Berikut ini adalah Makalah SKB 3 Menteri 1975 dan Implikasinya. Semoga makalah berikut ini dapat bermanfaat untuk anda semua.
BAB I
PENDAHULUAN
Ketika Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, madrasah telah bermunculan dengan menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam. Pada waktu itu Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKIP) sebagai badan legislatif menganjurkan agar pendidikan dan pengajaran di langgar, surau, masjid dan madrasah harus terus berjalan dan ditingkatkan. Sebagai tindak lanjut dari maklumat tersebut, tanggal 27 Desember 1945 BPKIP menyarankan agar madrasah dan pondok pesantren mendapat perhatian dan bantuan materiil dari pemerintah, karena kadua lembaga tersebut pada hakekatnya adalah salah satu alat dan sumber pendidikan untuk mencerdaskan rakyat.
Pemerintah juga tidak kalah dalam memberi perhatian terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya. Hal ini terbukti dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) pada tanggal 3 Januari 1946. Dalam struktur organisasinya terdapat bagian pendidikan yang tugas pokoknya adalah mengurusi masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren). Namun perhatian yang diberikan pemerintah tersebut nampak tidak berkelanjutan. Hal ini nampak dalam undang-undang pendidikan nasional pertama (UU No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12 tahun 1954) yang tidak memasukkan masalah madrasah dan pesantren sama sekali. Undang-undang tersebut hanya mengatur pendidikan agama di sekolah (umum). Hal ini berdampak pada madrasah dan pesantren sehingga keduanya dianggap berada di luar sistem pendidikan nasional. Oleh karena itu muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren.
Seharusnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama (Depag), berusaha membuka akses madrasah ke pentas nasional, karena salah satu tujuan pembentukan departemen tersebut adalah untuk memperjuangkan politik pendidikan Islam. Terlepas dari tujuan tersebut tercapai atau tidak, banyak yang menganggap bahwa Departemen Agama telah banyak berbuat untuk memajukan madrasah. Hal itu bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang dibuat oleh Departemen Agama. Salah satu adalah dengan munculnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri pada tahun 1975.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya SKB 3 Menteri 1975
Pendidikan agama pada masa pra-kemerdekaan selain tidak diakui dalam sistem pendidikan nasional juga dianggap sebagai tempat untuk menghasut masyarakat agar melakukan perlawanan terhadap penjajah. Selain itu pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda tidak merata bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa jenis sekolah yang ada pada waktu itu. Setelah kemerdekaan, pendidikan agama belum mempunyai peran yang berarti. Hal ini disebabkan pemerintahan yang cenderung dikuasai oleh golongan nasionalis dan sekuler. Keberadaan sekolah-sekolah agama (Islam) baru diakui oleh pemerintah melalui UU No. 4 tahun 1950. Pengakuan pemerintah tersebut kemudian dipertegas dengan peraturan bersama Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan bersama Departemen Agama tertanggal 20 Januari 1951 yang menetapkan jumlah jam pelajaran agama di sekolah. Namun demikian pelajaran agama masih belum diwajibkan untuk diajarkan di sekolah-sekolah umum/negeri. Para orang tua murid-lah yang menentukan apakah anaknya boleh mengikuti pelajaran agama di sekolah atau tidak.
Kementrian Agama pada tahun anggaran 1971/1972 mengadakan sebuah penelitian dan survey melalui proyek Peningkatan Penelitian Keagamaan Kementrian Agama tentang pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah dan pendidikan di perguruan agama. Penelitian ini difokuskan pada pendidikan semua agama (Islam, Kristen, dll) di sekolah umum dan pendidikan yang dilaksanakan di perguruan agama seperti pesantren, madrasah dan lembaga pendidikan agama lain yang ada di bawah naungan Departemen Agama. Salah satu kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah alasan para siswa belajar di lembaga pendidikan agama. Tujuan utama mereka belajar di lembaga pendidikan tersebut adalahuntuk memperdalam pengetahuan agama. Penelitian tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan diadakannya sebuah seminar yang dihadiri oleh sejumlah tokoh pendidikan dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Agama, perwakilan dari perguruan tinggi, pengasuh pesantren dan beberapa pimpinan lembaga pendidikan.
Salah satu yang dibahas dalam seminar tersebut adalah makalah berjudul “Pokok Pokok Tentang Penerapan Prinsip Prinsip Penyusunan/Pengembangan Kurikulum Madrasah” yang disampaikan oleh Dr. Anwar Jasin. Makalah tersebut merefleksikan adanya keinginan untuk menyelenggarakan pendidikan di bawah “satu atap”. Skenario yang muncul pada saat itu adalah penyerahan pengelolaan pendidikan agama dari Departemen Agama kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal inilah yang kemudian melatar belakangi dikeluarkannya Keppres (Keputusan Presiden) No. 34 tahun 1972 tentang “Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan” tertanggal 18 April tahun 1972. Keppres ini-pun dipertegas dengan Inpres (Instruksi Presiden) No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasi dari Keppres sebelumnya.
Adapun keputusan yang dikeluarkan Presiden melalui Keppres tersebut pada intinya menyangkut tiga hal:
1. Kementeri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum, latihan keahlian dan kejuruan.
2. Kementeri Tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3. Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Di samping itu, kementrian agama yang semula bertugas membina lembaga pendidikan agama (pesantren, madrasah dan sekolah-sekolah agama) hanya dibebani tanggungjawab untuk menyusun kurikulum pendidikan agama saja, baik untuk sekolah umum, perguruan tinggi maupun sekolah agama. Sedangkan tanggung jawab pembinaan madrasah dan sekolah-sekolah agama sepenuhnya dilimpahkan kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Keputusan ini pada akhirnya menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagian pihak yang mendukung kebijakan tersebut berpendapat bahwa apabila tidak segera dilakukan pembenahan maka kondisi madrasah akan tetap terbelakang dan mempunyai banyak kelemahan. Ada juga anggapan bahwa apabila tidak dilakukan pembenahan maka madrasah hanya akan mencetak warga negara yang kuat dalam keyakinan agama namun lemah dalam bidang pengetahuan umum dan lapangan kerja di luar bidang agama. Sementara ada juga anggapan bahwa kebijakan tersebut akan menghilangkan wewenang Kementrian Agama dalam bidang pendidikan.
Merespon perbedaan tersebut, MP3A (Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama) berinisiatif melakukan konsultasi dengan para pengasuh pesantren serta pihak-pihak terkait. Sidang pleno MP3A yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi pada tanggal 20-23 November 1974 pada dasarnya dapat memahami dan menerima Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974. Namun demikian MP3A mempertanyakan apakah keputusan tersebut sudah dipertimbangkan dengan matang? Selain itu juga dipertanyakan tentang kemampuan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam melakukan pembinaan terhadap madrasah dan lembaga pendidikan Islam lain. MP3A beranggapan bahwa yang paling tepat untuk diserahi pengelolaan madrasah adalah Departemen Agama, karena menteri agama-lah yang paling tahu tentang konstelasi pendidikan Islam, bukan menteri dari departeman lain. Sebagai kesimpulan dari pleno yang diadakan tersebut, kesatuan sistem pendidikan bukan berarti bahwa pendidikan nasional harus berada pada satu atap (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) karena masih banyak permasalahan yang perlu dipertimbangkan. Hasil pleno ini kemudian disampaikan kepada Menteri Agama, H. Mukti Ali. Selain itu juga disampaikan bahwa apabila pesoalan yang muncul hanya berkenaan dengan kualitas pendidikan maka tidak perlu diterbitkan Keppres. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam cukup dilakukan dengan perbaikan kualitas madrasah. Usulan ini kemudian disampaikan kepada Presiden yang kemudian dibahas dalam sidang Kabinet Bidang Kesra pada tanggal 26 November 1974 yang menghasilkan kesimpulan bahwasanya Keppres dan Inpres tersbut tidak berarti menghilangkan kewenangan Kementrian Agama dalam mengelola madrasah dan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum.
Sebagai tindak lanjut dari sidang kabinet tersebut, dibentuklah sebuah tim yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah. Tim ini terdiri dari Mukti Ali dari Kementerian Agama, Teuku Syarif Thayeb dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Amir Mahmud dari Kementerian Dalam Negeri. Tim tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan yang tertuang dalam SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri: Kementerian Agama No. 6 tahun 1975, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan No. 037/U/1975 dan Kementerian Dalam Negeri dengan No. 36, th 1975 tertanggal 24 Maret 1975.
B. Materi SKB 3 Menteri 1975
SKB 3 Menteri yang bertemakan “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah” yang diterbitkan pada tahun 1975 berlaku bagi semua jenjang madrasah, baik madrasah negeri maupun swasta, madrasah di lingkungan pondok pesantren maupun di luar pondok pesantren. Sebagaimana namanya, tujuan utama SKB 3 menteri tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah agar sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Selain itu, menurut Abuddin Nata, hal keputusan bersama tersebut merupakan langkah awal masuknya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.
Secara umum isi SKB 3 menteri tersebut adalah:
1. Ijazah yang dikeluarkan oleh madrasah diakui dan mempunyai nilai yang sama dengan ijazah dari sekolah umum.
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum setingkat lebih tinggi.
3. Siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
Hal tersebut tertuang dalam bab 2 (dua) pasal 2 (dua). Sedangkan peningkatan mutu pendidikan pada madrasah, sebagaimana dijelaskan pada pasal 3 (tiga) ayat 1 (satu) meliputi beberapa bidang:
1. Kurikulum,
2. Buku-buku pelajaran, alat-alat pendidikan dan sarana pendidikan pada umumnya,
3. Pengajar.
Sementara dalam pasal 3 ayat 2 (dua) dijelaskan tentang kesesuaian tigkatan pendidikan madrasah dan sekolah umum:
1. Standar pengetahuan madrasah ibtidaiyah adalah sama dengan Sekolah Dasar,
2. Standar pengetahuan madrasah tsanawiyah sama dengan Sekolah Menengah Pertama,
3. Sementara madrasah aliyah disetarakan dengan Sekolah Menengah Atas dalam standar pengetahuan yang diajarkannya.
Sebagai konsekuensi adanya SKB 3 Menteri ini adalah bahwa seluruh madrasah harus melakukan perubahan kurikulum, dimana 70 % materi yang diajarkan merupakan ilmu pengetahuan umum dan 30 % sisanya adalah ilmu pengetahuan agama. Dengan ini pula diharapkan lembaga pendidikan Islam dapat meningkatkan kualitasnya sehingga mampu berkompetisi dengan sekolah umum. Perbedaan yang ada hanya masalah departemen pemerintah yang menaunginya. Madrasah/lembaga pendidikan Islam berada di bawah payung Departemen Agama, sementara sekolah (umum) berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Perbedaan lain adalah proporsi materi pelajaran agama Islam di kedua lembaga tersebut. Materi agama di madrasah lebih banyak dari pada materi agama yang diajarkan di sekolah.
Kelahiran SKB 3 Menteri ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah dalam sistem pendidikan nasional sebagai kongkurensi Keppres dan Inpres di atas. SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan terhadap eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif.
C. Madrasah Pasca SKB 3 Menteri
Diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang tujuan utamanya adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah dan ditetapkannya kurikulum baru untuk madrasah ibtida’iyah, tsanawiyah dan aliyah pada tahun 1976 sebagai realisasi kesepakatan tersebut tidak lantas membuat semua madrasah mau mengikutinya. Banyak madrasah yang berusaha tetap mempertahankan statusnya sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan materi-materi agama Islam sebagai materi pokok. Beberapa madrasah tetap memakai kurikulum yang dibuat sendiri meskipun SKB 3 menteri tersebut memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah sejajar dengan sekolah-sekolah umum, yaitu menyejajarkan siswa keluaran madrasah dengan siswa keluaran sekolah umum sehingga memiliki kesempatan yang sama untuk mengisi dan memainkan peran yang ada di tengah masyarakat.
Sisi positif lain dari SKB 3 menteri adalah mengakhiri reaksi keras sebagian umat Islam yang menilai bahwa pemerintah terlalu jauh mengintervensi praktik pendidikan Islam yang dilaksanakan sebelumnya. Selain itu, kebijakan ini dapat dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah umum, meskipun pengelolaannya tetap berada di bawah tanggung jawab Departemen Agama.
Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan madrasah telah sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum; dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA; dari segi muatan mata pelajaran, siswa madrasah memperoleh pengajaran ilmu sosial, sejarah, antropologi, geografi, kesenian, Bahasa Indonesia Bahasa Inggris, fisika, kimia, matematika dan lain-lain.
SKB 3 Menteri yang ada kemudian diperkuat dengan SKB 2 Menteri, antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0299/U/1984 dan Menteri Agama 045/1984 tahun 1984 tentang “Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah”. Isi SKB 2 Menteri tersebut antara lain penyamaan/penyetaraan mutu lulusan madrasah sehingga dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum yang lebih tinggi. SKB 2 Menteri ini dijiwai oleh ketetapan MPR No. II/TAP/MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan yang sejalan dengan kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum di sekolah umum maupun di madrasah sebagai salah satu upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan.
Substansi pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah ini antara lain:
1) Kurikulum sekolah umum dan madrasah terdiri dari program inti dan program khusus.
2) Program inti untuk memenuhi tujuan pendidikan di sekolah umum dan madrasah secara kualitatif adalah sama.
3) Program khusus (pilihan) yang diadakan untuk memberikan bekal kemampuan bagi para siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bagi sekolah dan madrasah tingkat menengah atas.
4) Pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan belajar dan sistem penilaian adalah sama.
5) Hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh kedua departemen tersebut (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Agama).
Menindak lanjuti SKB 2 Menteri tersebut, lahirlah kurikulum 1984 untuk madrasah yang tertuang dalam keputusan Menteri Agama No. 99 tahun 1984 bagi madrasah Ibtidaiyah, keputusan No. 100 tahun 1984 untuk madrasah Tsanawiyah, dan keputusan No. 101 tahun 1984 untuk madrasah Aliyah. Dengan demikian susunan program, tujuan, maupun bahan kajian dan pelajaran dalam kurikulum 1984 tersebut mengacu kepada SKB 3 Menteri tahun 1975 dan SKB 2 Menteri tahun 1984. Selang beberapa tahun, tepatnya pada tahun 1984, kurikulum MI dan MTs mengalami beberapa penyesuaian dan penyempurnaan dalam struktur programnya. Hal ini tertuang dalam SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987 tentang Penyesuaian Struktur Program Kurikulum MIN dan MTsN. Kurikulum yang telah disempurnakan ini kemudian berlaku sampai datangnya kurikulum tahun 1994.
Terlepas dari berbagai sisi positif sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan madrasah, mulai SKB 3 Menteri tahun 1975 sampai dengan pemberlakukan kurikulum 1984 dan penyempurnaannya, madrasah tetap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Hal ini tidak lain dikarenakan madrasah merupakan lembaga pendidikan yang sejak awal identik dengan identitas keislaman. Di satu sisi madrasah harus mempertahankan mutu pendidikan agama yang telah menjadi ciri khasnya. Di sisi lain madrasah dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas agar kualitas lulusannya sejajar dengan lulusan dari sekolah umum. Hal ini tentunya menjadi beban berat yang harus dipikul oleh madrasah. Kegagalan madrasah dalam memikul beban tersebut pada gilirannya akan memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah “sekolah yang serba tanggung”. Lulusan madrasah tidak mempunyai ilmu agama yang mumpuni, sementara pengetahuan umum yang dimiliki juga tidak seperti lulusan dari sekolah-sekolah umum. Oleh karena itu perlu pengelolaan yang baik agar terdapat keseimbangan antara ciri khas pendidikan Islam, dengan niat untuk meningkatkan mutu pendidikan yang diminta oleh perubahan zaman.
Selain itu juga terdapat kesenjangan antara madrasah swasta dan madrasah negeri. Hal ini tampaknya menjadi masalah tersendiri yang belum dapat terselesaikan secara tuntas. Kesenjangan tersebut meliputi beberapa hal, seperti pandangan guru, sarana dan prasarana, kualitas input siswa dan sebagainya. Kesenjangan yang ada secara langsung maupun tidak langsung akan membawa pengaruh pada mutu pendidikan. Hal ini dikarenakan munculnya SKB 3 Menteri tahub 1975 belum diimbangi dengan penyediaan tenaga pengajar yang mumpuni, buku pelajaran dan peralatan-peralatan yang dibutuhkan dari departemen terkait.
Beban kurikulum madrasah menjadi lebih banyak dan lebih berat dibanding kurikulum sekolah umum. Hal ini dikarenakan madrasah menerapkan kurikulum sekolah secara penuh ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas madrasah. Pihak madrasah (dalam hal ini Departemen Agama) menganggap undang-undang dan peraturan pemerintah tentang “madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam” dan “kurikulum madrasah adalah sama dengan kurikulum sekolah” diterjemahkan dengan beban kurikulum yang dibebankan kepada madrasah, yaitu 100% pelajaran umum sebagaimana di sekolah ditambah dengan 100% pelajaran agama sebagaimana di madrasah pada mulanya. Di samping itu, kondisi, fasilitas dan latar belakang siswa madrasah dan siswa sekolah umum cukup berbeda. Oleh karena itu wajar jika kualitas lulusan madrasah masih kalah jika dibanding dengan lulusan dari sekolah-sekolah umum.
Melihat kondisi yang demikian, seharusnya pemerintah tidak lagi menomor-duakan madrasah sebagai intitusi atau lembaga pendidikan. Pemerintah harus memperlakukan madrasah secara khusus sehingga dapat mengejar ketertinggalannya. Barangkali inilah yang menjadi pemikiran Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA yang menjabat Menteri Agama dengan pilot projectnya, yaitu pembentukan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus).
D. MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus)
Sejak SKB 3 Menteri 1975 dikeluarkan dan diteruskan dengan SKB 2 Menteri tahun 1984, sebenarnya secara formal madrasah sudah menjadi sekolah umum yang menjadikan pendidikan agama sebagai ciri kelembagaannya.
Ada dilema bagi madrasah sejak saat itu. Satu sisi kuantitas dan kualitas materi pengetahuan umum bagi siswa madrasah mengalami peningkatan, tapi di sisi lain penguasaan murid terhadap ilmu agama menjadi serba tanggung. Penguasaan siswa terhadap ilmu-ilmu keislaman, seperti Fiqih, hadis, Bahasa Arab, dll kurang begitu mendalam. Oleh karenanya sangat sulit untuk mengharapkan lahirnya figur kiai atau ulama dari madrasah.
Menyadari akan hal tersebut, pemerintah berusaha mengadakan terobosan-terobosan untuk mengembalikan fungsi madrasah sebagai tempat mencetak para pemimpin agama. Usaha yang dilakukan tersebut kemudian terealisasi dengan didirikannya Madrasah Aliyah yang bersifat khusus yang kemudian dikenal dengan MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus). Dengan adanya madrasah dengan program khusus ini diharapkan akan muncul figur-figur kiyai/ulama’ yang tidak hanya mumpuni dalam pengetahuan agama, namun juga menguasai ilmu-ilmu umum.
Kelahiran MAPK yang didasari Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1987, tepatnya pada masa Munawir Sjadzali, MA menjabat menteri di Departemen Agama. Sistem pendidikan madrasah menjadi perhatian Departemen Agama pada masa kepemimpinannya karena madrasah pada masa ini dianggap sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” setelah sekolah umum. Fasilitas yang minim, lokasi yang kebanyakan di pedesaan serta kurikulum yang tidak seimbang antara pendidikan agama dan umum menyebabkan lembaga ini tidak banyak menghasilkan bibit unggul bagi perguruan tinggi Islam, yaitu IAIN. Tamatan Madrasah Aliyah (MA) menjadi lebih siap masuk ke perguruan tinggi umum dari pada perguruan tinggi agama. Mereka jelas bukan merupakan bibit unggul untuk IAIN. Penguasaan agama tamatan Madrasah Aliyah bukan hanya sangat lemah, bahkan tidak dapat diandalkan untuk menjadi calon-calon ulama. Sehingga dirasa perlu untuk melakukan peninjauan kembali SKB 3 menteri untuk disempurnakan. Hal inilah yang melatar belakangi adanya pilot project MAPK.
Dalam hal ini Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Agama Badan Litbang Agama Depag bekerjasama dengan Dirjen Binbaga Islam melakukan studi kelayakan terhadap madrasah-madrasah yang ada. Dari penelitian tersebut kemudian ditunjuk lima Madrasah Aliyah Negeri sebagai pelaksana program MAPK, yaitu: MAN Darussalam (Ciamis, Jawa Barat), MAN Ujung Pandang, MAN 1 Yogyakarta, MAN Koto Baru (Padang Panjang, Sumbar), dan MAN Jember. Dalam hal ini ditetapkan bahwa kurikulum MAPK harus memuat 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum. Dengan proyek ini diharapkan pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang sejalan dengan tantangan modernitas melalui IAIN akan terwujud. Pada perjalanannya, MAPK ini kemudian berubah berubah menjadi MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) karena menyesuaikan dengan UUSPN No. 2 tahun 1989.
E. Implikasi SKB 3 Menteri
Munculnya SKB 3 Menteri tahun 1975 ini membawa dampak positif bagi pendidikan Islam di Indonesia, khususnya madrasah. Implikasi SKB 3 menteri tersebut antara lain:
Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional telah berubah dan membuka peluang bagi siswa-siswa madrasah untuk memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap. Madrasah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan kepada Departemen Agama. Secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan karena telah ada legitimasi politis tentang pengelolaan madrasah.
Aspek Kurikulum
Karena telah diakui sejajar dengan sekolah umum maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah-sekolah umum lainnya. Kurikulum madrasah berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Hal ini mengakibatkan bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu sisi ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya agar sesuai dengan standar yang ditentukan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana yang berlaku di sekolah pada umumnya. Di sisi lain, madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agama bagi para siswanya tetap baik.
Aspek Siswa
Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
1) Ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat,
2) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, dan
3) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas.
BAB III
PENUTUP
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 ternyata menimbulkan reaksi keras dari sebagian umat Islam. Inti kedua keputusan itu adalah wacana penyelenggaraan pendidikan yang sepenuhnya dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan, baik pendidikan umum maupun agama. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kebijakan ini dianggap suatu kekeliruan oleh umat Islam. Karena itu mereka melakukan reaksi keras sehubungan dikeluarkannya kebijakan tersebut. Reaksi ini ternyata dipahami pemerintah. Menyikapi reaksi umat Islam tersebut kemudian diadakan kesepakatan antara tiga menteri yang menghasilkan SKB (Surat Kesepakatan Bersama), yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama pada tahun 1975.
SKB 3 Menteri ini bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah. Peristiwa dan langkah ini kemudian dipandang sebagai momen strategis bagi eksistensi dan perkembangan madrasah pada masa berikutnya. Madrasah tidak saja tetap eksis dan dikelola oleh Departemen Agama, tetapi sekaligus diposisikan secara mantap dan tegas seperti halnya sekolah dalam sistem Pendidikan Nasional.
Hal ini jelas merupakan beban berat yang dipikul oleh madrasah. Di satu sisi ia harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya. Di sisi lain ia dituntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Melihat kondisi madrasah ini, pemerintah seharusnya tidak lagi menomor-duakan madrasah, melainkan memperlakukannya dan memperhatikannya secara khusus agar madrasah dan siswanya dapat mengejar ketertinggalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar