Model Kepemimpinan Ir. Soekarno


Ir. Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 adalah Presiden pertama Indonesia yang menjabat pada periode 1945 – 1965. Beliau sangat berperan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Soekarno mengemukakan gagasan dan merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selama masa pemerintahan orde lama, yang dilakukan pada masa pemerintahan Soekarno adalah sistem Presidensial dengan artian Presiden sebagai kepala Negara yang berjalan pada setiap periodik masa jabatan dan keseimbangan terhadap pemerintah dan rakyat. Kemudian sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia dipemerintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer. Pada masa pemerintahan ini, pengakuan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat besar. Kemudian setelah terjadi Dekrit Presiden tahun 1959 pada tanggal 5 Juli. Indonesia menganut sistem Demokrasi terpimpin adapun keberhasilan yang dicapai pada masa pemerintahan orde lama ialah nation building yang sangat kuat dan diplomasi luar negeri yang sangat besar terhadap dunia.
Namun tentunya selain kelebihan itu ada pula kekurangannya. Sistem pemerintahan yang parlementer menjadikan masa jabatan kabinet yang sangat singkat dan pemerintahan yang tidak stabil. Adapun pemerintahan demokrasi terpimpin, kepala negara atau presiden menjadi kepala negara seumur hidup dan hampir pemerintahannya sangat otoriter dan tentunya ini menyalahi UUD 1945. Selain itu kegagalan lain masa pemerintahan Soekarno ialah masalah ekonomi yang terus menurun, stabilitas politik keamanan sangat kurang dan konstitusi yang tidak komitmen.
Pada masa Soekarno (1945 – 1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, flamboyan dan heroik, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan kolonialisme serta konfrontasi. Pendahulu politik bebas-aktif lebih condong bergerak ke kiri, di mana Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan tampak Gerang terhadap AS dan sekutu Baratnya. Bangkitnya PKI dan kelompok-kelompok kiri pada masa Soekarno memang ikut mempengaruhi agresifitas politik luar negeri Indonesia. Namun, agresifitas itu bisa dipahami karena menonjolnya berbagai kepentingan nasional Indonesia pada masa-masa  pasca-kemerdekaan hingga dekade 1960-an. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor determinan politik luar negeri seperti tersebut diatas. Pertama, kondisi politik dalam negeri pasca proklamasi masih kurang stabil dan diwarnai pertentangan basis pencarian dan pemilihan ideologi negara. Berbagai perubahan konstitusi dan bentuk Negara pun terjadi, mulai dari UUD 1945, UUDS 1950, dan kembali ke UUD 1945, bentuk NKRI pun berubah ke RIS dan kembali ke NKRI, bahkan idelogi Pancasila pun berpaham NASAKOM. Perubahan-perubahan tersebut tak lepas dari pengaruh Belanda (dan sekutu) yang masih mengivasi Indonesia sampai tahun 1948 serta dinamika gerakan-gerakan politik (partai) di Indonesia yang mengusung banyak ideologi. Ini kemudian menguatkan Soekarno bahwa Indonesia perlu nasionalisme Pancasila yang berjiwa internasionalisme dan menolak bentuk-bentuk neokolonialisme dan imperialisme untuk mejaga integritas wilayah dan kedaulatan. Tak heran jika pada Mei 1964, Soekarno melakukan konfrontasi dengan Malaysia melalui Dwikora, karena karena pendirian Negara Federasi Malaysia dibawah bayang-bayang Inggris dianggap sebagai ancaman terhadap nasionalisme Indonesia dan ini berdampak pada integritas wilayah Indonesia pula.
Kedua, kondisi ekonomi Indonesia sangat terpuruk dan kacau ditandai dengan inflasi tinggi sampai 600%, berlaku mata uang asing sebagai mata uang nasional seperti mata uang Jepang dan Belanda, serta utang luar negeri yang dibuat pemerintah antara 1950 – 1956. Ini berdampak pada pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat kurang terpenuhi, terlebih ada kebijakan yang membatasi jumlah kepemilikan uang. Kondisi ini telah menciptakan konsep ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri) dan Dekon (Deklarasi Ekonomi) serta Sosialisme Indonesia oleh Soekarno. Sehingga tak aneh jika Soekarno alergi terhadap bantuan Barat dan sekutunya. Seperti semboyannya “Go To Hell With Your Aids”, yang menganggap bantuan tersebut sebagai bentuk Neokolonialisme dan Imperialisme (Nekolim). Posisi itu diambil Soekarno karena lebih mementingkan pembangunan nation-buildingdan politik ketimbangan ekonomi dan Barat sering kali berbelit-belit dalam memberikan bantuan.
Kondisi ekonomi yang ambruk tersebut membawa pengaruh terhadap lemahnya pembangunan kekuatan militer sebagai salah satu determinan dalam politik luar negeri. Perlengkapan dan peralatan militer yang ada belum memadai bagi pertahanan dan keamanan negara, tak jarang pembrontakan terjadi (seperti DI/TII, RMS, PRRI, G-30S/PKI) dan upaya-upaya untuk menjaga integritas wilayah terkendala.
Ketiga, pengambilan keputusan kala itu sangat senter pada kharismatik Soekarno, dimana ia bertindak sebagai “wakil rakyat” Indonesia di forum Internasional, hal ini tak lepas dari dinamika politik dalam negeri Indonesia sendiri, bahkan ia sempat dinobatkan sebagai Presiden Seumur Hidup. Selain itu, dengan kondisi negara yang kurang stabil akibat pertarungan ideologi dan politik kala itu, membuat Soekarno melakukan pendekatan-pendekatan “Terpimpin” dalam menjalankan politik luar negeri maupun dalam negerinya untuk menjaga stabilitas dan bangunan politik Pancasila Indonesia. Tak urung, kemudian muncul Demokrasi Terpimpin Pancasila menggantikan Demokrasi Parlementer RIS. Kondisi ini mendekatkan Politik Luar Negeri Soekarno ke arah sosialisme yang cenderung mengarah pada blok Soviet. Tentunya, semua keputusan politik luar negeri berada di tangan Soekarno atas dasar Demokrasi Terpimpin. Pada masa ini, Soekarno membentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Peking-Pyongyang pada tahun 1960-an, sebagai bentuk independensi membangun masa depan bangsa. Selain itu, diadakan pertemuan dengan China melalui kerangka CONEFO sebagai alternatif dari sistem PBB yang dianggap memelihara status quo Barat (Tan 2007: 154-155). Tak heran jika pada tanggal 31 Desember 1964 Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Meskipun begitu, dalam kerangka pengambilan keputusan tetap mempertimbangkan “group decisionmaking” tetapi elitis dan nuansa “terpimpin” Soekarno sangat kental.
Keempat, lingkungan Internasional masa itu berbeda pada seting menjelang akhir Perang Dunia II dan awal Perang Dingin, dimana sistem internasional bersifat bipolar dan high politic yang diwarai oleh rivalitas Komunisme Soviet vs Liberalisme AS (Situmorang dalam Pareira [ed] 1999: 125-148). Kedua kekuatan tersebut saling berlomba-lomba membuat persenjataan modern yang menimbulkan ketegangan dan kecemasan internasional, pada akhirnya kekhawatiran akan perang nuklir muncul. Dalam kondisi semacam ini, Soekarno menilai perlunya suatu gerakan bersama dari negara-negara berkembang untuk tidak memihak salah satu Blok dan mempromosikan perdamaian dunia serta nilai-nilai internasionalisme Pancasila. Untuk itu, pada tahun 1961 di bentuk Gerakan Non Blok sebagai respon ketidak berpihakan negara-negara berkembang terhadap bipolaritas AS dan Soviet tersebut. Dan pada 1955, diadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai kelanjutan dari Konferensi Kolombo 28 April – 2 Mei 1954 di Srilanka. Tujuannya adalah untuk mempromosikan perdamaian dan membangun masa depan Negara berkembang ke arah yang lebih stabil dan kondusif. Dan kepentingan Indonesia yang baru merdeka sebagai pondasi dalam kerangka Politik Luar Negeri Bebas-Aktif.
Nampak bahwa politik luar negeri bebas-aktif Indonesia pada masa Soekarno condong ke blok Sosialis dan lebih pada isu-isu high politic dan perjuangan bangsa Indonesia dalam membangun image sebagai negara besar dan berpengaruh di level baik regional maupun internasional untuk setara dengan negara-negara lain. Hal ini tak lepas dari kondisi bangsa Indonesia yang saat itu baru merdeka dan sedang membangun nation- dan state-building-nya. kesatuan politik lebih penting bagi Soekarno pada waktu itu daripada membangun basis ekonomi rakyat. Tak heran, semua itu telah tercermin dalam aksi dan reaksi serta interaksi politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Panglima Besar Revolusi, Soekarno.
Dari semua kelebihan dan kekurangan itu tak dapat dipungkiri pula bahwa di masa orde lama ini lah Indonesia mampu menggapai cita-cita yang telah di idamkan ratusan tahun sebelumnya yaitu kemerdekaan.


Referensi        :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar