Makalah Kuasa Kata dalam Panggung Politik di Indonesia. Berikut ini adalah makalah yang berjudul lengkap “Kuasa Kata dalam Panggung Politik di Indonesia”.
Pendahuluan
Bahasa merupakan asli produk manusia, dari awal sejarah perkembangan manusia bahasa telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah panjang kehidupan manusia. Melalui bahasa suatu kelompok manusia dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan kelompok manusia lainnya. Mulai dari bahasa yang sangat sederhana hingga bahasa yang paling rumit. Fungsi utama dari bahasa adalah fungsi komunikasi. Walaupun disamping fungsi utaman tersebut masih terdapat fungsi-fungsi yang lainnya, misalnya, sebagai identitas diri, kelompok bahkan sebagai identitas suatu bangsa.
Bahasa dapat dikatakan sebagai bagian dari eksistensi manusia. Bahasa sudah ada jauh sebelum kaidah bahasa. Aturan diadakan sesudah ada kata. Para ahli bahasa yang mau membuat aturan datangnya belakangan sehingga kalah dengan kebiasaan. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya, serta pandangan politik dan ideologi dari kelompok tertentu. Sebagai representasi budaya, bahasa yang sama bisa memiliki makna yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Bahkan, tak sedikit orang yang anti dan tidak pernah mau memakai atau menggunakan bahasa tertentu sebagai representasi budaya yang tidak disukainya. Atau sebaliknya, banyak orang yang cenderung suka menggunakan bahasa dari budaya tertentu yang disukainya.
Sekilas tidak ada hubungan sama sekali antara bahasa dan kekuasaan. Keduanya merupakan dua hal terpisah. Ini tentu tidak salah jika bahasa dimaknai secara konvensional, yakni sebagai sistem lambang yang terurai mulai dari unit yang paling kecil, yakni bunyi (phones), yang dikaji oleh phonology, morfem (morphemes) dan kata (words) yang dikaji oleh morphology, yang kodifikasinya dikembangkan lebih lanjut melalui leksikologi dan leksikografi, frase (phrases), klausa (clauses) dan kalimat (sentences), yang dikaji oleh syntax, makna (meanings) yang dikaji oleh semantics, tanda (signs) yang dikaji oleh semiotics, hingga teks (texts) yang dikaji lewat analisis teks (reading analysis), sedangkan kekuasaan dimaknai sebagai praktik politik oleh para politisi.
Oleh para ahli, pemilahan demikian melahirkan apa yang kemudian disebut dengan linguistik deskriptif (descriptive linguistics) yang pusat kajiannya adalah behaviour, contents dan elements bahasa yang kemudian dikenal sebagai “pure linguistics (micro linguistics)”. Selain makna bahasa terasa sempit, pemilahan tersebut melahirkan formalisme dalam linguistik, sehingga linguistik seolah hanya berjalan di atas satu rel saja.
Meskipun disepakati bahwa bahasa pada dasarnya merupakan sistem lambang (symbol), sebagai gejala khas manusia, bahasa bukan sembarang lambang (symbol), sembarang isyarat (code), ataupun sembarang tanda (sign), tetapi rangkaian lambang suara dan terucap (vocal and verbal symbol), yang kemudian berkembang menjadi lambang tertulis. Gejala paling kongkrit bahasa berupa ujaran (parole). Gejala lebih abstrak, kerena menyangkut kaidah-kaidah bahasa tertentu secara tepat, berupa langue. Bahasa Indonesia dengan segala kaidahnya, misalnya, merupakan langue. Sedangkan yang paling abstrak adalah langange, yang mencakup tidak hanya satu bahasa, tetapi kaidah umum berbagai bahasa.
Jika bahasa dimaknai seperti itu, maka tidak mungkin antara bahasa dan kekuasaan dapat bertemu, karena dari sudut pandang disiplin ilmiah bahasa adalah wilayah kajian linguistik, sedangkan kekuasaan adalah wilayah kajian ilmu politik. Namun, perjumpaan antara bahasa dan kekuasaan dimulai setelah para kaum post-strukturalisme seperti Jurgen Habermas, Jean Baudrillard, Antonio Gramsci, Michel Foucault dan lain-lain menegaskan betapa pentingnya relasi antara bahasa dan kekuasaan. Bahkan Jean Baudrillard (dalam Latif dan Ibrahim, 1996) menegaskan bahwa “The real monopoly is never that of technical means, but that of speech”. Sejak saat itu, diskusi tentang relasi antara bahasa dan kekuasaan sangat semarak. Sebelumnya kehadiran karya Fairclough (1989) “Language and Power”, Benedict Anderson (1990) “Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia”, Pierre Bourdieu (1984) “Language and Symbolic Power” juga telah membuka ruang diskusi ilmiah tentang relasi bahasa dan kekuasaan. Dampaknya, penelitian tentang relasi bahasa dan kekuasaan berkembang sehingga melahirkan karya-karya akademik yang cukup banyak berupa makalah, buku-buku ilmiah, tesis, dan bahkan disertasi.
Dalam perspektif ilmu politik, kekuasaan diartikan sebagai setiap kemampuan, kapasitas dan hak yang dimiliki seseorang, lembaga atau institusi untuk mengontrol perilaku dan kehidupan orang atau kelompok lain. sebagai pembanding, berbeda dengan penjelasan teoritisi-teoritisi yang lain, Foucault memandang kekuasaan dengan mengkritik penjelasan hakikat “kuasa” dari pendapat-pendapat sebelumnya. Ilmu sejarah, misalnya, sering berbicara tentang kuasa, tetapi yang dibahas adalah orang-orang yang berkuasa seperti raja-raja dan panglima-panglima atau tentang lembaga-lembaga yang memiliki kuasa seperti negara, parlemen, dan gereja. Mereak kurang mempelajari mekanisme-mekanisme kuasa atau strategi kuasa. Foucault ingin menganalisis strategi kuasa yang faktual. Foucault tidak menyajikan suatu metafisika tentang kuasa (pertanyaan tentang apakah kekuasaan itu), tetapi yang disajikan adalah mikrofisika tentang kuasa (pertanyaan tentang bagaimana berfungsinya kuasa pada suatu bidang tertentu). Kekuasaan, menurut Foucault, sama dengan serba banyak relasi kuasa yang bekerja di salah satu tempat atau waktu.
Menurut salah seorang ahli antropologi linguistik, Sapir Whorf (dalam Deddy Mulyana, 2005: 120), bahasa bukan hanya sekadar deskriptif atau sarana untuk melukiskan suatu fenomena serta lingkungan. Lebih dari itu, bahasa juga dapat memengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Pandangan ini kemudian dikembangkan menjadi dua bagian, deterministik linguistik dan relativitas linguistik. Deterministik linguistik memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma-norna budaya. Sedang relativitas linguistik, melihat bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Budaya dikontrol sekaligus mengontrol bahasa. Bahasa juga menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi para penggunanya dikode dan disimpan.
Dengan kata lain, bahasa bukan sekadar alat komunikasi untuk memaknai suatu realitas objektif semata. Namun bahasa juga merupakan kegiatan sosial, bukan sesuatu yang netral dan konsisten, melainkan partisipan sosial yang dapat dikonstruksi dan direkonstruksi, serta di-setting untuk membentuk gagasan dan tindakan seseorang. Menurut Michel Foucault, dalam kehidupan nyata, disadari atau tidak, bahwa di dalam bahasa terkandung pergulatan dan pertarungan kepentingan ideologis. Sebab dipandang sebagai sesuatu yang tidak netral dan tidak universal; bahasa menjadi terikat oleh waktu, tempat, dan konteks pergulatan historis politiknya sendiri-sendiri. Sehingga bahasalah yang melahirkan wacana atau discourse sebagai sesuatu yang niscaya bersifat politik.
Dari berbagai sumber linguistik, bahasa didefinisikan sebagai sistem bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbitrer dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan dan pikiran. Dalam praktik politik, kekuasaan menyebar bukan saja lewat alat-alat produksi termasuk di dalamnya birokrasi, tetapi juga melalui bahasa. Bahasa yang dipakai politisi seringkali mencerminkan bangunan dan proses kekuasaan yang dominan. Mengadopsi pemikiran habermas, sebagai tokoh teori kritis dan postmodernisme, bahasa adalah kepentingan. Kepentingan dari siapa yang memakainya. Mereka yang memiliki kekuasaan juga menguasai bahasa, yakni bahasa yang membawa kepentingan kekuasaannya. Bahasa tidak hanya diartikan sebagai sarana mengekpresikan individulaitas atau menyampaikan pesan kepada orang lain, tetapi lebih dari tiu merupakan sarana menenangkan tujuan. Dalam konteks persaingan politik, bahasa politik diartikan sebagai ucapan atau tulisan yang diproduksi dan digunakan oleh seorang untuk memperoleh, menggunakan, mempetahankan dan atau mengendalikan kekuasaan.
Dalam alur pikir tersebut, bahasa tak pernah dapat dipisahkan dari sebuah kekuasaan politik. Sebagai negara yang konon menganggap paling demokratis dan humanis seperti Amerika Serikat sekalipun, para elite politiknya juga kerap menciptakan bahasa yang disusun dan dirumuskan melalui sebuah kata, istilah, atau terminologi; sebut saja, misal ”teroris”, ”kaum fundamentalis”, dan ”poros setan”. Semua istilah tersebut diciptakan dan disebarkan secara masif. Tentu, bermuatan politik dan berusaha agar Amerika tetap menjadi pihak yang dominan. Begitu juga pada zaman rezim otoriter Orde Baru. Presiden Soeharto selalu memproduksi bahasa tertentu untuk memaknai realitas tertentu. Seperti terminologi Gerakan Pengacau Keamanan (lazim disingkat GPK), Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), PKI Gaya Baru, ekstrem kanan, dan ekstrem kiri yang sengaja diciptakan serta digunakan untuk mendistorsi gerakan oposisi.
Bahasa sering didefinisikan sebagai suatu sistem suara yang diungkapkan oleh sekelompok manusia untuk mengungkapkan tujuannya. Dalam dunia politik bahasa malah diungkapkan untuk menyembunyikan pikiran kita. Hal ini diungkapkan oleh peribahasa perancis yang berbunyi “bahasa diberikan kepada manusia untuk menyembunyikan pikirannya”, peribahasa ini pertama kali diucapkan oleh Talleyrand, menteri luar negeri Prancis setelah runtuhnya pemerintahan Napoleon. Para tokoh politik mempergunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan pendapatnya atau pikirannya, melainkan juga untuk menyembunyikannya. Ia harus menyembunyikan pikirannya, karena di balik pikiran ini terdapat kepentingan-kepentingan yang harus dipertahankan. Kepantingan-kepentingan ini dapat bersifat nasional, akan tetapi mungkin pula menyangkut suatu golongan atau kelompok masyarakat.
Untuk usaha-usaha menyelebungi kepentingan-kepentingan tersebut dalam forum politik, haruslah dipergunakan bahasa. Bahasa dipergunakan dalam pidato-pidato, ceramah-ceramah, keputusan-keputusan, resolusi-resolusi, pernyataan-pernyataan dan sebagainya, dan melalui cara-cara komunikasi inilah diusahakan untuk mempengaruhi orang banyak atau pendengar-pendengar.
Dalam dunia politik dua fungsi bahasa yang memegang peranan penting, fungsi persuasif dan fungsi mengancam. Jika dengan bahasa seorang tokoh politik berusaha untuk merubah sikap para pendengar melaui pidatonya. Ia akan mengucapkan anjura-anjuran untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, inilah fungsi persuasif dalam bahasa. Sedangkan fungsi mengancam dalam bahasa dapat dicontohkan dalam kalimat “barang siapa yang tidak setuju dengan revolusi akan digilas oleh roda revolusi”.
Dengan demikian, para pelaku politik pun sering memproduksi bahasa sendiri untuk memaknai sebuah realitas yang ada. Lalu bahasa yang dicipta dari konsep pandangan ideologinya itu, disebarkan kepada khalayak untuk membentuk sebuah wacana. Tujuannya tentu untuk mengkonstruksi pandangan khalayak sesuai dengan yang diinginkan para elite politik tersebut. Sehingga tidak salah jika bahasa pun dimaknai sebagai sesuatu yang tidak netral, dan malah sarat muatan kepentingan tertentu.
Secara historis, keberadaan bahasa sebagai alat untuk mempengaruhi seseorang/kelompok telah muncul sejak jaman Yunani (5 abad SM). Mazhab Sofisme, yang dikenal dengan metode retorikanya, telah memanfaatkan bahasa sebagai cara untuk memperoleh keuntungan sosial, politik dan ekonomi. Pada saat itu muncul kesadaran bahwa kepandaian berbahasa dapat dipandang sebagai social capital seseorang untuk menentukan status sosialnya dalam masyarakat. Semakin tinggi kemampuan berbahasa seseorang, semakin tinggi pula penghargaan masyarakat kepadanya. Kemampuan bahasa disamakan dengan kemapuan intelektual seseorang, yang pada akhirnya berpengaruh pada besarnya kekuasaan yang akan dimilikinya.
Seorang sosiolog Inggris, Basil Bernstein (1958), yang mengajukan hipotesisi “miskin bahasa” (linguistic deficit hypothesis). Bahwasannya keberhasilan dan kemudahan segelintir orang untuk mendaptkan keistimewaan sosial sejauh tertentu bergantung pada kemampuan berbahasa dalam menyampaikan buah pikiran. Dengan kata lain, hanya yang mampu berkomunikasilah yang terlepas dari jeratan kemiskinan. Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa menunjukkan status sosial. Miskin atau kaya, elit atau majinal.lebuh jauh dikatakan, mereka yang miskin secara sosial memiliki kemampuan berbahasa yang sangat terbatas (restricted code). Mereka miskin dalam cara mengungkapkan maksud, tujuan, motivasi, interpretasi, dan harapan. Secara sintaksis, kalimatnya pendek-pendek, gramatikalnya sederhana, kalimatnya seringkali putus-putus, dan kosa katanya sedikit. Sehigga bisa terjadi, kosa kata yang sama diulang-ulang untuk menyatakan tujuan-tujuan yang sebenarnya berbeda.
Dalam keseharian kita sering melihat iklan lowongan kerja bagi pelamar yang menguasai bahasa asing. Artinya bagi mereka yang miskin bahasa (asing) itu, terbatslah kesempatan kerja. Sebaliknya bagi mereka yang menguasai bahasa asing terbukahdengn lebar pintu lapangan kerja. Sehingga ada korelasi positif antara penguasa bahasa (asing) dengan penguasaan fasilitas-fasilitas sosial. Rakyat yang tanah miliknya kena gusur karena pelebaran jala, pembangunan pabrik, real estate, atau pembukaan lapangan golf, seringkali tak berdaya menghadapi “rayuan gombal” para calo dan berondongan verbal aparat pemerintah yang menggunakan ragam bahasa birokrat yang sulit dimengerti, karana ragam bahasa itu ada diluar batas dalam peta kognitif dan verbal mereka. Komunikasi antara mereka dengan para calo dan aparat pemerintah bukanlah komunikasi dialogis egaliter, tetapi lebih merupakan komunikasi sepihak otoriter. Karena para pemilik tanah itu memang miskin bahasa, ide, dan wawasan untuk berdialog dalam membela HAM-nya.
Para kelompok Mazhab Sofisme menggunakan bahasa untuk memperoleh keuntungan sosial, politik, dan ekonomi dengan menggunakan metode retorika, hal ini berbeda dengan rezim Orde Baru yang memanfaatkan bahasa untuk mendominasi wacana di Indonesia namun tidak dengan retorika, melainkan dengan apa yang dinamakan dengan “pembinaan bahasa yang baik dan benar”. Untuk melancarkan “pembinaan bahasa” tersebut Orde Baru mendirikan lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (P3B) yang betindak sebagai penentu arah pengembangan sekaligus pengawas bahasa Indonesia. Sedang pada tingkat bawah pembinaan bahasa, Orde Baru memanfaatkan para guru di sekolah-sekolah negara seperti SD, SMP, SLTA sebagai aktor di lapangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan berkembangnya bahasa yang dipakai oleh murid-muridnya.
“pembinaan bahasa” ini dilakukan tidak hanya sebatas pada pembinaan dan pengawasan secara gramatika, tetapi juga secara semantik. Yaitu, selain bertindakn sebagai pembina dan pengawas penggunaan tata bahasa Indonesia yang digunakan oleh masyarakat sehari-hari, pemerintah juga memonopoli penciptaan makna-makna secaea konotatif. Pada tahun 1988 melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah menerbitkan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kedua buku tersebut kemudian menjadi rujukan utama Bahasa Indonesia. Selain itu, pemerintah Orde Baru juga “melarang” penggunaan istilah-istilah yang tidak sesuai dengan kepentingan Orde Baru.
Pembicaraan dalam dunia politik selalu menampilkan simbol-simbol yang sangat makna sebagai perwujudan dari berbagai motifasi dalam meraih kepentingan politik para komunikator politik, dan salah satu wujud dunia simbolik yang paling nyata adalah bahasa. Sebagaimana dikatakan oleh Condon, bahwa bahasa merupakan dunia simbolik yang paling nyata. Dalam berkomunikasi, pemimpin politik cenderung untuk memilih kata-kata tertentu guna mencapai tujuannya. Pemilihan kata-kata itu bersifat strategis. Dengan demikian kata yang diungkapkan, simbol yang diberikan, dan intonasi pembicaraan, tidaklah semata-mata sebagai ekspresi pribadi atau cara berkomunikasi, tetapi dipakai secara sengaja untuk maksud tertentu. Pemakaian kata-kata tertentu, kalimat, gaya tertentu bukanlah dipangang sebagai cara berkomunikasi, melainkan merupakan suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperoleh suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperoleh legitimasi dan menyingkirkan lawan atau penentang politiknya. Kata-kata tertentu (leksikon) mungkin dipilih oleh pejabat pemerintah untuk menekankan sikap politik dan pendapat, mengumpulkan dukungan, memanipulasi pendapat umum, membentuk kesadaran politik atau legitimasi kekuatan politik. Upaya itu juga dilakukan dengan jalan, menyeleksi topik pembicaraan, memakai retorika tertentu, menyusun dan mengatur ucapan tertentu, interaksi tertentu dan sebagainya.
Di dalam prinsip hegemoni murni, sebagaimana dikatakan oleh Antonio Gramsci, upaya memperebutkan penerimaan publik dilakukan melalui kecerdikan simbolik (symbolic intelligence) kecerdasan dalam menggunakan kekuatan bahasa, tanda, dan simbol (symbol power) ketimbang kekuatan senjata, sehingga kekuatan itu mampu menarik perhatian, simpati, dan apresiasi publik. Kecerdasan simbolik sangat diperlukan dalam rangka menghadapi “perang simbol” dengan berbagai pihak, bahasa, makna dan nilai-nilai dominan selalu dipertanyakan, digugat, ditantang dan dilawan oleh berbagai kelompok masyarakat melalui aneka bentuk perjuangan politik simbol dalam rangka membangun hegemoni tandingan (counter hegemony).
Hubungan di antara bahasa dan kekuasan adalah kuat sekali, karena mereka yang mempunyai kekuasan bisa mengawasi media massa dan akibatnya mengawasi bahasa. Keadaannya tidak sesederhana seperti ini, tetapi ada persambungan antara dua hal ini. Politikus-politikus perlu tahu bagaimana berhubungan dengan rakyat. Bahasa digunakan politikus adalah faktor ataukah mereka bisa menguatkan kekuasaan atau tidak. Dalam ‘Language and Power’, ada studi kasus tentang bahasa dalam bidang politik. Mereka mengetahui bahwa bahasa adalah alat penting untuk menbangunkan solidaritas di antara golongan sosial yang kemudian memihak kepada suatu partai itu. Contohnya, dalam pidato politikus bisa menggunakan ‘kita’, sebagai pengganti ‘Anda’, karena ‘kita’ membuat perasaan bersatu dengan lain-lainnya. Juga ditahui mereka bahwa bahasa yang lebih otoritas membantu pemerintah mempunyai pengaruh atas masyarakat. Dalam permainan politik, bahasa adalah senjata. Ada teori bahwa seorang yang mengawasi bahasa akan menang, dan media massa adalah sambungan yang penting untuk orang yang ingin mengawasi bahasa. Politikus-politikus pintar sekali mengawasi bahasanya sendiri, dan bahasa yang diterbitkan dalam media. Dari maksud ini, bahasa diucapkan pemerintah dan kemudian media massa mengulang kata-kata ini kepada masyarakat. Dasarnya, pemerintah bisa mengawasi bahasanya lewat jawaban kepada wartawan-wartawan yang sudah disiapkan, dan kalau politikus membuat salah, dia bisa memperkerjakan pengacara-pengacara yang membantunya. Walaupun media massa dianggap berdiri sendiri, wartawan tidak melaporkan sepenuhnya tentang isu-isu atau pendapat yang bersifat alternatif, politikus dan orang lain yang berkuasa mempunyai kekuasaan yang tidak resmi atas media. dan kebanyakan orang-orang di dalam masyarakat mendapat informasinya tentang isu-isu penting dari media massa. Demikian media massa sering dipakai oleh pemerintah sebagai alat yang menguasi orang-orang dan menyebarkan propagandanya. Selain politikus-politikus, orang lain mengahami kepentingan bahasa dalam politik. Aktivis menggunakan bahasa politik juga, supaya menyebarkan pesannya atas nama orang yang tidak bisa mengambil bagian dalam wacana politik.
Ada sejumlah besar kata dalam wacana politik Orde Lama yang tidak terdengar lagi pada Orde Baru. Sebaliknya, pada Orde Baru kita mendegar kosa kata baru yang tidak ada pada wacana politik Orde Lama. “Revolusi”, “Kontra Revolusi”, “Nekolim”, “antek-antek kapitalis-imperialis”, “Nasakom”, “Manipol-Usdek”, “indoktirinasi”, adalah contoh kata pasa Kamus Orde Lama. “Pembangunan”, “anti pembangunan”, “gerakan pengacau keamanan”, “lepas-landas”, “stabilitas nasional”, “penataran” adalah sebagian daftar kosa kata Orde Baru.
Pada zaman orde baru, politik bahasa yang digunakan adalah memanfaatkan majas eufemisme untuk menciptakan stabilitas politik, misal pinjaman/bantuan (padahal hutang), diamankan (padahal diculik, dipenjara), desa tertinggal (sebutan untuk desa miskin), rawan pangan (sebutan untuk kekeringan dan kelaparan), malnutrisi (sebutan untuk kurang makan), dll. Ungkapan-ungkapan yang sering disampaikan oleh penguasa pada waktu itu cukup efektif untuk memengaruhi sikap atau perilaku masyarakat.
Pilihan kata-kata yang tepat disesuaikan dengan budaya yang hidup dalam masyarakat dianggap efektif untuk menenangkan kegelisahan rakyat. Misalnya pejabat yang diduga bermasalah akan segera diperiksa, semua koruptor akan segera diadili. Kalimat ini cukup efektif untuk menenangkan masyarakat yang tidak puas terhadap proses hukum. Padahal bila dicermati kalimat tersebut lebih bermakna memberi janji. Janji yang bisa ditindaklanjuti bisa juga dilupakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa memang memiliki kekuatan dan dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan.
Perubahan makna istilah juga mengalami pergeseran makna seperti misalnya kata “subversi” pada Orde Lama kata ini berarti upaya penyusupan yang dilakukan oleh agen-agen nekolim untuk menghancurkan revolusi. Gerakan intelektual seperti Manikebu (Manifesto Kebudayaan) dipandang sebagai “subversi”. Pada masa orde baru, “subversi” merujuk pada kegiatan anti pembangunan yang dilakukan oleh ekstrem kanan atau ekstrem kiri, atau orang-orang yang melakukan “kritik yang tidak bertanggng jawab”.
Pergeseran makna juga terjadi pada kata “politik”, pada masa Orde Lama politik mempunyai konotasi yang positif, berkaitan dengan kegiatan yang mempunyai akses pada struktur kekuasaan. Orang tidak takut berbicara tentang politik. Pada masa Orde Baru kegiatan politik diartikan sebagai segala kegiatan yang tidak sejalan dengan elite penguasa.
Selain pergeseran istilah-istilah di atas, akhir-akhir ini kita dipopulerkan oleh para calon pemimpin-pemimpin daerah (dikenal dengan caleg, cagub dan sebagainya) dengan menggunakan akronim dalam kampanye. Para pelaku politik praktis menyadari bahwa kekuatan bahasa tidak terkira sehingga mereka menggunakan bahasa untuk membuat suatu wacana di tengah masyarakat. Kekuatan bahasa telah terbukti ampuh untuk mendongkrak popularitas seorang politikus.
Dibawah ini merupakan akronim yang digunakan oleh beberapa calon pemimpin daerah untuk menimbulkan kesan positif di tengah masyarakat.
NO
Nama Pasangan
Asal
Akronim
Makna
Sifat
1
Danny Setiawan dan Iwan Sulanjana
Jabar
Dai
Orang yang kerjanya berdkwah
+
2
Agum Gumelar dan Numan Hakim
Jabar
Aman
Bebas dari bahaya; tidak merasa takut atau khawatir
+
3
Ahmad Hermawan dan Dede Yusuf
Jabar
Hade (bahasa Sunda)
Bagus; baik
+
4
Syahrul Yusuf Limpo dan Agus Arifin Nomang
Sulsel
Sayang
Kasih sayang; cinta kasih
+
5
Amin syam dan Syamsur Ramli
Sulsel
Asmara
Perasaan senang kepada lain jenis; rasa cinta
+
6
Thamsir Rachman dan Taufan Andoso Yakin
Riau
Tampan
Elok; gagah
+
7
Mardjoko dan Husein
Banyumas
Marhaen
kaum petani, buruh kecil nelayan kecil
+
8
Soekarwo dan Syaifullah Yusuf
Jatim
Karsa
Daya (kekuatan) jiwa yang mendorong manusia untuk berkehendak
+
9
Soenarjo dan Ali Maschan Moesa
Jatim
Salam
Damai; pernyataan hormat
+
10
Khafifah Indar Parawansa dan Mudjiono
Jatim
Kaji
Pelajaran; penyelidikan
+
11
Ali Mazi dan Abdul Somad
Sultra
Azimad/Azimat
Barang yang dianggap memiliki kesaktian untuk menlindungi pemiliknya
+
12
Mahmud Hamudun dan Yusran Silondae
Sultra
Mahasila
Maha: besar
Sila: aturan
Dasar; adab; akhlak; moral
+
13
Nur Alam dan Saleh Lasata
Sultra
Nusa
Pulau; Jagad
+
14
Muhajir Utomo dan Andi Arif
Lampung
Jiran
Tentangga
+
15
Ilhamsyah dan Benyamin Bura
Sulsel
Ibu
Wanita yang melahirkan anak; panggilan takdhim untuk wanita
+
Daftar Pustaka
Adityawan S, Arief, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia Mengupas Semiotika orde Baru Soeharto¸ (Jakarta: LP3ES Indonesia, 2008)
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1992).
Alwasilah, A. Chaedar, Politik bahasa dan pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000).
Badaruddin, Muhammad, “Gaya Retorika Gus Dur: Analisis Wacana Terhadap Pernyataan-Pernyataan Politik Presiden Abdurrahman Wahid,” Jurnal Plitik 1, no. 3 (2001): 290.
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS, 2008)
Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, (Jakarta: Gramedia PustakaUtama, 2008)
Manurung, Rosida Tiurma, Akronim Sebagai kekuatan Bahasa untuk Politik Petcitraan Diri. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: Tiara wacana, 2008)
Mohammad, Goenawan, Kesusastraan dan kekuasaan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003)
Panggabean, Maruli, Bahasa, pengaruh dan peranannya, (Jakarta: PT Gramedia, 1981)
Rahardjo, Mudjia, Hermenuitika Gadamer Kuasa Kata dalam Wacana Politik Gus Dur, (Malang: Uin Malang Press, 2007).
Rakhmat, Jalaluddin, Komunikasi dan Perubahan Politik di Indonesia, Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1996)
Thompson , Jhon B, Analisis Ideologi Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003)
Wahid, Abdurrahman, Misteri kata-kata, (Jakarta: Grafika Indah, 2010)
Widjojo, Muridan S, Bahasa negara versus bahasa gerakan mahasiswa Kajian Semiotik Atas Teks-Teks Pidato Presiden Soeharto Dan Selebaran Gerakan Mahasiswa, (Jakarta: LIPI Press, 2004)
Zuhri, Saifuddin. Berangkat dari Pesantren, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1987)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar