POLEMIK AL-GHAZALI DAN IBNU RUSYD | METAFISIKA DAN KAUSALITAS

Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali, digelar Hujjah al-Islam. Lahir pada tahun 450 H (1056M) di Thus kota Khurasan, Iran.[1].  Ibn Rusyd nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd, di Barat dan di dalam literature latin abad tengah akhir ia dikenal dengan nama Averroes. Ia dilahirkan di Cordova pada 520 H (1126 M) dari keluarga yang terkenal alim dalam ilmu fikih di Spanyol-Islam.[2]

Makalah polemik al-ghazali dan ibnu rusyd |metafisika dan kausalitas oleh : Saharani

B. Pertentangan antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd


1. Alam pikir al-Ghazali
Polemik ini dimulai dari karya Imam al-Ghazali yang berjudul Thafut al-Falasifah yang antara lain memuat berbagai dalil dan argument yang menyatakan bahwa teori dan pemikiran para filosof Islam, terutama Ibn Sina, mengenai soal ketuhanan dan hal-hal yang metafisis tidak memuaskan, malah ada diantaranya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal yang bertentangan dengan dasar agama Islam ada tiga, sehingga ia menuduh Ibn Sina sebagai orang kafir[3]. Yaitu : 1. Alam tak bermula, 2. Tuhan tidak mengetahui perincian di alam dan 3. Pembangkitan jasmani tidak ada.[4]

Tentang alam Aristoteles juga mengatakan bahwa alam ini qadim dalam arti tidak ada awalnya. Pendapat ini juga dianut oleh para filosof ternama di kalangan pemikir Islam, seperti al-Farabi dan Ibn Sina sebagaimana telah disebutkan diatas. Hal ini menurut al-Ghazali bertentangan dengan ajaran agama yang dengan tegas mengatakan bahwa alam ini baru, dijadikan oleh Allah dari tidak ada serta dalam zaman tertentu[5]. Dalam al-Qur’an dengan jelas disebutkan bahwa Tuhan adalah Pencipta dari segala-gala sesuatu. Dan menurut al-Ghazali selanjutnya, tidak ada seorangpun dari orang Islam yang menganut paham bahwa alam tidak bermula[6].

 2. Alam pikir Ibn Rusyd
Dari pendapat diatas Ibn Rusyd dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan mencari kebenaran, lewat penafsirannya terhadap al-Qur’an secara rasional telah menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta tentang ketidakbermulaannya alam itu.[7] Ibn Rusyd menjelaskan, bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikannya alam dari tiada (creation ex-nihilo) itu tidak berdasar pada argument syariat yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, lalu Ia menjadikan alam. Pendapat bahwa pada mulanya yang ada hanya wujud Tuhan, menurut Ibn Rusyd, hanyalah merupakan interprestasi kaum teolog semata, karena ayat-ayat al-Qur’an mengatakan bahwa alam ini dijadikan bukan dari tiada, tapi dari sesuatu yang ada.[8] Dari ayat 7 surat Hud yang artinya: dan Ia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhta-Nya (pada waktu itu) berada di atas air, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu air yang diatasnya terdapat takhta kekuasaan Tuhan.

 Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air dan takhta.[9] Dan dari ayat 11 surat Fushilat yang artinya: kemudian Ia-pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Dapat dipahami bahwa sebelum ala mini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut Ibn Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya alam, jadi alam dalam unsurnya adalah kekal dari sejak zaman lampau atau qadim.[10]
footNote
  • [1]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Cet. 2, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999), h. 77.
  • [2]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 77.
  • [3]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, cet: I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 175. Lihat pula M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, cet: I, (Bandung : Mizan, 1985), h. 220 dan lihat pula, Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, cet. v (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 135-136.
  • [4]Harun Nasution, Jilid II, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI-Press, 1979), h. 65.
  • [5]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, h. 180.
  • [6]Harun Nasution, Jilid II, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 65.
  • [7]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, cet: I, (Bandung : Mizan, 1985), h. 220
  • [8]Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf; Dirasah Islamiyah IV, cet. v (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 136-137.
  • [9]Harun Nasution, Jilid II, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 66.
  • [10]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, cet. III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 51-52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar