Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati

A.    ISTIHSAN
1.    Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah istihsan ialah meninggalkan qiyas yang nyata untuk menjalankan qiyas yang tidak nyata atau meninggalkan hukum kulli untuk menjalankan
hukum istisna’i (pengecualian) disebabkan ada dalil yang menurut logika membenarkanya.
2. Kehujahan Istihsan
a)    Golongan syafi’iyah menolak istihsan karena berhujah dengan istihsan dianggap menetapkan suatu hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata mata didasarkan hawa nafsunya
b)    Golongan Hanafiyah dan Malikiyah memperbolehkan istihsan dengan pertimbangan istihsan merupakan usaha melakukan qiyas khafi dengan mengalahkan qiyas jally.ini semata mata untuk kemaslahatan kehidupan.
B.    Maslahah-Mursalah
1.    Pengertian Maslahah Mursalah
Kata maslahah yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan maslahat, berasal dari Bahasa Arab yaitu maslahah. Maslahah ini secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan.
Sedangkan menurut istilah atau epistemology, maslahah diartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi (w. 997H.) menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ‘alamaqsudi-syar’i bidaf’i-l mufaasidi ‘ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluq). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan.
2.    Pendapat Golongan Yang Menolak Maslahah Mursalah
Pertama, masalahat itu ada yang dibenarkan oleh syara’, ada yang ditolak oleh syara’ dan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak oleh syara’) tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan.
Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu.
Ketiga, bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang.
Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam.
3.    Pendapat Ulama Yang  Menggunakan Maslahah Mursalah
Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilah yakfi al-‘amal biz-zann, beramal berdasarkan kepada zann dianggap cukup karena semua fiqih adalah zann.
Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau maslahah-mursalah berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu (bahasan dibawah). Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat.
Ketiga, Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-masalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad.
Keempat, tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan.

4.    Persyaratan dan Ruang Lingkup Maslahah-Mursalah
Al-Ghazali membuat batasan operasional maslalah-mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam; pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Ketiga, maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan daruriyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qat’i atau zann yang mendekati qat’i. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qat’iyah, daruriyah,dan kulliyah. 
Dalam catatan yang lain ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Imam asy-Syafi’i menolak maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, karena Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, menolak istihsan sebagai dasar penetapan hukum Islam. Namun pendapat tersebut dibantah oleh Imam Haramain dan muridnya Imam al-Ghazali yang nota bene-nya juga sama-sama dari mazhabn asy-Syafi’iyah dengan cara menghadirkan beberapa contoh hasil ijtihad Imam asy-Syafi’i berdasarkan kepada maslahah-mursalah.
C.    Al-ISTISHAB
1. Pengertian al-istishab
Adapun secara bahasanya pengertian Al-Istishab adalah menuntut bersahabat, atau menuntut beserta atau mencari rakan dan menjadikannya sebagai sahabat. Manakala secara istilahnya, Istishab menurut ulama ushul fiqh membawa maksud menetapkan hukum  pekerjaan yang ada pada masa yang lepas, karena disangka tidak ada dalil pada masa yang akan datang .
Menurut imam as-syaukani bahawa arti Al-Istishab yaitu  menghukumkan sesuatu hukum  sama seperti hukum  pada masa lalu sehingga ada dalil yang mengubahnya. Sementara itu Ibnul Qayyim memberikan erti Istishab yaitu  menetapkan berlakunya suatu hukum  yang telah ada atau meniadakan sesuatu yang memang tiada sampai ada bukti yang merubahkan kedudukannya .
2.  Pembahagian Istishab.
a.    Istishab al- Bara'ah al-Ashliyyah
artinya kebebasan dasar yang oleh Ibnul Qayyim diberi istilah : Bara'ah al-'adam al-ashliyyah" seperti bebas diri dari beban dan kewajiban (taklif) syar'I sampai ada dalil yang menunjukan kepada adanya taklif. seperti orang kecil terbebas dari taklif sampai mencapai umur usia dewasa.
b.    Istishab Al-Ibahah Al ashliyyah
yaitu berlandaskan kepada prinsip bahawa asal sesuatu itu adalah mubah (harus). Keberadaannya diakui oleh syara' dan akal. Istishab ini banyak berperan dalam mengistimbatkan hukum  dalam perkara mua'malat. Istishab ini mempunyai prinsip bahawa hukum  asal sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan ini selama ketiadaan dalil yang melarangnya. Terdapat kaedah fiqh yang selari dengan istishab al-ibahah al-ashliyyah:  الا صل في الا شياء ا لابا حة Hukum asal sesuatu adalaha boleh. Terdapat firman Allah swt yang selari dengan ketentuan istishab al-assliyyah yaitu:
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.
c.    Istishab Al Hukm
yaitu  Istishab yang berdasarkan atas prinsip bahawa sesuatu hukum  tetap berjalan selama mana tidak ada dalil yang mengubahnya . selari dengan itu hukum  boleh atau larangan tentang sesuatu tetap akan berjalan sehinggalah ada dalil yang melarangnya untuk yang mubah dan ada yang mengharuskannya perkara yang dilarang.
d.    Istishab Al Wasf
yaitu Istishab yang didasarkan atas anggapan bahawa sifat yang diketahui ada sabelumnya masih tetap ada sehingga ada bukti yang mengubahnya, seperti sifat hidup bagi orang yang hilang . Sifat ini di anggap masih tetap melekat pada orang yang hilang sampai ada indicator atas kematiannya. Kafalah (jaminan/tanggungan adalah sifat syar'i yang melekat pada orang yang menanggung hingga ia membayar hutangnya.
3. Pendapat Fuqaha Tentang Istishab
Ulama fiqh bersepakat menggunakan tiga macam istishab yang telah dibincangkan di atas. Meskipun pada prinsipnya ketiga macam istishab ini telah diterima secara consensus, namun untuk penerapannya pada kasus-kasus tertentu tetap tak terhindarkan adanya perbezaan pendapat.
Adapun istishab macam yang keempat, yakni istishab Al-wasf, baik merupakan sifat yang melekat pada setiap orang atau sifat yang baru datang, di antara ulama fiqh masih terjadi perbezaan pendapat mengenai criteria pemakaian istishab tersebut. Ulama mazhab Syafi'I dan Hanbali menggunakanya secara mutlak ertinya istishab ini boleh di jadikan sebagai dalil dalam menetapkan hukum , baik dalam perkara yang menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan hak yang sudah ada.
Contohnya ialah orang yang hilang, bahawa menurut istishab al wasf seseorang yang telah hilang dan tidak tahu tempatnya tetpa di anggap hidup sampai ada bukti yang menunjukkan orang tersebut telah meninggal, kalau ia masih tetap hidup maka orang tersebut akan mendapat haknya seperti mana hak orang hidup yang lain seperti harta dan isterinya masih di anggap miliknya dan samada kalau ahli warisnya meninggal maka ia tetap boleh mewarisi harta yang di tinggalkan.
Sementara itu, ulama mazhab Hanafy dan Maliky memakai istishab al-wasf sebagai sifat terbatas pada hal yang bersifat penolakan, bukan yang bersifat penetapan. ertinya istishab itu tidak menerima masuknya hak-hak baru bagi empunya sifatnya, akan tetapi mempertahankan hak-hak yang telah dimilikinya .
4.    Kedudukan Istishab Sebagai Metod Istinbat Hukum
Para ulama telah berbeda penadapat dalam menyatakan kedudukan istishab sebagai dalil syara' . kalangan ulama dalam mazhab Maliki, Hambali, dan Syafi'I menjadikan istishab sebagai dalil yang menetapkan hukum  yang telah ada selama mana tidak ada dalil dalam menetapkan hukum  yang telah ada selama mana tidak dalil yang mengubahnya, baik secara qath'I atau zhanni maka hukum  itu tetap berlaku kerana di anadaikan belu ada perubahan terhadapnya .
Manakala kalangan ulama mutakallimin menyatakan bahawa istishab tidak boleh di jadikan sebagai dalil kerana mereka menyatakan hukum  yang telah ditetapkan pada masa lalu mestilah bersandarkan kepada dalil, begitu juga dalam menetapkan hukum  dalam perkara sekarang dan yang akan datang.
Pendapat ulama mutaakhirin menyatakan boleh menerima istishab sebagai hujjah untuk menetapkan hukum  yang telah ada sebelumnya dan menganggap hukum  itu tetap berlaku pada masa datang sehingga ada dalil mengubahnya, namun istishab tidak boleh digunakan menetapkan hukum  yang akan ada (baru).
D.    MAZHAB SHAHABY
1.    Pengertian
Dari segi bahasa sahabat bererti berkawan, bergaul, ataupun bersama-sama, sama ada lama atau sekejab. Manakala pengertian sahabat dari segi istilah yaitu  orang yang berjumpa dengan Nabi saw, beriman dan mati dalam Islam .
Menurut ahli hadis yaitu  setiap orang yang berjumpa dengan Nabi yang beriman dan mati dalam Islam walaupun sekejab seperti al- Ashath bin Qiis yang memeluk Islam pada tahun 10 hijriah dan Nabi saw meninggal selepas itu, dan pula tidak di syaratkan menyertai peperangan bersama Nabi saw. Walaupun mereka berjumpa dengan Nabi saw dalam masa yang sekejabjuga di anggap sebagai sahabat karena memandangkan kepada kemuliaan dan ketinggian Rasulullah saw sehingga orang yang melihatnya di anggap sebagai sahabat.
Selanjutnya pendapat dari Ulama Ushuliyyin tentang defenisi sahabat ialah setiap orang yang hidup bergaul dengan Nabi saw dalam jangka yang panjang dan menimba ilmu dari Nabi saw sepertri Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah bin Umar, mereka adalah orang berjasa dalam menyampakan Islam kepada genenrasi sesudahnya
2.    Macam-Macam Madzhab Sahabi
Abu zahrah menyatakan mazhab sahabi terdiri dari bebarapa bentuk, yaitu :
a.    Apa yang disampaikan oleh sahabat itu adalah berita yang didengarnya daripada Nabi saw, tetapi tidak menyataka bahawa berita itu sebagai sunnah Rasulullah saw.
b.    Apa yang di sampaikan sahabat adalah sesuatu yang didengari dari orang pernah mendengarnya daripada Nabi saw, tetapi orag itu tidak pernag menjelaskan bahawa yang didengarnya berasal daripada Nabi saw.
c.    Sesuatu yang disampaikan itu itu adalah hasil pemahaman sahabat terhadap ayat Al-qur'an yang orang lain tidak memahaminya.
d.    Sesuatu yang disampaikan oleh sahabat itu telah disepakati lingkungannya
e.    Apa yang disampaikan oleh sahabat merupakan hasil pemahaman atas dalil-dalil kerana kemampuannya dalam bahasa dan penggunaan dalil.
3.    Pendapat Ulama Tentang Madzhab Sahabi
a.    Pendapat sahabat yang bukan berasal dari pada hasil ijtihadnya. Ulama bersepakat bahawa boleh di jadikan sebagai hujjah dalam mentapkan hukum  bagi generasi sesudahnya.
b.    Pendapat sahabat yang di sepakati secara tegas di kalangan mereka yang di kenali dengan ijmak sahabat, pendapat sahabat seperti ini merupakan hujjah.
c.    Pendapat sahabat secara individu yang merupakan hasil ijtihadnya dan tidak mendapat kesepakatan di antara para sahabat, dalam hal ini ulama berselisih pendapat tentang kehujjahannya.
d.    Menurut imam Abu Hanifah beserta rakan-rakannya berpendapat bahawa perkataan shahabat itu adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: Apabila saya mendapatkan ketentuan dari kita Allah dan sunnah Rasullah saw maka saya mengambil pendapat dari shahabat beliau yang saya kehendaki dan meninggalkan pendapat beliau yang tidak saya kehendaki. saya tidak mau keluar dari pendapat shahabat-shahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain shahabat .
e.    Imam Syafi'I tidak sepakat jika salah seoarang pendapat shahabat menjadi hujjah. Beliau membolehkan melawan pendapat seluruh shahabat untuk berijtihad menetapkan pendapat yang berlainan. Karena pendapat para shahabat itu tidak lain adalah sekumpulan ijtihad perseorangan yang tidak luput dari kesalahan.
E.    AMAL AHLI AL-MADINAH
1.    Pengertian
Amal ahli madinah merupakan perbuatan penduduk Madinah pada zaman sahabat dan tabi'in yang di anggap warisan dari Rasulullah saw selama lebih kurang tiga kurun yang pertama selepas hijrah Rasulullah ke Madinah, 
Amal Ahli Madinah adalah amalan dan perbuatan yang menjadi kebiasaan bagi penduduk Madinah selepas kewafatan Rasulullah saw seperti : amalan ahli madinah yang mensyaratkan kufu' dalam perkahwinan bagi wali mujbir yang hendak mengahwinkan anak perempuan mereka, amal ahli madinah juga di sebut sebagai ijma' ahli Madinah .
2.    Pendapat Ulama Tentang Amal Ahli Madinah
Ulama berbeda pendapat dalam menyatakan kehujatan berdasarkan amal ahli madinah golongan yang pertama mengambil amal ahli madinah sebagai sumber hukum  antaranya yaitu  imam Malik r.a, sementara golongan yang kedua menolak Amal ahli Madinah sebagai hujjah syara' . Imam Syafi'I tidak mengakui amal ahli Madinah sebagai sumber hukum  kerana mereka juga sama dengan manusia tempat lain .
Imam Malik berpendapat bahawa Madinah ialah Darul Hirah yang mana Al-Qur'an diturunkan, Nabi Muhammad saw dan sahabat hidup di Madinah, pendduduk madinah lebih mengetahui tentang seba-sebab penurunan Al-qur'an, inilah keistimewaan penduduk Madinah, maka dengan sebab ini amal ahli madinah di dahulukan daripada qiyas dan khabar ahad .
F.    SAADZ  DZARI’AH
1.    Pengertian Dzariah
Secara etimologi, dzari’ah berarti jalan yang menuju kepada sesuatu. Secara umum dzari’ah mengandung dua pengertian, yaitu saad al-dzari’ah (sesuatu yang dilarang) danfath dzariah (sesuatu yang dituntut dilaksanakan).
Menurut imam Asy Syatibi adalah melaksanakan sesuatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan). Contohnya seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun belum haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
2.    Jenis Saad Dzari’ah
a)    Dzari’ah dari segi kemafsadatan
Menurut Imam Asy Syatibi, terbagi atas 4 jenis, yaitu:
1)    Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya menggali sumur di depan rumah orang lainpada waktu malam dan menyebabkan pemilik rumah tersebut jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
2)    Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan. Misalnya menjual makanan yang tidak mengandung kemafsadatan
3)    Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.  Misalnya menjual senjata kepada musuh.
4)    Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan,
b)    Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagiannya ada 2 jenis, yaitu:
1.    Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan mafsadat
2.    Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan haram, baik disengaja ataupun tidak. Seperti seorang lelaki menikahi wanita yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bias kembali pada suaminya yang pertama (nikah at-tahlil)
3.    Kehujjahan Saad Dzari’ah
Ulama Malikiyyah dan ulamaHanabilah menyatakan bahwa saad dzari’ah dapat diterima sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukumsyara’, dengan alasan hal tersebut berdasarkan pada:
a)    Surat Al-An’am  108 “dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan”
b)    Sabda Rasulullah SAW “sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat keduaorang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang ‘wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya?’ Rasulullah menjawab, ‘seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicacimaki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicacimaki orang itu,” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Syi’ah dapat menerima saad dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya pada kasus-kasus lain. Imam Syafi’I memperbolehkan seorang yang uzur, sakit, musafir untuk meninggalkan shalat jum’at dan menggantinya dengan shalatdzuhur. Orang yang uzur tidak puasa diperbolehkan, tetapi jangan makan didepan orang lain yang tidak megerti uzurnya,karena akan menimbulkan fitnah.
Ulama Hanafiah menggunakan saad dzari’ah dalam berbagai kasus hukum. Misalnya mengatakan bahwa orang yang melaksanakan puasa yaum al syakk (akhir bulansya’ban yang diragukan apakah telah masuk bulan ramadhan atau belum) sebaiknya dilakukan secara diam- diam, apalagi bila ia seorang mufti.
G.    ‘Urf
1.    Pengertian ‘urf
Secara etimologi,urf berarti baik, kebiasaan dan sesuatu yang dikenal. Adat dan‘Urf adalah dua kata yang sinonim (mutaradif) Namun bila digali asal katanya, keduanya berbeda. ‘adat berasal dari kata‘ada-ya’udu artinya perulangan (berulang-ulang), ‘urf berasal dari‘arafa – ya’rifu, sering diartikan dengan “sesuatu yang dikenal” (dan diakui orang banyak)
‘Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang sudah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi dalam masyarakat. Di kalangan masyarakat sering disebut sebagai adat.
2.    Perbedaan adat dengan ‘urf
Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga muncul dari sebab alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis, cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti suap, pungli dan korupsi. “Korupsi telah membudaya, terjadi berulang-ulang dan dimana-mana”.
Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu. ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak Kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. 
3.    Jenis Urf:
a.    Dari Segi Obyeknya (Materi)
1)    ‘Urf Qawli adalah kebiasaan pada lapaz/ucapan
Contoh : Lapaz daging dipahami di Padang hanya daging sapi Bila sesorang mendatangi penjual daging, dan berkata “Saya beli daging 1 kg”, sedangkan penjual daging memiliki jualan daging-daging lain dan ikan, ayam, bebek. Maka yang diamksud adalah daging sapi. Jika seorang Minang bersumpah tidak akan makan daging, tetapi setelah itu ia makan daging ikan. Maka ia tidak melanggar sumpah / tidak membayar kifarat, karena yang dimaksudkan dengan daging dalam sumpah tersebut adalah daging sapi. Walaupun menurut Al-quran, ikan termasuk daging “ﺎﻳﺮﻃ ﺎﻤﺤﻟ”. Ini berarti makna daging difahami sesuai dengan ‘urf di suatu daerah.
2)    ‘Urf Fi’li adalah kebiasaan atau perbuatan Contohnya:
a)    Kebiasaan pemilik toko mengantarkan barang belian yang berat/besar, ke rumah pembeli seperti lemari, kursi, dan peralatan rumah tangga yang berat lainnya Tanpa dibebani biaya tambahan
b)    Kebiasaan meminta agunan pada pembiayaan di bank syariah
b.    Dari segi cakupannya
a)    ‘Urf ‘Am (Umum) adalah kebiasaan yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan daerah
1)    Kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan bank syariah. ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan dunia
2)    Kebiasaan garansi pada pembelian barang elektronik. Ini juga berlaku dimana- mana.
3)    Naik Bus Way, jauh dekat, ongkosnya sama
b)    ‘Urf Khas (Khusus) adalah kebiasaan yang berlaku secara khusus di daerah tertentu
1)    Kebiasaan pembeli dapat mengembalikan barang yang cacat kepada penjual tertentu, (tetapi tidak berlaku di supermarket).
2)    Bagi masyarakat tertentu penggunaan kata “budak” untuk anak-anak dinggap merendahkan, tetapi bagi masyarakat (Malaya / Asahan tanjung Balai), kata budak biasa digunakan untuk anak-anak.
c. Dari Segi baik-buruk (Keabsahan)
a)    ’Urf Shahih Adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan  dengan syariah, sopan santun dan budaya yang luhur Contohnya:
1)    Acara halal bi halal (silaturrahmi) saat hari raya.
2)    Mengasuransikan pendidikan anak, kenderaan, rumah, barang dagangan via lautan, secara syariáh
3)    Menerapkan perencanaan keuangan (Financial Planning) dalam keuangan keluarga. Di sini juga ada maslahah
b)    ’Urf Fasid  Adat yang berulang-ulang dilakukan tetapi bertentangan dengan syariah Islam

 Sesuatu yang ditetapkan oleh kebiasaan (adat), sama seperti sesuatu yang ditetapkan oleh hukum (lihat pasal 1499 Al-Majallah al-Ahkam). Sesuatu yang sudah dikenal baik dan menjadi tradisi para pedagang, maka ia dianggap sebagai kewajiban yang disepakati di antara mereka. Seperti Uang Panjar dalam Jual-Beli.
4. Syarat-Syarat ‘Urf diterima sbg dalil
a.    ‘Urf tidak bertentangan dengan nash
b.    ‘Urf itu mengandung maslahat
c.    ‘Urf berlaku pada orang banyak
d.    ‘Urf itu telah eksis pada masa itu,bukan yang muncul kemudian
e.    ‘Urf tidak bertentangan dengan syarat yang dibuat dalam transaksi
5. Kehujjahan Urf
a.    Urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan
b.    ‘Urf bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, tetapi senantiasa terkait dengan dalil-dalil yang lain, seperti maslahah dan istihsan
c.    Urf menunjang pembentukan/perumuan hukum Islam
H.    SYAR’U MAN QABLANA
1.    Pengertian Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana berarti syari’at sebelum Islam. Para ushul fiqh sepakat menyatakan
bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelumIslam melalui para Rasul-Nya telah  dibatalkan secara umu oleh syari’at Islam. Mereka juga sepakat menyatakan bahwa pembatalan syari’at-syari’at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak  hukum-hukum syari’at sebelum Islam, seperti beriman kepa da Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukumanqishas dan hukuman bagi tindak pidana pencurian.
2.    Pendapat Para Ulama tentang Syari’at Sebelum Kita
Tentang syariat terdahulu telah jelas berupa penghapusan atau penetapan dan telah disepakati para ulama. Namun yang diperselisihkan adalah apabila pada syari’at terdahulu tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan pada mereka. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah 32: “oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.’
Jumhur ulama Hanafiah, sebagian ulama Malikiyyah, dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa hukum  tersebut disyari’atkan juga kepada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak mendapatkan hukum  yang menasakhnya. Alasannya,mereka menganggap bahwa hal tersebut termasuk diantara hukum -hukum Tuhan yang telah disyari’atkan melalui para Rasul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orangmukallaf wajib mengikutinya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa syari’at kita itu menasakh atau menghapus syari’at terdahulu,kecuali jika dalam syari’at terdapat sesuatu yang menetapkannya. Namun pendapat pertama karena syari’at kita hanya menasakh syari’at terdahulu yang bertentangan dengan syari’at kita saja.

Disusun oleh : Ahmad Ridwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar