Sejarah Kota Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta)/ History of the Special Region of Yogyakarta (Yogyakarta) FOR GENERAL GENERAL


Sejarah Kota Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta)

(Sumber: Sari, Ina Parawira. 2007. Jogja Punya Cerita. Jakarta: AzkaMuliaMedia.)

                Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta) adalah kota yang terkenal akan sejarah dan warisan budayanya. Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta) merupakan pusat kerajaan Mataram (1575-1640), dan sampai sekarang terdapat keraton yang masih berfungsi dalam arti sesungguhnya. Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta) juga memiliki banyak candi berusia ribuan tahun yang merupakan peninggalan kerajaan besar jaman dahulu.

                Selain warisan budaya, Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta) memiliki panorama alam yang indah. Hamparan sawah nan hijau menyelimuti daerah pinggiran dengan Gunung Merapi tampak sebagai latar belakangnya. Pantai yang masih alami dengan mudah ditemukan di sebelah Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta).

                Masyarakat di sini hidup dalam damai dan memiliki keramahan yang khas. Kita bisa mencoba mengelilingi kota dengan sepeda, becak, maupun andong. Anda akan menemukan senyum yang tulus dan sapaan yang hangat di setiap sudut kota.

                Seni begitu terasa di Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta). Malioboro, yang merupakan urat nadi Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta), dibanjiri barang kerajinan dari segenap penjuru. Musisi jalanan pun selalu siap menghibur pengunjung warung lesehan.

                Banyak orang menyebut Daerah Istimewa Yogyakarta (D. I. Yogyakarta) dengan nama berbeda-beda. Orang tua menyebut Ngayogyakarta, orang Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebut Yogjo ata Yojo. Disebut Jogja dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Belakagan muncul sebutan baru, yaitu Djokdja. 
                Paling tidak, ada 3 perkembangan yang bisa diuraikan. Nama Ngayogyakarta dipastikan muncul tahun 1755, ketika Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I mendirikan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton yang berdiri di Alas Berin itu merupakan wujud Perjanjian Giyanti yang  dilakukan dengan Pakubuwono III dari Surakarta.

                Tak jelas kapan muncul penamaan Yogyakarta. Namun, nama Yogyakarta secara resmi telah dipakai sejak awal kemerdekaan Indonesia. Ketika menjadi ibukota Indonesia pada tahun 1949, kota yang juga bergelar kota pelajar ini sudah disebut Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga menggunakan nama Yogyakarta ketika mengumumkan bahwa kerajaan ini merupakan bagian dari Republik Indonesia.

                Berbagai penamaan muncul kemudian, seperti Yogjo, Jogja, Jogya, dan Yogya. Bisa dikatakan bahwa variasi nama itu muncul akibat pelafalan yang berbeda-beda antaraorang dari berbagai daerah di Indonesia. Uniknya, hampir semua orang bisa memahami tempat yang ditunjuk, meski cara pengucapan berbeda.

                Karena kepentingan bisnis, nama Jogja kemudian menguatkan dan digunakan dalam slogan Jogja Never Ending Asia. Slogan tersebut dibuat untuk membangun citra Yogyakarta sebagai kota wisata yang kaya akan pesona alam dan budaya. Alasan dipilih ‘Jogja’ adalah karena (diasumsikan) lebih mudah dilafalkan oleh banyak orang, termasuk para wisatawan asing. Sempat pula berbagai institusi mengganti Yogyakarta dengan Jogjakarta.

IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):

History of the Special Region of Yogyakarta (Yogyakarta)
(Source: Sari, Ina Parawira., 2007. Jogja Story. Jakarta: AzkaMuliaMedia.)
Yogyakarta (Yogyakarta) is a city famous for its history and cultural heritage. Yogyakarta (Yogyakarta) is the center of the kingdom of Mataram (1575-1640), and until now there is a palace that is still functioning in the real sense. Yogyakarta (Yogyakarta) also has many temples thousands of years old which is a relic of the ancient empire.
In addition to cultural heritage, Yogyakarta (Yogyakarta) has beautiful natural scenery. Expanse of green fields surrounds the outskirts of the Mount Merapi appears in the background. Beaches unspoiled easily found next to Yogyakarta (Yogyakarta).
People here live in peace and have a distinctive hospitality. We can try around the city by bike, pedicab, or horse cart. You will find sincere smiles and warm greeting in every corner of the city.
Art is much less pronounced in the Special Region of Yogyakarta (Yogyakarta). Malioboro, which is the lifeblood of the Special Region of Yogyakarta (Yogyakarta), flooded with handicrafts from all over. Street musicians were always ready to entertain visitors lesehan stalls.
Many people call the Special Region of Yogyakarta (Yogyakarta) with different names. Parents call Ngayogyakarta, the East Java and Central Java called Yogjo ata Yojo. Called the slogan Jogja Jogja Never Ending Asia. Belakagan emerged a new designation, the Djokdja.There are at least three possible developments described. Name Ngayogyakarta certainly emerged in 1755, when the title of Prince Mangkubumi lane I founded Kraton Ngayogyakarta. Alas palace standing Berin Giyanti it is a form of agreement made with Pakubuwono III of Surakarta.
It was unclear when it emerged naming Yogyakarta. However, the name was officially Yogyakarta has been used since the beginning of the independence of Indonesia. When it became the capital of Indonesia in 1949, the city also holds a university town has been called Yogyakarta. IX lane Yogyakarta also uses the name when it announced that the kingdom is part of the Republic of Indonesia.
Various naming came later, such as Yogjo, Jogja, Yogya, and Yogya. It could be said that the name variations that arise due to the different pronunciation antaraorang from various regions in Indonesia. Interestingly, almost anyone can understand the place appointed, though different pronunciation.
Because business interests, the name Jogja then amplifies and slogans used in Jogja Never Ending Asia. The slogan was created to build the image of Yogyakarta as a tourist city rich in cultural and natural charm. Reason selected 'Jogja' is due to (assumed) more easily pronounced by many people, including foreign tourists. There was also a variety of institutions to replace Yogyakarta Jogjakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar