KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makalah ini mengambil topik tentang kekerasan pada perempuan yang akhir-akhir ini semakin marak kasusnya baik di dalam maupun luar negeri. Perbincangan tentang kekerasan pada perempuan telah berkembang yang tidak hanya menjadi suatu pertukaran argumen belaka namun menjadi suatu gerakan sosial permulaan. Penelitian kriminalitas yang dilakukan di Inggris dan Wales pada tahun 1985 (Hough and Mayhew, 1985) yang melibatkan responden perempuan menghasilkan bahwa hampir setengah dari mereka menyatakan merasa tidak aman apabila berjalan sendiri di kegelapan dibandingkan dengan responden laki – laki yang tidak mencapai setengahnya dengan kasus yang sama. Penelitian ini menunjukan bahwa perempuan masih dijadikan sasaran utama untuk tindak kejahatan.
Berdasarkan fakta – fakta yang ada, terbukti bahwa kasus kekerasan pada perempuan belum menjadi isu sentral oleh masyarakat untuk dicegah dan ditanggulangi. Ada beberapa sebab berkaitan dengan hal ini yaitu pertama, persoalan hak asasi manusia masih dianggap hanya sebagai persoalan ocial sehingga kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan di ocial ocialc tidak dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, kedua, persepsi masyarakat, tidak terkecuali masyarakat perempuan sendiri, tentang kekerasan terhadap perempuan masih terbatas pada kekerasan fisik (perkosaan), ketiga, kekerasan terhadap perempuan masih dilihat sebagai masalah antar individu, dan belum dipandang sebagai problem ocial yang berkaitan dengan segala bentuk penyiksaan, kekerasan, kekejaman dan pengabaian hak-hak perempuan sebagai makhluk Tuhan, keempat, ada gejala sinisme yang berbahaya pada sebagian masyarakat bahwa kekerasan terhadap perempuan dilihat sebagai sebab yang dimunculkan oleh perempuan itu sendiri.
1
1.2 Permasalahan
Makalah ini akan mengambil satu permasalahan utama dalam topik ini yakni jenis – jenis kriminalitas apakah yang dialami oleh perempuan dalam kehidupannya. Di sini akan dijelaskan dan dijabarkan jenis – jenis kriminalitas tersebut serta pandangan badan hukum maupun masyarakat awam akan hal ini. Masalah ini pun akan dikaitkan dengan studi jender dan budaya masyarakat tentang peran perempuan sebagai “orang kedua” dibandingkan laki – laki.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perempuan Sebagai Korban
Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena universal, terjadi pada semua lapisan masyarakat, tidak membedakan kelas sosial dan bersifat lintas budaya. Kekerasan pada perempuan dapat diartikan sebagai tindakan atau sikap yang dilakukan dengan tujuan tertentu sehingga dapat merugikan perempuan baik secara fisik maupun secara psikis (Ihromi, 2000 : 267). Terdapat empat kategori dalam kekerasan terhadap perempuan yaitu (Tong, 1984 : 125 – 126) :
a) Physical battering
Termasuk dalam kategori ini adalah penamparan, pemukulan, pembakaran, penendangan, penembakan, penusukan, dan semua bentuk kekerasan fisik non seksual.
b) Sexual battering
Yang termasuk dalam kategori kedua adalah semua kekerasan yang berkaitan dengan seksualitas seperti pemukulan di payudara atau kelamin, dan perkosaan secara oral, anal, dan vaginal.
c) Psychological battering
Kategori yang ketiga ini selalu dianggap paling minimal dampaknya namun kenyataannya justru yang paling menyakiti korban. Banyak perempuan yang mengalami kekerasan melaporkan bahwa psychological batteringmerupakan kekerasan yang paling merusak keadaan jiwa mereka.
d) The destruction pets and property
Kategori yang terakhir ini merupakan kategori yang tidak lazim dilakukan oleh para pelaku kekerasan, baik dalam segi sandang, papan, maupun properti lain milik korban.
Secara umum terdapat dua jenis kekerasan yang paling sering dialami oleh para perempuan yaitu :
a) Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Masalah kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dipengaruhi
3
banyak faktor, bersifat kompleks, dan multidimensi. Merupakan komplikasi dari faktor internal, seperti kegagalan hubungan interpersonal, disfungsi marital, personal psikopatologi. Selain itu, faktor eksternal, khususnya struktrur sosial budaya yang meminggirkan peran dan kedudukan perempuan.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan domestik adalah segala bentuk perilaku kekerasan yang terjadi dalam lingkup kehidupan keluarga. Pelaku biasanya adalah sosok yang mempunyai peran otoritas atau berstatus lebih kuat (suami atau orang tua), sedangkan korban adalah anggota keluarga yang berstatus subordinat atau lebih lemah (istri atau anak). Kekerasan dalam rumah tangga sering kali bersembunyidu balik tatanan budaya paternalistik patriarki, yang menempatkan suami sebagai sebagai kepala keluarga wajib dipatuhi. Istri sebagai ibu rumah tangga yang wajib melayani. Selain itu, anak yang harus tunduk dan patuh kepada orang tua.
Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan yaitu (Belknap, 1996 : 195) :
· Battered women syndrome
Merupakan sindroma psikologik yang ditemukan pada perempuan hidup dalam siklus KDRT yang berkepanjangan. Dicirikan dengan perilaku tak berdaya, menyalahkan diri, ketakutan akan keselamatan diri dan anaknya, serta ketidakberdayaan untuk menghindar dari pelaku kekerasan.
· Gangguan stres pascatrauma
Merupakan problem mental serius yang terjadi pada korban yang mengalami penganiayaan luar biasa (perkosaan, penyiksaan, dan ancaman pembunuhan). Ciri khas dari stres pascatrauma (PTSD) adalah penderita tampak selalu tegang dan ketakutan, menghindari situasi – situasi tertentu, gelisah, tidak bisa diam, takut tidur, takut sendirian, serta mimpi buruk, seperti mengalami kembali peristiwa traumatisnya.
4
· Depresi
Merupakan problem kejiwaan yang paling sering ditemukan pada korban KDRT. Gejala yang khas adalah perasaan murung, kehilangan gairah hidup, putus asa, perasaan bersalah dan berdosa, serta pikiran bunuh diri sampai usaha bunuh diri. Gejala depresi sering terselubung dalam wujud keluhan fisik, seperti kelelahan kronis, problem seksual, kehilangan nafsu makan (atau sebaliknya), dan gangguan tidur.
· Gangguan panik
Merupakan gangguan cemas akut yang sering dijumpai korban KDRT. Penderita mengalami serangan ketakutan katastrofik bahwa dirinya akan mati atau menjadi gila (biasanya didahului keluhan subjektif, seperti sesak napas, perasaan tercekik, berdebar – debar, atau perasaan durealisasi). Ganguan panik yang tidak ditangani dengan benar akan berkembang menjadi agorafobia, yakni takut keramaian dan cenderung menghindar dari kehidupan sosial.
· Keluhan psikosomatis
Perempuan korban KDRT sering kali datang ke fasilitas kesehatan dengan keluhan fisik kronis, seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, sesak napas, dan jantung berdebar. Namun, pada pemeriksaan medis tidak ditemukan penyakit fisik. Kondisi ini disebut sebagai gangguan psikosomatis. Keluhan psikosomatis bukan gangguan buatan atau sekadar upaya mencari perhatian. Namun, merupakan penderitaan yang sungguh dirasakan penderita, yakni konversi dari problem psikis yang tak mampu diungkapkan.
b) Perkosaan
“Perkosaan adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa kehendak
5
bersama, dipaksakan oleh satu pihak pada pihak yang lainnya.
Korban dapat berada di bawah ancaman fisik dan atau psikologis, kekerasan, dalam keadaan tidak sadar atau tidak berdaya, berada di bawah umur, atau mengalami keterbelakangan mental sehingga tidak sunguh – sungguh mengerti, atau dapat bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya” (Ihromi, 2000 : 278).
Sekitar tahun 1970, perkosaan akhirnya diakui sebagai salah satu masalah sosial yang memfokuskan dirinya pada perkosaan orang dewasa oleh orang asing. Terdapat dua jenis perkosaan yakni stranger rapes dimana korban dan pelaku tidak memiliki relasi dan acquaintance rapes ketika pemaksaan aktivitas seksual dilakukan oleh orang yang dikenal oleh korban (Belknap, 1996 : 141).
Selama perkembangannya, perkosaan dilengkapi dengan beberapa mitos yang diyakini oleh masyarakat. Mitos – mitos tersebut yaitu (Ihromi, 2000 : 278) :
a. Korban mem”provokasi” pelaku dengan tindakan – tindakan yang mengundang;
b. Perempuan dapat menghindari terjadinya perkosaan;
c. Perempuan mengaku diperkosa untuk membalas dendam, mendapat santunan, atau karena ia punya karakteristik kepribadian khusus (misal : ingin cari perhatian);
d. Perkosaan hanya terjadi di daerah asing slum pada malam hari;
e. Perkosaan dilakukan oleh laki – laki yang “sakit” atau kriminal;
f. Laki – laki yang sopan dapat terangsang untuk memperkosa karena provokasi tindakan atau pakaian yang dikenakan perempuan; dan
g. Perkosaan terjadi karena pelaku tidak dapat mengendalikan impuls – impuls seksualnya.
Mitos – mitos ini tidaklah benar setelah data menunjukkan bahwa mitos – mitos tersebut bertentangan dengan fakta – fakta yang ada.
Seorang korban perkosaan akan lebih menderita secara psikologis dibandingkan fisik.
6
Dari sisi fisik dapat terjadi luka – luka di alat kelamin dan sekitarnya, anus, mulut, maupun bagian – bagian tubuh lain, pendarahan, infeksi, dan penularan penyakit seksual, kehamilan bahkan kematian. Sedangkan secara psikologis biasanya akan dimulai dengan beberapa reaksi setelah kejadian perkosaan atau serangan seksual yaitu (Ihromi, 2000 : 279 – 280) :
a. Fase akut (segera setelah serangan terjadi)
Pada fase ini individu mengalami shock dan rasa takut yang sangat kuat, kebingungan, dan disorganisasi serta rasa lelah dan lemah yang intens. Karena itu, terdapat kemungkinan korban tidak dapat menjelaskan secara rinci dan tepat apa yang sesungguhnya terjadi pada dia, siapa penyerangnya, ciri – ciri penyerang secara detil dan seterusnya.
b. Fase kedua (adaptasi awal)
Individu menghayati emosi negatif seperti pemberontakan, rasa marah ketakutan, terhina, rasa malu, dan jijik yang kemudian dapat ditanggapi melalui represi dan pengingkaran (upaya untuk mencoba menutupi pengalaman menyakitkan, menolak mengingat lagi atau minimalisasi, menganggap yang terjadi bukan suatu hal yang sangat serius. Korban dapat menampilkan ekspresi emosi yang sangat kuat (menangis, eksplosif) atau tampil tenang dan dingin, seolah – olah tanpa penghayatan.
c. Fase reorganisasi jangka panjang
Fase ini dapat membutuhkan waktu bertahun – tahun hingga individu keluar dari trauma yang dialami dan sungguh – sungguh menerima apa yang terjadi sebagai suatu yang faktual. Pada fase ini, individu tidak jarang masih menampilkan ciri – ciri depresi, serta mengalami mimpi – mimpi buruk atau kilas balik. Tidak jarang terjadi gangguan dalam fungsi dan aktivitas seksual misalnya ketakutan pada seks, hilangnya gairah seksual, dan ketidakmampuan menikmati hubungan seks. Bahkan mengalami dysparenuia (merasakan sakit saat berhubungan seks) maupun vaginismus (kekejangan otot – otot vagina).
7
2.2 Beberapa Hal Pendorong Kriminalitas
Berikut ini merupakan hal - hal yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kriminal :
a. Diri Sendiri
Untuk terjadinya suatu pelanggaran dibutuhkan dua unsur utama yaitu niat untuk melakukan suatu pelanggaran dan kesempatan untuk melaksanakan niat tersebut. Apabila hanya terdapat satu unsur saja dalam kedua unsur tersebut, maka pelanggaran tidaklah mungkin terjadi. Terdapat beberapa faktor – faktor baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mempengaruhi kedua unsur ini. Faktor – faktor ini yaitu :
· Faktor – faktor langsung (faktor endogin)
Faktor - faktor endogin adalah faktor – faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri yang mempengaruhi tingkah lakunya, yaitu :
a) Cacat yang bersifat biologis dan psikis.
b) Perkembangan kepribadian dan intelegensi yang terhambat sehingga tidak bisa menghayati norma – norma yang berlaku (Widiyanti, 1987 : 116).
Faktor – faktor endogin ini hanya mempengaruhi unsur niat.
· Faktor – faktor tidak langsung (faktor eksogin)
Faktor - faktor eksogin adalah faktor – faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang mempengaruhi tingkah lakunya, yaitu :
a) Pengaruh negatif dari orang tua;
b) Pengaruh negatif dari lingkungan sekolah;
c) Pengaruh negatif dari lingkungan masyarakat;
d) Tidak ada/kurang pengawasan pemerintah;
e) Tidak ada/kurang pengawasan masyarakat;
f) Tidak/kurang pengisian waktu yang sehat;
g) Tidak ada pekerjaan;
8
h) Lingkungan fisik kota yang besar;
i) Anonimitas karena banyaknya penduduk kota – kota besar (Widiyanti, 1987 : 117)
Faktor – faktor eksogin dari poin a hingga c mempengaruhi unsur niat, sedangkan poin d hingga k mempengaruhi unsur kesempatan.
b. Keluarga
Keluarga merupakan faktor utama kedua yang mempengaruhi seseorang melakukan tindak kejahatan. Hubungan erat yang terjalin antara orang tua dengan anak semasa kecilnya hingga dewasa menjadikan keluarga memainkan peranan penting dalam pembentukan pola – pola tingkah laku seseorang.
Keluarga dapat diartikan sebagai :
“The family is a social group characterized by common residence, economic cooperation, and reproduction. It includes adults of whom maintain a socially approved, own or adopted to the sexually cohabiting adults” (Spiro, 1954 : 839).
Terdapat beberapa kondisi dalam keluarga yang menjadi faktor penyebab seseorang menjadi seorang kriminal yaitu :
a) Anggota – anggota keluarga yang lainnya juga penjahat, pemabuk, dan imoral.
b) Tidak adanya satu orang tua atau kedua – duanya karena kematian, perceraian, atau melarikan diri.
c) Kurangnya pengawasan orang tua, karena masa bodoh, cacat inderanya, atau sakit.
d) Ketidakserasian karena adanya yang “main kuasa sendiri”, iri hati, cemburu, terlalu padatnya anggota keluarga, atau pihak lain yang turut campur.
e) Perbedaan rasial dan agama, ataupun perbedaan adat istiadat, rumah piatu, panti – panti asuhan.
f) Tekanan ekonomi, seperti pengangguran, kurangnya penghasilan, ibu yang bekerja di luar (Martasaputra, 1973 : 271).
9
2.3 Kepedulian Hukum Terhadap Kekerasan Pada Perempuan
Beragam kebijakan hukum telah dibuat untuk menanggulangi masalah kekerasan pada perempuan. Terutama dari segi nasional, Indonesia, terdapat beberapa sumber hukum yang memiliki sumber utama dari Konvensi Wanita yaitu :
a) Hukum Perdata
Mencakup pembahasan mengenai diskriminasi yang mengacu pada pasal 1 dan pasal 2 Konvensi Wanita, lalu pasal 5 mengenai hal – hal yang berkaitan dengan pola tingkah laku sosial dan budaya pria dan wanita sebagai salah satu sumber terjadinya diskriminasi. Lalu pasal 16 mengenai penghapusan diskriminasi dalam semua unsur yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan pria dan wanita. Terakhir, pasal 15 mengenai kedudukan pria dan wanita yang sama di muka hukum.
b) Hukum Pidana
Dalam hukum pidana Indonesia mencakup sumber hukum pidana (Konvensi Wanita yang diratifikasi melalui UU No. 7/1984 dan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Bagian – bagian dalam KUHP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) mengacu pada Konvensi Wanita pasal 6 yaitu :
· Delik kesusilaan (pemerkosaan, aborsi, perdagangan wanita);
· Delik terhadap badan atau nyawa (termasuk kekerasan dalam keluarga);
· Delik terhadap harta benda.
Satu delik terakhir yang berada di luar KUHP yakni subversi (Konvensi Wanita pasal 9, Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 3).
10
c) Hukum Islam
keluarga dan Konvensi Wanita (penghapusan diskriminasi dalam bidang perkawinan dan hubungan kekeluargaan) serta mengenai diskriminasi (Konvensi Wanita pasal 1) dan pola tingkah laku sosial budaya laki – laki dan wanita (Konvensi Wanita pasal 5) sebagai salah satu sumber diskriminasi.
d) Hukum Perburuhan
Mencakup pembahasan mengenai diskriminasi dan eksploitasi (Konvensi Wanita pasal 1), penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam bidang ketenagakerjaan (Konvensi Wanita pasal 11), Konvensi ILO No. 100, isu – isu kekerasan terhadap buruh perempuan di pabrik maupun buruh imigran perempuan (Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan pasal 1, 2) dan hak – hak sipil dan politk perempuan (Konvensi Wanita pasal 7).
Terdapat beberapa hukum lain di Indonesia yang isinya terdapat kaitan dengan kekerasan terhadap perempuan yaitu hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum internasional, hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum adat, hukum pajak, dan hukum agraria. Sumber hukum utama yang mendasari daripada semua hukum nasional tentang kekerasan pada perempuan adalah Konvensi Wanita atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women yang dibuat pada tahun 1979. Konvensi ini adalah konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang diterima oleh negara – negara anggota PBB berdasarkan suatu pertimbangan hukum, bahwa diskriminasi terhadap wanita merupakan pelanggaran terhadap asas – asas persamaan hak dan rasa hormat terhadap martabat manusia (Ihromi, 2000 : 120). Konvensi yang terdiri dari 30 pasal ini meletakkan kewajiban kepada negara penandatangan maupun peserta konvensi untuk melakukan tindakan yang bertujuan menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita di berbagai bidang kehidupan. Terdapat enam bidang yang mendapat perhatian dan pengaturan dalam konvensi ini yaitu bidang sosial budaya, bidang politik, bidang hukum, bidang ketenagakerjaan, bidang ekonomi, dan bidang sipil.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkosaan dan pelecehan istri (kekerasan dalam rumah tangga) adalah yang paling umum terjadi di antara banyak kasus lain tentang kekerasan terhadap perempuan. Perempuan pun bukan satu – satunya pihak utama yang bertanggung jawab untuk hal ini namun lebih kepada laki – laki dan patriarki sosial. Keluarga yang dikenal masyarakat sebagai tempat berlindung yang aman tidak dapat menjadi satu – satunya tempat perempuan mencari pertolongan. Pada akhirnya, kedua tipe kekerasan ini bukanlah hal yang jarang terjadi namun sangat sering dan membutuhkan penanganan yang lebih serius.
3.2 Saran
Menurut Suparman Marzuki terdapat beberapa hal – hal yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi kekerasan pada perempuan berhubungan dengan pembentukan dan perubahan hukum yaitu :
a) Pembaharuan KUHP, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan kesusilaan;
b) Pembentukan aturan hukum Pembantu Rumah Tangga (PRT);
c) Pembaharuan KUHAP, dan
d) Mengkaji muatan pasal-pasal rencana menjadikan KOMNAS HAM sebagai institusi yang memiliki kekuatan yudisial, termasuk rencana pembentukan pengadilan pelanggaran HAM.
Penanggulangan kekerasan pada perempuan pun harus melibatkan seluruh lapisan, baik individu, masyarakat, maupun pemerintah. Berikut ini merupakan cara – cara yang dapat kita lakukan untuk pencegahan maraknya kekerasan pada perempuan :
a) Tidak melakukan semua jenis kekerasan (emosional, fisik, seksual, maupun ekonomi).
b) Tidak mau menjadi korban KDRT.
c) Melindungi dan senantiasa berpihak pada korban KDRT.
12
d) Melaporkan pada yang berwajib bila menyaksikan tindakan kekerasan pada perempuan.
e) Membantu korban kekerasan untuk mendapatkan pertolongan.
13
DAFTAR PUSTAKA
Dispulahta POLRI. 1991. POLRI Dalam Angka. Jakarta : Dispuhlanta POLRI.
Martasaputra, Momon. 1963. Asas – Asas Kriminologi. Bandung : Alumni
Morris, Allison. 1987. Women, Crime And Criminal Justice. Great Britain : Billing and Sons Ltd.
Pfohl, Stephen. 1994. Images of Deviance and Social Control. USA : McGraw Hill, Inc.
Purnianti dan Kemal Darmawan. 1994. Mashab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Tong, Rosemarie. 1984. Women, Sex, and the Law. New Jersey : Rowman & Allanheld.
Vold, George B. 1979. Theoretical Criminology. Oxford : Oxford University Press.
Widiyanti, Ninik dan Yulius Waskita. 1987. Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya. Jakarta : PT. Bina Aksara
Izin save
BalasHapus