A. DEFINISI
اَلاِْجْمَاءُ فِى اْلاِصْطِلاَحِ ْالاُصُوْلِيِّنَ هُوَ اِتِّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِى عَصْرٍ مِنَ اْلعُصُوْرِ بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُوْلِ عَلىَ حُكْمِ شَرْعِيٍّ فِى وَاقِعَةٍ
Ijma' menurut ulama uhsul fiqih adalah kesepakan para mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulallah saw, atas hukum syara' mengenai suatu hukum.
َاْلاِجْمَاءُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ اَهْلِ اْلعَصْرِ عَلَى حُكْمِ اْلحَادِثَةِ
Yang di maksud dengan ijma' adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan
hukum yang terjadi ketika itu.
Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka seakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka di sebut ijma'. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hukum syara' atas sesuatu kejadian. Dalam definisi disebutkan setelah wafatnya Rasul, karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalah sebagai rujukan hukum syara', sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara' juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bsa terwujud dari beberapa orang.
Tidak salah jika ada fuqaha yang menyatakan bahwa ijma' adalah merupakan sumber hukum islam, karena ijma' yang dimaksud adalah pokok kesepakatan ulama yang sudah menjadi dalil dalam pelaksanaan hukum islam. Di sisi lain, benar apabila ada ahli ushul fiqih yang berpandapat bahwa ijma' bukan sumber hukum islm, tetapi merupakan salah satu pendekatan dalam menetapkan hukum islam, tetapi merupakan salah satu pendekatan dalam menetapkan hukum. Ijma' itu bersumber hukum islam atau dalil hukum atau pendekatan dalam menetapkan hukum islam. Secara filosofi, pengkajian terhadap ijma di mulai dengan upaya memahami hakikat ijma' sumber ijma' dan tujuan ijma' dalam penbentukan hukum islam. Oleh karena itu, rasionalitas tentang eksistensi ijma' sangat potensial dalam membangun kebersamaan cara berfikir dalam suatu musyawarah untuk menyepakati sesuatu yang berkaitan dengan hukum islam, disebabkan telah wafatnya Rasulallah.
B. UNSUR-UNSUR
Dalam definisi telah disebtukan bahwa ijma' adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hukum syara'. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa ijma' dianggap sah menurut syara' bila mencukupi empat unsur:
1. Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. karena kesepakatan tidak mungkin dicapai dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara' ijma' tersebut tidak sah. oleh karena itu tidak ada pada masa Rasul tidak ada ijma' karena beliau sendirian sebagai mujtahid.
2. Kesepakatan atas hukum syara' mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan atau kelompoknya. bila ada kesepakatan atas hukum syara' mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid haramain, Iraq, Hijaz, keluarga nabi, atau mujtahid ahlus sunnah tidak termasuk syi'ah, maka kesepakatan masing-masing Negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hukum syara'. karena ijma' tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memilki kapasitas sebagai) mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
3. Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. pendapat itu dungkakan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas sesuatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. atau di ungkapkan secara perorangan mujtahid, kemudian setelah pendapata masing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu di ajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.
4. Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam. bila yang bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak disebut ijma' meskipun yang tidak sepakat adalah minoritas dan yang sepakat adalah mayoritas. karena jika masih ada pertentangan, maka dimunkinkan benar satu segi dan salah dalam segi lain. kesepakatan mayoritas bukanlah hujjah yang menjadi dasar hukum syara' yang memiliki kepastian dan wajib diikuti.
C. KEKUATAN IJMA' SEBAGAI HUJJAH
Bila keempat unsur tersebut tepenuhi yakni setelah wafatnya Rasul dapat didata jumlah seluruh mujtahid dunia islam dari berbagi Negara, bangsa dan kelompok, kemudian peristiwa tu diajukan kepada mereka untuk mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan pendapata hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, erkelompok atau perorangan, dan ternyata sepakat atas suatu hukum mengenai peristiwa itu, maka hukum dari kesepakatan tersebut adalah undang-undang hukum syara' yang wajib diikuti dan tidak boleh manjadikan peristiwa tersebut sebagai objek ijtihad, karena hukum yang telah ditetapkan dengan ijma' tersebut adalah hukum yang pasti, yang tidak dibenarkan menyalahi atau merubahnya.
Bukti kekuatan ijma' sebagai hujjah antara lain:
1. Al-Qur'an Surat An-Nisa' ayat 115
• • •
Arinya:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat diatas menjelaskan orang-orang yang menentang Rasul setelah jeas kebenaran baginya, kebenaran yang dibawa Rasul teah disepakati oleh umat islam, artinya sudah ijma'. Ayat itupun menjelaskan orang-orang yang menentang jalannya orang mukmin, sama dengan menentang Rasul, artinya sama dengan menentang ijma'.
Pendapat tersebut ditolak oleh para pengikut ijma'. Menurut pendapat mereka, yang dimaksud dengan ayat diatas adalah penentang Rasul yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Haramnya mengikuti jalan orang-orang non mukmin terkait dengan keadaan mereka yang telah memperoleh pentunjuk. Dengan demikian, bagi mereka tidak diperlukan ijma', jalannya orang-orang mukmin yang wajib diikuti adalah jalan yang menjadi jemabatan sehingga mereka menjadi orang-orang mukmin, sebab ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan orang-orang murtad. Ulama yang menyatakan bahwa ima' itu benar-benar dapat menjadi hujjah syar'iyyah beralasan bahwa ayat diatas menyatakan keharaman menentang Rasul dan mengikuti jalan orang kafir. Dengan demikian, mengikuti jalan Rasul dan jalannya orang-orang mukmin atau mengikuti jalannya orang-orang mukmin hukumnya wajib. Menentang Rasul berkaitan langsung dengan keimanan dan akidah umat islam, sedangkan menentang jalannya orang-orang mukmin atau mengikuti jalannya orang-orang murtad berkaitan dengan hukum. Salah satu jalan yang digunakan orang mukmin dalam mengamalkan hukum islam adalah didasarkan ijma'. Jika demikian, umat islam harus tunduk kepada ijma'.
2. Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 143
• •• ••
Artinya:
Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Ijma' yang dilakukan oleh umat Muhammad saw, harus dijadikan sumber hukum dan hujjah syar'iyyah, karena ummat Muhammad adalah umat yang paling benar, ummatan wasathan, yakni umat yang memiliki sikap keseimbangan dalam segala hal, tujuannya agar ummat Muhammad menjadi saksi adalah bersikap adil terhadap seluruh manusia. Salah satu syarat untuk menjadi saksi adalah bersikap adil. Ayat diatas menjadi dalil tentang kebenaran yang ditetapkan oleh ummat Muhammad yang bersikap adil. Oleh karena itu, ijma' ummat Muhammad merupakan kebenaran, bukan ijma' yang sepakat untuk kebohongan.
3. Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 103
•
Artinya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Perintah Allah kepada ummat islam adalah berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan berpecah belah atau bercerai berai, ayat yang secara tidak langsung memandang ijma' sebagai bagian dari upaya berpegang kepada tali Allah, yakni berpegang kepada kebenaran yang datang dari al-hakim, yang membuat hukum islam dan semua hukum yang berlaku dalam alam. Adapun bercerai-berai adalah tidak sepakat untuk berpegang kepada ijma'.
Aka tetapi, pendapat bahwa ayat tersebut sebagai ayat ijma di tentang oleh ulama' lain yang memngatakan bahwa ayat 103 surat ali imran, tidak relevan dengan maslah ijma'. Ayat itu berkaitan langsung dengan masalah perpecahan dalam agama, sehingga umat islam diperintah agar tidak berpecah-belah dengan cara berpegang kepada al-qur'an dan as-sunah bukan kepada ijma'.
Persoalan sesungguhnya bukan terletak pada definisi ijma' dan alasan sehingga ijma' harus dijadikan pegangan umat islam dalam mengamalkan ajaran islam, melainkan lebih kepada terjadi atau tidaknya ijma'. Karena ijma' yang disepakati oleh seluruh ulama di kalangan fuqaha dan ahli ushul hanya ijma' sahabat. Setlah itu, tidak ada ijma' yang disepakati, kecuali seperti sekelompok komunitas ulama madinah, bashrah, kuffah, dan selainnya yang berijma' atau nama komunitas madzhab tertentu, misalnya ijma' kaum syafi'iyyah.
Karena sifat ijma' yang berkembang seperti ini, akhirnya ijma merupakan factor yang paling berpengaruh dalam membentuk dan mengungkapkan kompleks kepercayaan dan praktik kaum muslimin, dan pada waktu yang sama juga merupakan factor yang paing membingungkan dalam batasan-batasan formasinya. Ia adalah suatu organis, dan sepeti suatu organism. Ia berfungsi dan sekaligus tumbuh setiap saat ia memiliki kekuatan dan validitas fungsional yang tinggi, dan dalam arti ini, ia bersifat final tetapi pada saat yang sama, ia juga mencipta, mengasimilas, memodifikasi dan menolak unsur-unsur dari luar darinya. Itulah sebabnya, pembentukan tak dapat dilembagakan dalam bentuk manapun juga. Kelompok ulama dan ahli hukum yang tumbuh dengan cepat pada abab 1 hijriyah atau 7 masehi dan 2 hijriyah atau 8 masehi dan masa-masa selanjtunya memang dapat membahas dan merumuskan hasil=hasil ijtihad mereka yang sangat berpengaruh, terutama bila mereka bersesuaian pendapat, akan tetapi pembentukan ijma tidak dapat diakukan dalam sebuah ruang diskusi. Ia lebih condong kepada oponi public yang cerdas, yang dalam pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya, perumusan aliran-aliran merupakan factor yang paling berpengaruh terhadap keberadaan ijma' yang dimaksudkan.
D. KEMUNGKINAN MENGADAKAN IJMA'
Sekelompok ulama, termasuk diantara kelompok an nadzam dan sebagian syi'ah berkata: ijma' dengan unsur-unsur yang telah jelas ini, menurut adat tidak mungkin untuk diadakan, karena sulit untuk memenuhi semua unsurnya. Hal itu karena tidak ada ukuran pasti, seorang sudah mencapai tingkat ijtihad atau belum, juga tidak ada patokan hukum, seseorang termasuk mujtahid atau tidak, sehingga sulit mengetahui mujtahid selain oleh mujtahid sendiri.
Apabila mungkin masing-masing mujtahid di dunia islam pada saat terjadinya suatu eristiwa itu diketahui, maka mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dalam peristiwa itu dengan cara yang meyakinkan atau mendekati yakin adalah sulit. Karena mereka tersebar di berbagai benua, di negara yang saing berjauhan, berbeda kebangsaan dan ras, maka tidak mudah mengumpulkan mereka dan mengambil pendapat masing-masing dari mereka dengan metode yang valid.
Apabila mungkin masing-masing mujtahid diketahui, dan mungkin pula mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dengan metode yang valid, apa yang menjadi jaminan bahwa mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya tentang peristiwa itu akan tetap pada pendiriannya sampai pendapat yang lain disampaikan semua? Apa yang menjadi halangan baginya untuk ragu-ragu sehingga dia menarik pendapatnya sebelum pendapat lain disampaikan? Padahal syarat keabsahan ijma' adalah keutusan sepakat dari mujtahid seluruhnya dalam satu waktu, satu hukum terhadap suatu peristiwa.
Diantara alasan yang memperkuat bahwa ijma' tidak mungkin diadakan adalah ijma' itu diadakan, maka harus disandarkan kepada dalil, karena seseorang mujtahid harus menyandarkan ijtihadnya kepada dalil. Jika dalil yang dipakai sandaran itu pasti. Menurut kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat islam tidak sulit mengetahui dalil syara' yang pasti sehingga mereka butuh untuk merujuk para mujtahid dan kesepakatan mereka, dan jika dalil itu dugaan, menurut kibasaan, tidak meungkin akan terwujud suatu kesepakatan, karena dalil dugaan pasti menimbulkan banyak pertentangan.
Ibnu hazm dalam kitabnya al-ahkam meriwayatkan pendapat abdullah bin ahmad bin hambal. Saya mendengar ayah berkata, "apa yang diakui oleh seseorang sebgai ijma adalah bohong dan siapa yang mengakui adanya ijma' dia adalah pembohong. Yang dia tau, barangkali orang-orang telah berbeda pendapat, sedangkan perbedaan pendapat itu belum berakhir. Maka sebaiknya katakanlah: kami tidak tahu bahwa orang-orang telah berselisih pendapat."
Jumhur ualama berpendapat bahwa ijma' mungkin dapat diadakan, menurut kebiasaan, mereka berkata, "apa yang dikatakan oleh penentang kemungkinan ijma' itu adalah pasti karena meragukan masalah yang terjadi." mereka menyebutkan beberapa contoh hal-hal yang telah ditetapkan sebagai hasil ijma' seperti pengangkatan abu bakar sebagai khalifah, keharaman minyak babi, bagian waris seperenam bagi nenek perempuan, cucu laki-laki dan anak laki-laki tidak mendapat bagian waris karna ada anak laki-laki dan diatara hukum rinci dan hukum global lainnya.
E. TERBENTUKNYA IJMA'
Apakah ijma' dalam pengertian seperti tersebut, setelah wafatnya Rasullah saw, pernah terjadi? Tidak. Orang yang melihat kenyataan pada masalah hukum yang telah diputuskan oleh para sahabat kemudain hukum itu dianggap sebgai ijma', akan mengetahui bahwa ijma' itu tidak dalam pengertian seperti di atas, tetapi kesepakatan dari ilmuan pada waktu itu atas hukum mengenai peristiwa yang diajukan. Kesepakatan itu pada dasarnya adalah hukum yang dihasilkan dari musyawarah orang banak, bukan pendapat perorangan.
Diriayatkan bahwa abu bakar ketika menerima suatu pengaduan masalah dan tidak mendapatkan hukumnya dalam kitab Allah ataupun sunnah, maka beliau mengumpulkan pemimpin umat serta para sahabat pilihan untuk diajak musyawarah. Bila mereka sepakat atas suatu pendapat, maka hukumnya segera dilaksanakan, demikian juga yang dilakukan umar serta sahabat pilihan yang dikumpulkan oleh Abu Bakar pada saat terjadinya pengaduan itu bukanlah pemimpin umat islam serta orang-orang pilihan secara keseluruhan, karena diantara mereka masih banyak yang ada di mekkah, syam, yaman, dan di usat jihad lainnya. Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Abu Bakar menagguhkan putusan hukum atas suatu pengaduan sampai ditemukan kesepakatan seluruh mujtahid sahabat di berbgai negara. Tetapi abu bakar memutuskan maslaah itu atas dasar kesepakatan sahabat yang hadir, karena mereka adalah jamaah dan pendapat jamaah lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang.
Demikian juga yang dilakukan Umar. Ini yang oleh ulama fiqih disebut ijma', yang pada hakikatnya adalah pembentukan hukum oleh jamaah, bukan satu orang. Peristiwa ini hanya terjadi pada masa sahabat dan sebagian masa kekuasaan amawiyah di Andalus, ketika mereka pada tahun ke dua Hijriyah membentuk kelompok ulama syura. Sehingga dalam biografinya banyak sekali diantara ulama Andalus yang termasuk anggota Ulama Syura.
Setelah masa sahabat, kecuali sebagian masa kekuasaan amawiyah di andalus tersebut, tidak pernah terjadi ijma', tidak terbukti adanya ijma' oleh mayoritas mujtahid untuk menetapkan hukum syara', dan tidak ada penetapan hukum dari jamaah, tetapi para mujtahid melakukan ijtihad di negara dan lingkungannya sendri-sendiri.
Maka penetapan hukum itu bersifat individu, bukan hasil musyawarah kadang ada kesamaan dan kadang-kadang ada pertentangan. Maksimal yang dapat dikatakan seorang ahli fiqih, "hukum tetang peristiwa ini tidak diketahui ada yang menentangnya.
F. MACAM-MACAM IJMA'
Ijma ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma' sharih yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya
2. Ijma' sukuti yaitu sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tudak terhadap pendapat yang telah dikemukakan.
Ijma' sarih adalah ijma' yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur ulama adalah suatu hujjah hukum syara'. Sedangkan ijma' sukuti adalah ijma' yang seakan-akan, karena diam tidak berarti sepakat sehingga tidak dikatakan pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma'. Dengan demikian kehujjahan ijma' ini masih diperselisihkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' sukuti bukan ijma', ia hanyalah pendapat sebagian mujtahid secara individu. U lama kelompok hanafi berpendapat bahwa ijma sukuti adalah ijma' jika mujtahid yang diam itu telah diajukan kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid, sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam. Tidak ditemukan alasan mengenai diamnya, apakah karena takut, terkena bujukan, susah, atau karena mendapat ejekan. Karena diamnya seorang mujtahid dalam kedudukannya sebagai pemeri fatwa, penjelas, dan pembentuk hukum syara' dalam waktu yang cukup untuk membahas dan mempelajari, juga tidak ada halangan untuk menyampaikan pendapatnya meskipun bertentangan adalah bukti kesepakatan dengan pendapat yang telah dikemukakan (oleh mujtahid yang lain) sebab, jika pendapatnya bertentangan, tidak mungkin dia hanya diam.
Ijma' ditinjau dari petunjuk hukumnya yang pasti atau dugaan, ada dua macam. Pertama, ijma yang mempunyai petunjuk hukum pasti, yaitu ijma sharih, yakni, hukumnya telah pasti, tidak ada jalan untuk menetapkan hukum yang lain yang betentangan dari peristiwa h ukum dan tidak boleh menjadikan objek ijtidad pada perisiwa yang telah ditetapkan dalam ijma' sharih atas hukumnya. Kedua ijma' yang mempunyai petunjuk hukum dugaan, yaitu ijma' sukuti, yakni, hukumnya sassing dugaan menurut dugaan yang kuat. Masih terbuka kesempatan untuk melakukan ijtihad pada peristiwa yang telah diduga hukumnya, karena ijma' ini cermin dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan seluruhnya.
PENUTUP
Alhamdulillahirabbil alamin
Telah selesailah tugas yang kami buat ini, tugas ini jauh dari kesempurnaan, maka oleh karena itu kami mengharapkan kepada guru pengampuh bidang stadi ini untuk agar dapat memberi kritik dan saran terhadap tugas yang kami buat ini.
Semoga tugas yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami dan umumnya bagi para siswa-siswi amiin
Billahi taufiq wal hidayah
Wassalmu alaikum Wr. Wb
BUKIT KEMUNING 2010
PENULIS
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Oleh Faiz El Muttaqin, Pustaka Amani, Jakarta, 2003.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, Dar Al Falah, 1978
Al-Waraqat Fi Ushul Al Fiqh.
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Isma'il Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.
Muhammad Khudhari Bik, Tarikh Al Tasyri' Al Islamy, Maktabah Ahmad Bin Sa'id Bin Nubhan Wa Awladuhu, Surabaya, Tt.
Muhyidin Abdussomad, Fiqih Tradisionalis Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-Hari, Pustaka Bayan, Malang, 2004
Fazlul Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Putaka, Bandung, 1994.
اَلاِْجْمَاءُ فِى اْلاِصْطِلاَحِ ْالاُصُوْلِيِّنَ هُوَ اِتِّفَاقُ جَمِيْعِ الْمُجْتَهِدِيْنَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ فِى عَصْرٍ مِنَ اْلعُصُوْرِ بَعْدَ وَفَاةِ الرَّسُوْلِ عَلىَ حُكْمِ شَرْعِيٍّ فِى وَاقِعَةٍ
Ijma' menurut ulama uhsul fiqih adalah kesepakan para mujtahid muslim pada suatu masa setelah wafatnya Rasulallah saw, atas hukum syara' mengenai suatu hukum.
َاْلاِجْمَاءُ فَهُوَ اِتِّفَاقُ اَهْلِ اْلعَصْرِ عَلَى حُكْمِ اْلحَادِثَةِ
Yang di maksud dengan ijma' adalah kesepakatan para mujtahid di suatu zaman tentang satu permasalahan
hukum yang terjadi ketika itu.
Apabila ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid kemudian mereka seakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka kesepakatan mereka di sebut ijma'. Kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa hukum itu adalah hukum syara' atas sesuatu kejadian. Dalam definisi disebutkan setelah wafatnya Rasul, karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalah sebagai rujukan hukum syara', sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara' juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatan hanya bsa terwujud dari beberapa orang.
Tidak salah jika ada fuqaha yang menyatakan bahwa ijma' adalah merupakan sumber hukum islam, karena ijma' yang dimaksud adalah pokok kesepakatan ulama yang sudah menjadi dalil dalam pelaksanaan hukum islam. Di sisi lain, benar apabila ada ahli ushul fiqih yang berpandapat bahwa ijma' bukan sumber hukum islm, tetapi merupakan salah satu pendekatan dalam menetapkan hukum islam, tetapi merupakan salah satu pendekatan dalam menetapkan hukum. Ijma' itu bersumber hukum islam atau dalil hukum atau pendekatan dalam menetapkan hukum islam. Secara filosofi, pengkajian terhadap ijma di mulai dengan upaya memahami hakikat ijma' sumber ijma' dan tujuan ijma' dalam penbentukan hukum islam. Oleh karena itu, rasionalitas tentang eksistensi ijma' sangat potensial dalam membangun kebersamaan cara berfikir dalam suatu musyawarah untuk menyepakati sesuatu yang berkaitan dengan hukum islam, disebabkan telah wafatnya Rasulallah.
B. UNSUR-UNSUR
Dalam definisi telah disebtukan bahwa ijma' adalah kesepakatan seluruh mujtahid muslim pada suatu masa atas hukum syara'. Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa ijma' dianggap sah menurut syara' bila mencukupi empat unsur:
1. Ada beberapa mujtahid pada saat terjadinya suatu peristiwa. karena kesepakatan tidak mungkin dicapai dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid, tidak ada sama sekali atau hanya seorang mujtahid saja, maka menurut syara' ijma' tersebut tidak sah. oleh karena itu tidak ada pada masa Rasul tidak ada ijma' karena beliau sendirian sebagai mujtahid.
2. Kesepakatan atas hukum syara' mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan atau kelompoknya. bila ada kesepakatan atas hukum syara' mengenai suatu peristiwa oleh hanya mujtahid haramain, Iraq, Hijaz, keluarga nabi, atau mujtahid ahlus sunnah tidak termasuk syi'ah, maka kesepakatan masing-masing Negara, kelompok dan golongan tersebut tidak sah menurut hukum syara'. karena ijma' tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua (yang memilki kapasitas sebagai) mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
3. Kesepakatan mereka diawali dengan pengungkapan pendapat masing-masing mujtahid. pendapat itu dungkakan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas sesuatu peristiwa, atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. atau di ungkapkan secara perorangan mujtahid, kemudian setelah pendapata masing-masing dikumpulkan ditemukan adanya kesepakatan. atau diungkapkan secara kolektif, yaitu semua mujtahid dunia islam berkumpul pada masa terjadinya suatu peristiwa kemudian peristiwa itu di ajukan kepada mereka, dan setelah mereka bertukar pendapat dari berbagai sudut pandang, mereka semua sepakat atas satu hukum mengenai peristiwa tersebut.
4. Kesepakatan itu benar-benar dari seluruh mujtahid dunia islam. bila yang bersepakat hanya mayoritas, maka kesepakatan itu tidak disebut ijma' meskipun yang tidak sepakat adalah minoritas dan yang sepakat adalah mayoritas. karena jika masih ada pertentangan, maka dimunkinkan benar satu segi dan salah dalam segi lain. kesepakatan mayoritas bukanlah hujjah yang menjadi dasar hukum syara' yang memiliki kepastian dan wajib diikuti.
C. KEKUATAN IJMA' SEBAGAI HUJJAH
Bila keempat unsur tersebut tepenuhi yakni setelah wafatnya Rasul dapat didata jumlah seluruh mujtahid dunia islam dari berbagi Negara, bangsa dan kelompok, kemudian peristiwa tu diajukan kepada mereka untuk mengetahui hukumnya, dan seluruh mujtahid tersebut mengemukakan pendapata hukumnya secara jelas dengan perkataan atau perbuatan, erkelompok atau perorangan, dan ternyata sepakat atas suatu hukum mengenai peristiwa itu, maka hukum dari kesepakatan tersebut adalah undang-undang hukum syara' yang wajib diikuti dan tidak boleh manjadikan peristiwa tersebut sebagai objek ijtihad, karena hukum yang telah ditetapkan dengan ijma' tersebut adalah hukum yang pasti, yang tidak dibenarkan menyalahi atau merubahnya.
Bukti kekuatan ijma' sebagai hujjah antara lain:
1. Al-Qur'an Surat An-Nisa' ayat 115
• • •
Arinya:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat diatas menjelaskan orang-orang yang menentang Rasul setelah jeas kebenaran baginya, kebenaran yang dibawa Rasul teah disepakati oleh umat islam, artinya sudah ijma'. Ayat itupun menjelaskan orang-orang yang menentang jalannya orang mukmin, sama dengan menentang Rasul, artinya sama dengan menentang ijma'.
Pendapat tersebut ditolak oleh para pengikut ijma'. Menurut pendapat mereka, yang dimaksud dengan ayat diatas adalah penentang Rasul yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Haramnya mengikuti jalan orang-orang non mukmin terkait dengan keadaan mereka yang telah memperoleh pentunjuk. Dengan demikian, bagi mereka tidak diperlukan ijma', jalannya orang-orang mukmin yang wajib diikuti adalah jalan yang menjadi jemabatan sehingga mereka menjadi orang-orang mukmin, sebab ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan orang-orang murtad. Ulama yang menyatakan bahwa ima' itu benar-benar dapat menjadi hujjah syar'iyyah beralasan bahwa ayat diatas menyatakan keharaman menentang Rasul dan mengikuti jalan orang kafir. Dengan demikian, mengikuti jalan Rasul dan jalannya orang-orang mukmin atau mengikuti jalannya orang-orang mukmin hukumnya wajib. Menentang Rasul berkaitan langsung dengan keimanan dan akidah umat islam, sedangkan menentang jalannya orang-orang mukmin atau mengikuti jalannya orang-orang murtad berkaitan dengan hukum. Salah satu jalan yang digunakan orang mukmin dalam mengamalkan hukum islam adalah didasarkan ijma'. Jika demikian, umat islam harus tunduk kepada ijma'.
2. Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 143
• •• ••
Artinya:
Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang Telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Ijma' yang dilakukan oleh umat Muhammad saw, harus dijadikan sumber hukum dan hujjah syar'iyyah, karena ummat Muhammad adalah umat yang paling benar, ummatan wasathan, yakni umat yang memiliki sikap keseimbangan dalam segala hal, tujuannya agar ummat Muhammad menjadi saksi adalah bersikap adil terhadap seluruh manusia. Salah satu syarat untuk menjadi saksi adalah bersikap adil. Ayat diatas menjadi dalil tentang kebenaran yang ditetapkan oleh ummat Muhammad yang bersikap adil. Oleh karena itu, ijma' ummat Muhammad merupakan kebenaran, bukan ijma' yang sepakat untuk kebohongan.
3. Al-Qur'an Surat Ali Imran ayat 103
•
Artinya:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Perintah Allah kepada ummat islam adalah berpegang teguh kepada tali Allah dan jangan berpecah belah atau bercerai berai, ayat yang secara tidak langsung memandang ijma' sebagai bagian dari upaya berpegang kepada tali Allah, yakni berpegang kepada kebenaran yang datang dari al-hakim, yang membuat hukum islam dan semua hukum yang berlaku dalam alam. Adapun bercerai-berai adalah tidak sepakat untuk berpegang kepada ijma'.
Aka tetapi, pendapat bahwa ayat tersebut sebagai ayat ijma di tentang oleh ulama' lain yang memngatakan bahwa ayat 103 surat ali imran, tidak relevan dengan maslah ijma'. Ayat itu berkaitan langsung dengan masalah perpecahan dalam agama, sehingga umat islam diperintah agar tidak berpecah-belah dengan cara berpegang kepada al-qur'an dan as-sunah bukan kepada ijma'.
Persoalan sesungguhnya bukan terletak pada definisi ijma' dan alasan sehingga ijma' harus dijadikan pegangan umat islam dalam mengamalkan ajaran islam, melainkan lebih kepada terjadi atau tidaknya ijma'. Karena ijma' yang disepakati oleh seluruh ulama di kalangan fuqaha dan ahli ushul hanya ijma' sahabat. Setlah itu, tidak ada ijma' yang disepakati, kecuali seperti sekelompok komunitas ulama madinah, bashrah, kuffah, dan selainnya yang berijma' atau nama komunitas madzhab tertentu, misalnya ijma' kaum syafi'iyyah.
Karena sifat ijma' yang berkembang seperti ini, akhirnya ijma merupakan factor yang paling berpengaruh dalam membentuk dan mengungkapkan kompleks kepercayaan dan praktik kaum muslimin, dan pada waktu yang sama juga merupakan factor yang paing membingungkan dalam batasan-batasan formasinya. Ia adalah suatu organis, dan sepeti suatu organism. Ia berfungsi dan sekaligus tumbuh setiap saat ia memiliki kekuatan dan validitas fungsional yang tinggi, dan dalam arti ini, ia bersifat final tetapi pada saat yang sama, ia juga mencipta, mengasimilas, memodifikasi dan menolak unsur-unsur dari luar darinya. Itulah sebabnya, pembentukan tak dapat dilembagakan dalam bentuk manapun juga. Kelompok ulama dan ahli hukum yang tumbuh dengan cepat pada abab 1 hijriyah atau 7 masehi dan 2 hijriyah atau 8 masehi dan masa-masa selanjtunya memang dapat membahas dan merumuskan hasil=hasil ijtihad mereka yang sangat berpengaruh, terutama bila mereka bersesuaian pendapat, akan tetapi pembentukan ijma tidak dapat diakukan dalam sebuah ruang diskusi. Ia lebih condong kepada oponi public yang cerdas, yang dalam pemikiran-pemikiran yang dihasilkannya, perumusan aliran-aliran merupakan factor yang paling berpengaruh terhadap keberadaan ijma' yang dimaksudkan.
D. KEMUNGKINAN MENGADAKAN IJMA'
Sekelompok ulama, termasuk diantara kelompok an nadzam dan sebagian syi'ah berkata: ijma' dengan unsur-unsur yang telah jelas ini, menurut adat tidak mungkin untuk diadakan, karena sulit untuk memenuhi semua unsurnya. Hal itu karena tidak ada ukuran pasti, seorang sudah mencapai tingkat ijtihad atau belum, juga tidak ada patokan hukum, seseorang termasuk mujtahid atau tidak, sehingga sulit mengetahui mujtahid selain oleh mujtahid sendiri.
Apabila mungkin masing-masing mujtahid di dunia islam pada saat terjadinya suatu eristiwa itu diketahui, maka mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dalam peristiwa itu dengan cara yang meyakinkan atau mendekati yakin adalah sulit. Karena mereka tersebar di berbagai benua, di negara yang saing berjauhan, berbeda kebangsaan dan ras, maka tidak mudah mengumpulkan mereka dan mengambil pendapat masing-masing dari mereka dengan metode yang valid.
Apabila mungkin masing-masing mujtahid diketahui, dan mungkin pula mengetahui pendapat mereka secara keseluruhan dengan metode yang valid, apa yang menjadi jaminan bahwa mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya tentang peristiwa itu akan tetap pada pendiriannya sampai pendapat yang lain disampaikan semua? Apa yang menjadi halangan baginya untuk ragu-ragu sehingga dia menarik pendapatnya sebelum pendapat lain disampaikan? Padahal syarat keabsahan ijma' adalah keutusan sepakat dari mujtahid seluruhnya dalam satu waktu, satu hukum terhadap suatu peristiwa.
Diantara alasan yang memperkuat bahwa ijma' tidak mungkin diadakan adalah ijma' itu diadakan, maka harus disandarkan kepada dalil, karena seseorang mujtahid harus menyandarkan ijtihadnya kepada dalil. Jika dalil yang dipakai sandaran itu pasti. Menurut kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat islam tidak sulit mengetahui dalil syara' yang pasti sehingga mereka butuh untuk merujuk para mujtahid dan kesepakatan mereka, dan jika dalil itu dugaan, menurut kibasaan, tidak meungkin akan terwujud suatu kesepakatan, karena dalil dugaan pasti menimbulkan banyak pertentangan.
Ibnu hazm dalam kitabnya al-ahkam meriwayatkan pendapat abdullah bin ahmad bin hambal. Saya mendengar ayah berkata, "apa yang diakui oleh seseorang sebgai ijma adalah bohong dan siapa yang mengakui adanya ijma' dia adalah pembohong. Yang dia tau, barangkali orang-orang telah berbeda pendapat, sedangkan perbedaan pendapat itu belum berakhir. Maka sebaiknya katakanlah: kami tidak tahu bahwa orang-orang telah berselisih pendapat."
Jumhur ualama berpendapat bahwa ijma' mungkin dapat diadakan, menurut kebiasaan, mereka berkata, "apa yang dikatakan oleh penentang kemungkinan ijma' itu adalah pasti karena meragukan masalah yang terjadi." mereka menyebutkan beberapa contoh hal-hal yang telah ditetapkan sebagai hasil ijma' seperti pengangkatan abu bakar sebagai khalifah, keharaman minyak babi, bagian waris seperenam bagi nenek perempuan, cucu laki-laki dan anak laki-laki tidak mendapat bagian waris karna ada anak laki-laki dan diatara hukum rinci dan hukum global lainnya.
E. TERBENTUKNYA IJMA'
Apakah ijma' dalam pengertian seperti tersebut, setelah wafatnya Rasullah saw, pernah terjadi? Tidak. Orang yang melihat kenyataan pada masalah hukum yang telah diputuskan oleh para sahabat kemudain hukum itu dianggap sebgai ijma', akan mengetahui bahwa ijma' itu tidak dalam pengertian seperti di atas, tetapi kesepakatan dari ilmuan pada waktu itu atas hukum mengenai peristiwa yang diajukan. Kesepakatan itu pada dasarnya adalah hukum yang dihasilkan dari musyawarah orang banak, bukan pendapat perorangan.
Diriayatkan bahwa abu bakar ketika menerima suatu pengaduan masalah dan tidak mendapatkan hukumnya dalam kitab Allah ataupun sunnah, maka beliau mengumpulkan pemimpin umat serta para sahabat pilihan untuk diajak musyawarah. Bila mereka sepakat atas suatu pendapat, maka hukumnya segera dilaksanakan, demikian juga yang dilakukan umar serta sahabat pilihan yang dikumpulkan oleh Abu Bakar pada saat terjadinya pengaduan itu bukanlah pemimpin umat islam serta orang-orang pilihan secara keseluruhan, karena diantara mereka masih banyak yang ada di mekkah, syam, yaman, dan di usat jihad lainnya. Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Abu Bakar menagguhkan putusan hukum atas suatu pengaduan sampai ditemukan kesepakatan seluruh mujtahid sahabat di berbgai negara. Tetapi abu bakar memutuskan maslaah itu atas dasar kesepakatan sahabat yang hadir, karena mereka adalah jamaah dan pendapat jamaah lebih mendekati kebenaran daripada pendapat satu orang.
Demikian juga yang dilakukan Umar. Ini yang oleh ulama fiqih disebut ijma', yang pada hakikatnya adalah pembentukan hukum oleh jamaah, bukan satu orang. Peristiwa ini hanya terjadi pada masa sahabat dan sebagian masa kekuasaan amawiyah di Andalus, ketika mereka pada tahun ke dua Hijriyah membentuk kelompok ulama syura. Sehingga dalam biografinya banyak sekali diantara ulama Andalus yang termasuk anggota Ulama Syura.
Setelah masa sahabat, kecuali sebagian masa kekuasaan amawiyah di andalus tersebut, tidak pernah terjadi ijma', tidak terbukti adanya ijma' oleh mayoritas mujtahid untuk menetapkan hukum syara', dan tidak ada penetapan hukum dari jamaah, tetapi para mujtahid melakukan ijtihad di negara dan lingkungannya sendri-sendiri.
Maka penetapan hukum itu bersifat individu, bukan hasil musyawarah kadang ada kesamaan dan kadang-kadang ada pertentangan. Maksimal yang dapat dikatakan seorang ahli fiqih, "hukum tetang peristiwa ini tidak diketahui ada yang menentangnya.
F. MACAM-MACAM IJMA'
Ijma ditinjau dari cara penetapannya ada dua:
1. Ijma' sharih yaitu para mujtahid pada satu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian dengan menyampaikan pendapat masing-masing yang diperkuat dengan fatwa atau keputusan, yakni masing-masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya
2. Ijma' sukuti yaitu sebagian mujtahid pada satu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengan fatwa atau putusan hukum, dan sebagian yang lain diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tudak terhadap pendapat yang telah dikemukakan.
Ijma' sarih adalah ijma' yang sesungguhnya, dalam pandangan jumhur ulama adalah suatu hujjah hukum syara'. Sedangkan ijma' sukuti adalah ijma' yang seakan-akan, karena diam tidak berarti sepakat sehingga tidak dikatakan pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma'. Dengan demikian kehujjahan ijma' ini masih diperselisihkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma' sukuti bukan ijma', ia hanyalah pendapat sebagian mujtahid secara individu. U lama kelompok hanafi berpendapat bahwa ijma sukuti adalah ijma' jika mujtahid yang diam itu telah diajukan kepadanya pendapat yang telah dikemukakan para mujtahid, sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam. Tidak ditemukan alasan mengenai diamnya, apakah karena takut, terkena bujukan, susah, atau karena mendapat ejekan. Karena diamnya seorang mujtahid dalam kedudukannya sebagai pemeri fatwa, penjelas, dan pembentuk hukum syara' dalam waktu yang cukup untuk membahas dan mempelajari, juga tidak ada halangan untuk menyampaikan pendapatnya meskipun bertentangan adalah bukti kesepakatan dengan pendapat yang telah dikemukakan (oleh mujtahid yang lain) sebab, jika pendapatnya bertentangan, tidak mungkin dia hanya diam.
Ijma' ditinjau dari petunjuk hukumnya yang pasti atau dugaan, ada dua macam. Pertama, ijma yang mempunyai petunjuk hukum pasti, yaitu ijma sharih, yakni, hukumnya telah pasti, tidak ada jalan untuk menetapkan hukum yang lain yang betentangan dari peristiwa h ukum dan tidak boleh menjadikan objek ijtidad pada perisiwa yang telah ditetapkan dalam ijma' sharih atas hukumnya. Kedua ijma' yang mempunyai petunjuk hukum dugaan, yaitu ijma' sukuti, yakni, hukumnya sassing dugaan menurut dugaan yang kuat. Masih terbuka kesempatan untuk melakukan ijtihad pada peristiwa yang telah diduga hukumnya, karena ijma' ini cermin dari pendapat sekelompok mujtahid, bukan seluruhnya.
PENUTUP
Alhamdulillahirabbil alamin
Telah selesailah tugas yang kami buat ini, tugas ini jauh dari kesempurnaan, maka oleh karena itu kami mengharapkan kepada guru pengampuh bidang stadi ini untuk agar dapat memberi kritik dan saran terhadap tugas yang kami buat ini.
Semoga tugas yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami dan umumnya bagi para siswa-siswi amiin
Billahi taufiq wal hidayah
Wassalmu alaikum Wr. Wb
BUKIT KEMUNING 2010
PENULIS
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Oleh Faiz El Muttaqin, Pustaka Amani, Jakarta, 2003.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, Dar Al Falah, 1978
Al-Waraqat Fi Ushul Al Fiqh.
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Isma'il Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.
Muhammad Khudhari Bik, Tarikh Al Tasyri' Al Islamy, Maktabah Ahmad Bin Sa'id Bin Nubhan Wa Awladuhu, Surabaya, Tt.
Muhyidin Abdussomad, Fiqih Tradisionalis Jawaban Pelbagai Persoalan Keagamaan Sehari-Hari, Pustaka Bayan, Malang, 2004
Fazlul Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Putaka, Bandung, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar