Tugas Filsafat Pendidikan

Bab I

Isi dan Arti Filsafat
Filsafat berakar dari bahasa Yunani ‘phillein’ yang berarti cinta dan ‘sophia’ yang berarti kebijaksanaan. Jadi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Arti secara etimilogi ini mempunyai latar belakang yang muncul dari pendirian Socrates, beberapa abad sebelum Masehi. Socrates berkata bahwa manusia tidak berhak atas kebijaksanaan, karena keterbatasan kemampuan yang dimilikinya. Terhadap kebijaksanaan, manusia hanya berhak untuk mencintainya. Pendirian Socrates tersebut sekaligus menunjukkan sikap kritiknya terhadap kaum Sophis yang mengaku memiliki kebijaksanaan.
Kemudian dari pendekatan etimologis dapat disimpulkan bahwa filsafat berarti pengetahuan mengenai pengetahuan. Dapat pula diartikan sebagai akar dari pengetahuan atau pengetahuan terdalam.
Berbicara mengenai perkembangan beberapa aliran filsafat, kita mengenal aliran Materialisme yang dikemukakan pertama kali oleh Herakleitos dan Parmenides. Herakleitos (535-475 SM) berpendapat bahwa ‘api’ adalah asas pertama yang merupakan dasar (arche) segala sesuatu yang ada. Karena dengan api, segala sesuatu bisa berubah menjadi abu. Api adalah lambing perubahan. Pengalaman menunjukkan bahwa segala sesuatu selalu mengalami perubahan. Tidak sesuatu pun yang tetap, definitif, dan sempurna. Jadi, yang menjadi sebab terdalam dari segala sesuatu adalah perubahan, yaitu gerakan ‘menjadi’ secara terus-menerus. Herakleitos menyebutnya ‘pantarei’, bahwa realitas sesungguhnya adalah dalam keadaan sedang mengalir, sedang bergerak menjadi, dan sering mengalami perubahan. Filsafat Herakleitos terkenal dengan ‘filsafat menjadi’ (to become).
Dari pendapatnya itu, dapat ditarik suatu penilaian bahwa Herakleitos tidak mengakui adanya pengetahuan umum yang bersifat tetap. Ia hanya mengakui kemampuan indera dan menolak kemampuan akal. Karena setiap perubahan terjadi dalam realitas konkret, dalam ruang dan waktu tertentu. Dalam gerakan ruang dan waktu, ‘biji’ berubah menjdai tumbuhan, menjadi pohon, dan kemudian berubah menjadi makanan, minuman, pakaian, perumahan, dan sebagainya.
Parmenides (540-575) terkenal sebagai bapak ‘Filsafat ada’ (philosophy of to be). Dikatakan bahwa realitas bukan yang berubah dan bergerak menjadi permacam-macaman, melainkan yang ‘ada’ (to be) dan bersifat tetap. Hal ini berarti bahwa di dalam realitas ini penuh dengan yang ‘ada’. Jadi tidak ada yang lain termasuk yang ‘tidak ada’, karena yang tidak ada itu di luar jangkauan akal dan tidak dapat dipahami.
Karena yang ‘ada’ bersifat tetap, maka adanya hanya satu dan tak mungkin ada permacam-macaman. Sebagai konsekuensinya, yang ‘ada’ tidak berawal dan tidak mengalami keakhiran. Oleh karena yang ‘ada’ itu satu. Maka tidak mungkin terbagi-bagi.
Karena pendapatnya yang mengatakan bahwa ‘yang ada itu ada (being as such) dan yang tidak ada memang tidak ada’, Parmenides pun dikukuhkan sebagai peletak landasan dasar metafisika. Parmenides sama sekali menolak pengetahuan indera sebagai kebenaran, seperti yang diakui oleh Herakleitos. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan akal, karena bersifat umum, tetap, dan tidak berubah. Sedangkan pengetahuan indera adalah pengetahuan yang sama sekali keliru. Oleh karena itu, kebenaran adalah sesuatu yang bersifat tetap.
Sejarah bergulir. Aliran Idealisme muncul melalui Socrates dan Plato. Ajaran Socrates (469-399 SM) sepenuhnya dikembangkan oleh muridnya Plato (427-347 SM). Menurut Socrates dunia sesungguhnya adalah ‘dunia idea’, dunia yang utuh dalam kesatuan yang bersifat tetap, tidak berubah. Dunia ini penuh dengan permacam-macaman dan perubahan. Karena itu, semua yang ada di dunia ini, termasuk manusia dan makhluk lainnya, bersifat ‘semu’ dan menjadi baying-bayang dari dunia idea. Jadi, bukan merupakan ‘kebenaran’.
Socrates menolak pendapat kaum sofis yang mengaku sebagai pemilik kebijaksanaan. Socrates berpendapat bahwa manusia dengan ke-semu-annya, hanya mampu mencintai kebijaksanaan. Kebijaksanaan hanya ada di dunia idea, yaitu dunuai yang tidak mungkin dapat disentuh oleh keterbatasan manusia. Ketidakmampuan manusia terjadi karena jiwa (akal), sebagai potensi mengetahui kebenaran, terpenjara di dalam badan. Badan selalu diliputi oleh nafsu yang mengotori jiwa. Dengan jiwa yang kotor, akal tidak mungkin mengetahui secara mutlak idea kebijaksanaan. Untuk dapat mengetahui kebijaksanaan, jiwa harus melepaskan diri dari penjara badan. Untuk dapat lepas dari badan, jiwa harus membersihkan diri dengan berperilaku ‘baik’, yaitu perilaku yang terbebas dari nafsu-nafsu badan. Pandangan Socrates dan Plato dikenal sebagai paham ‘idealisme’.
Aliran berikutnya adalah Realisme yang digagas oleh Aristoteles (384-342 SM). Bertentangan dengan Plato, gurunya, Aristoteles berpendapat bahwa dunia yang sesungguhnya adalah dunia real, yaitu dunia konkret, yang bernacam-macam, bersifat relative, dan berubah-ubah. Dunia idea adalah dunia abstrak yang bersifat semu dan terlepas dari pengalaman. Itulah sebabnya mengapa pandangan Aristoteles dikenal sebagai paham ‘realisme’.
Namun selanjutnya, Aristoteles dikenal sebagai bapak ‘metafisika’. Aristoteles memfokuskan filosofinya pada persoalan tentang sesuatu yang ada di balik (sesudah) yang fisis, yang konkret, dan selalu berubah-ubah ini.
Aliran selanjutnya adalah Rasionalisme yang diusung oleh Rene Descartes (1596-1650). Rene Descartes adalah ahli filsafat yang mengagungkan rasio. Pengetahuan yang benar bersumber dari dunia rasio, karena rasio adalah realitas sesungguhnya. Hal ini terbukti dengan ucapannya yang terkenal “cogito ergo sum” (I think therefore I am); dalam kegiatan pemikiran menentukan keberadaanku.
Empirisme muncul dengan tokohnya yang terkenal John Locke (1632-1704). Pengetahuan yang benar bersumber dari dunia pengalaman, dunia konkret. Realitas adalah “tabularasa”, bagaikan kertas putih yang perlu diisi dengan banyak pengalaman. Semakin banyak pengalaman mengenai sesuatu hal, semakin banyak pula kebenaran objektif yang didapatkan tentang sesuatu hal itu. Kemampuan rasio hanya dapat mengetahui secara abstrak, umum, dan bersifat tetap. Pengalaman panca inderalah yang maapu mengenali yang konkret, yang satu per satu dan selalu berubah-ubah ini.
Selanjutnya datang aliran kritisisme yang dibawa oleh Immanuel Kant. Pengetahuan yang benar ada di dunia idea; dunia kritik atas kemampuan akal pikiran dan pengalaman. Sesuatu yang menampak, yang dapat dialami dan dipikiran, hanyalah gejala (fenomena), bukan halnya sendiri (ding ansich) dan bukan substansinya. Halnya sendiri tidak bisa disentuh baik oleh kemampuan rasio maupun pengalaman. Demikianlah, Immanuel kant berpendapat secara akumulatif.
Secara fenomenologis, pengetahuan yang bersumber dari rasio disebut ‘pengetahuan apriori’, dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman disebut ‘pengetahuan aposteriori’. Menurut metodenya, dibedakan menjadi pengetahuan ‘sintetik’ dan pengetahuan ‘analitik’. Kombinasi antara sumber dan metode melahirkan 4 (empat) jenis pengetahuan, yaitu sintetik-apriori, sintetik-aposteriori, analitik-apriori, dan analitik-aposteriori.
Dengan keempat sumber dan metode mengetahui tersebut, Kant mencoba membuktikan bahwa kemampuan rasio dan pengalaman tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berada di dalam kelemahan dan kekuatannya masing-masing. Rasio memiliki kemampuan menangkap kebenaran pengetahuan secara umum, tetapi lemah dan kabur terhadap pengetahuan konkret khusus. Sebaliknya, pengalaman memiliki kekuatan mengenali setiap hal yang khusus, tetapi kabur terhadap prinsip-prinsip umum.
Dari perkembangan pemikiran filsafat di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi filsafat adalah pemikiran radikal. Penyelidikan dengan pemikiran mendalam atau perenungan mengenai objek sampai ke akar-akarnya (radix). Maksudnya adalah berpikir mendalam sampai ditemukan unsur-unsur inti yang secara sistematik menjadi objek pemikiran itu ada sebagaimana halnya. Sering pula dikatakan bahwa filsafat adalah perenungan mengenai objek sampai pada tingkat kebenaran hakiki, yaitu, kebenaran tingkat abstrak-universal yang bersifat mutlak.
Bab II

Hakikat Manusia dan Persoalan Pendidikan
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia lahir dengan potensi kodratnya berupa cipta, rasa dan karsa. Cipta adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai ‘kebenaran’. Rasa adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai ‘keindahan’. Sedangkan karsa adalah kemampuan spiritual, yang secara khusus mempersoalkan nilai ‘kebaikan’.
Dengan ketiga potensinya itu, manusia selalu terdorong untuk ingin tahu dan bahkan mendapatkan nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan yang terkandung di dalam segala sesuatu yang ada (realitas). Oleh karena itu, manusi disebut juga makhluk berpengetahuan.
Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung terlibat di dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dan dididik oleh orang tua, keluarga, dan masyarakatnya menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola kelangsungan hidupnya.
Secara langsung atau tidak, setiap kegiatan hidup manusia selalu mengandung arti dan fungsi pendidikan. Dengan pendidikan, manusia melakukan kegiatan makan, minum, bekerja, beristirahat, bermasyarakat, beragama, dan sebagainya.
Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi. Oleh karena itu manusia disebut juga dengan makhluk berpendidikan.
Dengan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara terus-menerus, manusia mendapatkan ilmu pengetahuan yang sarat dengan nilai kebenaran baik yang universal-abstrak, teoretis, maupun yang praktis. Nilai kebenaran ini selanjutnya mendorong terbentuknya sikap perilaku arif dan berkeadilan. Lebih lanjut, dengan sikap dan perilaku tersebut, manusia membangun kebudayaan dan peradabannya. Kebudayaan, baik yang material ataupun yang spiritual, adalah upaya manusia untuk mengubah dan membangun keterhubungan berimbang baik secara horizontal maupun vertikal. Dalam pengertian ini, manusia disebut sebagai makhluk berkebudayaan.
Seseorang disebut berkebudayaan jika senantiasa mampu melakukan pembatasan diri dan menjalani kehidupannya menurut asas ‘kecukupan’ (basic needs), bukan malah menuruti keinginan.
Akhir-akhir ini kerap terjadi tindakan komersialisasi pendidikan. Komersialisasi pendidikan berbanding lurus dengan krisis moral. Hal ini terjadi karena ada pendangkalan orientasi kependidikan sebagai akibat dari sistem ekonomi pasar dunia yang material-kapitalistik. Watak perekonomian material-kapitalistik ini melekat mulai dari titik kebijakan hingga pada praktik penyelenggaraan pendidikan. Penjabaran tujuan pendidikan dan materi pendidikan ke dalam kurikulum, di dalam kegiatan pendidikan sekolah, misalnya, ternyata sebatas slogan verbal belaka.
Pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan sangat kurang memperhatikan penekanan pada persoalan metodologo kependidikan. Sementara itu, justru metode pengajaran terlalu mendapatkan penekanan, sehingga upaya penumbuhan bakat tergantikan sepenuhnya dengan kemampuan reseptik-memoris (hafalan). Wawasan pendidikan yang seharusnya berorientasi pada proses (process oriented), berubah total menjadi “result oriented”. Akibatnya, bersamaan dengan itu, kreatifitas individual menjadi tumpul dan yang berkembang adalah moral peniruan (the morality of imitation).
 
Bab III

Arti Pendidikan: Pendekatan Eksistensial
Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris “education”, berakar dari bahasa Latin “educare”, yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth). Jika diperluas, arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia.
Pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan dan pematangan diri. Dewasa dalam hal perkembangan badan, cerdas dalam hal perkembangan jiwa, dan matang dalam hal berperilaku. Dalam langkah kegiatan pendidikan selanjutnya, ketiga sasaran ini menjadi kerangka pembudayaan kehidupan manusia.
Dalam arti luas, pendidikan dapat diidentifikasi karakteristiknya sebagai berikut:
·         Pendidikan berlangsung sepanjang jaman (lifelong education).
·         Pendidikan berlangsung di setiap bidang kehidupan manusia.
·         Pendidikan berlangsung di segala tempat di mana pun, dan di segala waktu kapan pun.
·         Objek utama pendidikan adalah pembudayaan manusia dalam memanusiawikan diri dan kehidupannya.
Dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam sistem pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah ditentukan. Kegiatan belajar seperti itu dilaksanakan di dalam Lembaga Pendidikan Sekolah. Tujuan utamanya adalah pengembangan potensi intelektual dalam bentuk penguasaan bidang ilmu khusus dan kecakapan merakit sistem teknologi.
Jadi, pendidikan adalah suatu proses yang tidak hanya terbatas pada pembelajaran untuk sekadar mengetahui suatu objek (to know something what), tetapi berlanjut pada keahlian dan keterampilan dalam berkreasi dan berproduksi (to be able to create or produce something). Selanjutnya, seluruh kreatifitas dievaluasi untuk dijadikan pelajaran baru, dalam rangka mewujudkan kreatifitas baru yang lebih berguna bagi kelangsungan dan perkembangan kehidupan. Sedemikian rupa sehingga ide tentang pendidikan menjadi suatu lingkaran spiral tanpa putus.

 Bab IV

Aspek Ontologi Pendidikan (Pengembangan Kecerdasan Spiritual)
Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontology, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.
Pendidikan, ditinjau dari sisi ontology, berarti persoalan tentang hakikat keberadaan pendidikan. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan selalu berada dalam hubungannya dengan eksistensi kehidupan manusia. Sedangkan kehidupan manusia ditentukan asal-mula dan tujuannya. Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa ontology pendidikan berarti pendidikan dalam hubungannya dengan asal-mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa manusia, pendidikan tak pernah ada.
Tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin bisa menjalankan tugas dan kewajibannya di dalam kehidupan, sesuai dengan hakikat asal-mula dan hakikat tujuan hidupnya. Sehubungan dengan hal itu, pendidikan secara khusus difungsikan untuk menumbuhkembangkan segala potensi kodrat (bawaan) yang ada dalam diri manusia.
Potensi kejiwaan cipta, rasa dan karsa mutlak perlu mendapat bimbingan berkelanjutan, karena ketiganya adalah potensi kreatif dan dinamis khas manusia.
Secara ontologis, manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat, yaitu pada tingkat abstrak (abstract essence), tingkat potensi (potential essence) dan tingkat konkret (concrete essence).
Esensi abstrak pendidikan. Maksud ungkapan ini adalah hakikat keberadaan pendidikan pada tingkat abstrak. Pada tingkat ini, pendidikan bernilai universal. Artinya mutlak adanya dan berlaku bagi manusia siapa pun, yang ada kapan dan di mana pun juga. Adapun nilai universal pendidikan dapat dilihat pada orientasi filosofis pendidikan itu sendiri, yaitu suatu sistem bimbingan dengan sasaran pemanusian manusia.
Esensi potensial pendidikan. Pada tingkat keberadaan ini, pendidikan adalah suatu daya yang mampu membuat manusia berada di dalam kepribadiannya sebagai manusia, bukan makhluk lainnya. Yaitu, sebagai makhluk kreatif yang selalu mencipta segala macam jenis kerangka dan model perubahan yang berguna bagi kelangsungan dan perkembangan hidupnya.
Esensi konkret pendidikan. Pada tingkat ini, pendidikan terkait secara langsung dengan manusia individual. Dalam hal ini, pendidikan adalah daya yang mampu membuat setiap manusia individu berkesadaran utuh terhadap hakikat keberadannya berdasar pada nilai asal-mula dan tujuan kehidupannya (cerdas spiritualnya). Di samping itu, pendidikan juga membuat setiap individu mampu merancang-bangun teori-teori perubahan yang bernilai guna bagi kelangsungan dan perkembangan kehidupan individualnya (cerdas inteligensinya).
 
Bab V

Aspek Epistemologi Pendidikan (Pembentukan Kecerdasan Intelektual)
Epistemology adalah bidang filsafat nilai yang secara khusus mempersoalkan pengetahuan tentang nilai ‘kebenaran’ dan otomatis juga mempersoalkan tentang bagaimana ‘cara’ mendapatkannya. Jadi, jika diterapkan pada pendidikan berarti yang menjadi persoalan pokoknya adalah pengetahuan yang benar tentang pendidikan atau kebenaran pendidikan dan sekaligus bagaimana ‘cara’ penyelenggaraannya secara benar.
Dalam ilmu pengetahuan, objek terdiri atas objek materi dan objek forma. Objek materi pendidikan adalah manusia dengan berbagai perwujudannya. Artinya manusia siapa pun, dalam kondisi bagaimana pun, yang ada di man dan kapan pun juga.
Sedangkan secara epistemologis, objek forma pendidkan adalah manusia dari segi potensi intelektualnya, yakni sejauh mana potensi intelektual ini dapat dibimbing untuk dikembangkan seoptimal mungkin, menjadi cerdas dalam keahliannya (competent) dan juga menjadi terampil (skillful).
Berdasarkan objek forma di atas, persoalan metode pendidikan adalah bagaimana ‘cara’ yang tepat isi atau materi pendidikan itu dididik dan diajarkan. Sedangkan isi atau materi pendidikan dijabarkan dari tujuan pendidikan dan diorganisasi menjadi kurikulum.
Dalam rangka menentukan metode pendidikan yang tepat, tujuan pendidikan harus jelas yakni pengembangan potensi manusia, khususnya potensi intelektualnya. Potensi ini dididik untuk dikembangkan kea rah keahlian dan keterampilan. Karena di dalam diri manusia sudah ada potensi atau bakat, maka metode pembidanan (maiyotikos: Socrates) dinilai sebagai yang paling tepat.
Sebagaimana seorang bidan menolong suatu kelahiran, peranan pendidik juga menolong kelahiran ‘bakat’ yang sudah ada di dalam diri peserta didik. Setelah bakat itu lahir, langkah selanjutnya adalah bagaimana bakat tersebut dapat dikembangkan secara efektif dan efisien. Kemudian, bakat yang sudah berkembang itu dapat dimanfaatkan demi kemajuan kehidupan.
Dalam ilmu pendidikan, berdasar pada sifat objek studi, sistem pada dasarnya ada dua, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Penerapan sistem tertutup ke dalam objek pendidikan berbentuk penyelenggaraan sistem kegiatan pendidikan menurut koridor pengajaran. Sedangkan sistem terbuka cenderung menurut koridor pembimbingan dan pengasuhan.
Sasaran sistem pengajaran, khusus dikembangkan di pendidikan sekolah, adalah sesuatu yang bersifat konkret positif, yaitu berupa ‘keterampilan’. Terampil membaca, menulis, dan berhitung. Dengan sistem pengajaran, materi pendidikan dalam jenis mata pelajaran dipolakan dalam bentuk ‘textbook’, yakni buku pelajaran yang disusun menurut pola tertentu (Satuan Acara Pengajaran).
Secara epistemologis, kebenaran pendidikan menunjuk pada ‘output’ atau hasil dari seluruh rangkaian penyelenggaraan pendidikan menurut objek forma, metode, dan sistem seperti tersebut di atas. Hasilnya berupa ‘kecerdasan intelektual’, yaitu kemampuan berkreasi untuk mencipta segala perubahan yang berguna bagi kelangsungan dan perkembangan kehidupan sehari-hari.

 Bab VI

Aspek Etika Pendidikan (Pembentukan Kecerdasan Emosional)
Secara keilmuan, filsafat berada dalam posisi seperti ‘pohon’, yang memiliki cabang-cabang besar yang disebut ‘aksiologi’, yang mempelajari tentang hakikat nilai. Ada tiga jenis nilai yang dipersoalkan, yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran dan nilai kebaikan. Nilai keindahan dipersoalkan secara khusus dalam cabang filsafat estetika. Nilai kebenaran dipersoalkan dalam cabang filsafat epistemology. Dan nilai kebaikan dipelajari dalam cabang filsafat etika.
Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral (philosophy study of morals). Jadi, persoalan pokoknya adalah tentang ‘hakikat moral’. Moral adalah masalah tingkah laku dalam hubungannya dengan diri sendiri dan sesamanya, sejauh mana mengandung nilai kebaikan. Jadi hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku. Dengan demikian, hakikatnya dapat diketahui dari fakta perilaku. Apakah fakta perilaku itu bersesuaian dengan derajat nilai kemanusiaan ataukah tidak. Sedangkan derajat nilai kemanusiaan itu terletak pada apakah suatu perilaku mampu menumbuhkan moral menolong dan memberi, sehingga menjadikan semua pihak mampu hidup mandiri, kreatif, cakap, dan terampil dalam kehidupannya.
Dari paparan di atas, sasaran utama aspek etika pendidkan adalah menumbuhkembangkan nilai kebaikan dalam perilaku sehingga bisa menjadi matang dan cerdas (kecerdasan emosional).

 
Bab VII

Sistem Pendidikan Terpadu
Dalam menjalani setiap kegiatan hidup, selalu berawal dari impulsi karsa, atas pertimbangan rasa, dan menurut keputusan cipta. Karena itu, masalah pendidikan adalah proses bagaimana ketiga potensi kodrat manusia itu dikembangkan secara dinamis dan berimbang. Untuk mencapai sasaran itu, proses pendidikan harus dilangsungkan dari taraf individual sampai taraf social seluas-luasnya. Jadi, pendidikan berproses di dalam diri pribadi seseorang, keluarga, masyarakat local, nasional, regional, sampai taraf internasional.
Sistem pendidikan terpadu yaitu menata substansi saling hubungan antara pendidkan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara fungsional-kausalistis. Pendidikan keluarga diposisikan dan difungsikan sebagai lahan subur bagi pembentukan kecerdasan spiritual, karena di dalam keluarga terdapat benih kepercayaan spiritual dan tradisi yang secara alami terpelihara sebagai potensi kebudayaan. Pendidikan sekolah diposisikan dan difungsikan sebagai laboratorium yang memproses potensi-potensi budaya yan gbersumber dari keluarga menjadi sebuah kecerdasan intelektual yang sarat daya kreatifitas. Adapun pendidikan masyarakat diposisikan dan difungsikan sebagai lahan subur untuk penanaman bibit kecerdasan intelektual dalam berbagai wujud keahlian menjadi sebuah kecakapan dan keterampilan hidup. Dengan demikian, masyarakat dapat dikatakan sebagai laboratorium pendidikan yang siap memproduksi segala kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan kejiwaan, keragaan, individual, social, sampai pada kebutuhan spiritual keagamaan.

 
Bab VIII

Evaluasi dan Kesimpulan (Prototipe Masyarakat Terdidik)
Masyarakat terdidik dengan pilar dasar berupa kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional mendorong terbentuknya suatu ide masyarakat berkeadilan dan beradab. Ide masyarakat terdidik ini difungsikan sebagai pilar yang menentukan bentuk dan model bangunannya. Oleh karena itu, seluruh bentuk dan model kegiatan hidup social harus berakar pada kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional, untuk kemudian mengerucut pada titik tujuan yang bernilai spiritual pula.
Dari keterpaduan tiga kecerdasan itu, bentuk dan model bangunan masyarakat terdidik terdiri atas tiga lapis moralitas yang saling berhubungan secara kausal. Ketiganya itu merupakan unsure moral, yaitu moral bersyukur, bersabar dan berikhlas.
Kemudian secara akumulatif, berdasar pada moral syukur, sabar, dan ikhlas mendorong seluruh dinamika kehidupan bergerak menuju satu arah. Jenis dan bentuk perilaku baik individual maupun social berkembang sesuai dengan tingkat kualitas pengetahuan rasional dan empiric, dan mungkin juga tingkat kepercayaan keyakinan keagamaan yang ada di dalam masyarakat. Dari perkembangan jenis dan bentuk perilaku itu, terbentuklah pluralitas filosofi, sikap dan perilaku hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar