is obvious from the hills above it. But ahead of the sunset scene so blurred. Difficult to distinguish where the enemy is and where people are held captive. Nor is it clear again, to where the enemy was near Pak Soedirman hideout. When evening comes, there is no other way but to wait in hiding places and prayed. What will happen tomorrow, no one knows. Participated in the rescue Pak Soedirman rattan in the forest that doctors Suwondo, Harsono Tjokroaminoto and five bodyguards.Pak captain Tjokropranolo keep Soedirman of another hill with some of his men, Captain Soepradjo sedan was alone in the house previously occupied Pak Soedirman. While keeping the equipment and drugs are left behind, he watched the movements of the enemy from the outpost. As expected, the night was still retained in Sedayu. Maybe they wait until people are looking down into the village. Suddenly spots a fire lit in the darkened village. At first small and vague. Over time it became a big fire and the landscape like a fire in the night. Dutch soldiers torch was lit each evening weeks to continue his search. Kejahuan groan of the people and children mingled cries from the hustle and bustle of the soldiers. Increased night, the enemy grew violent. But so far it's not even a bullet fired from a rifle. When the guards began to worry that the forest will be burned rattan, a torch suddenly appear near the house where Capt. Supardjo hiding. When the eyes are getting sleepy, vision becomes blurred. The torches began to die by itself. Noise was not heard again. The night became quiet again. Diufuk eastern dawn. A miracle had happened last night: for whatever reason, the attack enemies searched the house in which Capt. Supardjo located. The next day on January 20, 1949, the enemy had not yet left the Sedayu. Although not seberingas previous day, the soldiers were still pacing in and out of houses and in villages around the moor. The people who imprisoned not looked back. Some are released, there are dibaw back to town. One by one enemy left Sedayu. In the afternoon most were gone. When the last soldiers left the village, raining cats and dogs. Then came the evening and Mr. Sudirman out of hiding. Since the enemy attacked the day before, none of the members of the group Mr. Sudirman not eaten all day. According to dr.Suwondo, chief medical Soedirman burul time increases. Beliaut no more power to run itself down the hill. Some guards had to carry. The rain did not hesitate. The walkways are very slippery. Without lighting the night, the group moved slowly step by step. Although very weak because of his illness, Mr. Sudirman still managed to reach the hut in the remote east Sedayu lading after being held alternately two hours. Today is January 22, 1949, early in the morning Capt. Supardjo with two guards down to the nearest village to trade with food sarong sarong with a potluck meal. An hour later they returned with corn rice, boiled rice and a grilled chicken, to feed the hungry bodyguards including Mr. Sudirman. It is astonishing that the next day Mr. Sudirman can pray Fajr. His health restored. According to dr. Suwondo, willpower, a sense of responsibility and determination are not known to give up is some of the factors that caused Mr. Sudirman can last so long. The next two days ie on January 24, 1949 the group left and headed towards Sedayu Avalanche (Roxburgh-Kediri), one spot on the roadside of Roxburgh-Kadiri, about 10 kilometers west of Race.Length of time this trip took five days.
(Map of the area of Mount Wilis, East Java)
During that time Mr. Sudirman was carried on a stretcher. The trip down the slopes of Mount Wilis Warungbung through the village (District Sooko, Roxburgh), Mountains Tukul village (the village of Suru, District Sooko, Ngindeng (District Sawoo, Roxburgh), Sawoo (District Sawoo, Roxburgh) and Tumpak pelem (District Sawoo, Roxburgh). From this last place Capt. Supardjo looking for a relationship with the District Military Command Parade. City Race was not occupied by the Dutch. After passing the days of tension and anxiety as Commander Soedirman almost caught the enemy, today on January 29, 1949 the group went on his way from the Avalanche to Tell Wetan (Terri) via major roads with motor vehicles through the Race. Thus the town of Pak Soedirman Terri has passed twice within a month. Have a day to spend the night in Wetan (Terri), the group continued on the south coast near Race. Most of the ride vehicle, some walking. After passing Dongko (District Dongko, Psychology) and pelvis (Pelvic District, Terri), in the evening on January 31, 1949, Mr. Sudirman arrived in Bodag (Pelvic District, Sub Race-Ngadirojo, Pacitan). Here the party stopped 3 days. While it obtained the news that the Security Council of the United Nations passed Resolution 4 of its member countries about the cessation of hostilities between Indonesia and the Netherlands, the return of the Government of the Republic of Indonesia to Yogyakarta and others. On February 4, 1949 resumed climbing the slopes of the mountains in the area Pacitan. And the Great Commander brought back on a stretcher to the village Nogosari (District Ngadirojo, Pacitan). Unlike the earlier days, traveling in the area Pacitan not feel heavy.Many aid workers supplied by local people, as well as logistic support of the Military District Command Onder along the route impassable. In Nogosari (District Ngadirojo, Pacitan) entourage stopped for three days and then continued towards the west. The next destination is the village Pingapus (District Tulakan, Pacitan).Mr. Sudirman settled here a week, ie from the date of 8 to 14 February 1945. Couriers arrived with the news, letters and important radiogram.Tjokropranolo captain sent a letter to convey the Sri Sultan Hamengkubuwono IX in Yogyakarta, 125 kilometers further away from the village Pringapus (District Tulakan, Pacitan). Along with it, leaving also left Mr. Sudirman, Harsono Tjokroaminoto and dr.Suwondo, each to seek particulars of the political situation and try to look for drugs. With their departure, tinggalah five guards who stayed with Mr. Soedirman close. Unless Captain Tjokropranolo that returned safely from duty courier to Yogyakarta with three of his bodyguards, the other officers who went with him did not rejoin until the completion of guerrilla warfare. On February 13, 1949 Mr. Gebryur Soedirman moved to the village.Three-day break here, then continue Wonoketro (District Nawangan, Pacitan), which can be brought in a doctor of Pacitan.Sudirman settled here a month. For the first time since leaving the city of Yogyakarta is only now able to perform daily work tasks are somewhat irregular. There is a kind of working hours at 12.00 noon, the hours for a short break and return to work until 16:00 pm. After the maghrib prayer is usually assembled by Mr. Sudirman joked with the guards to relax. Sometimes they are invited to discuss political matters, education and religion.
(Map of the District Nawangan, Pacitan)
During the month was in Wonoketro (District Nawangan, Pacitan) a lot of connectors coming from the staff divisions throughout Java.General attacks on the capital Yogyakarta on March 1, 1949 by troops led by Lieutenant Colonel Suharto be followed carefully from a remote village in the area this Pacitan. From the Division II on the slopes of Mount Lawu sent additional guards led by Lieutenant Colonel Suadi. Captain of the Battalion Digdo Ranuwijaya Pacitan helped secure the position of Commander in the area Soedirman command. From the village Wonoketro (District Nawangan, Pacitan) note that 10 after the attack on Yogyakarta's famous General, the Dutch attacked the city Wonosari (District Nawangan, Pacitan) on a large scale. Fighter, bomber and transport some 30 pieces deployed to seize the airfield Air Force Republic of Indonesia in Ivory with radio transmitters. Take part in the assault troops and one Infantry Battalion paratroopers who invaded from the west city Pacitan. Dutch Government thought leaders and even the Commander in Wonosari Soedirman (District Nawangan, Pacitan). Thinks Wonosari into the base of the Indonesian National Army troops are doing a general attack on Yogyakarta. On March 21, 1949 Mr. Sudirman and his party left Nawangan Wonokerto to move to cross the road with big-Pacitan Roxburgh at night, in the Tegalombo (District Tegalombo, Pacitan) occupied the Netherlands. That day the village is served by Mr. Sudirman Pringapus month ago attacked the enemy from the air. Heavy trip because the hilly terrain becomes noticeably lighter thanks to the help of the people who volunteered to participate and help carry the stretcher carrying other equipment that is usually taken by the guards. (Later in the Nawangan, Commander General Sudirman monument erected) After melewaji Mujing and Nawangan, traveling forwarded to Ngambasari (District Karangtengah, Wonogiri) 10 miles before crossing the border of East Java, Central Java. In this tempak Mr. Sudirman suddenly fell ill. Fortunately, after two days of rest, his health gradually recovered. The next goal is Tirtomoyo. Wonogiri districts in the city, Central Java. Because it has not fully recovered from his illness, Mr. Sudirman only travel as far as 5 miles a day. That day was March 23, 1949.Ngambarsari (District Karangtengah, Wonogiri) who left the previous day, attacked from the air. It seems the Dutch tried to continue to hunt down Pak Soedirman from East Java. At that time the enemy is actively doing patrols in the area Tirtomoyo (District Tirtomoyo, Wonogiri). Original plan to cross the border province of East Java and Central Java provinces had suspended. For 10 days the group just circling around the area. Because Mr. Sudirman health rather backward force to dissuade the group Tirtomoyo (District Tirtomoyo, Wonogiri) and leave the area on 1 April 1949. Meanwhile, one other place to be offered by the Guerrilla headquarters Jaswadi Darmowidodo, Pakis village headman, Subdistrict Nawangan, Pacitan. The location is on the sidelines of the ridge at an altitude of 1000 meters above sea level. Its location is very difficult to approach tersebumbunyi to the enemy, either from land or air. House that would become a place to stay along the Grand Commander's longest guerrilla located in Sobo hamlet, village Pakis, District Nawangan, Pacitan. This house hamlet Kebayan Karsosemito direlakan owners are to be used as a guerrilla headquarters Great Commander General Sudirman. Of Sobo hamlet can be transmitted easily couriers directly to the Sri Sultan Hamengkubuwono IX in Yogyakarta, or to the army commanders around Yogyakarta and Surakarta. Radio news in the country and abroad may be accepted in order. Sobo lot of letters sent, radiogram and the messages to the Emergency Government of the Republic of Indonesia (PDRI) in Sumatra, representatives of the Republic of Indonesia in New Dehli, India, through Guerrilla Radio Republic of Indonesia on the slopes of Mount Lawu under the command of Major Maladi. Usually the letters are written Pak Soedirman own, and then sent through the courier. During their stay in Sobo many commanders and troops, the leaders of government and political organizations to visit the Great Commander Soedirman. The delegation of the Republic of Indonesia is conducting a preliminary to the Dutch in Jakarta in connection with the Security Council resolution of the United Nations on January 28, 1949, Commander Soedirman flash radiogram sent to the Emergency Government of Indonesia (PDRI) in Sumatra, which it warned that the Dutch began to suffer -kekahalan defeat in the battle against many of the Indonesian National Army troops, we are the stronger position in the military and political fields.Therefore, the Emergency Government of the Republic of Indonesia should be firm to face negotiations with the Dutch that we do not experience the disappointment we experienced with the Renville agreement. Army Commander Colonel Hidayat and Territory Sumatra radiogram sent also other flash to Sumatra in the face of pressure to the negotiations, the top leaders of the Armed Forces should be one in the establishment and attitudes, do not let the results are split between armed fighters. Subordinate commanders warned that you should never conduct their own negotiations with the enemy. Of Sobo hamlet (village of Ferns, District Nawangan, Pacitan) issued the mandate of the Great Commander on May 1, 1949 to the commander of which contains, among other commands all perform the duties and obligations of each well and maintaining military discipline, and do not think the co- negotiations with the Dutch, because the matter is the responsibility of top leadership of the Armed Forces. To the Great Commander ordered all soldiers to trust and believe, that the independence of a country founded on the accumulation of thousands of lives and property of the people and nation will not be eliminated by human anybody. Commander Soedirman been prepared along with the terms and proposals to be forwarded to the Government that are tailored to the spirit and soul of the struggle of the army and the people in the adult, also remember and pay attention to the voices of the commanders, especially those directly in charge of the battle. Mandate ends with the cry: "Fighting continues. I continue to lead you all. God willing, God protect us all ". To the leaders of political parties in the area surrounding Ponorogo and then clashed with each other because of differences in ideology, Mr. Sudirman reminded, through a confidential letter dated May 9, 1949 that in this holy struggle we have to eliminate the discord and the unity and have one in attitude and a in action. In the meantime received a report that in Jakarta on May 7, 1949 was signed Roem-Royen agreement as a continuation of the implementation of Security Council Resolutions of the United Nations about the cessation of hostilities between Indonesia and the Netherlands and the possibility of the Round Table Conference to be held in The Hague, Netherlands. In addition, it also has the world heard the news of dead Dutch soldiers in the Great Commander Lieutenant General Spoor Indonesia suddenly two weeks after the signing of the consent Roem-Royen. Dated June 3, 1949, Commander of the Order of the Day issued Soedirman Number 27/PB/D/49 who ordered the commander of the armed forces throughout the region to maintain the unity komandao Yogyakarta and must abide by and comply with all orders and instructions of the Supreme Military Command in Yogyakarta , Lieutenant Colonel Suharto. Through his letter to the Vice KSAP Colonel Simatupang dated June 6, 1949 Commander Soedirman delegation affirmed the rejection of the proposal in Jakarta Indonesia for military representatives of the Armed Forces sent to Jakarta. Dated June 17, 1949 order issued daily to all Soedirman Commander of military and civilian throughout Indonesia which called for the strict and proper defense of the unity, sovereignty, discipline and discipline of State for the salvation army homeland. Dated June 20, 1949 Commander Soedirman threw out a strong protest against the statement of delegation of the Republic of Indonesia in Jakarta on May 7, 1949 that use the term "Republican followers who are defending the Nation and the country's Independence". Based on the approval of the Roem-Royen Maguwo mendaratlah on July 6, 1949 on an aircraft of the United Nations Commission for Indonesia, which brought President Soekarno, Vice President of Drs. Mohammad Hatta, and some of the top leadership of the State of his retreat. When the Government of the Republic of Indonesia back to Yogyakarta, Mr. Sudirman actually objected to abandon guerrilla terrain. But because of the letters of the Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Colonel Gatot Subroto and guerrilla leaders of the other, eventually he would return to Yogyakarta. Mr. Sudirman psychologically unable to receive the political development until then. Early in the morning of July 17, 1949, departed Mr. Sudirman leave last guerrilla headquarters in duku Sobo (Pakis village, District Nawangan, Pacitan) to return to the capital city of Yogyakarta. After saying farewell to the village chief Pakis, Hamlet Kebayan Sobo and the people in the village of Ferns, diusunglah stretcher carrying the Great Commander General Sudirman. Distance along approximately 100 kilometers will be reached by walking, canoeing one village to another village, from province to province of East Java, Central Jaw. Along the historic journey that passed, the people carrying the stretcher fight each other as a sign of Pak Soedirman admiration and respect for the struggle and sacrifice of a brave soldier, honest and humble. After passing Tirtomoyo (District Tirtomoyo, Wonogiri), Pulo (Poor Village, District Ngadirojo, Wonogiri) and Karangbendo in Wonogiri, the group arrived at Ponjong Wonogiri (District Ponjong, Wonogiri) dated July 8, 1949, during the day. In the evening at 21.00 came Lieutenant Colonel Suharto, commander of Brigade X Division III to pick up the pack Soedirman. The next morning Mr. Sudirman proceeded to Plungan and stay overnight before entering the city of Yogyakarta. The next day came the Colonel and Major General Simatupang Suhardjo to pick up Mr. Sudirman. Not far from where it was waiting for some vehicles that will carry Mr. Sudirman and his entourage entered the city of Yogyakarta. At 13:00 pm July 10, 1949 Great Commander General Sudirman arrived in the capital of the Republic of Indonesia, Yogyakarta. So Mr. Sudirman Meet with the President, Vice President of Drs.Mohammad Hatta and Mr. Safrudin Prawiranegara who have been waiting at the State Palace. After that, still in the same clothes as when leading a guerrilla war, Mr. Sudirman heading to Yogyakarta northern square to receive the big apple Indonesian Army guerrilla force led by Lieutenant Colonel Suharto. Upon his return from the forests of Central Java and East Java to guerilla for six months in a state hospital, the Great Commander General Sudirman are still setting up its mandate through two funnel Radio Republik Indonesia Yogyakarta. In welcoming the Fourth Independence Day on August 17, 1949, Mr. Sudirman confirms that the Indonesian Army was born because of the proclamation, the proclamation of life and desperately want to swear to defend the proclamation. Even though in ill health, Mr. Sudirman not want to miss to attend the Armed Forces Day is celebrated on October 5, 1949 in Yogyakarta. In a radio speech the night before, among others, warned by the Great Commander of National Army soldiers Soedirman that Indonesia is not a mercenary, not a soldier who easily deflected bow. We joined the army because of conviction and self-sacrificing spirit for the sake of nation and state. After some time resting at his home in Jalan Sudirman Pak Widoro brought to the hospital for treatment Pnti Rapih Yogyakarta. Military Strategy Council meeting on July 21, 1949 led by President Soekarno, the Supreme Commander of the Armed Forces of the Republic of Indonesia, was held at the hospital also attended by Vice President of Drs. Mohammad Hatta, Mr Safrudin Prawiranegara, Dr. Leimena, Sri Sultan Hamengkubuwono to-IX, Colonel Ross, Colonel Simatupang and some other princes. A few days later was transferred to the Sanatorium Pak Soedirman Pakem on the slopes of Mount Merapi near the Ground, Lahore. Of Pakem, Mr. Sudirman sent back to the orphanage Rapih Hospital for further rest in Pesanggrahan Badakan Magelang. But God Almighty has ordained that the time has come to separate the bodies of Mr. Sudirman seperjuangnya comrades, the people and nation, and of his family. On the day Sunday, January 29, 1950, Mr. Sudirman died in Magelang. The next day his body was interred in the tomb of the hero Happy Garden disembahyangkan in Yogyakarta after the Great Mosque, a lot of people who accompany the corpse, lead to the Commander General Sudirman final resting place.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar