A. PENGERTIAN HUKUM KETENAGAKERJAAN |
1. Pengertian Hukum ketenagakerjaan adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pekerja/ organisasi pekerja dengan majikan atau pengusaha atau organisasi majikan dan pemerintah, termasuk di dalamnya adalah proses-proses dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan untuk merealisasikan hubungan tersebut menjadi kenyataan.[1] Menurut Moolenar hukum ketenagakerjaan adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokonya mengatur hubungan antara tenagakerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dengan tenaga kerja, dan antara tenaga kerja san pengusaha.[2] |
2. Tujuan Hukum Ketenagakerjaan |
Untuk memperdalam tentang bagaimana memahami hukum ketenagakerjaan maka kita harus mengetahui tentang tujuan-tujuannya antara lain: a. Mencapai atau melaksanakan keadilan social dalam bidang ketenagakerjaan. b. Melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan yang tidak terbatas dari pengusaha, misalnya dengan membuat atau menciptakan peraturan-peraturan yang sifatnya memaksa agar pengusaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap para tenaga kerja sebagai pihak lemah. |
3. Sifat Hukum Ketenagakerjaan |
Hukum ketenagakerjaan dapat bersifat perdata (privat) karena mengatur kepentingan orang-perorangan, dalam hal ini adalah antara tenaga kerja dan pengusaha yaitu dimana mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja. Selain itu juga bersifat public (Pidana) karena a). Dalam hal-hal tertentu Negara atau pemerintah turut campur tangan dalam masalah-masalah ketenagakerjaan, misalnya dalam pemutusan hubungan kerja. b). adanya sanksi dan aturan didalam setiap undang-undang di bidang ketenagakerjaan. |
4. Tenaga kerja dan Pengusaha |
Dalam pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003 Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang atau jasa untuk memnuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.[3] Pengertian tenaga kerja menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan diatas sejalan dengan pengertian ketenagakerjaan pada umumnya sebagaimana ditulis oleh payaman J. simanjuntak (1985: 2) bahwa pengertian tenaga kerja atau manpower adalah mencakup penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari kerja dan yang melakukan pekerjaan lain seperti sekolah dan mengurus rumah tangga. Jadi semata-mata dilihat dari batasan umur, untuk kepentingan sensus diindonesia menggunakan batas umur minimum 15 tahun dan maksimum 55 tahun.[4] Pengertian pengusaha menurut UU No. 13 tahun 2003 pasal 1 ayat 5 yaitu:
|
5. Konsep Hukum Pada Hukum Ketenagakerjaan |
Hukum perburuhan/ ketengakerjaan merupakan spesies dari genus hokum pada umumnya. Mr. M.G. Levenbach menyebutkan bahwa hukum perburuhan adalah hokum yang berkenaan dengan keadaan kehidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja. Menurut Imam Soepomo pengertian hukum perburuhan itu sendiri, namun ada unsure-unsur yang tekandung di dalamnya: yaitu:
Dari unsur-unsur diatas, jelaslah bahwa substansi hubungan perburuhan hanya menyangkut peraturan yang mengatur hubungan hukum seorang yang disebut pekerja / buruh kepada orang lain yang disebut majikan. (bersifat keperdataan), jadi tidak mengatur diluar hubungan kerja. Konsep ini sesuai dengan pengertian buruh berdasarkan peraturan perundang-undangan saat itu yakni UU No. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, memberikan pengertian buruh adalah siapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah (pasal 1 ayat 1 huruf a), sedangkan majikan adalah orang atau badan hukum yang mempekerjakan buruh. Selain itu dari pengertian hukum perburuhan yang diberikan oleh Imam Soepomo tersebut jelaslah bahwa pandangan tersebut didasarkan pada aliran hukum eropa kontinental yang memandang hukum identik dengan undang-undang. Selain itu untuk hukum yang tidak tertulis sulit ditemukan kodifikasinya.[5] |
6. Pihak-Pihak Dalam Hukum Ketenagakerjaan |
Ø Buruh/ pekerja Pengertian pekerja menurut UU No. 3 Tahun 1992, yaitu melingkupi: a). Magang dan murd yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak, b). Mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong pekerjaan adalah perusahaan.serta c). Narapidana yang dipekerjaan di perusahaan. Ø Pengusaha Dalam pasal 1 angka 5 UU No. 13 Tahun 2003 menjelaskan pengertian pengusaha adalah: a). Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; b). Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c). Orang perorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di insonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b yang berkedudukan di luar wilayah indonesia. Ø Organisasi pekerja/ buruh Untuk melegalkan tibdakan tersebut, pemmerintah mengeluarkan permenaker 05/MEN/1985 tentang pendaftaran organisai pekerja yaitu dengan syarat: a). Bersifat kesatuan; b). Mempunyai pengurus sekurang-kurangnya 20 orang di Tingkat 1, 100 orang di tingkat II dan 1000 di tingkat unit/ perusahaan. Ø Organisasi pengusaha Ada dua macam organisasi pengusaha yaitu; a). Kamar dagang dan industri (KADIN) adalah wadah bagi pengusaha indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian; b). Asosiasi pengusaha indonesia (APINDO) adalh suatu wadah kesatuan para pengusaha yang ikut serta mewujudakan kesejahteraan sosial dalam dunia usaha melalui kerja sama yang terpadu dan serasi antara pemerintah, pengusaha dan pekerja. Ø Pemerintah/ penguasa Campur tangan pemerintah dalam hukum ketenagakerjaan dimaksudkan untuk terciptanya hubungan perburuhan yang adil, karena jika hubungan antara pekerja dan pengusaha yang sangat berbeda secara sosial ekonomi diserahkan sepenuhnya kepda para pihak, maka tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hubungan ketenagakerjaan akan sulit tercapai karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai yang lemah.[6] |
7. Aspek-aspek Hukum Ketenagakerjaan Indonesia |
Aspek hukum ketenagakerjaan indonesia dapat di bagi menjadi tiga yaitu; a). Aspek hukum sebelum hubungan kerja Ø Penempatan kerja dalam negeri Ø Penempatan kerja di luar negeri Ø Laporan lowonga pekerjaan Ø Laporan ketenagakerjaan di perusahaan Ø Pelatihan kerja b). Aspek hukum dalam hubungan kerja Ø Perjanjian kerja Ø Perlindungan norma kerja Ø Perngawasan perburuhan Ø Hubungan industrial Ø Keselamatan dan kesehatan kerja Ø Perlindungan upah Ø Jamsostek Ø Mogok kerja dan penutupan perusahaan c). Aspek hukum setelah hubungan ketenagakerjaan Ø pemutusan hubungan kerja Ø hak-hak tenaga kerja yang di PHK Ø Jamsostek khusunya untuk progam kematian dan hari tua. |
8. ASAS HUKUM |
Agar suatu peraturan perundang-undangan berlaku efektif, maka secara substansial harus memperhatikan beberapa asas yaitu: a. Undang-undang tidak bolehberlaku surut, artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut serta terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku. b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (lex superior derogat lex impriori). c. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generali), apabila pembuatnya sama, artinya terhadap peristiwa-peristiwa khusus wajib diberlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa tersebut, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut dapat pula diberlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut. d. Undang-undang yang baru mengalahkan undang-undang yang lama (lex posteriori derogat lex priori), artinya undang-undang lain yang lebiha dahulu berlaku dan mengatur mengenai sesuatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila telah ada undang-undang baru yang berlaku belakangan dan mengatur hal tertentu tersebut, akan tetapi makna dan tujuannya berlainan atau berlawanan dengan uandang-undang yang lama tersebut. e. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat, artinya adalah undang-undang hanya dapat dicabut dan atau diubah oleh lembaga yang membuatnya. Di Indonesia, mahkamah Agung diberikan wewenang untuk menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang saja. Kewenangan tersebut mengandung makna bahwa Mahkamah Agung dapat menyatakan bahwa suatu peraturan tertentu dibawah undang-undang tidak mempunyai kekuatan hukum (harus ditinjau kembali) karena bertentangan dengan peraturan di atasnya. f. Undang-undang merupakan sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat amupun pribadi melalui pelestarian atau pemabaharuan (inovasi). Kajian mengenai kaedah hukum tidak dapat dilepaskan dari asas hukum sebagai dasar yang memberikan sifat normatif dari suatu kaedah hukum. Eikema Hommes dan Notoamijoyo (1975:4) mengatakan bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai suatu dasar-dasar hukum atu petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan asas hukum praktis perlu berorientasi pada asas hukum tersebut. Dengan kata lain asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Dari pendapat diatas jelaslah bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkret akan tetapi merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkret yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundang-undangan. Karena sifatnya yang abstrak, maka asas hukum pada umumnya tidak dituangkan dalam pasal-pasal konkret. Asas hukum mempunyai sifat yang umum dan tidak berlaku untuk suatu peristiwa tertentu saja. Karena sifatnya yang umum, asas hukum membuka peluang penyimpangan atau pengecualian. Adanya pengecualian ini menjadikan asas hukum tersebut selalu luwes. Adapun beberapa fungsi dari asas hukum yaitu: a. Menjamin pelaksanaan kaedah hukum sesuai dengan tujuan hukum itu, misalnya asas nullum delictum untuk menjamin kepastian dan mencegah sewenang-wenang. b. Menjamin keluwesan kaedah hukum dalam suatu peristiwa konkret, misalnya asas jual-beli tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa. c. Sebagai instrumen untuk mengarahkan kaedah hukum, misalnya asas praduga tidak bersalah. |
B. PERSELISIHAN PERBURUHAN |
1. Perselisihan perburuhan meliputi: Ø Dari pihak majikan Pihak majikan menolak buruh-buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan atau membantu majikan lainnya menekan supaya buruh menerima hubungan kerja, syarat0syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Ø Dari pihak buruh Pihak buruh secara kolektif mengehentikan atau memperlambat jalannya pekerjaan, sebagai akibat perselisihan perburuhan dilakukan dengan maksud untuk menekan atau membantu golongan buruh lain menekan supaya majikan menerima hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. 2. Tatacara Mengajukan Perselihan Perburuhan Terlebih dahulu perlu dipahami tentang tuntutan hak-hak normatif seperti uang, pesangon, uang jasa, uang lembur dan uang cuti. Tuntutannya biasanya diajukan ke DEPNAKER setempat, biasanya ditangani oleh saksi syarat-syarat dan hubungan kerja. Guna mengajukan tuntutan hak itu biasanya disusun sebagai berikut: Ø Identitas Penuntut. Ø Fakta Hukum. Ø Uraian besarnya hak-hak yang dituntut (rinci). Ø Kesimpulan (memuat hal-hal yang menjadi tuntutan dari penuntut atas haknya) Ø Tanda tangan oleh penuntut. 3. Tatacara Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Ø Biparteit system Adalah upaya damai antara buruh dengan majikan (pengusaha) atau anjuran depnaker. Pada sistem ini biasanya pihak depnaker meminta bukti-bukti baik dari buruh maupun majikan. Apabila buruh dan majikan tidak mencapai perdamaian. Maka depnaker mengambil keputusan yang isinya bersifat anjuran dan karenanya tidak mengikat. Namun apabila menurut penilaiannya ia tidak mampu, maka diserahkan segera ke panitia penyelesaian perselisihan perburuhan daerah (P4D). Ø Triparteit System Adalah upaya damai yang diprakarsai oleh Depnaker dengan para pihaknya adalah: Majikan, Organisasi buruh (SPSI) dan Depnaker sendiri. Ø Enquete Adalah pemeriksaan saksi-saksi di persidangan dalam perkara perdata, baik yang dimajukan oleh penggugat maupun tergugat (JCT Simorangkir, Cs. 1980: 51). Ø Arbritase Adalah peradilan wasit, peradilan yang akan memberikan keputusan mengenai persengkataan antara pihak yang bersengketa tanpa melalui pengadilan (PCT Simongkir, Cs. 1980: 18). |
C. UNDANG-UNDANG MENGENAI PERBURUHAN |
Undang-undang yang mengatur buruh dan hubungan buruh di negeri ini merupakan dasar untuk hubungan antara perusahaan dan serikat buruh. Dua jenis yang nyata dari perundang-undangan yang mempengaruhi buruh dan majikan telah diberlakukan. Yang pertama mengenai jam kerja, peraturan keselamatan dan kesehatan. Kelompok undang-undang ini disebut sebagai perundang-undangan kerja. Yang kedua mengenai hak-hak dan tanggung jawab dari serikat buruh dan majikan. Ini akan disebut sebagai undang-undang buruh. Ø Perundang-undangan Kerja Pengendalian yang terdahulu terhadap jam kerja berlaku secara khusus bagi wanita dan anak-anak. Pada tahun 1924, Kongres ini berhasil mengajukan sebuah amndemen undang-undang yang memberikan kekuasaan kepadanya untuk mengatur buruh dari orang-orang yang berusia dbawah 18 tahun. Tetapi, semua negara bagian mempunyai semacam undang-undang yang mengatur lamanya hari kerja dan penggunaan buruh anak-anak. Banyak negara bagian mempunyai perundang-undangan yang membatasi jam kerja bagi wanita pada pekerjaan tertentu. Banyak juga negara bagian mengatur upah minimum yang dapat dibayarkan kepada para karyawan. Ø UU standar buruh yang adil (Fair Labor Standar Act) Tahun 1938. Undang-undang ini berisikan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan upah dan jam diindustri-industri yang terlibat dalam perdagangan antar negara bagian. Berlaku sejak 24 Oktober 1940, undang-undang ini pertama-tama menyatakan bahwa para karyawan harus diberi kompensasi dengan tarif 11/2 standar tarif upah mereka untuk bekerja lebih dari empat puluh jam perminggu. Undang-undang itu menetapkan bahwa setiap waktu seorang karyawan “diijinkan untuk bekerja” harus dihitung sebagai waktu kerja. Semua waktu yang dihabiskan dalam penggunaan fisik atau mental yang dikendalikan atau diharuskan oleh majikan dan dikerjakan untuk keuntungan majikan harus dihitung sebagai waktu kerja. Jadi, pekerjaan yang tidak diminta namun diijinkan adalah waktu kerja. Bila pekerjaan diijinkan diluar tempaat-tempat itu bahkan dirumah karyawan, dihitung sebagai waktu kerja. Undang-undang itu mengatakan bahwa seorang majikan tidak boleh membeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dengan membayar karyawan dari salah satu jenis kelamin dengan tarif yang lebih rendah daripada tarif yang dibayarkan kepada jenis kelamin yang berlawanan. Ini berlaku bagi pekerjaan yang sama pada pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kecakapan, usaha dan tanggung jawab yang sama dan dilaksanakan dalam kondisi kerja yang serupa. Undang-undang Standar Buruh yang Adil dilaksanakan oleh Divisi Upah dan Jam dari Departemen Tenaga Kerja AS. Undang-undang Wagner tahun 1952, atau dikenal sebagai undang-undang hubungan buruh nasional (National Labor Relations Act), jelas merupakan suatu undang-undang karyawan karena peraturan-peraturannya dibuat untuk mengendalikan tindakan-tindakan dari para majikan. Secara umum, undang-undang ini menjamin hak karyawan untuk berorganisasi. Ini dicapai dengan ketentuan bahwa majikan akan melanggar hukum bila : a. Menolak untuk melakukan perundingan secara koleltif dengan perwakilan yang dipilih oleh karyawan. b. Mengganggu hak karyawan untuk melakukan perundingan secara kolektif. c. Mendikte dengan cara apapun kepada para pejabat buruh tentang prosedur administrasi mereka. d. Mendiskriminasikan anggota serikat buruh baik dalam memperkerjakan atau pemecatan. e. Mendiskriminasikan karyawan yang mengambil keuntungan dari hak-hak mereka sesuai dengan undang-undang. Undang-undang ini menetapkan Dewan Hubungan Buruh Nasional untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dari undang-undang ini dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan. Badan ini juga bertindak sebagai semacam pengadilan dalam melindungi karyawan terhadap praktek-praktek yang tidak adil. Salah satu fungsi pokoknya adalah untuk mencegah atau memperbaiki kelima praktek yang melanggar hukum yang disebutkan diatas. Fungsi yang lain adalah untuk menetapkan unit-unit yang melakukan perundingan dan organisasi yang tepat untuk mewakili karyawan. Undang-undang ini menganggap bahwa adalah merupakan suatu praktek buruh yang tidak adil seorang majikan bila: a. Menolak untuk berunding secara kolektif dengan karyawan. b. Mendorong atau membatasi keanggotaan dalam suatu organisasi buruh. c. Menyumbangkan bantuan finansiil atau hal-hal lainnya kepada suatu organisasi buruh. d. Mengganggu organisasi atau administrasi dari suatu organisasi. e. Mendiskriminasikan seorang karyawan karena kesaksian yang diberikan oleh karyawan itu. Undang-undang Landrum-griffin. Dengan bekerja dibawah suatu tekanan pemerintah yang paling hebat selama bertahun-tahun, pada tanggal 4 September 1959, Kongressmengesahkan amademen pokok yang pertama tentang penyusunan kembali buruh pada Undang-Undang di atas. Undang-undang ini adalah Undang-undang Pelaporan dan Penyingkapan Buruh Manajemen (Labor Management Reporting and Disclosure Act), yang biasanya disebut Landrum-Griffin Act. Nama ini sangat tepat, karena bagian terbesar dari undang-undang ini mengharuskan untuk membuat serangkaian laporan kepada sekretaris seriakat buruh. Undang-undang ini dibuat untuk mengatur urusan-urusan internal serikat buruh dengan mengharuskan: 1. Melaporkan tentang undang-undang dasar dan anggaran rumah dari organisasi serikat buruh. 2. Melaporkan tentang kebijaksaan administrasi serikat buruh yang mengenai bayaran permulaan, iuran serikat buruh dan beban finansiil lainnya; pemanggilan rapat-rapat serikat buruh, persyaratan keanggotaan dalam serikat buruh dan ratifukasi kontrak. 3. Laporan finansiil tahunan oleh serikat buruh, yang menunjukkan jumlah modal, pertanggungjawaban dan penerimaan uang kontan, gaji para pejabat, dan pinjaman kepada anggota, penjabat serikat buruh atau perusahaan-perusahaan. 4. Laporan tentang transaksi finansiil pribadi pada pihak pejabat serikat buruh yang mungkin dalam suatu hal bertentangan dengan kepentingan-kepentingan terbaik dari serikat buruh. 5. Laporan oleh majikan tentang tiap pemecahan yang dilakukan untuk mencegah karyawan mereka berorganisasi; misalnya karyawan disewa untuk menyabot usaha-usaha perorganisasian oleh perwakilan serikat buruh. |
D. KONDISI PERBURUHAN DALAM ARUS GLOBALISASI |
Di era globalisasi dirasakan oleh kaum buruh di seluruh dunia sebagai era revolusi perbudakan modern yang menghilangkan existensi buruh sebagai manusia. Buruh sebagai manusia ciptaan Tuhan mulai kehilangan martabatnya. Buruh tidak dipandang dan diperlakukan secara manusiawi. Kenyataan yang kita lihat dan rasakan sehari-hari, buruh hanya diperalakukan sebagai alat yang bisa digunakan kaum kapital untuk mencapai tujuannya semata. Hal demikian juga terjadi di Indonesia, dimana hidup dan penhidupan kaum buruh dari waktu ke waktu tidak menunjukkan perbaikan taraf hidup, yang terjadi justru kebalikannya, kaum buruh mengalami degradasi sebagai manusia. Secara politik posisi tawar kaum buruh semakin lemah dan dilemahkan oleh sistem yang dibuat rezim berkuasa. Secara ekonomi kaum buruh tidak bisa menikmati hasil keringatnya secara maksimal, karena hasil yang diterimanya tidak bisa untuk hidup secara layak seperti yang diamanatkan konstitusi kita. Pendapatan kaum buruh pekerja hanya sekedar tetap bisa bertahan hidup saja. Hal ini bisa terjadi lagi-lagi oleh sistem yang diciptakan oleh kaum kapital bersama rezim yang berkuasa. Dalam kurun waktu 6 tahun terakhir ini sudah terjadi pergantian kepemimpinan negara di Indonesia. Mulai dari rezim Soeharto, Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, hingga ke Soesilo Bambang Yudhoyono. Namun belum satu pun Presiden yang membuat kebijakan di bidang ketenagakerjaan yang berpihak kepada kaum yang lemah, yaitu kaum buruh/rakyat pekerja. Tetapi yang dilakukan justru membuat kebijakan yang menguatkan posisi kapital global dan memarjinalkan kaum buruh. Lemahnya gerakan demokrasi yang didukung oleh organisasi-organisasi rakyat maupun kalangan intelektual makin terlihat setelah era reformasi berjalan 6 tahun. Sejak tahun 1998 tidak ada langkah-langkah penyesuaian sosial maupun struktural. Ditamgah lagi dengan desakan lembaga-lembaga internasional yang memaksakan paket-paket kebijakan neoliberalisme. Wajar saja bila UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan dan UU No.2/2004 tentang PPHI jelas-jelas menganut paradigma liberal. Peran perlindungan negara atas buruh semakin terkikis dengan adanya konsep relasi antara buruh dan majikan yang tidak adil. Dalam konteks gerakan buruh di Indonesia yang kita lihat selama Orde Baru hingga saat ini menghadapi masalah pelik. Ada tiga faktor yang membuat gerakkan buruh saat ini mengalami involusi (mengalami keruwetan di dalam). Pertama, selama orde baru, gerakan buruh dibungkam dan diputus sama sekali dari sejarah panjang gerakkan buruh yang ada sebelumnya. Rezim Soeharto secara sengaja dan sistematis menghilangkan sejarah panjang gerakan buruh dari catatan sejarah. Gerakan buruh kehilangan sesuatu yang teramat penting untuk dipelajari. Kedua, gerakan buruh status qua maupun yang independen, sejak Orde Baru hingga saat ini tidak mendapat teladan yang memadai tentang organisasi yyang indipenden, kuat dan demokratis. SPSI selama Orde Baru dikontrol oleh pemerintah sehingga sama sekali tidak demokratis secara internal. Ketiga, Euforia reformasi telah membuat banyak serikat buruh lupa diri. Mereka menganggap kondisi nasional dan global sudah cukup kondusif untuk mengembangkan serikat buruh. Pada saat yang sama , serikat buruh gamang menghadapi persoalan semakin mudahnya modal berpindah mencari tempat yang lebih menguntungkan secara ekonomis terutama untuk sektor-sektor padat karya. Untuk memerangi fenomena ini sangat sulit menggalang solidaritas buruh internasional. Keadaan diatas, tentu tidak kita inginkan bersama dan tidak bisa dibiarkan. Keadaan harus kita rubah ke arah lebih baik, gerakkan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat merupakan jawaban untuk dapat mendesak agar pemerintahan yang berkuasa sekarang ini, bisa membuat kenijakan yang lebih menonjolkan peran negara yang melindungi rakyat. Dan, jangan ada lagi darah rakyat yang ditumpahkan atau dikorbankan hanya untuk kepentingan kapitalis global. Bangsa yang besar adalah bangsa yang pemerintahannya mampu membuat kebijakan yang menghargai dan meningkatkan harkat martabat kaum pekerja sebagai manusia. Karena disadari atau tidak “bahwa sebuah bangsa di dunia ini hidup dalam setiap tetes keringat pekerja”. Setiap tetes keringat pekerja merupakan pemutar roda ekonomi negara. Mereka memberikan penghidupan bagi berjuta-juta manusia lain. ( Soetrisno, 2009, Federasi Serikat Petani Indonesia, Serikat Buruh Jabotabek (SBJ). |
E. HUKUM PERBURUHAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM |
Di dalam Persepektif islam itu sendiri juga menyinggung tentang hukum ketenagakerjaan atau perburuhan. Sudah seharusnya buruh diperlakukan secara manusiawi dengan diberi hak untuk hidup secara layak, bukan malah ditindas. Islam berpandangan bahwa modal tidak dapat menghasilkan laba tanpa adanya seorang pekerja (buruh). Motivasi seseorang bekerja atau berusaha acapkali berasal dari keyakinan yang dia miliki. Dorongan dari agama bisa membuat seseorang rajin bekerja karena menganggap pekerjaan itu sebagai ibadah. Max Weber, lewat buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, sedikit banyak menyinggung masalah ini. Kajian yang mengaitkan motif spritual dan ideologis dalam bekerja acapkali dilakukan. Buku ini menjadi salah satunya, dengan perspektif agama Islam. Islam adalah agama rahmatan lil alamin, artinya Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Dengan kata lain, tak ada secuil pun di muka bumi ini yang tak diatur atau diperhatikan dalam Islam. Demikian juga untuk konteks hukum perburuhan. Beberapa teks ayat suci Alqur’an, Hadist maupun perjalanan sejarah kehidupan masyarakat Islam banyak yang menyinggung masalah perburuhan baik langsung maupun tak langsung. Surat Al-Baqarah Ayat 286 misalnya yang menjadi pijakan bagi buruh untuk mendapat hak beristirahat. Atau surat At-Taubah Ayat 105 dan surat Al Anfal ayat 27 yang menggariskan kewajiban bagi buruh. Dalam tataran hadist, pernyataan Rasulullah SAW tentang Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya, pasti sudah akrab di telinga kita. Jadi, buruh maupun pengusaha harus berpikir dua kali jika ingin mengatakan Islam tak mengatur masalah hukum perburuhan. Abdul Jalil berusaha menawarkan solusi alternatif dengan mengupas masalah perburuhan di Indonesia dan membaca paradigma yang menggerakkan sistemnya. Selanjutnya menawarkan konsep perburuhan baru yang lebih humanis dengan berlandaskan pada nilai-nilai religi. Islam, kata Abdul Jalil, sangat anti dengan kapitalisme dalam masalah perburuhan. Pasalnya, dalam ideologi ini, buruh dipandang tak lebih dari sekedar ‘mesin pencetak uang’ dengan keringatnya sebagai ‘bahan bakar’. Namun begitu, tak serta merta Islam identik dengan sosialisme. Pada hal tertentu, seperti masalah pengupahan, Islam tetap mengenal ‘diskriminasi’ berdasarkan skill dan profesionalisme si pekerja. Dengan kata lain, tak ada prinsip ‘sama rasa, sama rata’ untuk masalah upah di dalam Islam. Beliau ingin mendobrak pemahaman masyarakat tentang konsep ‘nrimo’ alias pasrah dengan takdir yang sering disebarluaskan oleh para tokoh agama. Selama ini, konsep kaya-miskin, majikan-buruh dikaitkan dengan kehendak Tuhan yang tak bisa diutak-atik lagi sehingga para tokoh agama biasanya lebih menyarankan masyarakat untuk lebih bersabar dan pasrah serta berharap pada imbalan di akhirat nanti. Baginya tokoh agama yang kerap menyebarluaskan sikap ‘nrimo’ itu, tak lain hanya alat yang dipakai kaum kapitalis atau kepentingan negara yang telah dikempit di bawah ketiak kapitalis. |
Peran Negara |
Dalam sebuah negara kapitalis, Antonio Gramsci, seorang pemikir neo-marxis dari Italia, membagi struktur masyarakat kedalam beberapa lapisan. Masyarakat petani ada di lapisan paling bawah. Di atasnya ada kelas buruh yang harus membanting tulang untuk keperluan masyarakat lapisan atasnya, pengusaha. Lapisan paling atas adalah negara yang menarik pajak dari pengusaha. Ironisnya, pajak itu ‘ibarat’ suap agar negara melindungi kepentingan pengusaha melalui perangkat hukum, militer, pendidikan dan agama. Kondisi Indonesia saat ini tak jauh berbeda dengan yang digambarkan Gramsci. Negara, dalam hal ini pemerintah, lebih sering menjadi alat pengusaha. Negara, menurut Islam, seharusnya berperan ibarat wasit yang menjaga aturan main perburuhan. Termasuk di dalamnya mengenai kewajiban pengusaha secara sukarela mengembalikan ‘nilai lebih’ kepada pekerjanya. Negara harus melakukan upaya paksa jika pengusaha tak mau menjalankannya secara sukarela. Dengan demikian peran negara dalam sistem Islam bertolak belakang dengan sistem kapitalisme. Pada bagian lain, pemerintah juga berkewajiban membentuk lembaga seperti Wilayat al-Hisbah, Wilayat al-Qadha atau Wilayat al-Mazhalim. Ketiga lembaga ini mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat. Dalam ukuran tertentu, wilayat al-Hisbah sudah termaktub dalam UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. (Jalil, Abdul. 2008. Teologi Buruh. Yogyakarta: LKIS) |
Footnote |
[1] Darwan Prinst, Hukum ketenaga kerjaan Indonesia, 1994, hal 1 [2] Sendjung H. Manulang, pokok-pokok hokum ketenaga kerjaan di Indonesia.2001. hal. 1. [3] Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. 2003. hal. 15 [4] Ibid. hal 16 [5] Lalu Husni. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. 2003. hal. 20 [6] Ibid. hal. 33 |
Diposkan oleh nita nurrachmawati atmasari |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar