Hadis Ditinjau Dari Segi Kualitas Dan Kuantitasnya

BAB I
PEMBAGIAN HADIS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA
Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis yang ditinjau dari segi kuantitasnya atau jumlah rawinya yang menjadi sumber berita diantara mereka ad yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir,
masyhur, dan ahad, dan ada juga yang membaginya menjadi dua yakni hadis mutawatir dan ahad.
Ulam golongan pertama, yang menjadikan Hadis Masyhur berdiri sendiri dan tidak termasuk bagian dari hadis ahad dianut oleh sebagian Ulama Ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jashshah (305-370 H). adapun ulam golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulam kalam dan Ulama Ushul. Menurut mereka, Hadis Masyhur bukan termasuk hadis yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari hadis Ahad itulah sebabnya mereka membagi hadis menjadi dua bagian yaitu Mutawatir dan Ahad.
  1. HADIS MUTAWATIR
  1. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi, yaitu sesuatu yang datang berikut dengan kita atau yang beriring-iringan antara satu dengan yang lainnya tanpa ada jarak.[1]
Adapun pengerian hadis mutawatir menurut istilah, terdapat bebrapa formulasi definisi antara lain  sebagai berikut :
Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.
Ada juga yang mengatakan :
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang  yang menurut adapt mustahil mereka bersepakat terelebih dahulu untuk berdusta sejak awal sanad sampai akhir sanad setiap tingkat (tabaqat).”
Sementara  itu, Nur Ad-Din ‘Atar mendefinisikan :
“Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir dengan didasarkan pada panca indra.”
Hasby As-Sidiqie dalam bukunya Mustalah Hadis mendefinisikan sebagai berikut :
“hadis yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indera oarng banyak yang menurut adapt kebiasaan mustahil untuk berdusta.”
  1. syarat-syarat hadis mutawatir
Mengenai syarat-syarat hadis mutawatir ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama Mutaqaddim dan Mutaakhirin ulam Mutaqadim tidak membicarakan syarat bagi hadis mutawatir. Menurut mereka, Khabar Mutawatir yang sedimikian, sifatnya tidak termasuk dalam pembahasan ilmu Isnad al-hadis, sebab ilmu ini membicarakn mengenai Sahih atau tidaknya suatu hadis, diamalkan atu tidaknya suatu hadis dan juga membicarakn adil atau tidaknya seorang rawi, sedangkan hadis mutawatir tidak membicarakan hal tersebut. Bila suatu hadis telah diakui setatusnya sebagai Hadis Mutawatir, maka wajib diakui kebenarannya , diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada keraguan, serta bagi orang yang mengingkarinya dihukumi kafir sekalipun diantara perwinya adalah orang kafir. Sedangkan menurut ulam Mutaakhirin dan ahli Ushul suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis Mutawatir  jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ini:
1.                  diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta. Mengenai masalah ini, para ulam berbeda pendapat. Ada yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya menurut ulama yang tidak mengisyaratka jumlah tertentu, mereka menegaskan bahwa yang penting dengan jumlah itu, menurut adapt, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang diberikan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.
Al-Qadi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadis Mutawatir  sekurang-kurangnya lima orang. Ia mengqiyaskan dengan jumlah nabi yang mendapat gelar ulul Azmi. Sementara itu, Astikhary menetapkan bahwa yang paling baik minimal 10 orang . sebab jumlah itu merupakan awal jumlah bilangan banyak.
2.      adanya keseimbangan antarperawi pada Thabaqat (lapisan) pertama dengan Thabaqat berikutnya
jumlah perawi hadis mutawatir , antara Thabaqat dengan Thabhaqat lainnnya harus seimbang. Deengan demikian bila suatu hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh Tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat satu dengan Thabaqat seterusnya.
3.      Berdasarkan tanggapan panca indra
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan panca indra. Artinya bahwa berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran dan penglihatan sendiri. Dengan demikian, bila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari peristiwa lain atau dari istimbat dari dalil yang lain, maka tidaj dapat dikatakan hadis mutawatir . misalnya berita tentang barunya alam semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baru, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan Hadis Mutawatir . demikian uga tentang berita keesaan tuhan menurut hasil para Filosof, tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir.  
  1. PEMBAGIAN HADIS MUTAWATIR
Menurut sebagian ulama, hadis Mutawatir itu terbagi menjadi dua yaitu Mutawatir Lafdzi dan Mutawatir Ma’nawi. Sebagian para ulama lainnya membaginya menjadi tiga, yakni Hadis Mutawatir Lafdzi, Maknawi, dan Amali.
Yang dimaksud dengan mutawatir Lafdzi adalah : “Hadis yang mutawatir periwayatannya dengan satu redaksi yang sama atau hadis yang  mutawatir lafadz dan maknanya”.
Berat dan ketatnya kriteria hadis Mutawatir  Lafdzi ini menjadikan jumlah hadis ini sangat sedikit. Menurut Ibn Hibban dan Al-Hazimi bahwa hadis Mutawatir dengan criteria seperti ini tidak dapat diperoleh. Ibn Ash-shalih yang diikuti oleh an-nawawi menetapkan bahwa Hadis Mutawatir Lafdzhi sedikit sekali dan sukar dikemukakan contohnya selain hadis contohnya selain hadis tentang “orang yang berdusta kepada Rasulallah SAW akn diancam ditempatkan dineraka”. Namun, pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajjar Al-Asqalani. Beliu menandaskan bahwa “mereka menetapkan hadis mutawatir lafzhi itu tidak ada atau sedikit sekali.”. kurang mengetahui jalan-jalan atau keadaan-keadaan perawi serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka itu tidak mufakat untuk berdusta atau karena kebetulan saja. Menurutnya diantara dalil yang baik untuk menetapkan adanya hadis mutawatir adalah kitab-kitab yang sudah terkenal ahli ilmu, timur, dan barat, yang disandarkan kepada pengarang-pengarangnya, yang apabila berkumpul untuk meriwayatkan hadis dengan berbagai jalan dan menurut adat, mereka mustahil sepakat untuk berdusta. Hal ini memberikan faedah ilmu yakin (meyakinkan kita ) bahwa hadis itu telah disandarkan kepada yang menyabdakannya.[2]
  1. FAEDAH HADIS MUTAWATIR
Hadis Nutawatir  memberikan faedah Dharuri yitu suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa leyakinan yang Qaht’I (pasti).
Ibnu Taimiyyah mengatakn bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh sebagian membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang tidak menganggap hadis tersebut mutawatir. Barang siapa yang telah meyakini kemutawatiran hadis diwajibkan untuk mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya, sebaliknya bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini kemutawatirannya wajib baginya mempercayai dan mengamalkannya yang disepakati oleh para ulama sebagai mana kewajiban mereka mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli ilmu.
  1. HADIS AHAD
a.      pengertian hadis ahad

Kata ahad atau wahid berdasarkan segi bahasa berarti satu, maka khabar ahad atau wahid yaitu suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Adapun yang dimaksud dengan hadis ahad adalah: banyak definisi ulama antara lain :
Khabar yang jumlah perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.”
Ada juga ulama yang mendefinisikan hadis ahad secara singkat yaitu:
“hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.”
Sebagian ulama mendefinisikan hadis ahad dengan hadis yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi), tetapi kandungannya memberikan pengerian zhanni dan tidak sampai kepada qath’I dan yakin.
Dari beberapa definisi diatas, jelaslah bahwa disamping jumlah perawi hadis ahad yang tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir, kandungannyapun bersifat zhanni dan tidak bersifat Qath’i.
Kecenderungan para ulama mendefinisikan hadis ahad seperti itu karena mereka membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya, yang terbagi atas dua macam hadis yakni hadis mutawatir dan hadis ahad. Pengertian ini berbeda pngertiannya hadis ahad menurut ulama yang membedakan hadis menjadi tiga yaitu: hadis mutawatir masyhur, dan Ahad.menurtu mereka (ulama terakhir ini ) hadis ahad adalah:
“hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang  atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan hadis Masyhur dan hadis mutawatir.”
Abdul Wahab Khallaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan satu, dua orang, atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir keadaan perawi seperti ini terjadi sejak perawi pertama sampai perawi terakhir.
Jumhur Ulama sepakat bahwa hadis ahad yang telah memenuhi ketentuan maqbul, hokumnya adalah wajib. Abu Hanifah Imam Syafi’I dan Imam Ahmad memakai  Hadis ahad bila syarat-syarat yang Shahih telah terpenuhi. Akan tetapi Abu Hanifah menetapkan syarat siqah dan adil  bagi perawinya, dan amaliahnya tidak menyalahi hadis yang diriwayatkan. Adapun Imam Malik menetapkan persyaratan bahwa perawi hadis ahad tidak menyalahi amalan ahli madinah.
Golongan Qadariyah, Rafidah dan sebagian Ahlu Zhahir  menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak wajib. Sementara itu Al-Jubai dari golongan Mu’tazilah tidak wajib beramal kecuali dengan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang dan yang diterima oleh dua oarang. Sementara ulam yang lain mengatakan tidak wajib beramal, kecuali hadis diriwayatkan oleh empat orang dan diterima oleh empat orang pula.
Untuk menjawab golongan yang tidak memakai hadis ahad sebagai dasar beramal, Ibnu Al-Qayyim mengatakan, ada tiga segi keterkaitan sunnah dengan Al-Qur’an. Pertama, kesesuaian terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Kedua, menjelaskan maksud Al-Qur’an. Ketiga menetapkan hokum yang tidak terdapat didalam al-qur’an. Alternative ketiga ini merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulallah SAW. Yang wajib ditaati. Lebih dari itu, ada yang menetapkan bahwa dasar beramal dengan hadis ahad adalah Al-Qur’an As-Sunnah, dan Ijma’.
b.      pembagian hadis ahad
Para ulama membagi hadis ahad menjadi dua,  yaitu Masyhur dang hair masyhur terbagi lagi menjadi dua yaitu Aziz dan Gharib.
1). hadis masyhur
Masyhur menurut bahasa adalah : al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang sudah tersebar dan popular).  Adapun menurut istilah terdapat bebrapa definisi, antara lain :
“hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”.
Ada juga yang mendifinisikan hadis Masyhur secara ringkas, yaitu:
“Hadis yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dari dua jalan dan tidak sampai hadis mutawatir”.
Hadis ini dikatakan masyhur karena sudah tersebar dimasyarakat. Ada ulam yang memasukkan hadis yang telah popular dalam masyarakat sekalipun tidak mempunyai sanad sama sekali, baik bersetatus shahih atau dhaif kedalam hadis masyhur. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa hadis masyhur menghasilkan ketenangan hati kedekatan pada keyakinan dan kewajiban untuk diamalkan, tetapi bagi yang menolaknya tidak dikatakan kafir.
Hadis Masyhur ini ada yang bersetatus shahih, hasan, dan dhaif . yang dimaksud dengan hadis masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadis sahih, baik pada sanad maupun matannya.
BAB II
PEMBAGIAN HADIS
DITINJAU DARI KUALITASNYA
  1. HADIS MAQBUL
Makbul menurut bahasa ialah : makhdus (yang diambil) dan mushaddah (yang diterima) sedangkan menurut istilah ialah :
“hadis yang telah sempurna penerimannya”
            Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dan juga berkaitan dengan matannya yaitu matannya tidak syanz dan tidak berillat.
            Oleh sebab itu tidak sema hadis maqbul boleh diamalkan dengan kata lain hadis maqbul ada yang ma’mulun bih dan ada yang ghoir ma’mulun bih.
           
  1. HADIS MARDUD
Mardud menurut bahasa yang ditolak atau yang tidak diterima sedangkan menurut istilah ialah :
“hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul”.
            Tidak terpenuhinya persyaratan yang dimaksud bisa terjadi pada sanad dan matannya. Untuk memperjelas persoalan ini, dapat dilihat pada uraian hadis dhaif dan segala permasalahannya sebagai mana uraian berikut :

  1. HADIS SAHIH

Sahih menurut bahasa berarti lawan sakit .
Kata sahih juga telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia dengan arti sah, benar, sempurna, sehat (tiada celanya).
Imam syafi’I memberi gambaran tentang hadis sahih sebagai berikut :
  1. diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya amalan agamanya ; dikenal sebagai orang jujur memehami dengan baik hadis yang diriwayatkan.
  2. rangkaiannya bersambung sampai kepada nabi Muhammad SAW. Atau dapat juga tidak sampai kepada nabi.



  1. HADIS HASAN
Hasan menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu, sedangkan menurut istilah para ulam berbeda pendapat mengenai definisinya. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan diantara mereka ada menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi diantara hadis sahih dan hadis dhaif, tetapi ada juga yang memasukannya sebagai bagian dari hadis dhaif yang dapat dijadikan hujjah.


  1. HADIS DHAIF
Kata dhaif menurut bahasa berarti lemah sebagai laindari kata kuat, maka sebutan dari hadis dhaif menurut bahasa ialah : hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.
Secara istilah diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif, akan tetapi pada dasarnya isi dan dasarnya adalah sama diantaranya sebagai berikut :
“ hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat-syarat hadis hasan”.
Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadis dhaif ialah :
“hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul”.
“hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul”.
Pada definisi ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja (dari persyaratan hadis sahih atau hasan hilang maka hadis itu dinyatakan sebagai hadis dhaif, lebih-lebih jika hilangnya dua atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil atau dhabit dan adanya kejanggalan dalam matan. Hadis seperti ini dapat dikatakan sebagai hadis dhaif yang sangat lemah.
KHATIMAH(PENUTUP)

Walaupun Saya berusaha sehabis tenaga untuk melengkapkan isi dari MAKALAH ini, akan tetapi hanya inilah yang dapat saya ajukan sebagai tugas perbaikan dari IBU Dosen dan hanya inilah yang dapat Saya sajikan kepada pembaca umunya dan khususnya kepada rekan-rekan Mahasiswa sekalian.
Saya mohon kepada Allah SWT. Dari lubuk hati saya yang paling dalam, supaya MAKALAH ini bermanfaat umumnya kepada pembaca dan Khususnya kepada para Mahasiswa.
Demikian pula kalau ada kehilafan saya mohon maaf kepada pembaca dan kepada Allah Saya mohon ampun, karena kesalahan itu tidak Saya sengaja membuatnya.
Mudah-mudahan MAKALAH ini dapat berfaedah dan menjadi amal baik bagi saya dan yang membacanya. Amin-amin Ya Rabbal Alamin!!

Disusun oleh : Ahmad Mudasir.
Bukitkemuning,18 , Oktober, 2009

[1] Ahmad bin Muhammad Al-Fayummi, Al-Musbah Al-Munir fi gharib asy-Syrh Al-Kabir li ar-Rafi’I, jus II, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1398 H/1978 M,Hlm. 321.
[2] Hasbi As-Sidiqie, pokok-pokok ilmu dirasah hadis, jilid I Bulan Bintang, Jakarta, 1987, HLM 61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar