Konstitusi di Indonesia
(Sumber: Martiyono. 2010. Civic Education 2. Jakarta: Yudhistira.)
Konstitusi atau undang-undang dasar adalah aturan-aturan pokok yang menjadi dasar penyelenggara Negara. Konstitusi suatu Negara selalu berkembang mengikuti tuntutan zaman. Setiap konstitusi atau undang-undang dasar membawa implikasi terhadap kehidupan Negara Indonesia, baik menyangkut bentuk Negara, system pemerintah, maupun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut Jimly Ashiddiqie, dalam rangka pendidikan dan pemasyarakatan konstitusi, penting sekali bagi kita menjadikan Undang-undang Dasar 1945 akrab dengan rakyat Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 jangan sampai menjadi asing bagi warga pendukungnya sendiri. Hal tersebut karena warga masyarakat terikat dengan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum tertinggi yang sah di Indonesia.
1) Undang-undang Dasar 1945. Undang-undang Dasar 1945 pertama kali ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Undang-undang Dasar 1945 terdiri atas pembukaan, pasal-pasal (16 Bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan, dan 2 ayat aturan tambahan). Dan penjelasan.
a) Bentuk Negara. Bentuk Negara berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 adalah kesatuan. Hal itu seperti ketentuan Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republic”. Bentuk Negara kesatuan berarti bahwa kedaulatan Negara tidak terbagi-bagi, artinya kekuasaan mengatur Negara hanya dimiliki oleh pemerintah pusat. Hal itu berdasarkan:
i) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah;
ii) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah;
Daerah provinsi yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah: Sumatera dengan gubernur Mr. Teuku Mohammad Hassan; Jawa Barat dengan gubernur Sutardjo Kartodikusumo; Jawa Tengah dengan gubernur Raden Pandji Soeroso; Jawa Timur dengan gubernur R. A. Soerjo; Sunda Kecil dengan gubernur Mr. I Gusti Ketut Pudjo; Maluku dengan gubernur Mr. J. Latuharhary; Sulawesi dengan gubernur Dr G. S. S. J. Ratulangie; Kalimantan dengan Ir. Pangeran Mohammad Noor.
b) Bentuk dan system pemerintahan. Bentuk pemerintahan Negara Indonesia adalah republic. Ciri pokok pemerintahan republic adalah cara memilih pemimpin pemerintahan, yaitu dipilih oleh rakyat secara langsung atau melalui perwakilan. System pemerintahan di Indonesia adalah presidensial. Hal ini sesuai ketentuan Undang-undang Dasar 1945 Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 17 ayat 1, 2, dan 3.
i) Pasal 4 ayat 1. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar 1945.
ii) Pasal 17, presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara; menteri-menteri Negara diangkat dan diberhentikan oleh presiden; menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.
Mengingat kondisi ketatanegaraan Indonesia belum lengkap, misalnya belum ada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPA, Mahkamah Agung, atau BPK, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, maka presiden mempunyai kekuasaan yang mutlak, yaitu sebagai berikut: pertama, Presiden adalah pelaksana kedaulatan rakyat; kedua, presiden berwenang mengubah Undang-undang Dasar; ketiga, Presiden melaksanakan kekuasaan pemerintah; ketiga, presiden menetapkan Garis Besar Haluan Negara; kelima, Presiden membuat segala bentuk peraturan perundang-undangan. Kekuasaan mutlak yang dimiliki oleh presiden berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar 1945 Pasal IV Aturan Peralihan, yaitu sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan DPA dibentuk menurut Undang-undang, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
Keadaan pemerintah berubah dengan keluarnya maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi ketentuan bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terbentuk maka Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dengan demikian, kedudukan Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP berubah menjadi pembantu parlemen.
c) Perubahan dari Pemerintahan Presidensial menjadi Parlementer. Pada tanggal 11 November 1945. Badan pekerja Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mengusulkan kepada presiden agar menteri tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi kepada parlemen (Komisi Nasional Indonesia Pusat/ KNIP). Usul tersebut didasarkan atas pertimbangan: pertama, Undang-undang Dasar 1945 tidak melarang atau mewajibkan menteri bertanggung jawab kepada parlemen; kedua, pertanggungjawaban menteri kepada parlemen merupakan jalan memberlakukan kedaulatan rakyat. Usul tersebut diterima Presiden dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang mengatur bahwa menteri tidak bertanggung jawab kepada presiden, tetapi kepada Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Akibatnya, cabinet yang dibentuk Presiden Sukarno dibubarkan dan dibentuk cabinet baru yang dipimpin oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri.
Dalam pelaksaannya, system parlementer pernah terjadi dua kali perubahan menjadi presidensial:
i) Pada tanggal 29 Juni 1946, melalui Maklumat Presiden Nomor 1 Tahun 1946 yang menentukan bahwa mengingat berbagai kejadian yang membahayakan Negara maka presiden dengan persetujuan cabinet pada tanggal 28 Juni 1946 mengambil alih kekuasaan pemerintah secara penuh. Hal itu berlangsung sampai tanggal 2 Oktober 1946. Setelah keadaan normal kembali presiden menunjuk kembali Sutan Syahrir sebagai perdana menteri.
ii) Pada tanggal 27 Juni 1947, tersiar kabar bahwa Jenderal Spaar akan menyerang Indonesia maka Presiden Sukarno mengambil alih kekuasaan pemerintah berdasarkan Maklumat Presiden Nomor 6 Tahun 1947. Keadaan ini berlangsung selama satu minggu.
2) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS), sejak proklamasi kemerdekaan, Belanda masih ingin menjajah Indonesia. Hal itu dibuktikan dengan adanya pengiriman pasukan yang memboncengi Sekutu dalam Rangka melucuti tentara Jepang. Setelah masuk Indonesia kembali, Belanda menerapkan politik devide et impera (politik adu domba) dengan mendirikan Negara-negara boneka yang diberi nama Bijeenkomst vor Federal Ouerleg (BFO) dengan tujuan mempersempit wilayah kekuasaan Indonesia. Akibatnya, terjadi perselisihan antara Indonesia dan Belanda sampai akhirnya Perserikatan Bangsa-bangsa turun tangan menjadi penengah. Hasilnya, diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada tangal 23 Agustus sampai 2 November 1949. Hasil Konferensi Meja Bundar adalah: pertama, didirikan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS); kedua, pengakuan kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat; didirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dan Belanda. Delegasi Bijeenkomst vor Federal Ouerleg (BFO) dan Indonesia sepakat membuat konstitusi pada tanggal 14 Desember 1945. Konstitusi Republik Indonesia Serikat mulai diberlakukan sejak 27 Desember 1949. Sejak itu, Indonesia menjadi salah satu bagian dari 16 negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) terdiri atas mukadimah (pembukaan), 197 pasal, dan sebuah lampiran. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) masih bersifat sementara, sebelum konstituante bersama pemerintah menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap.
a) Bentuk Negara. Berdasarkan Pasal 1 ayat (a) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) disebutkan bahwa Republik Indonesia Serikat adalah suatu Negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi. Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa bentuk Negara adalah federasi atau serikat. Di dalam Negara federasi tersebut, berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS), ditetapkan bahwa Republik Indonesia Serikat meliputi Negara-negara bagian sebagai berikut:
i) Negara-negara bagian, yaitu: Negara Republik Indonesia; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan termasuk Distrik Federal Jakarta; Negara Jawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Selatan; Negara Sumatera Timur.
ii) Satuan kenegaraan yang tegak sendiri, yaitu: Jawa Tengah; Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan Barat; Dayak Banjar; Dayak Besar; Kalimantan Tenggara; Kalimantan Timur.
iii) Daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah bagian, misalnya Karesidenan Papua Barat.
Khusus masalah Papua Barat akan diselesaikan satu tahun setelah kemerdekaan penandatanganan Konferensi Meja Bundar (KMB). Kenyataannya, Papua Barat menjadi wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui perjuangan Trikora.
b) Bentuk dan system pemerintahan. Bentuk pemerintahan berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS)adalah republic Sistem pemerintah yang dipakai adalah parlementer. Alat kelengkapan Negara berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) adalah sebagai berikut: pertama, Preside, wakil presiden; kedua, Kabinet; ketiga, Senat; keempat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kelima, Mahkamah Agung.
3) Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), keinginan menjadi Negara kesatuan tetap di antara Negara bagian yang tergabung dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Oleh karena itu, pada tanggal 8 Maret 1950, pemerintah Federal mengeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950 tentang Tata Cara Perubahan Susunan Kenegaraan bagi Wilayah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Atas dasar Undang-undang tersebut, Negara-negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat menggabungkan diri sehingga dari 16 negara bagian pada awal berdirinya Republik Indonesia Serikat, saat itu tinggal 3 negara bagian yaitu: Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur. Pada akhirnya, ketiga Negara bagian tersebut, tepatnya tanggal 19 Mei 1950 dicapai kesepakatan untuk menggabungkan diri yang dituangkan dalam piagam persetujuan. Dalam piagam persetujuan dinyatakan akan segera melaksanakan Negara kesatuan seperti diamanatkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan akan membuat Undang-undang Dasar baru dengan mengambil dari Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (UUD RIS) yang dianggap baik. Atas dasar piagam persetujuan tersebut, dibentuk panitia bersama antara Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Republik Indonesia (RI) untuk menyusun rancangan Undang-undang Dasar. Hasil rancangan tersebut akhirnya dibuat dalam bentuk Undang-undang Federal Nomor 7 Tahun 1950 tanggal 15 Agustus 1950. Undang-undang Federal tersebut akhirnya diberlakukan pada tanggal 17 Agustus 1950 sebagai Undang-undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) terdiri atas mukadimah dan 146 pasal.
a) Bentuk Negara. Berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) Pasal 1 Ayat (1) disebutkan bahwa Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat adalah Negara hukum yang demokrasi dan berbentuk kesatuan. Berdasarkan ketentuan tersebut, jelaslah bahwa bentuk Negara adalah kesatuan.
b) Bentuk dan Sistem Pemerintahan. Bentuk pemerintahan berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) adalah republic. System pemerintahan yang dipakai adalah parlementer. Hal itu dapat dilihat dari beberapa ketentuan dalam Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) sebagai berikut:
1) Pasal 83
a) Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
b) Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagian sendiri.
2) Pasal 84, presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu memerintahkan pula untuk mengadakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari. Kelengkapan Negara menurut Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) adalah sebagai berikut: pertama, Presiden dan wakil presiden; kedua, menteri-menteri; ketiga, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); keempat, Mahkamah Agung; kelima, Dewan Pengawas keuangan.
Berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), susunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipilih melalui pemiihan umum (pemilu). Untuk itu, pada tanggal 1 April diumumkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum 1953. Atas dasar Undang-undang pemilihan umum tersebut, pada tanggal 29 September 1953 diselenggarakan pemilihan umum di Indonesia pertama kali untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilihan umum kedua dilakukan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota konstituante. Konstituante hasil pemilihan umum segera bersidang, tepatnya dibuka oleh Presiden Sukarno tanggal 10 November 1956 di Bandung, dengan harapan agar segera dihasilkan Undang-undang Dasar yang tetap bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan tetapi konstituante belum dapat menghasilkan Undang-undang Dasar. Hal itu mendorong pemerintah pada tanggal 2 Maret 1959 memberikan keterangan pada siding pleno Dewan Perwakilan Rkayat (DPR) mengenai demokrasi terpimpin dalam rangka kembali kepada Undang-undang Dasar 1945. Penjelasan itu disampaikan oleh Perdana Menteri Djuanda yang disertai penegasan bahwa melalui siding konstituante. Akan tetapi, usaha tersebut sangat sulit karena siding konstituante diwarnai perdebatan tentang paham kenegaraan, apakah yang ada dalam Piagam Jakarta atau dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945). Melihat kenyataan itu, Presiden Sukarno menempuh cara lain yaitu mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang berisi: pertama, pembubaran konstituante; kedua, memberlakukan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan tidak memberlakukan Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950); ketiga, membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan DPAS. Dengan adanya Dekrit Presiden tersebut, berakhirlah masa Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) dan berlaku kembali Undang-undang Dasar 1945.
3) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945)
a) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) Hasil Dekret Presiden 5 Juli 1959. Setelah memberlakukan kembali Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945), presiden Sukarno menerapkan demokrasi terpimpin, yaitu pelaksanaan demokrasi yang dipimpin oleh Pancasila. Akan tetapi, demokrasi terpimpin yang dipimpin oleh Pancasila dalam rangka melaksanakan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) justru banyak terjadi penyimpangan. Hal itu dapat terlihat dengan kebijakan yang diambil oleh Presiden Sukarno.
i) Penyederhanaan partai politik melalui Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1958;
ii) Pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum tahun 1955 dan membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) yang anggotanya diangkat dan diberhentikan oleh presiden melalui Penetepan Presiden Nomor 4 Tahun 1960.
iii) Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang anggotanya terdiri atas: anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), utusan daerah, utusan golongan.
iv) Membentuk Front Nasional melalui Penetapan Presiden Nomor 13 Tahun 1959 dengan tujuan: menyelesaikan revolusi Indonesia; pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur; pengembalian Papua Barat (Irian Barat) ke wilayah Republik Indonesia.
v) Pengangkatan Presiden Sukarno sebagai presiden seumur hidup melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor III/ MPRS/ 1963.
Gejolak politik dan pemerintahan terus terjadi sampai akhirnya muncul pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terkenal dengan Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (G-30S/PKI). Kekacauan Negara terus berlanjut sehingga rakyat yang dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) mengeluarkan Tri Tuntututan Rakyat (Tritura), yaitu: pertama, bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI); kedua, bersihkan cabinet dari unsure-unsur Partai Komunis Indonesia (PKI): ketiga, turunkan harga atau perbaikan ekonomi.
Untuk memulihkan keadaan, Presiden Sukarno mengeluarkan surat perintah pada tanggal 11 Maret 1956 kepada Suharto untuk segera mengambil tindakan. Surat perintah itu terkenal dengna nama Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret). Dengan kekuasaan yang diberikan oleh Presiden Sukarno, Suharto segera mengambil tindakan, antara lain mengeluarkan Keputusan Nomor 13 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Sejak itu roda pemerintahan kembali berjalan dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) sebagai lembaga tertinggi Negara waktu itu segera bersidang dan mengambil keputusan-keputusan penting antara lain sebagai berikut:
i) Tap. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor IX/ MPRS/ 1966 tentang pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan mengesahkan kekuasaan politik Suharto sebagaimana terkandung dalam Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) sampai terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum;
ii) Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XIII/ MPRS/ 1966 tentang pemberian kekuasaan kepada Suharto untuk membentuk cabinet baru sebagai pengganti kabiet Dwikora dengan tugas pokok membina perekonomian dan pembangunan. Tap. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tersebut segera ditindaklanjuti oleh Suharto dengan membentuk Kabinet Ampera pada tanggal 25 Juli 1966 yang diketuai oleh Suharto;
iii) Tap. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XV/ MPRS/ 1966 tentang pemberian kekuasaan kepada Suharto untuk memegang jabatan Presiden apabila sewaktu-waktu presiden berhalangan;
iv) Tap. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XVIII/ MRPS/ 1966 tentang pencabutan Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor III/ MPRS/1966 yang mengangkat Presiden Sukarno sebagai presiden seumur hidup;
v) Tap. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XX/ MPRS/ 1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, yaitu: Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945); Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); Undang-undang atau perpu; peraturan pemerintah; keputusan presiden; peraturan pelaksanaan lainnya.
vi) Tap. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XXXIII/MPRS/ 1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah Negara dari Presiden Sukarno dan mengangkat Suharto sebagai penjabat presiden.
vii) Tap. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor XLIV/ MPRS/ 1968 tentang pengangkatan Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia menggantikan Presiden Sukarno.
Dengan lahirnya ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di atas, berkahirnya masa Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) di bawah demokrasi terpimpin. Dinamika kenegaraan di Indonesia mengalami babak baru yang disebut sebagai Orde Baru.
b) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) Hasil Amandemen Orde Baru. Masa Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) di bawah Orde Baru ditandai dengan berlakunya demokrasi Pancasila. Pemilihan umum segera dilaksanakan untuk memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Orde Baru, antara lain sebagai berikut:
i) Melaksanakan pemilihan umum tahun 1971 dan dilaksanakan terus-menerus setiap 5 tahun;
ii) Menyederhanakan partai politik menjadi tiga, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan partai Golongan Karya (partai Golkar);
iii) Ditetapkan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai dasar pengalaman Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
iv) Penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi social politik di Indonesia (Asas Tunggal Pancasila);
v) Pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi melalui Trilogi Pembanguan.
Kebijakan Orde Baru selama 32 tahun (1966-1998) yang menetapkan Suharto selaku terpilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Presiden Republik Indonesia ternyata menimbulkan ketidakpuasan rakyat sehingga muncul gerakan reformasi setelah Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum 1997 bersidang, yaitu tahun 1998 memilih kembali Suharto sebagai Presiden Republik Indonesia periode 1997-2002 yang didampingi oleh B. J. Habibie sebagai wakil presiden. Mengingat desakan yang sangat dahsyat dari gerakan reformasi maka Presiden Suharto pada tanggal 21 Mei 1998 menyatakan berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia. Dengan demikian, jabatan Presiden Republik Indonesia dipegang oleh B. J. Habibie.
Pada masa Presiden Habibie, amanat reformasi dijalankan. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum 1997 bersidang kembali untuk mengadakan perubahan (amandemen) Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Amandemen terus dilakukan yaitu amandemen kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, amandemen ketiga pada tahun 2001, dan amandemen keempat pada tahun 2003. Dengan demikian sejak tanggal 19 Oktober 2002 konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) hasil amandemen keempat.
Penyimpangan Konstitusi
1) Periode: 18 Agustus 1945-27 Desember 1949 (UUD 1945),
Ø Penyimpangan konstitusi: Komisi Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai pembantu presiden berubah menjadi lembaga legislative. (Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tanggal 16 Oktober 1945); system cabinet presidensial berubah menjadi parlementer (Maklumat Pemerintah 14 November 1945);
Ø Akibat: kehidupan politik dan pemerintah tidak stabil.
2) Periode: 27 Desember 1949-17 Agustus 1950 (Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat)
Ø Penyimpangan konstitusi: bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berubah menjadi Negara federasi; kekuasaan legislative yang seharusnya dilaksanakan oleh presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat berubah dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan senat; berkembang demokrasi liberal.
Ø Akibat:Persatuan dan kesatuan Indonesia menjadi terganggu.
3) Periode: 17 Agustus 1950-5 Juli 1959 (Undang-undang Dasar Sementara 1950)
Ø Penyimpangan: cabinet presidensial berubah menjadi cabinet parlementer.
Ø Akibat: sering terjadi pergantian cabinet sehingga kestabilan politik, pemerintahan dan ekonomi terganggu.
4) Periode: 5 Juli 1959-19 Oktober 1999 (Undang-undang Dasar 1945)
a) Orde Lama
Ø Penyimpangan konstitusi: presiden membuat aturan hukum tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan Tap. MPRS Nomor I/ MPRS/ 1960 yang menetapkan pidato presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 dengan judul Penemuan Kembali Revolusi Kita sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang sifatnya tetap; presiden membubarkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum 1955, kemudian membentuk Dewan Perwakilan Gotong Royong (DPRGR); Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengangkat Presiden Sukarno sebagai presiden seumur hidup melalui ketetapan Nomor II/MPRS/ 1963); Berkembangnya demokrasi terpimpin.
Ø Akibat: kekacauan politik, keamanan, dan ekonomi yang puncaknya terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia)
b) Orde Baru
Ø Penyimpangan konstitusi: penyelenggara Negara cenderung otoriter; semangat demokrasi kurang berkembang.
Ø Akibat: regenerasi kepemimpinan nasional kurang berjalan dan aspirasi rakyat kurang tersalurkan.
IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english)
(Source: Martiyono., 2010. Civic Education 2. Jakarta: Yudhishthira.)
Constitution or basic law is the fundamental rules on which the organizers of the State. Constitution of a State to follow the evolving demands of the times. Any constitution or basic law of life implications for the State of Indonesia, both related to the form of State, government system, as well as the life of society, nation and state.
According to Jimly Ashiddiqie, in the framework of education and correctional constitution, it is imperative for us to make the Constitution of 1945 is familiar with the people of Indonesia. Act of 1945 should not be unfamiliar to the citizens of his own supporters.This is because the citizens are bound by the Constitution of 1945 as the supreme law valid in Indonesia.
1) Act of 1945. Act of 1945 was first established by the Preparatory Committee for Indonesian Independence (PPKI) on August 18, 1945, a day after the proclamation of independence. Act of 1945 consisted of the opening chapters (16 chapters, 37 articles, chapters 4 transition rules, and additional rules of paragraph 2).And explanations.
a) The form of the State. Form of the State under the Act of 1945 is unity. It's like the provisions of Article 1 Paragraph (1) which reads: "Indonesia is a republic form of unitary state". State form of unity means that sovereignty is indivisible, meaning that only State-owned power set by the central government. It was based on:
i) Law No. 1 Year 1945 on Regional National Committee;
ii) Law No. 22 Year 1948 on Regional Government;
The province was set on August 18, 1945 are: Mr. Sumatra governor. Teuku Mohammad Hassan; West Java governor Sutardjo Kartodikusumo; with the governor of Central Java, Raden banner Soeroso; East Java governor R. A. Soerjo; Mr. Lesser Sunda with the governor. I Gusti Ketut Pudjo; Maluku governor Mr. J.Latuharhary; Sulawesi governor Dr. G. S. S. J. Ratulangie; Kalimantan with Ir. Prince Mohammad Noor.
b) The form and system of government. Indonesia is a form of government republic. Key feature of government is how to choose the leader of the republic government, which is elected by the people directly or through representatives. System of government in Indonesia is presidential. This is in accordance with the Constitution of 1945 Article 4 paragraph 1 and Article 17, paragraph 1, 2, and 3.
i) Article 4, paragraph 1. President of the Republic of Indonesia holds the power of government under the Act of 1945.
ii) Article 17, the president is assisted by the ministers of State; State ministers are appointed and dismissed by the president; Ministers shall head the department of government.
Given the constitutional condition of Indonesia is not yet complete, for example, there is no People's Consultative Assembly (MPR), House of Representatives (DPR), DPA, the Supreme Court, or CPC, as mandated by the Act of 1945, the president has absolute power, namely as follows: first, the President is the executor of popular sovereignty, secondly, the president authority to change the Constitution; third, the president carry out the powers of government; third, the president set a State Policy Guidelines; fifth, the President make any form of legislation. Absolute power held by the president under the provisions of the Constitution of 1945 Article IV of the Transitional Provisions, before the People's Consultative Assembly (MPR), House of Representatives (DPR), and DPA was formed under the Act, all powers executed by the president with the help of a the national committee.
The situation changed with the release of government edicts, Vice President of No. X dated October 16, 1945 which contains provisions that before the People's Consultative Assembly (MPR) and the House of Representatives (DPR) formed the Central Indonesian National Committee (KNIP) entrusted with legislative power and helps to define Policy Guidelines State (GBHN). Thus, the position of the Central Indonesian National Committee (KNIP turned into a servant of parliament.
c) The change from Presidential to Parliamentary Government. On 11 November 1945. Agency workers the Central Indonesian National Committee (KNIP) propose to the president that the minister is not accountable to the president, but to the parliament (the National Commission for Indonesia Central / KNIP). The proposal is based on the following considerations: first, the Constitution of 1945 does not prohibit or require the minister responsible to parliament; second, ministerial accountability to parliament is a way to impose the sovereignty of the people.President accepted the proposal by issuing a declaration of the Government dated 14 November 1945, which stipulates that the minister is not accountable to the president, but the Central Indonesian National Committee (KNIP). As a result, the cabinet was formed by President Sukarno dissolved and formed a new cabinet led by Sutan Syahrir as prime minister.
In working, parliamentary system never occurs twice a presidential change:
i) On June 29, 1946, through the declaration of the President No. 1 of 1946 which determined that given the events that endanger the president with the consent of the State cabinet on June 28, 1946 took over the government in full. It lasted until October 2, 1946. Once again the president pointed to a normal state again Sutan Syahrir as prime minister.
ii) On June 27, 1947, news came that General Spaar will attack then President Sukarno's Indonesia took control of government by edict of President No. 6 of 1947. This situation lasted for one week.
2) the Constitution of the United States of Indonesia (RIS Constitution), since the proclamation of independence, the Netherlands still want to colonize Indonesia. This was evidenced by the presence of Allied troops who ride in the Framework of disarming the Japanese troops. After re-enter Indonesia, the Netherlands apply the political divide et impera (Divide and Conquer) by setting up puppet states, named Bijeenkomst vor Federal Ouerleg (BFO) with the aim of narrowing the territory of Indonesia. As a result, there was a dispute between Indonesia and the Netherlands until the end of the United Nations stepped in to mediate. The result, held a Round Table Conference (RTC) in The Hague, Netherlands, on the date 23 August to 2 November 1949.Results of the Round Table are: first, established the Republic of Indonesia (RIS), secondly, the recognition of the sovereignty of the Netherlands to the United States of Indonesia; established union between the United States of Indonesia and the Netherlands.Federal Delegation Bijeenkomst vor Ouerleg (BFO) and Indonesia agreed to make the constitution on December 14, 1945. The Constitution of the Republic of Indonesia States came into effect since December 27, 1949. Since then, Indonesia has become one part of the 16 states in the United States of Indonesia. Constitution of the United States of Indonesia (RIS Constitution) consists of the preamble (the opening), 197 chapters and an appendix.Constitution of the United States of Indonesia (RIS Constitution) still tentative, before the government set a common constituent of the Constitution is fixed.
a) The form of the State. Under Article 1, paragraph (a) the Constitution of the United States of Indonesia (RIS Constitution) stated that the United States of Indonesia is a democracy and the rule of law which form the federation. Under these provisions, it is clear that the State is a form of federation or union. In the State of the federation, under Article 2 of the Constitution of the United States of Indonesia (RIS Constitution), it was determined that the Republic of Indonesia states include states as follows:
i) states, namely: the Republic of Indonesia; State of East Indonesia; State Pasundan including the Federal District of Jakarta; State of East Java; State Madura; State of South Sumatra; State of East Sumatra.
ii) Units of state himself upright, namely: Central Java Bangka; Islands; Riau; West Kalimantan/ Borneo; Banjar Dayak: Dayak of Large East Kalimantan/Borneo; East Kalimantan/ Borneo.
iii) Local Indonesia is not the rest of the region, such as residency of West Papua.Special issue of West Papua will be completed one year after signing independence of the Round Table Conference (RTC). In fact, West Papua into the Republic of Indonesia on May 1, 1963 through Trikora struggle.
b) The form and system of government. Form of government under the Constitution of the United States of Indonesia (RIS Constitution) is a republic system of government is parliamentary used. State fittings under the Constitution of the United States of Indonesia (RIS Constitution) are as follows: first, Preside, vice president and second, the Cabinet; third, the Senate; fourth, the House of Representatives (DPR), the fifth, the Supreme Court.
3) While the Constitution of 1950 (Provisional Constitution of 1950), the desire to remain in the state of unity between the states belonging to the Republic of Indonesia (RIS). Therefore, on March 8, 1950, the government issued a Federal Emergency Law Number 11 Year 1950 on Procedures for Changes in Composition of State of the Union Territory of the Republic of Indonesia (RIS). On the basis of the Act, states in the United States of Indonesia joined that of the 16 states at the beginning of the United States of Indonesia, now living three states, namely: the Republic of Indonesia, Eastern Indonesia State, the State of East Sumatra. In the end, all three states, the exact date is May 19, 1950 reached an agreement to merge as outlined in the charter agreement. Stated in the charter agreement will immediately implement the unity of the State as mandated by the Declaration of Independence August 17, 1945 and will make a new constitution to take away from the Constitution of 1945 (1945) and the Constitution of the United States of Indonesia (RIS Constitution) which is considered fine. On the basis of the charter agreement, set up a Joint Committee between the Republic of Indonesia (RIS) and the Republic of Indonesia (RI) to draft the Constitution. The results of the draft was finally made in the form of Federal Law No. 7 of 1950 dated August 15, 1950. Federal legislation was finally enacted on August 17, 1950 as the Constitution of The Republic of Indonesia. While the Constitution of 1950 (UUDS 1950) consists of preamble and 146 articles.
a) The form of the State. Under the provisions of the Constitution of The 1950 (UUDS 1950) Article 1 Paragraph (1) stated that the Republic of Indonesia is an independent and sovereign democratic state of law and the form of unity. Under these provisions, it is clear that the State is a form of unity.
b) Form and System Administration. Form of government under the Constitution of The 1950 (UUDS 1950) is a republic. System used is a parliamentary government. It can be seen from several provisions in the Constitution of The 1950 (UUDS 1950) as follows:
1) Article 83
a) the president and vice president can not be contested.
b) Ministers responsible for the overall government policy, both together for a whole or each to its own section.
2) Article 84, the president the right to dissolve the House of Representatives (DPR), which declared the dissolution decree was also ordered to hold a new election of the House of Representatives within 30 days. Completeness of the State under the Constitution of The 1950 (UUDS 1950) are as follows: first, the president and vice president and second, the ministers; third, the House of Representatives (DPR), the fourth, the Supreme Court; the fifth, the Supervisory Board of finance.
Under the Constitution of The 1950 (UUDS 1950), the composition of the House of Representatives (DPR) is selected via pemiihan general (election). To that end, on April 1, announced the Law No. 7 of 1953 on General Elections 1953. Act on the basis of the election, on 29 September 1953 general elections held in Indonesia's first time to elect members of the House of Representatives (DPR). The second general election was conducted in December 1955 to elect members of the constituency. Constituent Assembly election results immediately in session, opened by President Sukarno precisely dated 10 November 1956 in Bandung, in the hope that soon produced the Constitution of the remains to the Republic of Indonesia. However, the constituent has not been able to produce the Constitution. That prompted the government on March 2, 1959 provides information on the House of Representatives plenary siding Rkayat (DPR) of guided democracy in order to return to the Constitution of 1945. The explanation was made by Prime Minister Djuanda the assertion that by siding with the constituent. However, the effort is very difficult because the constituent colored siding understand the debate about the state, whether existing or in the Jakarta Charter in the preamble to the Constitution of 1945 (1945).Looking at the fact that, President Sukarno took another way which is issued Presidential Decree on July 5, 1959 which contains: first, the dissolution of the Constituent Assembly and, second, to impose the Constitution of 1945 (1945) and does not enforce the Constitution while in 1950 (Provisional Constitution of 1950 ) third, to form the People's Consultative Assembly (MPR) and DPAS.Given the Presidential Decree, ended the Constitution while 1950 (UUDS 1950) and apply again the Act of 1945.
3) Act of 1945 (1945)
a) the Constitution of 1945 (UUD 1945) The Presidential Decree July 5, 1959. After re-enacting the Constitution of 1945 (UUD 1945), President Sukarno implemented Guided Democracy, which is led by the implementation of Pancasila democracy. However, guided democracy, led by the Pancasila in order to implement the Constitution of 1945 (UUD 1945) just a lot of irregularities. It can be seen with the measures taken by President Sukarno.
i) Simplification of political parties through Presidential Decree No. 7 of 1958;
ii) The dissolution of the House of Representatives (DPR) election results in 1955 and formed the Council of Representatives of the Mutual Aid (DPRGR) whose members are appointed and dismissed by the president through Penetepan President No. 4 of 1960.
iii) Establish the Provisional People's Consultative Assembly (MPRS), whose members consist of: a member of the House of Representatives Mutual Aid (DPRGR), regional representatives, group representatives.
iv) Establish a National Front through Presidential Decree No. 13 of 1959 with the goal: complete revolution of Indonesia; development of the universe to achieve a just and prosperous society; return of West Papua (New Guinea) to the territory of the Republic of Indonesia.
v) The appointment of President Sukarno as president for life by the Provisional People's Consultative Assembly Decree (MPRS) No. III / MPRS / 1963.
Political turmoil and the government continued to occur until the end came the rebellion of the Communist Party of Indonesia (PKI) which is famous for the 30 September Movement / Indonesian Communist Party (G-30S/PKI). State of chaos so that the people continued, spearheaded by the Indonesian Student Action Union (U.S.) issued a Tri Tuntututan People (Tritura), namely: first, to dissolve the Communist Party of Indonesia (PKI), a second, clean the cabinet of the elements of the Communist Party of Indonesia (PKI) : The third, lower prices or economic improvement.
To recover the situation, President Sukarno issued a warrant on March 11, 1956 to Suharto to take immediate action. The warrant was famous dengna Supersemar name (Warrant of March). With the power given by President Sukarno, Suharto quickly take action, among others, issued Decree No. 13 of 1966 on the dissolution of the Communist Party of Indonesia (PKI) and expressed as a banned organization in Indonesia. Since then the wheels of government re-runs and the People's Consultative Assembly (MPRS) as the highest institution of the State then immediately convene and take important decisions are as follows:
i) Tap. People's Consultative Assembly (MPRS) Number IX / MPRS / 1966 on the strengthening of the Decree of March (Supersemar) and endorsed the political power of Suharto as contained in the Decree of March (Supersemar) until the establishment of the People's Consultative Assembly (MPR) and the House of Representatives ( Parliament) election results;
ii) Tap People's Consultative Assembly (MPRS) No. XIII / MPRS / 1966 on the granting of powers to Suharto to form a new cabinet in place kabiet Dwikora with the basic tasks and fostering economic development. Tap. People's Consultative Assembly (MPR) is immediately followed up by Suharto to form the Ampera Cabinet on July 25, 1966, chaired by Suharto;
iii) Tap. People's Consultative Assembly (MPRS) No. XV / MPRS / 1966 on the granting of power to President Suharto to hold office if at any time the president was unable to;
iv) Tap. People's Consultative Assembly (MPRS) No. XVIII / MRPS / 1966 on the revocation of the Provisional People's Consultative Assembly Decree (MPRS) No. III / MPRS/1966 the lifting of President Sukarno as president for life;
v) Tap. People's Consultative Assembly (MPRS) No. XX / MPRS / 1966 of Law Code of the Republic of Indonesia Resources and Sequence of Legislation of the Republic of Indonesia, namely: the Constitution of 1945 (1945), the People's Consultative Assembly Decree (MPR); Law legislation or Government Regulation; regulations; decree; other regulations.
vi) Tap. People's Consultative Assembly (MPRS) No. XXXIII / MPRS / 1967 on the revocation of power of the state government of President Sukarno and Suharto as acting president of the lift.
vii) Tap. People's Consultative Assembly (MPRS) No. XLIV / MPRS / 1968 on appointment as President of the Republic of Indonesia Suharto replaced President Sukarno.
With the birth of the Provisional People's Consultative Assembly decree (MPRS) above, berkahirnya the Constitution of 1945 (1945) under democracy. State dynamics in Indonesia experienced a new round of so-called New Order.
b) Constitution of 1945 (UUD 1945) The New Order Amendment.The period of the Constitution of 1945 (UUD 1945) under the New Order Pancasila democracy characterized by force. General elections held soon to elect members of the People's Consultative Assembly and the House of Representatives. Policies adopted by the New Order, among others, as follows:
i) Implement the general election held in 1971 and continuing every 5 years;
ii) Simplify the political parties into three, namely the United Development Party (PPP), the Indonesian Democratic Party (PDI) and the Functional Group Party (Golkar);
iii) Set guidelines and appreciation of Pancasila (P4) as the basis of Pancasila experience in civic, state and nation;
iv) Determination of Pancasila as the sole foundation for political social organizations in Indonesia (Sole Principle of Pancasila);
v) Development that focuses on economic growth through the Trilogy Development.
New Order policy for 32 years (1966-1998) which sets the Suharto as selected by the People's Consultative Assembly as President of the Republic of Indonesia was caused popular discontent that emerged after the reform movement of the People's Consultative Assembly (MPR) convene the 1997 General Election, which in 1998 chose to return Suharto as President of the Republic of Indonesia 1997-2002 period was accompanied by B. J. Habibie as vice president. Given the tremendous pressure of the reform movement of President Suharto on May 21, 1998 states ceased to be President of the Republic of Indonesia. Thus, the position of President of the Republic of Indonesia held by B. J. Habibie.
At the time of President Habibie, mandate reform is executed.People's Consultative Assembly (MPR) 1997 General Election results convene again for a change (amendment) Act of 1945 (1945) first promulgated on October 19, 1999. Amendments continue to be the second amendment ratified on August 18, 2000, the third amendment in 2001, and the fourth amendment in 2003.Thus the date of October 19, 2002 constitution in force in Indonesia is Act of 1945 (1945) the results of the fourth amendment.
Deviation of the Constitution
1) Period: August 18 1945-27 December 1949 (1945),
The deviation constitution: the Central Indonesian National Committee (KNIP) that serves as a presidential aide turned into a legislative body. (Notice No. X Vice President Date October 16, 1945); system turned into a parliamentary presidential cabinet (Government Notice 14 November 1945);
Due: politics and government instability.
2) Period: December 27 1949-17 August 1950 (the Constitution of the United States of Indonesia)
The deviation constitution: the shape of the Unitary Republic of Indonesia (NKRI) turned into a state federation; legislative powers should be implemented by the president and the House of Representatives to change run by the House of Representatives and the Senate; developing liberal democracy.
Effect: The Unity and the unity of Indonesia to be disturbed.
3) Period: 17 August 1950-5 July 1959 (The Basic Law in 1950)
Deviation: presidential cabinet turned into a parliamentary cabinet.
As a result: frequent change of cabinet so that the political stability, governance and economic disturbed.
4) Period: 5 July 1959-19 October 1999 (the Act of 1945)
a) Old Order
The deviation constitution: the president makes the rule of law without the consent of Parliament; People's Consultative Assembly (MPRS) issued Tap. MPRS No. I / MPRS / 1960 which sets the president's speech on August 17, 1959 under the title Rediscovering Our Revolution as the State Policy Guidelines (GBHN) that are fixed; the president dissolve the House of Representatives (DPR) election results of 1955, then formed Mutual Aid Representative Council (DPRGR); People's Consultative Assembly (MPRS) lift President Sukarno as president for life through the provision of Number II / MPRS / 1963): The development of democracy.
As a result: political turmoil, security, and economic peak uprising Communist Party of Indonesia (30 September Movement / Indonesian Communist Party)
b) New Order
The deviation constitution: the organizers tend to be authoritarian state; the spirit of democracy is less developed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar