Makalah Kontribusi Al-Ghazali Untuk Pendidikan
PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan acapkali terjadi ketidaksesuaian antara keinginan yang ditargetkan dengan kenyataan yang merupakan akibat langsung dalam dunia pendidikan. Hal ini terjadi karena adanya hasil (output) pendidikan yang tidak sesuai dengan applikasi nyata (outcome) pendidikan. Dalam dunia pendidikan, mestinya program yang dilaksanakan dalam bentuk program proses belajar mengajar dapat berimplikasi positif dalam bentuk outcome peserta didiknya. Dengan realitas yang ada perlu adanya suatu konstruk pendidikan yang betul-betul mampu secara realitas dalam menghasilkan outcome yang sangat sesuai dengan keinginan pendidikan, yaitu menciptakan manusia dengan memiliki kapasitas manusia dengan value manusia yang hakiki. Namun untuk mencapai tujuan tersebut, dunia mengalami banyak kendala dan tantangan dalam merealisasikan tujuan tersebut. Dalam tulisan ini, penulis ingin mengemukan tantangan pendidikan modern dan solusi Imam Ghazali dalam menyelesaikan tantangan tersebut.
PEMBAHASAN
A. Tantangan Dunia Pendidikan
Dunia pendidikan mengalami tantangan yang sangat kuat dalam mensukseskan tujuannya. Menurut Sunaryo (2012: 1) mengemukan problematika pendidikan di Indonesia di era global. Perubahan akibat globalisasi tampak lebih cepat ketimbang pembaruan kurikulum dan penilaian . Pada skala nasional saat ini telah terjadi anomie, yakni kehilangan pegangan moral dan nilai budaya. Beberapa aturan hukum dan norma sosial kehilangan daya paksanya dan terkesan saling bertentangan sehingga memicu konflik dan menimbulkan kebingungan. Akibatnya perilaku main hakim sendiri dan berbagai tindakan melecehkan hukum mencuat ke permukaan menyertai beragam tindak kekacauan dan perilaku menyimpang. Hal lain yang juga memprihatinkan adalah gejala demoralisasi yang menghebat di kalangan masyarakat. Mentalitas masyarakat di perkotaan dibentuk oleh budaya pop dan dibuai irasionalitas iklan yang serba instan dan hedonistik.
Apa yang dikemukan oleh Prof. Sunaryo tersebut sangat benar sekali mengingat dunia pendidikan di Indonesia tidak memiliki fundamental yang kuat. Sampai saat ini, dunia pendidikan di Indonesia belum memiliki landasan kependidikan yang menjelaskan prototipe pendidikan Indonesia, target sasarannya apa, mutu pendidikan dikomparasikan dengan apa dan untuk siapa, program janka pendek, menengah dan panjang belum ada yang secara konkrit, dan pendidikan bersaing dengan siapa dan untuk apa. Di China, misalnya, konstruk pendidikannya sangat jelas dengan menggunakan paradigma dan konsepsi bahwa kesuksesan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh intelektual ssemata tapu juga yang sangat menentukan adalah faktor nonintelektual yang meliputi kerjasama tim (teamwork), motivasi diri (self motivation), kemampuan mengatasi suasana yang darurat (emergency handling capabilities), dan cara berfikir (ways of thinking) Lanqing, 2003: 305).
Oleh sebab itu, Dalin dan Rush (1996: 30) mengusulkan bahwa suatu pendidikan harus dikonstruk dengan sebenarnya sesuai dengan masalah yang ada. Menurutnya, pendidikan yang sebenarnya adalah dengan berlandaskan pada masalah yang sedang dihadapi. Hal ini dikarenakan karena pendidikan saat ini merupakan hasil produk masalah yang telah terjadi lima sampai seepuluh tahun yang telah berlalu. Sedangkan pendidikan yang akan datang seharusnya berlandaskan pada masalah yang sedang terjadi saat ini. Saat ini pendidikan di Indonesia mengalami masalah moral, value, dan integritas secara personal maupun komunal. Ditambah lagi beberapa masalah yang menjadi penggandanya. Dalin dan Rush (1996: 31) mengemukakan bahwa terdapat sepuluh revolusi yang terjadi pada kehidupan manusia saat ini. Beberapa revolusi yang dikemukan sebagai berikut:
1. Revolusi ilmu pengetahuan dan technologi
2. Revolusi penduduk
3. Revolusi globalisasi dan lokalitas
4. Revolusi hubungan sosial
5. Revolusi ekonomi
6. Revolusi teknologi
7. Revolusi ekologi
8. Revolusi estetika
9. Revolusi politik
10. Revolusi nilai
B. Kontribusi Al-Ghazali Dalam Pendidikan Eksakta
Masa al-Ghazali adalah masa timbulnya aneka ragam aliran dan cenderungnya orientasi pemikiran yang saling bertentangan. Masa itu terdapat para hali ilmu kalam, ada ahli kebatinan yang beranggapan, bahwa mereka ditentukan untuk menerima imam yang suci dari dosa, ada juga kelompok filosof dan kelompok sufi. Dari satu dan aspek yang lain inilah al-Ghazali memandang, bahwa manusia itu dilahirkan bukan atas satu agama atau satu madzhab tertentu. Kedua orangtunyalah yang membuatnya menjadi orang Yahudi, Nasrani dan Majusi. Artinya, anak mewarisi agama dari kedua orang tuanya. Al-Ghazali mempunyai pembawaan mengkaji hakikat dan mengambil yang murni dari berbagai pandangan yang controversial dan aliran yang majemuk (Ibid. hal. 9-10).
Al-Ghazali ingin mengetahui hakikat fitrah manusia hakikat kepercayaan agama (aqaid diniyah), aliran filsafat yang diambil manusia dengan jalan meniru kedua orang tuanya dan gurunya. Kemudian, dia menentukan yang hak dan yang batil di atas perbedaan dan pertentangan aliran itu (Ibid, hal. 10). Di samping itu, dia berharap untuk mencapai pengetahuan ilmu al-yaqin (Ibid, hal. 10), yaitu apa yang diketahui terbuka benar, tidak ada keraguan sedikitpun, tidak salah dan bimbang (al-Ghazali, op.cit. hal. 4).
Dia memulai belajar ilmu kalam, aliran kebatinan, lalu pindah mempelajari teori-teori filsafat, kemudian aliran-aliran tasawuf, dan memulai pula meneliti dan memperdalam penelitian (secara cermat) agar mencapai keyakinan yang bersih dari keraguan-raguan (Sulaiman, loc.cit. ).
Al-Ghazali menerangkan mengenai perkembangan pemikiran yang timbul secara serta merta. Hal ini dijelaskan di dalam satu kitabnya, “al-Munqidz al-Dalal” sebagai berikut:
Aku menyeburkan diri dalam samudra yang sangat dalam masuk dan menyelami keganasannya dengan perasaan gagah-berani, bukannya seperti perasaan orang yang takut. Aku masuk dan menerobos setiap tempat yang gelap, melacak setiap tempat yang gelap, melacak setiap permasalahan dan kesulitan. Aku masuk ke jurang yang dalam dan meneliti aqidah setiap golongan dan menyingkap rahasia aliran tiap golongan, untuk membedakan diantara yang berbuat kebenaran dan kebatilan, diantara yang berpegang kepada sunnah dan ahli bid’ah. Aku tidak membiarkan begitu saja seorang ahli kebatinan, melainkan ingin juga mengetahui apa yang dihasilkan oleh kebatinan itu, juga aku tidak meninggalkan seorang dhahiri, melainkan aku ingin mengetahui hasil pemikirannya; apabila ia seorang filosof, aku bermaksud mempelajari hakikat filsafatnya. Terhadap seorang ahli ilmu kalam, aku berupaya untuk mengetahui apa yang menjadi sasaran dan mujadalahnya. Kepada seorang sufi, aku ingin mengetahui kandungan dan rahasianya. Kepada ahli ibadah, aku mengintif apa manfaat yang diperoleh dari hasil ibadahnya. Kemudian, terhadap orang zindiq yang menolak sifat dan keberadaan al-Khaliq, aku ingin mengintai di belakangnya untuk mengingatkan sebab-sebab keberaniannyanya dalam paham keingkaran dan kezindikannya (al-Ghazali, loc.cit.)
Setelah mengadakan penelitian secara continue, di balik ilmu yakin, maka al-Ghazali mendapatkan bahwa tidak ada dalam berbagai ilmunya memenuhi maksudnya, melainkan didasarkan kepada perasaan dan akal. Setelah memikirkan kembali akan ilmu tersebut, ternyata ia menyesatkan, karena eksperimennya terhadap ilmu yang didasarkan kepada perasaan itu menunjukkan tidak benar (Sulaiman, op.cit. hal. 11).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, al-Ghazali menetapkan dalam kitabnya “al-Munqidz Min al-Dalal” antara lain:
…berhentilah keraguan-keraguanku, sehingga diriku tidak menyerahkan dengan penyerahan aman lagi kepada sesuatau yang dirasakan dan telah menjadikan keraguan yang meluas. Dia mengatakan, dari mana hal-hal indrawi (perasaan) bisa dipercaya, sedangkan perasaan indra yang paling tajam adalah mata. Perasaan indrawi (penglihatan) memandang baying-bayang itu diam, tidak bergerak, dan kamu menetapkan tidak adanya gerak. Dengan percobaan dan persaksian setelah sesaat kemudian, kamu akan tahu benar bahwa ia gerak sedikit demi sedikit terus berkesinambungan, tidak berhenti. Begitu juga, memandang bintang yang ukurannya kelihatan kecil, tetapi dalil-dalil astronomi menegaskan bahwa ukurannya jauh lebih besar disbanding dengan bumi ini (al-Ghazali, op.cit. hal 5).
Begitulah kepercayaan al-Ghazali terhadap pengetahuan indrawi lenyap, tinggal yang didasarkan kepada akal, akan tetapi keraguan mengenai kesahan dan validitasnya menimpa al-Ghazali juga. Maka, ternyata akal itulah yang menunjukkan ketidak benaran sesuatu yang didasarkan kepada indrawi (Sulaiman, loc. Cit.). dan al-Ghazali menjadi bingung tidak tahu membedakan mana yang benar dan mana yang bohong, hingga dia sembuh dari penyakit keraguan dan kebimbangan dan kembali kepada semula dengan mengokohkan hal-hal yang berdasarkan akal (Ibid. hal. 11). Hal itu bukanlah dengan aturan argumentasi dan teraturannya kalam, akan tetatpi berkat Nur Ilahi tersebut merupakan kunci dari sebagian besar ilmu pengetahuan. Barangsiapa yang berasumsi bahwa keterbukaan itu hanya bergantung kepada dalil-dalil semata, berarti mempersempit rahmat Allah yang Maha Luas (al-Ghazali, Op.cit. hal.7).
C. Konstribusi Pemikiran Al-Ghazali
Setelah sembuh dari penyakit keraguan tersebut, al-Ghazali belajar ilmu pengetahuan tiap-tiap golongan dan tidak memperoleh keyakinan, selain aliran tasawuf dan ddia mengokohkan, bahwa mereka itulah yang paling benar ilmunya, paling suci akhlakqnya dan itulah sebenarnya yang dekat kepada Allah (Sulaiman, op.cit. hal. 12).
Metode yang dipergunakan untuk mendiskusikan topic-topik masalahnya, mirip dengan metode Dekaart karena keduanya sama-sama untuk berupaya melepaskan diri dari adat dan tradisi, teori-taori yang berlaku dan rantai-rantai (simpul-simpul) yang membelenggu pikiran mereka. Dan al-Ghazali telah sampai kepada inti atau hakikat yang telah dicapai oleh Dekaart pada masa sesudahnya, yaitu tidak percaya kepada pengetahuan idrawi yang didasarkan kepada perasaan (Ibid. hal. 12).
La-Ghazali termasuk pemimpin dan tokoh agama Islam, sehingga dijuluki “Hujjatul Islam”, karena dia menentang semua aliran filsafat dalam kitabnya “Tahafutul Falsafiyah”, juga dia menolak semua aliran yang menyalahi aliran Islam secara umum. Al-Ghazali dianggap juga sebagai kritikus yang ulung akan ilmu pengetahuan, pemikiran yang berlian dan berpandangan jauh. Dia mengerahkan kehidupan, untuk kesempurnaan manusia yang tujuan akhirnya mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, dia senang sekali mengajarkan ilmu pengetahuan kepada manusia, yang bisa mengantarkan mereka kepada tujuan ini, dengann harapan agar member dampak positif bagi perbaikan individu dan penyebaran fadilah (keutamaan) di antara manusia. Maka karena lantar belakang inilah, dia sebagai pendidik yang mengadakan reformasi di tengah-tengah kehidupan masyarakat itu (Ibid. hal 13).
D. Kerangka dan Konsepsi Pendidikan Al-Ghazali
Al-Ghazali telah menciptakan suatu teori pendidikan yang sempurna dan tuntas. Hal ini mempunyai hubungan erat dengan filsafatnya yang bersifat sufistik. Dengan kata lain, pendidikan al-Ghazali merupakan pengejawantahan dari filsafatnya. Kemudian, untuk membudayakan filsafat tersebut guna mencapai tujuan yang dicita-citakan, dia menggunakan sarana pendidikan. Pengertian pendidikan secara umum berarti penyebaran pengalaman dari generasi ke generasi selanjutnya (Sayid Husain dan Ali Asraf, 1976: 51), al-Ghazali menganggap kegiatan mendidik dan mengajar itu termasuk usaha besar dan mulia seperti dinyatakan:
ومهما اِشْتَغَلَ بِالتَّعْلِيْمِ فَقَدْ تَقَلَّدَ اَمْراً عَظَيْماً وخطراً جَسِيْماً فَلْيَحْفَظْ اَدَابَهُ وَوَظَائِفَتَهُ
“Barangsiapa yang senang memilih profesi mengajar (mendidik), maka berarti dia menangani karya besar dan usaha raksasa. Justru itu, peliharalah adab kesopanan, akhlaq dan tugas-tugasnya” (al-Ghazali, tt: 55).
Kegiatan tersebut termasuk pekerjaan yang berat, namun merupakan profesi yang terhormat dan mulia, sebagaimana ditegaskan oleh al-Ghazali:
وَاَشْرَفُ مَوجُودٍ علَى الارضِ جِنْسُ الْاِنْسِ وَاَشْرَفُ جُزْءٍ مِنْ جَوَاهِرِ الْانْسَانِ قَلْبُهُ وَالمْعَلِّمُ مُشْتَغِلٌ بِتَكْمِيْلِهِ وَتَجَلِّيَتِهِ وَتَطْهِيْرِهِ وسِيَاقَتِهِ إلَى الْقُرْبِ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَتَعْلِيْمُ الْعِلْمِ مِنْ وَجْهٍ عِبَادَةٌ لِلهِ تَعَالَى وَمِنْ وَجْهٍ خِلاَفَةٌ لِلّهِ وَهُوَ مِن اجل خِلاَفَةِ اللهِ فَاِنَّ اللهَ قَدْ فَتَحَ عَلىَ قَلْبِ الْعاَلم العِلْمَ الَّذِى هُوَ اَخَصُّ صِفَاتِهِ كَالخْاَزِنِ لِأَنْفُسِ خَزَائنِهِ
“Makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, bagian manusia yang paling mulia adalah hatinya. Sedangkan guru atau pendidik berusaha untuk menyempurnakan, membesarkan, membersihkan, menuntun atau membimbingnya untuk mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung. Pada satu segi, mengajarkan ilmu itu adalah ibadah kepada Allah, dan di segi yang lain adalah memenuhi tugas kekhalifahan Allah di bumi, karena Allah telah membukakan hati seorang yang berpengatahuan merupakan sifatnya yang teristimewa. Ia menyimpan hakikat barang itu sendiri” (Ibid. hal. 14).
Dari ilustrasi di atas, kita dapat mengambil satu pengertian bahwa pendidikan menurut al-Ghazali ialah suatu usaha untuk menyempurnakan, membersihhkan dan membimbing subyek didik guna mendekatkan diri kepada Allah swt. Al-Ghazali sangat menekankan pembentukan kepribadian luhur yang dapat mempengarauhi cara berpikir, bersikap, bertingkah-laku yang mencerminkan nilai-nilai religi. Pendidikan yang digagas oleh al-Ghazali identik dengan pendidikan karakter yang dalam terminology agama disebut dengan akhlak yang penuh nilai dengan nilai religi. Al-Ghazali memotret kehidupan masa di depan dapat diciptakan dengan mewujudkan pendidikan tersebut dengan cara mengubah maindset, yaitu pola pikir yang terikat dengan nilai-nilai al-Khaliq, Allah swt.
Jadi, yang menjadi sasaran pendidikan al-Ghazali, bukan sekedar kecerdasan intelektual semata, tetapi kecerdasan spiritual menjadi perhatian besar pendidikan tersebut merupakan pewarisan budaya secara generatif untuk melahirkan insane-insan yang unggul dan bermartabat.
E. Metode Pendidikan Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam upaya membentuk dan menanamkan kepribadian dan kebiasaan yang terpuji, cenderung memulai sedini mungkin dengan harapan agar terbiasa setelah besar, kemudian dia mengatakan:
اِعْلَمْ انَّ الطَّرِيْقَ فِى رِيَاضَةِ الصِّبْيَانِ مِنْ اَهَمِّ الْاُمُوْرِ وَاَوْكَدِهَا وَالصَّبِيُ اَمَانَةٌ عِنْدَ وَالِدَيْهِ وَقَلْبُهُ الطَّاهِرُ جَوْهَرَةٌ نَفِيْسَةٌ... فَاِنْ عَوّدَ الخَيْرَ وَعَلَّمَهُ نَشَاءَ عَلَيْهِ وَسعدَ في الدُّنْياَ وَالْاَخِرَةِ وَاِنْ عُوِّدَ الشَّرَّ واهْمَلَ اهْمَالَ الْبَهَائِمِ شَقَى وَهَلَكَ... وَصِيَانَتُهُ بِأَنْ يُؤَدِّبَهُ وَيهُذِّبَهُ وَيُعَلِّمَهُ محَاسِن الْاَخْلاَقِ وَيَحْفَظَهُ مِنْ قرْنَاءِ السُّوْءِ
“Ketahuilah, bahwa cara (metode) melatih anak termasuk salah satu hal yang terpenting dan perlu sekali. Anak tersebut adalah amanah Allah di tangan kedua orangtuanya; hatinya bersih ibarat permata yang mahal harganya. Maka apabila ia dibiasakan dengan sesuatu yang baik dan dididik, dia akan hidup dengan dengan sifat-sifat yang baik dan akan hidup bahagia di dunia dan akhirat. Juga sebaliknya, jika terbiasa dengan kebiasaan yang jelek, dibiarkan seperti halnya binatang, maka ia akan hancur dan musnah. Pemeliharaan orang tua terhadap anak tersebut adalah dengan jalan mendidik, mengasuh dan mengajarnya dengan akhlak yang mulia serta menyingkirkannya dari lingkungan yang jahat.” (al-Ghazali, tt: 69-70).
Metode yang ditawarkan al-Ghazali, yaitu sebagai berikut:
1. Pembeasaan berperilaku baik
2. Menjauhkan peserta didik dari perilaku jelek.
3. Penanaman budi akhlak karimah
4. Menciptakan lingkungan yang baik.
5. Membentengi peserta didik dari pengaruh lingkungan yang jahat.
DAFTAR PUSTAKA
- Al Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Jus I dan III ,Darul Ihya’il kutub al Arabiyah, Isa al Babi, al Halaby, Tt
- __________, Al Munqidz min al zhalal, Mesir – Cairo, 1977
- Al Ma’arif , Cairo 1927. Muhammad Athiyah al Abrosyi , Tarbiyatul Islamiyah, TP, 1964
- Astute, Rahmani, Risalah Bandung,1986
- Husain, Syaed dan Syaed Ali Asraf. Krisis Muslem Education, Terjemahan
- Munawir, Ahmad Warson, Al Munawir Kamus Arab – Indosesia , Unit Pengadaan Buku Keagamaan Ponpes Al Munawir ,Tt.
- Mursi, Ahmad dan Said Ismail Ali, Tarikhut Tarbiyah Wat Ta’lim, Alam Al Kutub, Cairo, 1974
- Nahdah , Cairo, 1984. Muhammad Luthfi Jum ‘ah ,Tarikh Falsafatil Islam Fi al Masyriq Wa al Maghrib
- Sulaiman, Fathiyah Hasan , Al Madzhabut Trbiyah ‘Indza Al Ghazali, Makt
- Sunaryono, 2012. “Tantangan Dunia Pendidikan Semakin Kompleks” Harian Fikiran Rakyat on Line
- Thabbana, Badwi, Muqaddimah Ihya’ Ulumiddin Jilid I,Darul Ihya’il Kutub al Arabiyah,Isa al Babi al Halaby, Cairo Tt
_________________________
[1] Al Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Jus I dan III ,Darul Ihya’il kutub al Arabiyah, Isa al Babi, al Halaby, Tt
[2] __________, Al Munqidz min al zhalal, Mesir – Cairo, 1977
[3] Al Ma’arif , Cairo 1927. Muhammad Athiyah al Abrosyi , Tarbiyatul Islamiyah, TP, 1964
[4] Astute, Rahmani, Risalah Bandung,1986
[5] Husain, Syaed dan Syaed Ali Asraf. Krisis Muslem Education, Terjemahan
[6] Munawir, Ahmad Warson, Al Munawir Kamus Arab – Indosesia , Unit Pengadaan Buku Keagamaan Ponpes Al Munawir ,Tt.
[7] Mursi, Ahmad dan Said Ismail Ali, Tarikhut Tarbiyah Wat Ta’lim, Alam Al Kutub, Cairo, 1974
[8] Nahdah , Cairo, 1984. Muhammad Luthfi Jum ‘ah ,Tarikh Falsafatil Islam Fi al Masyriq Wa al Maghrib
[9] Nuh, Abdullah Bin, Kamus Arab –Indonesia – Inggris, Mutia Jakarta 1974
[10] Sulaiman, Fathiyah Hasan , Al Madzhabut Trbiyah ‘Indza Al Ghazali, Makt
[11] Sunaryono, 2012. “Tantangan Dunia Pendidikan Semakin Kompleks” Harian Fikiran Rakyat on Line
[12] Thabbana, Badwi, Muqaddimah Ihya’ Ulumiddin Jilid I,Darul Ihya’il Kutub al Arabiyah,Isa al Babi al Halaby, Cairo Tt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar