Pemikiran Ilmu Kalam Kontemporer

Makalah Pemikiran Ilmu Kalam Kontemporer
Sumbangan oleh : As’ad Afifi

BAB I
PENDAHULUAN

Imu Kalam atau Theologi Islam di Indonesia masih sebatas dikaji di Perguruan Tinggi Islam dan hanya diberikan di Madrasah Aliyah dengan sedikit pembahasan. Berbeda dengan kajian fiqih atau ilmu “syariat” yang berdimensi ibadah sering disampaikan di setiap lembaga pendidikan, baik formal maupun informal. Demikian pula di majelis-majelis ta’lim, materi ilmu kalam (bukan ilmu tauhid, atau usuhuludin) jarang bahkan tidak pernah disampaikan kepada para jama’ah. Hal ini dikarenakan beberapa hal, pertama persoalan pembahasan ilmu kalam akan menimbulkan penafsiran yang beragam, kedua ilmu kalam memerlukan kapasitas penerima dan pemberi materi yang memadai, ketiga ada unsur perdebatan yang berkepanjangan yang melibatkan emosional, keempat dalam forum-forum umum seringkali harus dihindari persoalan khilafiyah dengan kaidah “berbicaralah kepada umat manusia sesuai dengan kadar kemampuan akal mereka (para Audiens)” [1]

Di sisi lain ajaran Islam yang universal ternyata menyangkut berbagai bidang kehidupan, mulai dari persoalan yang pelik dalam bidang studi Islam seperti fiqih, akhlak-tasawuf, filsafat dan - tentunya - Ilmu kalam, juga kajian kemasyarakatan baik bidang politik, ekonomi, teknologi, sosial, budaya, hidup berbangsa dan bernegara sampai kepada masalah-masalah praktis, masalah rumahtangga, makanan, minuman, lingkungan, kesehatan, kebersihan dan lain sebagainya. Keuniversalan ajaran Islam bisa dilihat juga dari berbagai konsep tentang ibadah yang mencakup ibadah mahdhoh (sepesifik) beraitan dengan Allah langsung, maupun ghoiru mahdhoh (umum) yaitu ibadah yang berkaitan erat dengan kehidupan sosial kemanusiaan. Dan kalam sebagai sebuah keilmuan merupakan salah satu aspek yang dikaji dalam studi Islam. Pembahasan Ilmu kalam memerlukan ekstra kehati-hatian, karena di dalamnya penuh sekali dengan “pengurasan” energi otak, akal pikiran, sehingga hampir seluruhnya pendekatan yang digunakan adalah pemakaian “aqliyah” dengan Tuhan dan manusai sebagai obyek kajian utamanya[2].

Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya secara rasional, dan inilah yang sekaligus menjadi obyek formanya. Sementara metodologinya, adalah upaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dan al-Sunnah secara mendalam, yang biasa dikenal dengan istilah dialog ilmiah keagamaan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Ilmu Kalam berada satu rumpun dalam disiplin ilmu Pemikiran dalam Islam.

Secara ilmiah, Ilmu Kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu: Pertama, Ilmu Kalam klasik teoritik yang hanya membahas secara teoritik aspek-aspek ketuhanan dan berbagai kaitan-Nya, yang selama ini dibicarakan oleh berbagai aliran teologi Islam. Kedua, Ilmu Kalam kontemporer praktik, yang secara praktik membahas ayat-ayat Allah dan Sunah-sunah Rasul-Nya yang nilai doktrinnya mengadvokasi berbagai ketimpangan sosial. Bagian kedua ini dapat dikembangkan lagi menjadi tiga kategori: Pertama, Teologi Lingkungan; kedua, Teologi Transformatif dan ketiga Teologi Sosial.[3]

Teologi Lingkungan, adalah pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen rasional yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan lingkungan alam semesta. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti teologi pemeliharaan lingkungan, teologi sampah, teologi banjir, dan yang sebangsanya. Teologi transformative adalah pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen rasional yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan perubahan. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti teologi pembebasan, teologi post modernisme, teologi sains, dan yang sebangsanya. Sedangkan teologi sosial adalah pembahasan secara mendalam doktrin-doktrin agama Islam dengan argumen rasional yang nilainya berupaya mengadvokasi permasalahan kemasyarakatan. Di sini dapat dikaji lebih luas lagi dengan menampilkan kajian seperti teologi populis, teologi perdamaian, teologi kaum tertindas, teolog gender, teologi feminis, teologi persamaan hak, dan yang sebangsanya.

Ilmu Kalam atau teologi Islam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya ialah disiplin keilmuan Fiqh, Tasawuf, dan Falsafah. Jika Ilmu Fiqh membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah. Sedangkan Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengamalan keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga tekanan orientasinya pun sangat esoteristik, mengenai hal-hal batiniah. Adapun Ilmu Falsafah membidangi hal hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup dan lingkupnya seluas-luasnya. Sementara Ilmu Kalam mengarahka pembahasannya kepada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya. Karena itu ia sering diterjemahkan sebagai Teologia, sekalipun sebenarnya tidak seluruhnya sama dengan pengertian Teologia sebagaimana dalam agama Kristen. Karena itu sebagian kalangan ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis akan menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai teologia dialektis atau teologia rasional.[4]

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah ilmu kalam atau teologi Islam masih tetap relevan untuk menjawab pelbagai tantangan dunia modern? dan mengapa teologi Islam harus menjawab segala tantangan dunia modern yang secara ontologis sangat berbeda?. Pertanyaan ini muncul karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa dunia modern menyodorkan pelbagai permasalahan yang mau tidak mau kalangan Islam juga ditantang untuk menjawabnya.

Oleh karena itu ketika ditulis “teologi Islam dan dunia modern”, tidak berarti terdapat dua entitas. Kata “dan” merupakan kopula dalam konteks tersebut. Penolakan bahwa krisis atau permasalahan dunia modern tidak harus dijawab oleh teologi Islam menjadi salah tempat. Jawaban teologi Islam atas tantangan dunia modern lebih merupakan soal sinaran atau lokus peristiwa persemaian teologi Islam dalam menjawab persoalan yang ada. Sehingga perbincangan diskursus teologi dalam dunia Islam kontemporer menyentuh banyak atau beragam dimensi dan permasalahan, yang secara historis merupakan suatu hal yang berkembang. Ia turut ditentukan oleh faktor relasi sosial dan infrastruktur-suprastruktur yang ikut berubah.[5]


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kalam

Ilmu Kalam atau Teologi Islam diisitilahkan oleh berbagai pakarnya dengan berragam nama. Abu Hanifah memberi nama dengan istilah ‘ilmu fiqh al-akbar. Imam Syafi’ie, Imam Malik, dan Imam Ja’far al-Sadiq memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Kalam (tokohnya disebut al-Mutakallimun). Imam al-Asy’ari, al-Bagdady, dan beberapa tokoh al-Azhar University memberi nama dengan istilah ‘Ilmu Ushul al-Din. Al-Thahawi, al-Ghazali, al-Thusi, dan al-Iji memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Aqa’id. Abdu al-Jabbar memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Nadhar wa al-Istidlal. Al-Taftazani memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid wa al-Shifah. Muhammad ‘Abduh memberi nama dengan istilah ‘Ilmu al-Tauhid. Harry Austyn Wolfson memberi nama dengan istilah The Philosophy of Kalam. Ahmad Mahmud Shubhy memberi nama dengan istilah ‘Ilmi al-Kalam. M Abdel Haleem memberi nama dengan istilah Speculative Theology. C A Qadir memberi nama dengan istilah Dialectica Teology. Sementara itu Harun Nasution memberi nama dengan istilah Teologi Islam.

Tetapi sebagai istilah, kalam tidaklah dimaksudkan "pembicaraan" dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Maka ciri utama Ilmu Kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai ter jemahan kata dan istilah Yunani logos yang juga secara harfiah berarti "pembicaraan", tapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".[6]

Dari beberapa nama yang menjadi istilah, tidak dapat dipungkiri bahwa sebenarnya istilah ilmu kalam itu merupakan transformasi dari pemikiran teologi yang telah berkembang di dunia Barat pada masa sebelumnya. Berkenaan dengan itu, terdapat pakar yang mendefinisikan ilmu kalam sebagai diskursus atau pemikiran tentang Tuhan. Bahkan dengan mengutip istilah yang diberikan oleh William Ockham, L Reese menyatakan bahwa Teologi merupakan sebuah disiplin ilmu yang meletakkan kebenaran wahyu, lewat argumen filsafat dan ilmu pengetahuan yang independen. Dengan nada yang hampir sama Ibn Khaldun seperti dikutip oleh Mushthafa Abd. Al-Raziq memberikan definisi “Ilmu kalam adalah sebuah disiplin ilmu berkaitan dengan keimanan yang diperkuat dengan menggunakan argumentasi-argumentasi rasional.[7]

Seolah-olah kalam dipahami sebagai ilmu bahasa dan kata-kata karena memang kalam berasal dari kalimat Arab ” كلام “ yang artinya “kata-kata”, percakapan atau kalimat”. Tetapi sebenarnya “kalam” bukanlah membahas tentang kata-kata dalam konteks kebahasaan walaupun ada keterkaitannya dengan asal-usul pemberian nama ini. Sebab latar belakang pemberian nama kalam didasarkan kepada sejarah awalnya mengenai pembahasan “kata-kata Tuhan” dan juga “kata-kata manusia”, karena kata-kata Tuhan, Sabda Tuhan tepatnya kalamullah menjadi pembahasan yang sangat serius di awal-awal kemunculan pemikiran kalam. Alasan kedua dinamakan “kalam” karena dalam pembahasannya, para “mutakalimin” sering menggunakan kata-kata (berdebat) untuk mempertahankan pendapat dan pendiriannya masing-masing. Mereka menggunakan logika (mantiq) yang disampaikan dengan susunan kata-kata yang penuh dengan argumentasi rasional dalam mempertahankan dalil-dalil nash.

Defenisi Ilmu kalam oleh beberapa ilmuwan Islam telah dirangkum oleh Al-khendra yaitu bahwa menurut Abu Zahroh ilmu kalam membahas segala macam persoalan sekitar dzat, nama, dan sifat Tuhan serta masalah yang pelik, seperti persoalan qodar, ikhtiar, atau kebebasan kemauan manusia, dan dengan itu terbawalah pembicaraan tentang bermacam-macam golongan filsafat dan agama yang meluas dan mendalam. Menurut Thabathaba’i kalam ialah pencarin kebenaran dengan jalan pemikiran dialektika. Menurut Abu Bakar Aceh kalam ialah pembahasan tentang perbincangan-perbincangan menyangkut soal ketuhanan. Kontowijoyo mengungkapkan bahwa kalam adalah kajian-kajian keislaman yang memiliki dua model, pertama kajian ulang tentang ajaran-ajaran mormatif dalam berbagai karya klasik, kedua cenderung perlunya orientasi pemahaman keagamaan pada realitas kekinian yang empiris. Sedangkan Nurcholis Majid menguraikan pengertian ilmu kalam sebagai berikut : Secara harfiah, kata kalam berarti “pembicaraan”. Tetapi istilah kalam tidaklah dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika, maka ciri utama ilmu kalam ialah rasionalitas atau logika. Karena kata-kata kalam sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan kata dan istilah Yunani “logos” yang juga secara harfiyah berarti “pembicaraan”, tetapi yang dari kata itulah terambil kata logika dan logis sebagai derivasinya. Dari proses perdebatan ilmiyah yang dibarengi emosional (apologis) ini lama-lama menjadi terstruktur, tersistematis kemudian menjadi sebuah ilmu tersendiri yang dikenal dengan istilah “ilmu kalam. Sehingga apabila kalam dijadikan sebagai ilmu maka tentunya harus memiliki obyek kajian dan metodologi. Obyek kajian ilmu kalam yang sering dipersolankan adalah Tuhan, Wahyu, akal, Manusia sedangkan metodologinya dengan menggunakan dialektika.[8]


B. Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam[9] 

Bila mengikuti alur pemikiran Ahmad Hanafi dalam “Theologi Islam”, bahwa sebab musabab munculnya ilmu kalam terdiri dari aspek, intern dan ekstern. Penyebab intern karena memang di dalam Islam sendiri (al-Quran) banyak peluang penafsiran terhadap persoalan ilmu kalam, mengajak kepada tauhid, mempercayai kenabian, kemudian ada semangat mengkaji al-Qura’n dari umat Islam itu sendiri sehingga muncul persoalan-persoalan baru dalam kajian keimanan yang melibatkan aqal sebagai pemberi alasan. Disamping itu ada pergolakan politik yang bergeser ke persoalan aqidah. Sedangkan penyebab ekstern ditandai dengan pertama, banyaknya pemeluk-pemeluk agama lain yang masuk Islam sehingga terjadi pergesekan pemikiran agama-agama. kedua , berawal dari gerakan dakwah untuk membantah alasan-alasan yang memusuhi Islam maka menggunakan senjata mereka (filsafat) untuk mengimbangi argument-argument keagamaan. Ketiga, para intelektual muslim banyak yang mempelajari filsafat sehingga masuklah unsur filsafat dalam kajian ilmu kalam.

Berbeda dengan Ahmad Hanafi, Harun Nasution mengungkapkan bahwa persoalan aqidah dalam Islam sebagai agama pertama-pertama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan-persoalan politik itu segera bergeser dan meningkat dalam bidang-bidang teologi. Dengan kata lain pembahasan teologi itu berasal dari persoalan politik.11 Dalam kajian Harun Nasution, awal kemunculan ilmu kalam bermula dari persoalan pergesekan politik pada waktu itu. Pergesekan politik yang dimaksud adalah ketika terjadi pembunuhan kholifah Usman yang disebut dalam sejarah dengan “Fitnatul Qubro”. Pihak Ustman yang diwakili oleh Muawiyah kerabat dekat Usman bin Affan (waktu itu sudah menjadi gubernur Damaskus) menuntut balas kematian saudaranya. Muawiyah menuntut agar kholifah Ali Bin Abi Tholib menyerahkan pelaku pembunuhan terhadap Ustman Sehingga terjadilah pertempuran ( perstiwa shiffin). Penyelesaian sengketa antara Ali Bin Abi Tholib dan Muawiyah Bin Abi Sofyan dengan jalan arbitrase (tahkim) oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran Islam terutama surat Al-Maidah ayat 44.

Penggunaan term kafir lama-kelamaan menjadi perdebatan yang sangat serius sehingga kemudian bergesar menjadi persoalan siapa yang kafir, kalau kafir berarti murtad dan jika murtad berarti boleh dibunuh dan akhirnya mereka yang kafir, murtad akan masuk neraka. Term kafir, murtad, surga, neraka merupakan istilah yang digunakan dalam agama. Hal ini sudah memasuki wilayah aqidah. Sehingga tidak berlebihan bila Harun Nasution mengatakan bahwa berkembangnya “aliran teologi” dalam Islam dimulai dari persoalan dan pergolakan politik.

Berawal dari peristiwa perang Shiffin itulah muncul berbagai kelompok (belum menjadi sekte). Pertama adalah kelompok Ali bin Abi Tholib yang selalu setia mengikuti, membela Ali yang kemudian dinamakan aliran “Syiah”. Kelompok kedua adalah pengikut Ali yang tidak setuju dengan adanya proses “tahkim” atau “arbitrase”, sehingga kemudin memisahkan diri dan bahkan dengan kalimat yang ekstrim “keluar” (khoroja) yang terkenal dengan kelompk “Khawarij” . Kelompok ketiga adalah pasukan Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai kelompok pemenang dalam politik praktis karena kelompok Ali bin Abi Tholib kalah dalam proses perundingan, mereka dinamakan “Al-Jami’ah”.

Dari keempat kelompok ini kemudian berkembang untuk saling memperkuat posisi masing-masing dengan berbagai cara dan strategi. Salah satunya adalah dengan menggunakan “dalil agama”. Agama sebagai kendaraan politik dipakai untuk memberikan dukungan oleh masing-masing kelompok. Sehingga pada masa ini berkembang juga selain penafsiran-penafisran wahyu, muncul juga hadits-hadits maudlu yang intinya upaya penguatan terhadap kelompoknya.

Perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok tersebut berubah menjadi paham atau sekte. Muncul aliran “Khawarij” yang dipelopori oleh Abdullah Ibn Wahab Al-Rasyidi. Sebagai reaksi timbul aliran “Murjiah” yang dipelopori oleh Ghilan Al-Dimasyqi. Pengikut Ali yang selalu dipojokan dengan persoalan tahkim maka muncul pula pengikut setia bahkan fanatik Ali bin Abi Tholib yaitu kaum “Alawi” atau terkenal denagn “Syiah”. Ketika terjadi gesekan-gesekan ideology persoalan “Ketuhanan” maka tampil Wasil Bin Atho dengan tidak sependapat denagn konsep keputusan diserahkan seluruhnya kepada Tuhan. Maka Wasil keluar dari pengajian Hasan Basri (ahli Hadits) dengan panggilan “Mu’tazilah”. Aliran Qodariyah sebenarnya kelanjutan dari efek penggunaan rasio sebagai alat untuk membedah ideology ketuhanan maka muncul free will dan free act (kebebasan kehendak dan perbuatan). Jabariyah adalah kebalikan dari Qodariyah yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kekuatan dalam kehendak dan perbuatan. Hidup manusia itu terpaksa dalam bingkai “Kehendak Tuhan”. Dari pergolakan pemikiran ini maka bermunculanlah tokoh-tokoh pembanding, penganalisis, bahkan penentang dari berbagai paham yang muncul pada waktu itu maka lahirlah tokoh-tokoh seperti Maturidi, Al-Asy-’Ari yang kemudian membentuk sebuah komunitas faham yang bernama “Ahli Sunnah wal Jama’ah”. Ahlis Sunnah maksudnya golongan yang mengembalikan Sunnah atau tradisi sedangkan “Jama’ah” karena pada waktu itu pemikirannya berada di pihak mayoritas yang terdiri dari masyarakat luas.


C. Pertumbuhan dan Perkembagan Ilmu Kalam

Sama halnya dengan disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam juga tumbuh beberapa abad setelah wafat Nabi. Tetapi lebih dari disiplin keilmuan Islam lainnya, Ilmu Kalam sangat erat terkait dengan skisme dalam Islam. Karena itu dalam penelusurannya ke belakang, kita akan sampai kepada peristiwa pembunuhan 'Utsman Ibn 'Aff'an, Khalifah III. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.

Secara historis, teologi islam bermula sebagai sebuah advokasi keagamaan terhadap ketimpangan sosial (teologi sebagai sebuah axiologi) yang berkembang pada masanya. Untuk kepentingan ini, doktrin keagamaan diinterpretasikan secara rasional, sehingga dapat dijadikan argumen teologis untuk membacking pemikiran/gagasan/idea yang substansinya menentang ketimpangan sosial yang sedang terjadi.[10]

Belakangan, teologi berkembang menjadi sebuah metodologi (Theology as Method). Sehingga sebagai sebuah metodologi/pendekatan, teologi merupakan salah satu diantara beberapa pendekatan yang telah digunakan oleh para ahli sains masa lalu. Di dalam perkembangannya, pendekatan ini juga digunakan oleh para ahli keislaman. Pada masa-masa berikutnya, barulah teologi berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu. Dan sebagai sebuah disiplin ilmu di dunia islam, Ilmu Kalam berkembang sejak Abu Hasyim dan kawannya Imam al-Hasan bin Muhammad bin Hanafiah, dan para tokoh Mu’tazilah. Adapun orang pertama yang membentangkan pemikiran ilmu kalam secara lebih baik lewat logikanya adalah Imam al-Asy’ari, seorang tokoh teologi Suni, dengan karya yang terkenal al-Maqalat, juga al-Ibanah ‘an ushul al-diyanah. Teologi ini selain mempunyai obyek kajian tersendiri, yaitu membicarakan ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya, maksudnya keyakinan kebenaran keagamaan islam; ilmu ini juga telah tersusun dengan baik/tersistematisasikan di dalam membahas obyek kajian itu; dan mempunyai metodologi tersendiri yaitu dialog ilmiah keagamaan, serta dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan salah satu dari tiga unsur keimanan seorang Muslim, yaitu dalam aspek nuthqun bi al-lisan.

Pada akhir-akhir ini Ilmu Kalam atau Teologi Islam telah berusaha menjadi sebuah advokasi bagi permasalahan sosial atau menjadi sebuah axiologi. Hal ini tampak dengan berkembangnya istilah-istilah seperti teologi feminisme, teologi gender, teologi kemiskinan, teologi kaum tertindas, teologi transformatif, teologi pembebasan, dan berbagai macam istilah lagi. Semua peristilahan itu pada dasarnya merupakan sebuah kajian ilmiah yang di dalamnya berbicara mengenai ayat-ayat al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya sebagai sumber primer keagamaan islam yang -- secara tematik -- mengadvokasi hal-hal yang berkait dengan ketimpangan sosial. 

Klik show Untuk melihat selanjutnya
D. Tokoh-Tokoh Kalam Kontemporer

1. Muhammad Abduh[11]

Nama lengkapnya aadalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah, lahir di desa Mahallar Nashar – al-Buhairah – Mesir tahun 1849. Dia bukan keturunan orang kaya dan bangsawan, tapi ayahnya sangat populer, dihormati dan suka memberi pertolongan. Awalnya Muhammad Abduh dikirim ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Tanta (sekarang menjadi pusat kebudayaan, selain al-Azhar). Karena sistem belajar yang menjengkelkan, maka setelah 2 tahun di sana dia kembali ke desa untuk bertani.

Setelah berumur 16 tahun dia dibujuk pamannya, Syekh Darwis, untuk belajar dengannya. Selanjutnya dia belajar ke Al-Azhar. Pada tahun 1871 Jamaluddin Al-Afgani datang ke Mesir, dan Abduh pun menyambutnya dengan senang hati, lantas belajar dengan beliau. Dia menjadi murid kesayangan al-Afgani dan mendorongnya untuk menulis bidang-bidang sosial dan politik (banyak dimuat di surat kabar Al-Ahram

Setelah selsai studi di Al-Azhar, dia mengajar di sana, di Dar al-Ulum dan di rumahnya sendiri. Ketika Jamaluddin Al-Afgani diusir dari Mesir tahun 1879 karena tuduhan atas gerakan perlawanan terhadap rezim Khedewi Taufiq, Abduh juga dituduh terlibat di dalamnya. Dia dibuang ke luar kota Kairo, dan pada tahun 1880 dia boleh kembali ke kota Mesir yang kemudian diangkat menjadi direktur surat kabar Al-Waqa’i Al-Mishriyyah (koran resmi pemerintah).

Ketika surat kabar itu dipimpin Abduh, mulai muncul kesadaran nasionalsme mesir, karena surat kabar tersebut memuat artikel dan opini tentang pentingnya nasionalisme. Tahun 1882 Abduh diusir dari Mesir atas tuduhan terlibat dalam revolusi Urabi, beliau memilih pergi ke Suriah. Di sini dia menetap selama 1 tahun, kemudia menyusul gurunya al-Afgani di Paris. Di Paris mereka berdua menerbitkan surat kabat Al-Urwah Al-Wustha yang bertujuan mendirikan Pan Islam untuk menentang penjajahan Barat, khusunya Inggris. Tahun 1883 Abduh diutus surat kabar itu ke Inggris untuk menjumpai tokoh-tokoh yang simpati kepada rakyat Mesir. Tahun 1899 dia diangkat menjadi Mufti Mesir hingga tahun 1905


Pemikiran Kalam Muhammad Abduh

a. Kedudukan akal dan wahyu

Dalam suasana umat Islam fanatisme mazhab, Abduh ingin membaskan mereka dari belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan keagamaan. Ketika itu pemikiran mereka beku, kaku, menutup pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Islam dan meng-istimbathkan-hukum, karena mereka meras cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang hidup pada masa kebekuan akal (jumud) dan khurafat-khurafat.

Menurut Muahammad Abduh peranan akal sangat besar dalam mengetahui dan memahami agama (dalam hal ini dia sama dengan paham Mu’tazilah). Menurut Abduh, wahyu berfungsi sebagai penolong akal dalam hal :

§ Mengetahui sifat dan keadaan kehidupan di akhirat
§ Mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya
§ Menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifatNya
§ Mengetahui cara beribadah dan berterima kassih kepada Tuhan
§ Menurut Abduh, menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam. Iman tidak sempurna tanpa akal. Kepercayaan kepada eksistensi Tuhan juga berdasarkan akal.
§ Menurut Abduh, wahyu tidak mungkin bertentagan dengan akal, jika terdapat pertentangan berarti ada penyimpangan dalam tataran interpretasi


b. Kebebasan Manusia dan Fatalisme

Menurut Muhammad Abduh, di samping mempunyai daya pikir, manusia juga memiliki kebebasan memilih, sebagai sifat dasar alami. Menurutnya, kalau sifat dasar itu dihilangkan, maka bukan lagi manusia tetapi makhluk lain. Dengan akalnya, manusia dapat mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukan, kemudian memutuskan dengan kemauannya dan selanjutnya mewujudkan dengan daya yang ada. Karena manusia secara alami atau sunnatullah mempunyai kebebasan untuk menetukan kemauan dan daya untuk mewujudkannya, maka dia tidak sefaham dengan aliran Jabariyah. Menurutnya, manusia mempunyai kemampuan berfikir dan kebebasan memilih, namun tidak absolut. Jika demikian, makan orang itu angkuh.


c. Kehendak Mutlak Tuhan

Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, maka Muhammad Abduh berpendapat bahwa Kehendak Tuhan tidak mutlak. Menurutnya Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dselain itu juga Kehendak Mutlak Tuhan telah dibatasi oleh sunnatullah seccara umum. Menurut Abduh Tuhan tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkannya. Dengan demikian bahwa Tuhan dengan kemauannya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.

d. Antrofomorfisme

Oleh karena Tuhan termasuk dalam alam ruhani (alam ghaib), maka rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Dalam hal ini Muhammad Abduh, yang memberikan kekuatan besar kepada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau ruh makhluk di alam ciptaannya ini. Kata-kata seperti wajah, tangan, duduk, al-Arsy, al-Kursy dan sebagainya yang terdapat dalam al-Qur’an, menurut Abduh tidak dapat dimaknai secara harfiyah, akan tetapi harus dipahami secara maknawi (interpretasi lewat takwil atau analogi).


2. Sayyid Ahmad Khan.[12]

Sayyid Ahmad Khan lahir di Delhi – India pada tahun 1817. Menurut suatu riwayat dia berasal dari keturunan Husein, cucu nabi Muhammad melalui Fatimah dan Ali bin Abi Thalib. Sejak kecil dia mendapat didikan tradisional dalam pengetahuan agama. Dia belajar bahasa Arab dan bahasa Persia. Dia juga sangat rajin membaca buku dalam berbagai bidang ilmu. Ketika berusia 8 tahun dia bekerja pada Serikat India Timur, di samping menjadi hakin. Pada tahun 1846 dia kembali ke Delhi dan mempergunakan kesempatan untuk belajar.

Di kota Delhi inilah dia dapat melihat langsung peninggalan-peninggalan kejayaan Islam, dan mulai bergaul dengan para tokoh dan pemuka muslim seperti Nawab Ahmad Baksh, Nawab Mustafa Khan, Hakim Mahmud Khan dan Nawab Amunddin. Selama di Delhi dia mulai mengarang buku, dengan karya pertamanya “Asar As-Sanadid”. Pada tahun 1855 dia pindah ke Bijnore dan tetap mengarang buku-buku penting tentang Islam dn India. Ketika terjadi pemberontakan dan kekacauan politik di Delhi pada tahun 1857, dia sempat berpikir untuk meninggalkan India menuju Mesir. Akan tetapi setelah sadar bahwa dia harus berjuang untuk kemajuan Islam dan India, maka dia memutuskan untuk membatalkan pindah ke Mesir dan tetap tinggal di India. Pada tahun 1861 dia mendirikan sekolah Inggris di Muradabad, dan hingga akhir hayatnya dia selalu mementingkan pendidikan umat Islam India. Pada tahun 1878 dia mendirikan lagi sebuah sekolah bernama “Muhammedan Anglo Oriental College” di Aligarh yang merupakan karya paling bersejarah dan berpengaruh untuk kemajuan umat Islam India.

Pemikiran Kalam Sayyid Ahmad Khan

Sayyid Ahmad Khan mempunyai kesamaan pemikiran dengan Muhammad Abduh. Hal ini dapat dilihat dari beberapa ide yang dikemukakannya, terutama tentang akal yang mendapat penghargaan tinggi dalam pandangannya. Namun demikian, dia masih berpendapat bahwa akal bukanlah segala-galanya dan kekuatan akalpun terbatas.

Keyakinan akan kekuatan dan kebebasan akal menjadikan Ahmad Khan percaya bahwa manusia bebas untuk menentukan kehendak dan melakukan perbuatan. Ini berarti bahwa dia mempunyai faham yang sama dengan Qadariyah. Karena keyakinannya terhadap faham qadariyah ini, Ahmad Khan menentang keras faha, taklid. Menurut dia penyebab kemunduran umat Islam India di antaranya adalah karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Gaung peradaban Islam klasik masih melenakan mereka, sehingga tidak menyadari bahwa peradaban baru telah muncul di Barat, berupa pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selanjutnya Ahmad Khan mengemukakan bahwa Tuhan telah menentukan tabiat dan nature (sunnatullah) bagi setiap makhluk-Nya yang tetap dan tidak berubah. Menurutnya, Islam adalah agama yang paling sesuai dengan hukum alam, karena hukum alam adalah ciptaan Tuhan dan al-Qur’an adalah firman-Nya maka tentu keduanya pasti seiring sejalan dan tidak mungkin ada pertentangan.

Sejalan dengan keyakinan tentang kekuatan akal dan hukum alam, maka Ahmad Khan tidak mau pemikirannya terganggu oleh otoritas hadits dan fiqh. Segala sesuatu diukurnya dengan kritik rasional dan menolak semua yang bertentangan dengan logika dan hukum alam.

3. Muhammad Iqbal.[13]

Muhammad Iqbal lahir di Sialkot pada tahun 1873. Dia berasal dari kalangan kasta Brahmana Khasmir. Ayahnya bernama Nur Muhammad yang terkenal sholeh dan sekaligus sebagai guru pertama Muhammad Iqbal. Setelah berguru dengan ayahnya, Muhammad Iqbal dimasukkan ke sebuah maktab untuk mempelajari al-Qur’an, dan setelah itu dia masuk ke Scottish Missin School di bawah bimbingan Mir Hasan memperdalam agama, bahasa Arab dan bhasa Persia. Selanjutnya dia pergi ke Lahore, sebuah kota besar di India, untuk belajar di Goverment College dan bertemu (berguru) dengan Thomas Arnold, seorang orientaslis yang menjadi guru besar di bidang filsafat. Setelah mendapat gelar MA tahun 1905 di Goverment College Muhammad Iqbal kemudian pergi ke Inggris untuk belajar filsafat di Universitas Cambridge.

Pemikiran Kalam Muhammad Iqbal

a. Hakikat Teologi

Secara umum Muhammad Iqbal memandang teologi sebagai ilmu yang berdimensi keimanan dan mendasarkan pada esensi tauhid (universal dan inklusivistik). Di dalamnya terdapat jiwa yang bergerak berupa “perasaan, kesetiakawanan dan kebebasan”. Pandangannya tentang ontologi teologi membuatnya berhasil melihat anomali (penyimpangan) yang melekat pada literatur ilmu kalam klasik. Teologi Asy’ariyah umpamanya, terlalu jauh bersandar pada akal, yang akibatnya mereka tidak sadar bahwa dalam wilayah pengetahuan agama, pemisahan antara pemikiran keagamaan dan pengalaman kongkrit merupakan kesalahan besar.

b. Pembuktian Tuhan

Dalam membuktikan eksistensi Tuhan, Muhammad Iqbal menolak argument kosmologi (hukum sebab akibat), ontologis (teori hakikat) dan teleologis (teori bahwa alam diatur menurut suatu tujuan tertentu) yang berusahan membuktikan eksistensi Tuhan yang mengatur ciptaan-Nya dari sebelah luar. Walaupun demikian, dia menerima landasan teleologi yang imanen (tetap ada).

c. Jati Diri Manusia
d. Dosa dan Neraka

e. Dosa

Muhammad Iqbal ecara tegas menyatakan bahwa al-Qur’an menampilkan ajaran tentang kebebasab ego manusia yang bersifat kreatif. Dalam hal ini, dia mengembangkan cerita kejatuhan Adam (karena memakan buah terlarang) sebagai kisah yang berisi pelajaran tentang “kebangkitan manusia dari kondisi primitif yang dikuasai hawa nafsu naluriah kepada pemilikan kepribadian bebas yang diperolehnya secara sadar

4. Hasan Hanafi.[14]

Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, dimana Inggris menjajah negara Mesir, hal ini membentuk semangat nasionalismenya ketika ia masih kecil. Pada tahun 1948 yang mana negara Israel telah terbentuk dan berdiri serta pecahnya perang Palestina, Hasan Hanafi ikut serta turun dan melakukan perangmelawan Zionisme dan menemukan arti penting dalam persatuan bangsa Arab dan Muslim. Hasan Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo.

Dalam Ikhwanul Muslimin dia aktif dalam mengikuti demonstrasi hingga adanya revolusi pada tahun 1952. dia berperan dalam demostrasi menentang persetujuan 1954 dengan Inggris Raya yang mengatur tentang evakuasi tentara Inggris. Di Perancis Hasan Hanafi menemukan permulaan kesadaran filosofis di tahun terakhir tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an Perancis menjadi pusat ilmu filsafat kontemporer di dunia. Di Perancis Hasan Hanafi meraih gelar doktornya.


Pemikiran Kalam Hasan Hanafi

a. Kritik terhadap teologi Tradisional

Dalam gagasannya tentang rekobstruksi teologi tradisiobal, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama pada masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.

Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliaun tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu.

Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya dikalangan umat. Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi.Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu :
  • Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengaj pertarungan globalisasi ideologi.
  • Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. Keperingan teologi yang bersifat praktis yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam.
Teologi Islam secara teoritis, menurut Hasan Hanafi, tidak bisa dibuktikan secara ‘ilmiah’ maupun filosofis. Teologi yang bersifat dialektik lebih diarahkan untuk mempertahankan doktrin dan memelihara kemurniannya, bukan dialektika konsep tentang watak sosial dan sejarah, disamping bahwa ilmu kalam juga sering disusun sebagai persembahan kepada para penguasa, yang dianggap sebagai wakil Tuhan di bumi. Sedemikian, hingga pemikiran teologi lepas dari sejarah dan pembicaraan tentang manusia disamping cenderung sebagai legitimasi bagi status quo daripada sebagai pembebas dan penggerak manusia kearah kemandirian dan kesadaran.

Selain itu, secara praktis, teologi tidak bisa menjadi ‘pandangan yang benar-benar hidup’ yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan konkrit manusia. Sebab, penyusunan teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia, sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritik dan keimanan praktis dalam umat, yang pada gilirannya melahirkan sikap-sikap moral ganda atau ‘singkritisme kepribadian’. Fenomena sinkritis ini tampak jelas, menurut Hanafi, dengan adanya ‘faham’ keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), konservatisme dan progresivisme (dalam sosial) dan kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).

Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu : Pertama, analisis bahasa, hal ini karena bahasa merupakan warisan nenek moyang yang merupakan tradisikhas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak dulu. Kedua, analisis sosial, hal ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu.

b. Teologi Antroposentris. [15]

Karena menganggap bahwa teologi Islam tidak ‘ilmiah’ dan tidak ‘membumi’, Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi, berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepada kontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas. Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akan adanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifat teoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalam sejarah.

Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitan dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori. Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang dalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yang tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi juga mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasional seperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yang metafisik, seperti Tuhan dan akherat.Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi, analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau para penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas berguna untuk menentukan stressing bagi arah dan orentasi teologi kontemporer. Untuk melandingkan dua usulannya tersebut, Hanafi paling tidak menggunakan tiga metode berfikir; dialektika, fenomenologidan hermeunetik.

Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan atas asumsi bahwa perkembangan proses sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis dimana tesis melahirkan antitesis yang dari situ kemudian melahirkan syntesis. Hanafi menggunakan metode ini ketika, sebelumnya, menjelaskan tentang sejarah perkembangan pemikiran Islam. Juga ketika Hanafî berusaha untuk membumikan kalam yang dianggap melangit. Apa yang dilakukan Hanafi terhadap kalam klasik ini sama sebagaimana yang dilakukan Marx terhadap pemikiran Hegel. Menurut Marx, pemikiran Hegel berjalan di kepalanya, maka agar bisa berjalan normal ia harus dijalankan diatas kakinya. Artinya, kalam klasik yang terlalu theosentris harus dipindah menjadi persoalan ‘material’ agar bisa berjalan normal.

Namun demikian, bukan berarti Hanafi terpengaruh atau mengikuti metode dialektika Hegel atau Marx. Hanafi menyangkal jika dikatakan bahwa ia terpengaruh atau menggunakan dialektika Hegel atau Marx. Menurutnya, apa yang dilakukan semata didasarkan dan diambil dari khazanah keilmuan dan realitas sosial muslim sendiri; persoalan kaya- miskin, atasan-bawahan dan seterusnya yang kebetulan sama dengan konsep Hegel maupun Marx. Hanafi sendiri juga mengkritik secara tajam metode dialektika Marx yang dinilai gagal memberi arahan kepada kemanusiaan, karena akhirnya yang terjadi justru totalitarianisme. Disini mungkin ia terilhami oleh inspirator revolosi sosial Iran; Ali Syariati, ketika dengan metode dialektikanya Syariati menyatakan bahwa manusia adalah syntesa antara ruh Tuhan (tesa) dan setan (anti-tesa).

Fenomenologi adalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859- 1938) sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui -- minamal-- dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan persoalan-persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya.

Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolosi. ‘Sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan metode fenomenologi untuk menganalisa Islam di Mesir’, katanya. Dengan metode ini, Hanafi ingin agar realitas Islam berbicara bagi dirinya sendiri; bahwa Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kacamata Islam sendiri, bukan dari Barat. Jika Barat dilihat dari kacamata Barat dan Islam juga dilihat dari Barat, akan terjadi ‘sungsang’, tidak tepat.

Hermeneutik adalah sebuah cara penafsiran teks atau simbol. Metode ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami, kemudian dibawa ke masa sekarang, yang aktivitas penafsirannya itu sendiri merupakan proses triadik; mempunyai tiga segi yang saling berhubungan, yakni teks, penafsir atau perantara dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan penafsiran harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks dan meresapi isinya, sehingga dari yang pada mulanya ‘yang lain’ menjadi ‘aku’ penafsir sendiri.

Hanafi menggunakan metode hermaunetik untuk melandingkan gagasannya berupa antroposentrisme-teologis; dari wahyu kepada kenyataan, dari logos sampai praktis, dari pikiran Tuhan sampai manusia. Sebab, apa yang dimaksud dengan hermeneutik, bagi Hanafi, bukan sekedar ilmu interpretasi tetapi juga ilmu yang menjelaskan tentang pikiran Tuhan kepada tingkat dunia, dari yang sakral menjadi realitas sosial.Menurut AH. Ridwan, hermeneutik Hanafi dipengaruhi metode hermeneutik Bultmann. Akan tetapi, penulis tidak melihat signifikansi yang jelas antara Bultmann dengan hermeneutik Hanafi. Kelihatannya Hanafi menggunakan aturan hermeneutik secara umum yang bersifat triadic kemudian mengisinya dengan nuansa Islam sehingga menjadi khas Hanafian.

c. Operasinalisasi Teologi Hasan Hanafi.[16]

Dari dua tawaran konsep diatas, ditambah metode pemikiran yang digunakan, Hanafi mencoba merekonstruksi teologi dengan cara menafsir ulang tema-tema teologi klasik secara metaforis-analogis. Di bawah ini dijelaskan tiga pemikiran penting Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam; zat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan soal tauhid.

Menurut Hanafi, konsep atau nash tentang dzat dan sifat- sifat Tuhan tidak menunjuk pada ke-Maha-an dan kesucian Tuhan sebagaimana yang ditafsirkan oleh para teolog. Tuhan tidak butuh pensucian manusia, karena tanpa yang lainpun Tuhan tetap Tuhan Yang Maha Suci dengan segala sifat kesempurnaan- Nya. Semua deskripsi Tuhan dan sifat-sifat-Nya, sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sebenarnya lebih mengarah pada pembentukan manusia yang baik, manusia ideal, insan kamil.

Diskripsi Tuhan tentang dzat-Nya sendiri memberi pelajaran kepada manusia tentang kesadaran akan dirinya sendiri (cogito), yang secara rasional dapat diketahui melalui perasaan diri (self feeling). Penyebutan Tuhan akan dzatnya sendiri sama persis dengan kesadaran akan keberadaan-Nya, sama sebagaimana Cogito yang ada dalam manusia berarti penunjukan akan keberadaannya. Itulah sebabnya, menurut Hanafi, mengapa deskripsi pertama tentang Tuhan (aushâf) adalah wujud (keberadaan). Adapun deskrip-Nya tentang sifat- sifat-Nya (aushâf) berarti ajaran tentang kesadaran akan lingkungan dan dunia, sebagai kesadaran yang lebih menggunakan desain, sebuah kesadaran akan berbagai persepsi dan ekspresi teori-teori lain. Jelasnya, jika dzat mengacu pada cogito, maka sifat-sifat mengacu pada cogitotum. Keduanya adalah pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.

Disini terlihat Hanafi berusaha mengubah term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan yang enam; wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah li al-hawâdits, qiyâm binafsihdan wahdaniyah, menafsirkan sebagai berikut.

Pertama, wujûd. Menurut Hanafi, wujud disini tidak menjelaskan wujud Tuhan, karena --sekali lagi-- Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair,kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan eksistensi diri.

Kedua, qidâm (dahulu) berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia didalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan.

Ketiga, baqa berarti kekal, pengalaman kemanusiaan yang muncul dari lawan sifat fana Berarti tuntutan pada manusia untuk membuat dirinya tidak cepat rusak atau fana, yang itu bisa dilakukan dengan cara memperbanyak melakukan hal-hal yang konstruktif; dalam perbuatan maupun pemikiran, dan menjauhi tindakan-tindakan yang bisa mempercepat kerusakan di bumi. Jelasnya, baqa adalah ajaran pada manusia untuk menjaga senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental.

Keempat, mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yang lain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya tuntunan agar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri.

Kelima,wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.

Dengan penafsiran-penafsiran term kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunistik.

Menurut Hanafi, apa yang dimaksud tauhid bukan merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih mengarah untuk sebuah tindakan kongkrit (fi’li); baik dari sisi penafian maupun menetapan (itsbat). Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa dimengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit.

Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.

Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang, Barat dan bukan Barat, dan seterusnya.

5. Mohammed Arkoun.[17]

Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 2 Januari 19283 di perkampungan Berber, sebuah desa di kaki gunung Taorirt-Mimoun, Kabilia, sebelah timur Aljir, Aljazair. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah. Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Kemudian, dia melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair. Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris.

Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969, saat ketika dia menyelesaikan pendidikan doktor di bidang sastra pada Universitas tersebut. Arkoun menulis desertasi doktor mengenai humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih (w. 1030 M), seorang pemikir Arab di Persia pada abad X M yang menekuni kedokteran dan filsafat. Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang menguasai berbagai bidang ilmu dan menekuni persamaan dan perbedaan antara Islam dengan tradisi pemikiran Yunani. Semenjak menjadi dosen di Universitas Sorbonne tersebut, Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis.

Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Bahasa Berber Kabilia merupakan alat untuk mengungkapkan berbagai tradisi dan nilai mengenai kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah ribuan tahun usianya, bahasa Arab merupakan alat untuk melestarikan tradisi keagamaan Islam di Aljazair dan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Sedangkan bahasa Perancis merupakan bahasa administrasi pemerintahan serta alat untuk mengenal nilai-nilai dan tradisi keilmuan Barat, terutama Perancis.

Pada tahun 1970-1972 Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan kembali lagi ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam di Universitas Sorbonne. Karena kepakarannya, Arkoun sering diundang untuk memberi kuliah dan ceramah ilmiah di sejumlah universitas dan institusi keilmuan dunia, seperti University of California, Princeton University, Temple University, Lembaga Kepausan untuk Studi Arab dan Islam di Roma, Universitas Katolik Louvain-la Neuve di Belgia, Universitas Amsterdam, Institut of Ismaili Studies di London, dan sebagainya. Dia juga pernah memberi kuliah di Rabat, Fez, Aljir, Tunis, Damaskus, Beirut, Berlin, Kolumbia, Denver, Indonesia, dan sebagainya. Di dalam menjalani profesinya sebagai pengajar, Arkoun selalu menyampaikan pendapatnya secara logis berdasarkan analisis yang memiliki bukti dan interaksi falsafati-religius, sehingga dapat membangkitkan kebebasan berbicara dan berekspresi secara intelektual, serta membuka peluang terhadap kritik.

Selain mengajar, Arkoun juga mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan menduduki jabatan penting di dunia akademis dan masyarakat. Dia menjabat sebagai direktur ilmiah jurnal Arabica, anggota Panitia Nasional Perancis untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran, anggota Majelis Nasional Perancis untuk AIDS dan anggota Legiun Kehormatan Perancis (chevalier de la Legion d’honneur). Dia pernah mendapat gelar kehormatan, diangkat sebagai Officier des Palmes Academiques, sebuah gelar kehormatan Perancis untuk tokoh terkemuka di dunia universitas dan pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Neuvelle (Paris III).

Arkoun terus mencoba pemahaman-pemahaman yang baru tentang Islam dan kaum Muslim dengan menggunakan teori-teori mutakhir yang berkembang di dunia Barat modern. Upaya tersebut dilakukannya untuk memadukan unsur yang sangat mulia di dalam pemikiran Islam dengan unsur yang sangat berharga di dalam pemikiran Barat modern (rasionalitas dan sikap kritis). Dengan begitu, Arkoun berharap akan muncul suatu pemikiran yang bisa memberikan jawaban atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum Muslim akhir-akhir ini dan dapat membebaskannya dari belenggu yang mereka buat sendiri.


Pemikiran Kalam Al-Arkom

Pemikiran Muhammed Al-Arkom sesungguhnya meliputi pemikiran kontemporer keislama secara umum, yakni menyangkut seluruh aspek ajaran Islam. Adapun pemikirannya di bidang teologi Islam atau Ilmu Kalam dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Semua hasil semiotik manusia dalam proses penampakan sejarah dan budaya merupakan sasaran dari perubahan sosial yang oleh Arkoun disebut sebagai historicity. Dan sebagai artikulasi makna bagi alat sosial dan budaya, teks al-Qur’an juga merupakan sasaran dari historicity. Dengan demikian, tidak ada akses dari keberadaan historis kita terhadap fenomena absolut di luar fenomena dunia wilayah kita. Penampakan-penampakan yang ditampilkan oleh ontologi (keberadaan kebenaran yang pertama) dan transendensi milik nalar teologis dan nalar metafisis tentu telah meniadakan historisitas sebagai dimensi kebenaran. Hal ini terjadi karena, karena alat-alat, konsep-konsep, definisi-definisi dan postulat-postulat yang terus berubah digunakan untuk mengetahui kebenaran. Hal ini bertentangan dengan semua pemikiran abad pertengahan yang didasarkan pada esensi-esensi dan substansi-substansi yang telah mapan. Konsep wahyu harus ditinjau ulang menurut sistem semiotik yang menjadi sasaran historisitas. Di dalamnya ada demistifikasi dan demitologisasi fenomena kitab suci dari semua sakralisasi dan interpretasi yang dilahirkan oleh nalar teologis.

b. Terdapat berbagai tingkatan dan bentuk nalar yang berinteraksi dengan angan-angan (imagination) sebagaimana yang telah ditunjukkan di dalam ketegangan antara logos (kalam yang dipedebatkan) dengan mythos (kalam yang tidak dapat dipertanyakan), simbol dengan konsep, metafora dengan realitas, makna dhahir dan makna batin pada sejarah Islam. Imagination dan imaginaire dianggap sebagai bagian dinamis dari ilmu pengetahuan dan tindakan. Ideologi-ideologi yang membuat mobilisasi, baik dalam kerangka agama maupun dalam kerangka sekuler, dihasilkan dan digunakan oleh imaginaire sosial. Pengaruh imaginaire tersebut sangat menentukan di dalam masyarakat Muslim seperti di Timur Tengah, karena budaya rasional hanya mempunyai pengaruh yang sedikit, berbeda dengan masyarakat Barat yang meski juga masih memiliki imaginaire. Garis pemikiran seperti ini merupakan pendekatan mitis dalam metodologi analisis antropologis.

c. Iman merupakan kristalisasi dari angan-angan, penampilan-penampilan, dan ide-ide yang diberikan secara umum oleh tiap kelompok yang berada di dalam pengalaman sejarah. Dari garis keempat ini, dapat diketahui bahwa pendekatan Arkoun adalah post-strukturalis semiotis sosiokritis dengan metodologi linguistik kritis. Dan perlu diketahui bahwa kata discours menuntut adanya pembicara yang menyampaikan pesan (pengirim), penerima pesan yang bereaksi terhadap pesan yang disampaikan sesuai dengan situasi (konteks) pembicaraan yang berupa suatu lingkungan semiologis yang menentukan emisi dan penerimaan pesan, serta menuntut adanya bahasa yang digunakan sebagai alat penyampaian pesan yang tentu sangat terkait erat dengan cara pandang dan cara pikir para penuturnya.

d. Pada saat ini kita sedang mengalami krisis legitimasi, di mana sistem legitimasi tradisional yang dikemukakan oleh ilmu Ushul al-Din dan Ushul al-Fiqh sudah tidak memiliki relevansi historis lagi. Belum ada suatu sistem legitimasi baru yang dibangun dengan suara bulat di kalangan umat. Namun, menurut Arkoun, pada saat ini kita sedang tertantang untuk dapat mengajukan sebuah sistem legitimasi bagi ilmu pengetahuan, terutama bagi pemikiran Islam dengan memakai prinsip-prinsip epistemologi kritis. Yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah apa persyaratan teoritis dari sebuah teologi yang modern, yang ditujukan tidak hanya pada lembaga-lembaga politik, namun juga pada ilmu pengetahuan yang universal dari tiga agama wahyu (Islam, Yahudi dan Kristen). Pendapat Arkoun ini bertentangan dengan jaminan teologis dari pewahyuan atau ontologi klasik mengenai keberadaan awal dari neo-platonik yang didasarkan pada legitimasi syari’ah yang tidak dapat dipertanyakan itu, sehingga Arkoun menggugat adanya legitimasi kekuasaan yang dimonopoli oleh sekelompok orang. Garis pemikiran kelima ini agaknya merupakan pendekatan kritik epistemologis dari metodologi historis filosofis. Titik sentral pemikiran Arkoun terletak pada kata kunci kritik epistemologis yang digunakan dalam banyak konteks yang berbeda-beda dan barangkali terinspirasi dari istilah “kritik” dalam pemikiran Immanuel Kant, sekalipun bisa jadi memang karena budaya kritik yang pernah hidup subur di kalangan umat Islam. Kritik epistemologis ini ditujukan pada bangunan keilmuan agama secara keseluruhan, yang dilihat Arkoun sebagai produk sejarah yang terkait dengan ruang dan waktu tertentu.


Wahyu dan Teks Alqur’an

Untuk kepentingan analisisnya, Arkoun membedakan tiga tingkatan anggitan tentang wahyu. Pertama, wahyu sebagai Firman Allah yang transenden, tidak terbatas dan tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjuk realitas wahyu seperti ini, biasanya dipakai anggitan al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al-Kitab. Kedua, wahyu yang diturunkan dalam bentuk pengujaran lisan dalam realitas sejarah yang disebut sebagai discours religious dan berfragmen dalam bentuk kitab Bibel (Taurat dan Zabur), Injil dan Alqur’an. Berkenaan dengan Alqur’an, realitas yang ditunjuk adalah Firman Allah yang diwahyukan ke dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad selama kurang lebih dua puluh tahun. Dan Ketiga, wahyu yang direkam di dalam catatan, yang ternyata menghilangkan banyak hal, terutama situasi pembicaraan (sementara asbab alnuzul ternyata belum dapat mengembalikan hal-hal yang hilang ketika suatu pembicaraan direkam ke dalam tulisan).

Pencatatan Alqur’an tersebut memiliki sejarah sendiri, yaitu bermula dari tulisan parsial yang terserak-serak sampai pada penetapan corpus officiel clos (mushaf resmi tertutup). Pada awalnya, mushaf resmi tertutup ini masih memungkinkan pembacaan yang berbeda-beda, namun kemudian ditutup dengan adanya dua “pembakuan”. “Pembakuan” tersebut, adalah pertama oleh Abu Bakr Ibn Mujahid pada tahun 324 H yang mengakhiri kemungkinan varian-varian bacaan dengan hanya mengesahkan tujuh bacaan saja, dan kedua, oleh adanya penerbitan Alqur’an standar di Kairo tahun 1924 M yang kemudian disebarluaskan ke seluruh dunia.

Penyebaran dalam skala teks ini membuat tidak bisa dipikirkannya kembali persoalan-persoalan besar dalam teologi klasik dan tidak bisa dibukanya kemungkinan adanya suatu penyelidikan yang bertujuan untuk membedakan Qur’anic fact (le fait coranique) dengan Islamic fact (le fait islamique). Kenyataan qur’ani memiliki sifat transenden, transhistoris, dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan pemaknaan, sedangkan kenyataan islami memiliki sifat historis dan merupakan pengejawantahan dari salah satu garis makna yang terkandung di dalam kenyataan qur’ani.

Kenyataan islami lahir melalui penafsiran manusia (baik oleh ahli fiqh maupun kalam) terhadap kenyataan qur’ani, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya garis, aliran, dan corak pemikiran, seperti sunni, syi’i, khariji dan berbagai cabangnya yang berusaha mendapat pengakuan sebagai pemilik kebenaran tertentu, walaupun sebenarnya merupakan gerakan politik.

Problem tersebut kemudian diteruskan dengan munculnya corpus interpretes (korpus-korpus penafsir) yang lahir sebagai produktifitas teks dan bukan sebagai produktifitas wacana. Ternyata, kesemua itu kemudian disebut sebagai ajaran suci yang menghasilkan sejarah penyelamatan manusia. Tentang hal ini, Arkoun juga menjelaskan dalam bentuk gambar sebagai berikut:

Pembacaan al-Qur’an

Arkoun menyadari bahwa dengan kelahiran teks Alqur’an, perubahan mendasar di kalangan umat dalam memahami wahyu telah terjadi. Raison graphique (nalar grafis) telah mendominasi cara berpikir umat, sehingga logos kenabian (prophetique) didesak oleh logos pengajaran (professoral). Selain itu juga telah terjadi pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari segala dimensinya. Dalam kategori semiotik, teks Alqur’an sebagai parole didesak oleh teks sebagai langue, sehingga Alqur’an kini tetap menjadi parole bagi kaum mukmin. Langue adalah keseluruhan kebiasaan yang diperoleh secara pasif yang diajarkan oleh masyarakat bahasa, dan parole adalah keseluruhan apa yang diujarkan orang dan merupakan manifestasi individu dari bahasa. Untuk itulah, menurut Arkoun, tujuan qira’ah adalah untuk comprendre, mengerti komunikasi kenabian yang hendak disampaikan lewat teks yang bersangkutan, yaitu mencari makna yang hendak disampaikan lewat teks tersebut, dengan cara mengoptimalkan setiap kemungkinan untuk mereproduksi makna.

Arkoun melihat, paling tidak ada tiga macam cara pembacaan Alqur’an. Pertama, secara liturgis, yaitu memperlakukan teks secara ritual yang dilakukan pada saatsaat shalat dan doa-doa tertentu. Pembacaan liturgis ini bertujuan untuk “mereaktualisasikan saat awal ketika Nabi mengujarkannya untuk pertama kali” agar didapatkan kembali keadaan ujaran (situation de discours) dari “ujaran 1”.

Dengan cara ini, manusia melakukan komunikasi rohani, baik secara horisontal maupun vertikal, dan sekaligus melakukan pembatinan terhadap kandungan wahyu. Kedua, pembacaan secara eksegesis yang berfokus utama pada “ujaran 2”, yaitu ujaran yang termaktub di dalam mushaf, seperti yang dilakukan oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H/1209 M). Dan ketiga, cara baca yang ingin dikenalkan oleh Arkoun, yaitu dengan cara memanfaatkan temuan-temuan metodologis yang disumbangkan oleh ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu bahasa.

Menurut Arkoun, ketiga cara baca tersebut tidak saling menyisihkan satu sama lain, dan bahkan saling memberikan sumbangan untuk memahami teks-teks Illahi yang tidak akan pernah tuntas dikupas oleh manusia. Untuk pembacaan seperti itu, Arkoun mengajukan tahap pembacaan Alqur’an ke dalam dua tahap kritis, yaitu tahap linguistik kritis dan tahap hubungan kritis. Dalam tahap pertama, pembacaan dilakukan dengan memakai data-data linguistik (seperti tanda-tanda bahasa, modalisateurs du discours, aras sintaksis, aras semantik dan sebagainya) untuk mengetahui maksud dari pengujar (locateurs). Dan pada tahap kedua, pembacaan dilakukan dengan menempuh dua langkah, langkah kesatu eksplorasi historis (meneliti khazanah tafsir klasik dan berupaya menemukan petanda terakhir di dalamnya dengan kode-kode linguistik, keagamaan, kultural, simbolis, anagogis, dan sebagainya) dan langkah kedua eksplorasi antropologis (dilakukan dengan analisis mitis/simbolis, dengan memeriksa tanda, simbol dan mitos yang menyertai sebuah qira’ah).

Pemikiran-pemikiran Arkoun yang telah dikemukakan tersebut, ternyata mendapatkan sambutan di kalangan intelektual Muslim di seluruh dunia. Corak pemikiran model Arkoun dinilai oleh beberapa kalangan sebagai corak yang sangat berbeda dengan pemikiran Islam yang telah ada. Telaah Arkoun, berbeda dengan telaah model orientalis (yang juga dikritiknya) dan berbeda dengan model pemikiran kaum Muslim lainnya.

Arkoun berbeda dengan Hassan Hanafi yang bobot kalam dan filsafatnya sangat kental, atau berbeda dengan Sayyid Hussein Nasr yang bobot tasawwuf dan filsafatnya sangat menonjol dan lebih-lebih lagi berbeda dengan model Ismail Raji al-Faruqi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lebih bernuansa islamisasi ilmu pengetahuan. Arkoun yang post-modernis berbeda dengan Fazlur Rahman yang modernis dengan belum begitu tegas dan tandas dalam menguraikan metodologi dan alat keilmuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan rekonstruksi sistematis dan bahkan sesekali ragu jika harus dihadapkan dengan pilihan antara model pemikiran Islam yang beraroma “normatif” atau “historis empiris”, yang kemudian dijawab secara tegas oleh Arkoun dengan memilih yang “historis empiris”. Arkoun bahkan juga mengkritik pemikiran Taha Husein dan Ali Abd Raziq sebagai pemikiran yang tidak didasarkan pada kebijaksanaan untuk mencari kompromi antara kebebasan intelektual yang tercerahkan dengan prasangka-prasangka keagamaan dari massa.

Namun demikian, Arkoun dapat ditempatkan sama dengan Edward Said, Fatima Mernissi dan Hassan Hanafi yang melihat hasil dan pembacaan teks sebagai tindakan politik. Atau bahkan dapat dinilai sama seperti Nasr Hamid Abu Zayd yang menempatkan teks al-Qur’an sebagai hasil sosial budaya dan mengajukan pembacaan al-Qur’an dengan tinjauan ilmu semiotik historis.

Karena karya Arkoun berada di dalam wilayah kajian epistemologi murni dan kurang menyentuh secara langsung pada bangunan pemikiran keagamaan, maka karya Arkoun dinilai oleh sementara kalangan kurang memperoleh gaung di dalam masyarakat, pengikut berbagai agama. Bahasa yang digunakan Arkoun juga dinilai serba rumit dengan memakai istilah dan anggitan yang tanpa rumusan secara jelas dalam berbagai artinya yang berbeda-beda, sehingga cukup menyulitkan untuk dipahami, meskipun begitu mampu menumbuhkan kesadaran untuk memperluas cakrawala ilmu pengetahuan para pembacanya.

6. FAZLURRAHMAN.[18]

Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 yang letaknya di Hazara sebelum terpecahnya India, kini merupakan bagian dari Pakistan. Fazlur Rahman di besarkan dalam madzhab Hanafi. Madzhab Hanafi merupakan madzhab yang didasari al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi cara berfikirnya lebih rasional. Dengan demikian tidak dapat di pungkiri Fazlur Rahman juga rasional di dalam berfikirnya, meskipun ia mendasarkan pemikirannya pada al-Qur’an dan sunnah.

Fazlur Rahman dilahirkan dari keluarga miskin yang taat pada agama. Ketika hendak mencapai usia 10 tahun ia sudah hafal al-Qur’an walaupun ia di besarkan dalam keluarga yang mempunyai pemikiran tradisional akan tetapi ia tidak seperti pemikir tradisional yang menolak pemikiran modern, bahkan Ayahnya berkeyakinan bahwa islam harus memandang modernitas sebagai tantangan dan kesempurnaan. Ayahnya Maulana Shihabudin adalah alumni dari sekolah menengah terkemuka di India, Darul Ulum Deoband . Meskipun Fazlur Rahman tidak belajar di Daril Ulum, ia menguasai kurikulum Dares Nijami yang di tawarkan di lembaga tersebut dalam kajian privat dengan Ayahnya, ini melengkapi latar belakangnya dalam memahami islam tradisional dengan perhatian khusus pada fikih, Ilmu kalam, Hadits, Tafsir, Mantiq, dan Filsafat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu dasar ini, ia melanjutkan ke Punjab University di Lahore dimana ia lulus dengan penghargaan untuk bahasa Arabnya dan di sana juga ia mendapatkan gelar MA-nya. Pada tahun 1946 ia pergi ke Oxford dengan mempersiapkan disertasi dengan Psikologi Ibnu Sina di bawah pengawasan professor Simon Van Den Berg. Disertasi itu merupakan terjemah kritikan dan kritikan pada bagian dari kitab An-Najt, milik filosof muslim kenamaan abad ke-7, setelah di Oxford ia mengajar bahasa Persia dan Filsafat Islam di Durham University Kanada dari tahun 1950-1958. ia meninggalkan Inggris untuk menjadi Associate Professor pada kajian Islam di Institute Of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada di Montreal. Dimana dia menjabat sebagai Associate Professor Of Philosophy.

Pada awal tahun 60 an Fazlur Rahman kembali ke Pakistan. Pada bulan Agustus 1946 Fazlur Rahman di tunjuk sebagai Direktur Riset Islam, setelah sebelumnya menjabat sebagai staf lembaga tersebut. Selain menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam, pada tahun 1964 ia di tunjuk sebagai anggota dewan penasehat Ideologi Pemerintah Pakistan. Namun usaha Fazlur Rahman sebagai seorang pemikir modern di tentang keras oleh para ulama tradisional-findamentalis. Puncak dari segala kontroversialnya memuncak ketika 2 bab karya momumentalnya, Islam ( 1966 ) di tentang keras karena pernyataan Fazlur Rahman dalam buku tesebut “ Bahwa Al-Qur’an itu secara keseluruhan adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa juga seluruhnya merupakan perkataan Muhammad “ sehingga Fazlur Rahman di anggap orang yang memungkiri Al-Qur’an kemudian pada 5 September 1986 ia mengundurkan diri dari jabatan Direktur lembaga Riset Islam yang langsung di kabulkan oleh Ayyub Khan.

Tidak kurang dari 18 tahun lamanya Fazlur Rahman menetap di Chicago dan mengkomunikasikan gagasan-gagasannya baik lewat lisan maupun tulisan sampai akhir tahun memanggilnya pulang pada tahun 26 juli 1988 jauh sebelum ia sudah terkena penyakit diabetes yang kronis dan serangan jantung sehingga ia harus di operasi. Operasi ini berhasil se tidak-tidaknya untuk beberapa minggu hingga ajal menjemputnya. Kepergian beliau merupakan suatu kehilangan bagi dunia Intelektual Islam.

Pemikiran Fazlur Rahman

Fazlur Rahman dengan segala kemampuan intelektualnya sudah tentu tidak bebas dari kekurangan dan kelemahan. Maka adalah hak kita untuk menerima, menyetujui atau menolak seluruh atau sebagian hasil pemikirannya untuk semua pada posisi penerimaan atau penolakan, seorang intelektual pencari kebenaran sudah tentu akan mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pendapat dan pemikiran yang di kemukakan untuk menilai pendapat Fazlur Rahman, orang harus memahami al-Qur’an sebagai sebuah ajaran yang utuh lebih dulu, di samping Sunnah, Sejarah Islam dan lain-lain. Di antara pemikiran Fazlur Rahman antara lain :

a. Ia menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah suatu karya misterius atau karya sulit yang memerlukan manusia berlatih secara teknis untuk memahami dan menafsirkan perintah-perintahnya, di sini di jelaskan pula prosedur yang benar untuk memahami al-Qur’an

b. Seseorang harus mempelajari al-Qur’an dalam Ordo Histories untuk mengapresiasikan tema-tema dan gagasan-gagasannya.

c. Seseorang harus mengkajikan dalam konteks latar belakang social historisnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk ayat-ayatnya secara individual tapi juga untuk al-Qur’an secara keseluruhan. Tanpa memahami latar belakang mikro dan makronya secara memadai. Menurut Fazlur Rahman, besar kemungkinan seseorang akan salah tangkap terhadap élan dan maksud al-Qur’an aktifitas Nabi baik di Mekkah atau di Madinah.

d. Dalam karyanya Islam and Modernity 1982 Fazlur Rahman menekankan, akan mutlak perlunya mensistematiskan materi ajaran al-Qur’an. Tanpa usaha ini bisa terjadi penerapan ayat-ayatnya secara individual dan terpisah berbagai situasi akan menyesatkan.

Fazlur Rahman adalah sosok pemikir intelektual yang tinggi di mana ia dapat menghasilkan karya-karyanya yang begitu banyak dan bermanfaat penting bagi ilmu pengetahuan kita. Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas pengetahuan tentang tasawuf dan juga filsafat. Dengan berbagai cara dan jalan yang di tempuh beliau untuk menyampaikan gagasannya yang bernilai sangat tinggi sebagai suatu gerakan Islam. Dalam pengembangan agamanya adalah perjuangan beliau selama hidup. Karya-karya yang begitu banyak mengajarkan kita segala ilmu pengetahuan tentang islam yang pertama kali di ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana cara Fazlur Rahman menjelaskan tentang wahyu dan perjalanan Nabi Muhammad dalam menyebarkan islam. Fazlur Rahman juga menjelaskan apa itu al-Qur’an dan segala bentuk ajaran agama Islam. Serta asal-usul perkembangan tradisi sampai perkembangan modern juga tentang filsafatnya telah banyak di sampaikan.


7. Ismail al Faruqi.[19]

Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pada tahun 1926-1936 bersekolah di Colleges des Freres yang terletak di Libanon. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut.Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat.Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat di University of Indiana dan University of Harvard.Dia melanjutkan pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana dan di Al-Azhar University pada tahun 1952. Dia kemudian mengajar beberapa universitas diseluruh dunia diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Seirkat. Pada tahun 1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat.Sebagai anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Namun, ia dengan tegas membedakan Zionisme dan Yahudi. Dalam buku Islam and Zionism, ia berkata bahwa Islam adalah agama yang menganggap agama Yahudi sebagai agama tuhan, yang ditentang Islam adalah politik Zionisme.Pembunuhan atas dirinya dan istrinya diduga karena kritiknya yang keras terhadap kaum Zionis Yahudi. Ismail Raji al-Faruqi meninggal dunia karena dibunuh pada tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya.

Pemikiran Kalam Ismail al Faruqi

Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tauhid. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa syahadat menempati posisi sentral dalam kehidupan manusia baik dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir. Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat. Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhandan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.


8. H.M. Rasyidi.[20]

H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 - 30 Januari 2001) adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.

Pemikiran Kalam H.M Rasyidi

Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Tentang Ilmu kalam, ia membedakannya dengan teologi. Menurutnya teologi berarti ilmu ketuhanan yang kemudian mengandung beberapa aspek ajaran Kristen yang diluar kepercayaan sehingga teologi kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu Kalam. Tentang akal, beliau berpendapat bahwa akal tidak mampu mengatahui baik dan buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat barat. Dengan menganggap akal dapat mengetahui baik dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Pemikiran H.M Rasydi ini sedikit banyaknya mengarah kepada pemikiran Al Maturdiyah yang banyak dianut di Indonesia.


9. Harun Nasution.[21]

Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. Kemudian bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari Moderne Islamietische Kweekschool. Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada tahun 1952, meraih gelar sarjana muda di American University of Cairo.Harun Nasution menjadi pegawai Deplu RI di Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah.Hasan Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional.

Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga.Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain : Akal dan Wahyu dalam Islam (1981), Filsafat Agama (1973), Islam Rasional (1995) dan Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)

Pemikiran Kalam Harun Nasution

Secara garis besar pemikiran mengarah kepada pemikiran Muktazillah yang menunut kepada peranan akal dalam kehidupan manusia. Dalam salah satu bukunya ia berpendapat bahwa akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain sekitarnya. Hal ini dasarkan ada kenyataan bahwa Islam memberikan kedudukan yang tinggi terhadap peranan akal dalam kehiduapn manusia untuk perkembangan ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan keagamaan Islam.

Dalam hal pembaharuan teologi, ia sependapat dengan pandangan kaum modernis yang berpendapat bahwa perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati untuk bangkit dari keterpurukan dan kemunduran ummat Islam di Indonesia. Hal ini dikarenakan ummat Islam yang lebih cenderung dengan teologi fatalistik, serta menyerahkan nasib telah membawa nasib mereka menuju kemunduran.

Dalam hal hubungan akal dan wahyu, sebagaimana pemikiran ulama Muktazillah terdahulu. Harun Nasution berpendapat bahwa akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al Qur’an. Oranga yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan. Dengan demikian kita tidaklah heran kalau Sirajudin Abbas berpendapat bahwa Kaum Muktazillah banyak mempergunakan akal dan lebih mengutamakan akal bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.

Dari keempat pemikiran sebagaimana disebutkan diatas setidaknya dapat kita pahami bahwa masing masing tokoh memang tidak dapat terlepaskan dari pemikiran kalam dimasa lalu. HM. Rasyidi misalnya pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Ahlusunnah wal Jamaah atau al Maturidiytah yang dibangun oleh al Imam Asy’ari dan al Maturdi. Demikian juga dengan Harun Nasution dan Hasan Hanafi yang pemikirannya lebih cenderung kepada pemikiran Muktazilah dan Qadariyah yang lebih menekankan peranan akal dalam menghadapi realita takdir atau nasib dalam kehidupan di dunia ini.

Sesungguhnya bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif. Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah. Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.[22]


Daftar Pustaka dan Footnote
  • Abdul Rozak, Filsafat Ilmu Kalam (Studi Ilmu Pemikiran Dalam Islam), Makalah disampaikan dalam Call for papers bagi Dosen Senior PTAI Annual Conference on Islamc Studies IX Tahun 2009
  • Rosihan Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN dan PTAIS, Pustaka Setia, Bandung
  • Sulhani Hermawan, Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, Dinamika Vol. 3 No. 1 Tahun 2004
______________________
[1] Ibrohim Nawawi, Theologi Islam; Kilas Historis Memahami Akar Keimanan, http://ibrohimnaw.wordpress.com
[2] Ibid
[3] Abdul Rozak, Filsafat Ilmu Kalam (Studi Ilmu Pemikiran Dalam Islam), Makalah disampaikan dalam Call for papers bagi Dosen Senior PTAI Annual Conference on Islamc Studies IX Tahun 2009
[4] http://islamwiki.blogspot.com
[5] Hardiansyah Suteja, Meninjau Ulang Diskursus Teologi Islam dalam Dunia Modern
[6] Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (http://media.isnet.org
[7] Abdul Rozak, ibid
[8] Ibrohim Nawawi, ibid
[9] Ibid
[10] Abdul Rozak, ibid
[11] Rosihan Anwar dan Abdul Razak, Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN dan PTAIS, Pustaka Setia, Bandung, hal. 211
[12] Ibid, hal. 217
[13] Ibid, hal. 219
[14] ilmu kalam masa kini dalam www.facebook.com
[15] A Khudori Soleh, Rekonstruksi Teologi Hasan Hanafi, http://www.scribd.com
[16] A Khudori Soleh, Ibid
[17] Sulhani Hermawan, Mohammed Arkoun dan Kajian Ulang Pemikiran Islam, Dinamika Vol. 3 No. 1 Tahun 2004
[18] http://makalah-ibnu.blogspot.com
[19] http://www.facebook.com
[20] Ibid
[21]Ibid
[22] Teologi Rasional Mu’tazilah ala Harun Nasution, http://ahmadfathulbari.mltiply.cpm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar