Sumber Sumber Yang Digunakan Agama Islam


Sumber Sumber Yang Digunakan Agama Islam | Grupsyariah (GS)
BAB I PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al Karim. Kemudian sumber hukum agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Al Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Namun, seiiring dengan berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang tidak terdapat solusinya dalam Al Qur’an dan Hadits. Oleh karena, itu ada sumber hukum agama islam yang lain, diantaranya Ijma dan Qiyas. Namun, Ijma dan Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an dan Hadits karena Ijma dan Qiyas merupakan penjelasan dari keduanya.
BAB II PEMBAHASAN
SUMBER-SUMBER AGAMA ISLAM
A.      al-qur’an sebagai sumber hukum islam
Sebelum membahas lebih jauh tentang al-qur’an sebagai sumber hukum islam, mari kita kaji terlebih dahulu pengertian dari al-Qur’an itu sendiri. Al-Qur’an adalah firman Allah s.w.t. yang di turunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. secara berangsur-angsur melalui malaikat Jibril, sebagai mukjizat dan pedoman hidup bagi umatnya dan membacanya adalah ibadah. Al-Qur’an ini turun pada sekitar tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.
Telah kita ketahui bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci umat islam dan merupakan pedoman hidup yang abadi. Dikatakan abadi karena kemurniannya sejak diturunkan sampai di akhir zaman senantiasa terpelihara. Allah s.w.t. menjamin pasti kemurnian al-Qur’an, seperti dalam firmannya yang berarti “Sesungguhnya kami-lah yang menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya kami benar-benar menjaganya”(QS. Al-Hijr, 15:9).
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup yang pertama dan utama bagi umat islam. Pada masa rasulullah s.a.w. setiap persoalan solusinya selalu di kembalikan kepada al-Qur’an. Rasulullah sendiri dalam perilakunya sehari-hari selalu mengacu pada al-Qur’an. Oleh karena itu kita sebagai seorang muslim kita harus menggunakan al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Sepeti dalam firman-Nya yang berarti “Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling daripada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya).” (QS. Al-Anfal,8:20). Ayat tersebut mengandung dua perintah yang pertama adalah perintah untuk taat kepada allah, taat berarti kita harus menjalankan smua perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Dan perintah-perintah Allah itu ada dalam al-Qur’an, jadi kalau kita taat kepada Allah kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada dalam al-Qur’an. Perintah yang kedua adalah taat kepada Rasulullah, artinya kita harus taat kepada sunnah dan hadits-haditsnya. Baik perintah maupun larangannya.
Fungsi dari al-Qur’an itu sendiri ada 4 yaitu petunjuk, penjelas, pembeda dan obat. Petunjuk artinya al-Qur’an merupakan suatu aturan yang harus diikuti, layaknya sebuah papan jalan yang di temple pada jalan-jalan. Seseorang yang tidak mengetahui jalan, jika ia mengabaikan petujuk jalan itu dan dan berjalan tidak sesuai dengan petunjuknya sudah pastilah orang tersebut akan tersesat. Sama seperti orang hidup di dunia ini, jika ia mengabaikan petunjuk dari Allah maka pastilah jalannya akan tersesat.
Fungsi yang kedua adalah penjelas artinya di dalam al-Qur’an sudah dijelaskan tentang segala sesuatu yang ditanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya al-Qur’an harus dijadikan rujukan dari semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri tanpa ada dasar-dasarnya dari al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai pembededa, maksudnya sebagai pembeda antara yang benar dan salah. Kita bisa mengetahui suatu hal apakah itu benar atau salah dari al-Qur’an. Selain itu juga pembeda antar muslim dan luar muslim, antar nilai yang diyakini benar oleh orang mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufur.
Selanjutnya fungsi al-Qur’an sebagai obat. Ibarat resep dari seorang dokter, pasien sering sulit untuk membacanya bahkan memahaminya. Tetapi seorang pasien percaya bahwa resep tersebut tidak mungkin salah karena dokter diyakini tidak mungkin berbohong. Sama seperti halnya dengan al-qur’an, al-qur’an adalah resep yang diberikan oleh Allah dan sudah pasti resep tersebut tidak mungkin salah karena Allah maha besar. Dengan demikian tidak menjadi masalah apabila ada beberapa ayat dalam al-Qur’an yang belum kita mengerti maksud dan tujuannya, maka jalankan sajalah. Sebab kalau harus menunggu kita memahami semua maksudnya bisa-bisa waktu kita di dunia ini habis terlebih dahulu sebelum kita menjalankan semua perintah-perintah-Nya.
Selain itu, obat yang diberikan oleh dokter tidak semuanya manis kadang ada yang pahit dan manis. Tetapi dokter berpesan agar meminum obat tersebut dengan teratur dan sampai habis, sebab kalau ridak teratur dan habis penyakitnya tidak sembuh. Begitupula dengan al-Qur’an adalah obat, tidak semua perintah dalam al-Qur’an sesuai dengan keinginan dan kemauan manusia, tetapi Allah menghendaki kita untuk mengamalkan semua firmannya tanpa terkecuali. Tidak ada pemilihan dan pemilahan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan yang lain dibirkan.
B.       As-Sunnah/ Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.


C.       Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1.       Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2.       Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
3.       Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama.
D.      Hubungan Al-Hadits/As-Sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1.       Bayan Tafsir: yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat).
2.       Bayan Taudhih: yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.

E.       Dapatkah As-Sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum. Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
       ••        
Artinya
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan” (Q.S. An-Nahl: 44).
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan “Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38). Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama
F.       Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam
Menurut istilah, ijtihad berarti penggunaan rasion atau akal semaksimal mungkin guna menemukan sesuatu ketetapan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara tegas dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
1.       Kedudukan Ijtihad:
Ijtihad menduduki posisi yang ketiga dalam hukum Islam setelah al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam ijtihad ini timbullah sumber hukum lainnya yaitu ijma’(consensus ulama), qiyas(analogi berdasarkan sebab atau illat masalah), urf(adat kebiasaan setempat), maslahah mursalah(kepentingan umum), dan istihsan.Ijtihad dilakukan oleh para imam, para kepala pemerintahan, para hakim, dan oleh para panglima perang untuk menemukan solusi dari permasalahan yang berkembang di kalangan mereka berdasarkan bidang mereka masing-masing.
2.       Lapangan Ijtihad:
Sesuai dengan namanya, ijtihad berarti mencari sesuatu yang tidak secara eksplisit didapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, berarti mengartikan, menafsirkan, dan mengambil kesimpulan dari kedua sumber tersebut, maka ijtihad terikat oleh ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a.       Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Karena urusan ibadah mahdhah telah diatur oleh al-Qur’an dan al-Hadist secara jelas dan terperinci.
b.       Hasil ketetapan ijtihad sifatnya kondisional dan situasional, mungkin berlaku bagi seseorang tetapi tidak berlaku bagi oranng lain. Juga berlakunya kadangkala hanya untuk satu masa atau tempat tertentu saja.
c.       Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah.
d.       Ketetapan ijtihad tidak melahirkan keputusan yang absolute, tetapi sifatnya relative.
e.       Dalam proses berijtihad harus mempertimbangkan berbagai aspek, diantaranya aspek lingkungan, aspek manfaat dan madharat atau akibat, aspek motivasi dan nilai-nilai yang menjadi ciri khas ajaran Islam.
f.       Ijtihad mencakup bidang mu’amalah (ihwal ekonomi), jinayat (kriminalitas), siasat (politik), ahwal syakhshiyyah (ihwal kekeluargaan), dan da’wah (misson), kedokteran, sains dan teknologi dan sebagainya.

3.       Syarat-syarat ijtihad:
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan, diantaranya:
a.       Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hokum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayatuntuk menggali hukum.
b.       Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist yang berhubungan dengan masalah hukum.
c.       Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar ia berijtihad tidak bertentangan dengan ijma’.
d.       Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
e.       Menguasai bahasa arab secara mendalam. Sebab al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa arab yang sangat tinggi gaya bahasanya.
f.       Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh.
g.       Mengetahui tentang latar belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan hadist.

4.       Peranan Ijtihad dalam Perkembangan Masyarakat Islam    :
Ijtihad memiliki peranan yang sangat penting dalam pembinaan hukum Islam; diantaranya:
a.       Agar hukum Islam dapat ditetapkan secara fleksibel sehingga tidak kaku.
b.       Agar dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman
c.       Dapat memudahkan penerapan ajaran Islam menurut situasi dan kondisi yang ada
d.       Dapat mengembangkan intelektualitas umat Islam sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
e.       Dapat meningkatkan dinamika masyarakat Islam yang heterogen, namun senantiasa hidup toleran dengan ukhuwah Islamiyah.

G.       Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Ada juga membuat definisi lain, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum meminum khamar , nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs.5:90) Haramnya meminum khamr yang berdasar illat hukumnya adalah memabukkan. Maka setiap minuman yang memabukkan sama saja dengan khamar dalam hukumnya, maka minuman tersebut adalah haram hukumnya untuk dikonsumsi.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
a.       Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat sahabat maupun ijma ulama.
b.       Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan- alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat . Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
c.       Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat . Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah: “Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng- benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang- orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Qs.59:2).
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’ . Kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan.
BAB III KESIMPULAN
Dari penjelasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Sebagai umat islam, kita diwajibkan untuk mengetahui serta memperdalam sumber ajaran agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena sumber ajaran agama islam merupakan merupakan media penuntun agar kita dapat melaksanakan semua perintah Allah dan semua larangan-Nya. Agama islam pun tidak mempersulit kita dalam mempelajari seluk beluk agama islam.
Karena terdapat tingkatan sumber ajaran agama islam yang harus kita pedomani. Sumber-sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas dan Ijtihad.
DAFTAR PUSTAKA
Mubarak, Zakky.2007. Menjadi Cendikiawan Muslim. Jakarta: PT Magenta Bhakti Guna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar