PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat dan salam kita curahkan kepada baginda Rasulullah Saw sebagai rahmat bagi semesta alam dan suri tauladan yang baik, yang diabadikan sendiri oleh Allah yang Maha kuasa dalam kitab suci-Nya
Mazhab az Zhahiri merupakan salah satu mazhab dari beberapa mazhab fiqih
yang kita kenal yang muncul pada abad ketiga hijriyah. Hal ini dapat kita jumpai dari beberapa literature-literatur klasik maupun penjelasan-penjelasan dari beberapa Masyaikh, meskipun sebagian orang-orang awam tidak mengetahuinya bahkan tidak pernah mendengarnya. Hal ini wajar karena ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan demikian. Di antaranya:1. Adanya mazhab ini yang ketika munculnya masih tenar namun sayang lambat laun kita tidak mendapati tokoh-tokoh penerus yang memperjuangkan, meneruskan dan mengembangkannya. Meskipun kita tidak dapat memungkiri mungkin masih ada segelintir orang yang masih tetap konsisten mempertahankan mazhab ini.
2. munculnya mazhab-mazhab sebelumnya. Seperti mazhab empat yang berpengaruh kuat di tengah-tengah umat islam dan mendapat simpati dari mereka. Hal kita dapat jumpai dari para penerus mazhab empat ini sampai sekarang.
3. Kurangnya ulama yang membahas dalam lisan maupun tulisan tentang mazhab ini, hingga tidak menyebar luas.
Ulama ada yang mendefinisikan kata “Zhahir” yaitu: Apa yang tersingkap dan jelas maknanya baik dia sebagai pendengar, pembaca ataupun objek lainnya. Di dalam mu’jam al Washit kata Zhahir bermakna jelas dan terang setelah tersingkapnya maknanya. Sedangkan ulama Zhahiriyah sendiri mengartikan kata Zhahir adalah zhahirnya lafaz dari segi bahasa. Yaitu mengambil pemahaman yang lebih dekat dari perkataan itu tanpa mengalihkannya kepada pemahaman lain kecuali dengan nash yang lebih kuat ataupun ijma’.
Bila kita ingin menelusuri mazhab ini lebih jauh, kita mesti mengetahui: Siapakah orang yang pertama kaliyang memperkenalkan mazhab ini. Kapan lahirnya. Sebab-sebab munculnya. Sejarah pertumbuhan dan perkembangannya. Murud-muridnya. Karangannya-karangannya. Kemudian yang tak kalah penting dari semua itu adalah bagaimanakah sebenarnya metodologi istimbat hukum mazhab ini dalam perspektif ulama?
Dalam hal ini penulis insya Allah akan berusaha memaparkannya dengan bahasa yang sederhana, walaupun disadari nantinya dalam tulisan ini akan uncul sesuatu yang tidak dapat difahami oleh para pembaca. oleh karena itu saran dan masukan-masukan yang bersifat konstruktif sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Akhirnya segala kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt semata, dan kepada-Nyalah kita semua akan kembali.
A. Profile Imam Adhahiri
Pencetus mazhab Zhahiri yaitu Daud bin Ali bin Khalaf al Ashbahani. Kuniahnya Abu Sulaiman, dan digelar dengan az Zhahiri. Belaiau adalah salah satu imam mujtahid dalam Islam. Penisbatan gelar az Zhahiri kepadanya dikarenakan dalam mengistimbatkan hukum beliau mengambil langsung dari zhahirnya lafaz al Quran atau sunnah, tanpa melalu ta,wil pemikiran dan analogi. Beliau adalah orang yang pertama kali yang secara langsung mengemukakan pendapat ini hingga kemudian menjadi sebuah mazhab tersendiri disamping mazhab lain yangsudah ada sebelumnya. Beliau lahir pada tahun 200 H. pendapat lain mengatakan beliau lahir pada tahun 202 H, dan wafat pada tahun 270 H.
Pada masa kecil beliau diasuh oleh perempuan-perempuan dari tetanga dan kerabatnya. Menghafal dan belajar ilmu-ilmu al Quran’ belajar syair-syair dan khat dari mereka. Dari sini dapat kita mengetahui bahwa yang pertama menjadi guru beliau adalah perempuan, bahkan beliau tidak mempunyai teman lai-laki sebelum menjadi anak muda. Mengenai hal ini beliau sendiri mengungkapkannya: “… Aku telah diasuh dari dari kamar-kamar perempuan dan tumbuh di tengah-tengah mereka, dan aku tidak mengenal perempuan-perempuan lain selain mereka. Aku tidak pernah duduk bersama laki-laki melainkan setelah aku memasuki masa pemuda dan beranjak dewasa. Mereka mengajariku al Quran, syair-syair dan melatihku menulis khat…”
Adapun peranan ayah beliau hanya nengawasinya dan memberikan sisipan ilmu tambahan padnya. Setelah beranjak dewasa beliau belajar ilmu kepada para Masyaikh yang terkenal di masanya. Beliau mula-mula belajar ilmu Hadits, kemudian cabang-cabang fiqih. Beliau sangat mencintai Hadits hingga kemudian menjadi Muhaddits sebelum menjadi fuqaha. Ibnu Hazm memulai belajar fiqih mazhab Imam Malik dan bermazhab Maliki, karena mazhab tersebut adalah mazhab mayoritas penduduk Spanyol diperkuat lagi karena mazhab tersebut adalah mazhab resmi negara. Namun sejatinya beliau tidak mau terikat dengan mazhab tertentu, oleh karena itu beliau juga membaca kitab-kitab Imam Syafi’i yang kemudian beralih menjadi pengikuta mazhab Imam Syafi’i.
Setelah beberapa waktu kemudian beliau beralih mazhab lagi menjadi mazhab Zhahiri dan meninggalkan mazhab Imam Syafi’i secara berangsur-angsur. Hal ini terjadi sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya adanya karakter beliau yang tidak mau terikat oleh mazhab apapun sampai mendapatkan mazhab yang sesuai dengan apa yang di anggapnya paling mendekati kebenaran dan sesuai dengan nash. Dalam hal ini beliau pernah berkata: ” saya akan mengikuti kebenaran dan akan berijtihad dan tidak akan terikat dengan mazhab apapun”.
Beliau hidup di tengah-tengah keluarga yang mempunyai kedudukan penting di pemerintahan. Beliau sendiri bekerja sebagai wazir, namun tak lama setelah itu beliau meninggalkannya dan berfokus mendalami ilmu sampai kemudian menjadi salah seorang fuqaha, tokoh dibidang sejarah penulis dan penyair. Di tengah-tengah keluarga yang mempunyai kedudukan terhormat dan berlimpah dengan harta, beliau tidak mengharap sanjungan dari orang lain, bahkan beliau kurang peduli dengan keadaannya itu. Pikirannya hanyalah bagaimana mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Ada satu riwayat yang mengemukakan bahwa pada suatu waktu beliau bertemu dengan al Baji pensyarah kitab al Muwattha’ lalu al Baji berkata kepadanya: “aku jauh lebih giat dalam mencari ilmu daripadamu, kamu menuntutnya sedangkan kamu mempunyai sumber biaya lebih atas hal itu, dan emas pun bergelimpangan di sisimu. Sedangkan aku hanyalah seorang penghuni di pinggir pasar yang hanya ditemani lampu malam, namun saya masih menyempatkan diri untuk menuntutnya”. Ibnu Hazm menjawab tudingan tersebut berkata: “perkataan ini sebenarnya pantas buatmu bukan untukku, karena dalam posisimu sekarang engkau menuntut ilmu dengan berharap bisa sepertiku, sedangkan aku menuntutnya tanpa membawa nama keluargaku dan hartaku. Aku hanya ikhlas mencari ilmu setinggi-tingginya agar bermamfaat di dunia dan akhirat”.
Adapun di antara guru-guru beliau adalah: Ibnu Abdi al Bar al Maliki, Abu Hasan al Farisi, Abu al Qasim Abdurrahman al Azdi, Ahmad bin Jusur al Hamdzani, Abu Bakar Muhammad bin Ishak. Beliau belajar fiqih yang pertama kali di saat pemuda kepada Abdullah bin Yahya bin Duhun, seorang ahli fiqih yang biasa yang dimintai fatwanya di kordoba. Itulah di antara guru beliau yang ditempatinya dalam menuntut baik dalam bidang hadits fiqih, bahasa syair dan sebagainya.
Pada saat beliau mengumumkan dirinya sebagai penganut madzhab zhahiri, beliau muncul dengan membawa corak baru dalam madzhab ini yang sedikit berbeda dengan apa yang sudah ada di timur Arab. Hal ini dapat diketahui ketika beliau melontarkan pendapat yang berbeda dengan pendapat sebelumnya. Seperti: Kedudukan seseorang yang junub ataupun perempuan yang haid memegang al Qur’an ataupun membacanya, dan kedudukan al Qur’an apakah makhluk atau bukan?
Dalam hal ini Daud berpendapat tentang bolehnya mereka memegang ataupun membacanya walaupun dalam keadaan demikian, dengan berpendapat bahwa al Qur’an adalah makhluk. Adapun Ibnu Hazm sendiri sepakat tentang bolehnya orang yang junub dan haid memegang al Qur’an dan membacanya namun mengingkari secara tegas adanya al Qur’an sebagai makhluk.
Hal ini menunjukkan bahwa Ibnu Hazm bukanlah merupakan orang yang semata-mata mengikuti pendapat Daud, melainkan hanya mengikuti metode berfikirnya. Keduanya kadang-kadang sepakat dan kadang tidak.
Meskipun ajakan ini kurang mendapat pengikut dan dukungan dari penduduk setempat, namun bibit-bibit madzhab ini tidak dapat hilang bahkan mulai tumbuh. Hal ini ditandai dengan keluarnya sekelompok ulama Kordoba ke timur Arab untuk memperluas ilmunya. Sebagian mereka ada yang bertemu langsung dengan Ahmad bin Hambal. Diantara Ulama-Ulama yang berburu ilmu ini ada tiga orang yang mempunyai pemikiran serupa dan sejalan dengan madzhab Zhahiri, meskipun secara tidak langsung mengklaim dirinya sebagai madzhab Zhahiri. Mereka telah berpegang kepada manhaj Zhahiri yang menafikan ketergantungan kepada madzhab tertentu, sebagaimana juga dalam menggali hukum mereka mengambil langsung dari zhahir lafadz al Qur’an dan as Sunnah. Mereka adalah Baqi bin Mukhallid, Ibnu Wadah dan Qasim bin Asbaq.
a. Adapun Baqi bin Mukhallid ketika telah kembali ke Andalusia (Spanyol) dari pengembaraan ilmunya, dia merumuskan kembali metode baru dalam hal pembelajaran di madrasah-madrasah. Dia telah kembali dengan segudang ilmu baik yang telah didapati di negerinya dahulu ditambah lagi dari hasil perjalanannya ke timur Arab. Dia telah mendalami ilmu Hadits, hingga secara berangsur-angsur negeri Andalusia menjadi markas pembelajaran ilmu Hadits. Adapun pelajaran dibidang fiqih pada saat itu hanya bertumpu kepada madzhab Imam Malik, bahkan mereka seakan-akan tidak pernah mengenal madzhab tiga lain yang terkenal. Tetapi setelah itu pembelajarn fiqih tidak semata-mata bersumber dari madzhab Imam Malik saja, melainkan juga memasukkan madzhab Imam Syafi’i.
Perjalanan Baqi tidak selamanya mulus, ditengah perjalanan dia telah menjumpai pertentangan dari para ulama semasanya, bahkan pertentangan sebagian penduduk Andalusia. Hal ini dikarenakan terhadap apa yang telah dibawa ke negerinya, yang bersumber dari kitab-kitab yang memuat dari berbagai perselisihan dan Hadits-hadits gharib. Mereka ingin memperdaya Baqi melalui penguasa saat itu serta menakut-nakutinya. Akan tetapi Allah Swt dengan keagungan dan belas kasihan-Nya menyelamatkannya dan memberikan kemenangan atas lawan-lawannya. Maka kemudian berkembanglah ilmu Hadits dan orang-orangpun membaca riwayat-riwayatnya. Baqi juga memasukkan pelajaran fiqih perbedaan madzhab. Sejalan dengan banyaknya pembelajaran Hadits dan ushulnya, dari sinilah juga ditemukan pelajaran yang mengusung fiqih madzhab Zhahiri. Hal ini juga merupakan benih pertama munculnya madzhab ini yang dikemudian hari menjadi madzhab terkenal di Andalusia. Baqi adalah seorang mujtahid dan bukanlah seorang yang muqallid, sebagaimana hal ini telah diungkapkan oleh Ibnu Hazm dalam risalahnya mengenai Ulama-ulama Andalusia. Beliau wafat pada tahun 276 H.
b. Ibnu Wadah adalah Imam al Hafidz Abu Abdullah Muhammad bin Wadah bin Yazi’, kakeknya adalah seorang budak dari Abdurrahman ad Dakhil. Beliau hidup semasa dengan Baqi bin Mukhallid yang juga telah berhijarah ke timur. Sepulangnya dari sana dia telah mentransfer Hadits dari timur ke barat sebagaimana juga hal ini pernah dilakukan oleh Baqi. Keduanya berasal dari Kordoba, diantara keduanya tidak ada ikatan emosional melainkan berjalan sendiri-sendiri. Keduanya mempunya murid-murid sendiri. Sebagaimana murid-murid Ibnu Wadah tidak menghadiri majlis Baqi dan juga sebaliknya. Beliau sangat menjunjung tinggi ilmu Hadits hingga termasuk dalam golongan Muhaddits Kordoba. Namun kedudukannya tidak setenar Baqi, hal ini dapat dijumpai ketika Ibnu Hazm menyinggung dalam risalahnya tidak seistimewa Baqi.
Sebagaimana telah disebutkan beliau sangat gigih dalam menyebarkan Hadits-hadits, beliau juga termasuk yang menyebarkan fiqih madzhab Zhahiri yang hanya berlandaskan kepada nash saja. Beliau wafat pada tahun 386 H.
c. Qosim bin Asbaq bin Yusuf Abu Muhammad al Bayani yang datang kemudian merupakan murid keduanya. Beliau juga termasuk orang yang mendalami ilmu Hadits dan Atsar di Andalusia. Dia telah mentransfer Hadits dari kedua gurunya serta guru-guru yang lain. Di samping itu dia juga mendalami fiqih madzhab Zhahiri dan menyebarkannya. Beliau juga telah berhijrah ke timur Arab memasuki negeri Irak dan menjumpai beberapa ulama diantaranya Ibnu Qutaibah dan Mubarrad pengarang kitab (al Kamil). Beliau juga telah belajar kepada ulama ilmu Hadits. Pada saat beliau memasuki negeri Irak tahun 286 H., dia mendapati Daud pengarang kitab Sunan telah meninggal baru-baru itu. Maka kemudian beliau menyusun kitab Sunan berdasarkan metode kitab Imam Daud dan mengistimbatkan periwayatannya kepada guru-gurunya lalu dia meringkas kitabnya dan menamakannya (al Mujtana) yang berisi 1490 Hadits dalam tujuh jilid kitab. Beliau wafat pada tahun 340 H.
Dari ketiga orang di atas kemudian melahirkan murid-murid baru yang terus menyebarkan madzhab ini di Andalusia.
Maka selang beberapa waktu muncullah ulama-ulama yang secara langsung menyatakan ketertarikannya kepada madzhab Zhahiri, salah seorang diantara mereka yang sangat menonjol adalah Hakim terkenal Andalusia yang sangat berpengaruh, yaitu Qadi Mundzir al Buluty yang secara terang-terangan membela madzhab Zhahiri dan menyebarkannya. Beliau juga terkenal dengan ilmunya yang luas dalam masalah peradilan, fiqih dan khitabah, serta terpandang di mata khalifah Nashir (Khalifah Umawi saat itu) dan terpandang di sisi rakyat.
Kemudian beberapa waktu setelah Mundzir, juga terdapat beberapa masyaikh yang berfokus pada ajaran madzhab Zhahiri. Diantara mereka yaitu Mas’ud bin Sulaiman bin Muflit. Sampai di sini berhentilah silsilah pembawa madzhab ini dalam beberapa waktu.
Beberapa fakta kemudian, setelah Ibnu Hazm wafat penerus madzhab ini masih bisa ditemukan dan terus berdakwah sepeninggal beliau. Bahkan pada abad keenam sampai memasuki abad ketujuh madzhab ini muncul kembali ke permukaan di Maroko dan Andalusia. Hal ini terjadi ketika Ya’qub bin Yusuf bin Abdul Mukmin bin Ali yang memerintah pada tahun 580-595 H. di Maroko mendengung-dengungkan kembali madzhab ini, dan mengumumkan kepada semua rakyat untuk meninggalkan madzhab Malik dan hanya beramal dengan kitab Allah dan Rasul-Nya. Diapun tidak berhenti sampai di situ, bahkan mencari kitab-kitab fiqih pegangan madzhab Maliki dan membakar semuanya.
Dia terus mengajak rakyat untuk meninggalkan ra’yu dan hanya mengambil zhahirnya lafadz al Qur’an dan as Sunnah disertai siksaan yang berat kepada orang yang mempergunakan ra’yunya. Hal ini dikemukakannya setelah membakar kitab-kitab yang telah dirampasnya tersebut.
B. Lahirnya Mazhab Az Zhahiri, Pertumbuhan dan Perkembangannya.
Mazhab az Zhahiri lahir dari belahan timur negri Arab, pada abad ketiga H. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya mazhab ini dipelopori langsung oleh Daud az Zhahiri. Kemudian bertolak ke belahan bumi bagian barat (Eropa)
Daud az Zhahiri sendiri telah belajar dari Ulama Hadits, dan belajar fiqih dari mazhab Imam Syafii’ baik membaca langsung kitab-kitabnya maupun belajar dari murid-muridnya dan sahabat-sahabatnya. Akan tetapi dia tidak mengambil manhaj Imam Syafii’ kecuali hanya sedikit. Kemudian lambat laun meninggalkannya dan mempunyai manhaj sendiri dalam mengistimbatkan hukum. Dia berpendapat bahwa sumber hukum dari nash saja, dan tidak ada ilmu dalam Islam kecuali bersumber dari nash, dia menggugurkan kedudukan qiyas (analogi) dan tidak mengambilnya sebagai sumber hukum.
Para Ulama telah menyelidiki dan meneliti sebab-sebab munculnya mazhab ini dan para pengikutnya yang berperan penting dalam memajukannya. Mereka meyakini adanya hubungan langsung antara Ulama hadist dan Ulama Zhahiriyah dibalik kemunculannya. Hal ini bisa diketahui ketika Ulama Hadits merupakan bagian yang yang berperan penting dan ikut andil dalam kancah pertumbuhannya. Kita dapat mengetahui hal ini sebagai berikut:
a. Golongan Zhahiri adalah adalah para Muhaddits dan merupakan jebolan dari madrasah-madrasah Ulama Hadits. Sedangkan imamanya sendiri (Daud) telah belajar kepada Ulama-Ulama Hadits. Dari dasar ini Ibnu Hazm berani dengan lantang menisbatkan golongan Zhahiri kepada golongan ahli Hadits. Beliau berkata: (Ahlu as Sunnah yang kami maksudkan, mereka adalah orang yang benar, sedangkan selainnya adalah ahli bid’ah. Ahlu as Sunnah adalah para sahabat Ra’ kemudian golongan ahli Hadits dan para pengikut mereka dari para fuqaha hingga sekarang ini)
b. Para Muhaddits telah memberikan mata pelajaran kepada mereka dalam masalah fiqih yang pada intinya membenci qiyas, dan memperingati untuk tidak mempergunakannya kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini terus berjalan hingga pada akhirnya Zhahiriah mengingkari qiyas secara utuh. Oleh karena itu Imama Ahmad lebih mengutamakan Hadits dhaif daripada ra’yu. Dari sini kita mengetahui ada kemiripan dalam masalah hadits antara mazhab Hambali dengan Zhahiriah.
Sebab lahirnya dan berkembangnya mazhab Zhahiri di tanah Arab dan bagian timur dan kemudian menyebar ke barat (Eropa) sebagai berikut:
1. Daud az Zhahiri mendeklarasikan mazhabnya di Bagdad. Kemudian menyusun beberapa kitab yang kesemuanya berisi Hadits dan atsar yang mengokohkan mazhabnya dan pendapat-pendapatnya dalam berbagai cabang fiqih yang telah dikemukakannya. Seperti kitabnya yang menolak qiyas (Ibtalu al Qiyas) serta kitabnya (al Mufassir dan al Mujmal). Beliau menerangkan status hukum dari berbagai cabang tersebut yang di perlukan oleh seorang muslim dalam mendapati permasalahan-permasalahan baru dalam kehidupannya. Dari kitab-kitab inilah yang secara langsung maupun tidak berusaha mempengaruhi para pembacanya untuk masuk kedalam mazhabnya, hingga kemudian secara berangsur-angsur tumbuhlah mazhab ini lalu berkembang menjadi mazhab besar dan terkenal.
2. Sekelompok pengikut-pengikut mazhab Daud az Zhahiri mengusung panji mazhabnya yang dikepalai langsung oleh putranya sendiri Abu Bakar Muhammad bin Daud az Zhahiri (wafat 297 H). Ia telah memperjuangkan berlangsungnya mazhab warisan bapaknya yang berisi ajaran-ajaran Sunnah. Kemudian secara langsung mereka menyerukan ajaran mazhabnya ini dan mengajak orang-orang untuk mengikutinya, hingga melahirkan pengikut-pengikut baru yang dikemudian hari juga menyusun kitab yang membela mazhabnya.
Dari sebab tersebut menyebarlah mazhab Zhahiriya di timur Arab pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, bahkan di antara Ulama ada yang mengatakan bahwa mazhab Zhahiri adalah mazhab keempat yang terkenal. Mazhab tiga sebelumnya yang terkenal adalah: Mazhab Imam Abu Hanifah Imam Syafi’I dan Imam Malik. Pada waktu itu mazhab Zhahiri sangat terkenal dan lebih menyebar luas serta lebih banyak pengikutnya daripada mazhab Ahmad bin Hambal. Akan tetapi setelah memasuki abad kelima, muncul seorang tokoh Ulama pengikut Ahmad bin Hmbal seorang hakim yang bernama Abu Ya’la bin Farra al Hambali (wafat 458 H), yang telah menggembor-gemborkan kembali mazhab Hambali yang berhasil menggeser ketenaran mazhab Zhahiri sertra mengunggulinya hingga kembali mendudukli posisi keempat dari mazhab yang masyhur.
Ada satu pertanyaan timbul di benak kita, mengapa mazhab Zhahiri yang di usung oleh Daud dapat dikalahkan kembali oleh mazhab Hambali di timur Arab? Padahal mazhab Zhahiri juga mempunyai pengikut dan karangan-karangan kitab. Di antara penyebabnya sebagai berikut:
1) Meskipun Daud mempunyai banyak pengikut bahkan anaknya sendiri, namun Mazhabnya tidak didukung oleh golongan politik, sehingga berangsur-angsur pengikutnya berkurang dan kemudian meninggalkan mazhabnya.
2) kurangnya Ulama yang meriwatkan kitab-kitabnya. Walaupun Daud dikenal dengan kekuatan ibadahnya dan ketsiqahannya karena ada dua penyaebab:
a) Pengingkaran Daud kepada qiyas secara mutlak yang kontraversi dengan pendapat mayoritas Ulama, termasuk imam Ulama Sunnah. Seperti Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rahawaihi dan selainnya dari Ulama-Ulama serupa.
b) Penda[pat beliau yang mengatakan al Quran sebagai makhluk dan bolehnya orang yang junub dan haid memegangnya. Pendapat ini juga bersebarangan dengan pendapat jumhur Ulama yang mengatakan al Quran bukan makhluk, dan terlarangnya orang yang junub dan haid memegangnya. Beliau mengungkapkan pendapatnya tersebut di saat mayoritas Ulama telah mengikrarkan bahwa orang yang mengatakan al Quran adalah makhluk mereka sebenarnya telah masuk dalam golongan ahli bid’ah.
Pada saat mazhab ini ketenarannya mulai redup di negri timur bagian Arab, yang ditandai pula dengan munculnya kembali ketenaran mazhab Hambali hingga menggeser kedudukannya, tiba-tiba muncullah gaung yang kuat di negri barat yang bersumber dari sosok yang terkenal dengan ilmunya dan kekuatan pemikirannya serta pembelaannya kepada mazhab Zhahiri. Beliau adalah Ibnu Hazm al Andalusi.
Sebenarnya penulis juga mendapati dalam beberapa kitab adanya penyebaran mazhab Zhahiri di Maroko Afrika Utara. Namun secara jujur penulis tidak mendapati sejarahnya bahkan sejarah singkat orang yang pertama kali yang membawa ajaran tersebut ke sana. Penulis hanya mendapati dalam beberapa kitab yang menyebutkan bahwa mazhab tersebut sudah ada di sana ( Maroko). Berbeda dengan sejarah masuknya mazhab ini ke spanyol. Akan tetapi setelah memasuki abad keenam sampai awal-awal abad ke tujuh sepeninggal Ibnu Hazm barulah di sana ditemukan beberapa tokoh yang juga gencar menyebarkan mazhab Zhahiri. Untuk lebih jelasnya insya Allah akan dikemukakan di belakang nanti.
C. Perkembangan Fiqih Dzahiri
Kita dapat menyantakan bahwa fiqih daud adalah fiqih nushush (fiqih hadits) tetapi para ulama tidak banyak meriwayatkan madzhab ini.
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena daud menyalahkan orang yang memakai qiyas dan menegaskan bahwa al-qur'an itu adalah makhluk dan orang yang berjunub atau haidh boleh menyentuh al-qur'an dan membacanya. Beliau mengumandangkan ini ketika para ulama di masa itu menyalakan golongan yang menyatakan al-qur'an itu makhluk.
Diantara prinsip daud yang di cela orang adalah, daud melarang talqid untuk siapa saja dan membolehkan orang yang mengetahui bahasa arab memperkatakan agama dengan memegang kepada dzahir al-qur'an dan assunnah.
Inilah sebabnya para ulama di masa itu sangat keras menentangnya hingga pendapatnya dianggap tidak ada.
Tetapi walau bagaimanapun kerasnya sikap ulama terhadap daud, namun madzhabnya berkembang di timur dan barad dengan prinsip mengambil dzahir al-qur'an, di bagan timur pada abad ke tiga dank e empa perkembangannya melebihi perkembangan madzhab ahmad.
Baru abad ke lima berkat usaha ibnu ya'la'. Maka madzhab ahmad mempunyai kedudukan yang kuat dan mengalahkan madzhab dzahiri. Pada masa sinar cahaya madzhab pudar di sebelah tmur, pada masa itulah dia bersinar kuat di andalus, di pancarkan oleh ibnu hazm, jadi sewaktu madzhab hambali dengan usaha abu ya'la mengalahkan madzhab daud di bagian timur, pada waktu itu pulalah ibnu hazm memancarkan sinarnya di bagian barat.
Dalam beberapa hal madzhab dzahiri menyalahi pendapat para fuqaha' lainya, diantaranya yaitu:
1. dzahiri berpendapat bahwa air yang bercampur dengan air seni manusia,
2. orang yang tidak berwudhu, orang junub, orang yang sedang haidh,
3. dalam memahami hadits
4. menurut dzahiri, seorang istri yang mampu (kaya)
D. Karya Kitab-Kitab Ibnu Hazm yang terkenal
Adapun kitab-kitab Ibnu Hazm yang terkenal yaitu:
1. (Al Ishal). Kitab ini adalah kitab fiqih yang paling lengkap yang ditulis olehnya.
2. (Al Khisal). Kitab ini lebih kecil dari sebelumnya.
3. (Al Muhalla). Kitab ini tergolong sebagai rujukan dalam berbagai pembahasan fiqih muqorin. Beliau meninggal sebelum kitab ini selesai yang tersisa beberapa masalah. Kemudia anak beliau tampil meneruskan perjuangan ayahnya menulis kitab tesebut hingga selesai.
4. (Al Mujalla). Yaitu kitab yang paling kecil diantara kitab di atas.
E. Metode Istinbath Hukum Mazhab Zhahiri.
Beliau berpendapat, bahwa nash-nash yang dipergunakan oleh ahlur ra'yu dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum, adalah berguna di waktu tidak ada sesuatu nash dari kitabullah atau sunnah rasul dan beliau berpendapat, bahwa apabila kita tidak memperoleh nash dari al-qur'an dan sunnah, maka hendaklah kita memusyawarahkan hal itu dengan para ulama, bukan kita berpegang kepada ijtihad sendiri.
Madzhab beliau ini di kenal dengan nama madzhab ad-dzahiri, karena beliau berpegang kepada dzhahir al-qur'an dan assunnah, tidak menerima ada ijma' kecuali ijma' yang diakui oleh semua ulama. Walaupun madzhab ini pada dasarnya berpegang pada dzahir nash, tetapi kita dapat menjumpai beberapa teori barat, karena dalam madzhab inilah kita jumpai pendapat yang menetapkan bahwa istri yang berharta wajib menafahi suaminya yang fakir.
1. Al Quran al Karim
Yaitu sumber yang paling pokok dalam syariah, sumber-sumber yang lain pun merujuk padanya. Adapun kedudukan al Quran adakala sudah dipahami dari konteks kalimatma sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan dari Hadits, dan adakalanya pula membutuhkan penjelasan dari Hadits. Seperti penjelasan ayat yang mujmal yang membutuhkan perincian, semisal ayat tentang salat, puasa, zakat, haji, maka perinciannya dijelaskan oleh hadits. Dan penjelasan al Quran ini kadangkala jelas bisa langsung difahami dan adapula yang tidak langsung bisa memahaminya kecuali orang yang mempunyai ilmu yang memadai terhadap hal tersebut. Allah Swt berfirman:
فسألوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون (النحل: 43, الأنبيا:7)
” Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui ” (an Nahl: 43 dan al Anbiya: 7).
Ibnu Hazm berkomentar tentang penjelasan al Quran ini. “penjelasan terhadap al Quran ini akan berbeda hasilnya, sebagian ada yang jelas dan yang lain akan samar yang menyebabkan seeorang cepat memahami dan sebagian yang lain akan lambat memahaminya. Hal ini tergantung kepada orang yang menjelaskannya. Dari hal inilah akan muncul perbedaan pemahaman”.
Ibnu Hazm juga mengingkari adanya kontraversi antara ayat-ayat al Quran dengan berkata: “Sungguh benar tidak ada kontraversi dan perselisihan dalam al Quran. Bukti terhadap hal itu adanya al Quran sebagai wahyu, sekiranya kita jumpai kontraversi dalam al Quran berarti kita juga akan menjumpai perselisihan, sedangkan Allah Swt telah menafikan perselisihan di dalamnya melalui firman-Nya:
ولو كان من عندغيرالله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا (النساء:82)
“Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (an Nisa: 82).
2. As Sunnah
Yaitu rujukan kedua yang mendasar dalam syariah. Ibnu Hazm mengartikan dengan menaati apa yang diperintahkan Rasulullah Saw, sebagaimana firman Allah Swt:
وما ينطق عن الهوى ان هو الا وحي يوحى (النجم: 3-4)
” Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al Quran) menuruti kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. (an Najm: 3-4)
Ibnu Hazm mengkategorikan nash hanya dari al Quran dan Hadits sebagai sumber hukum pokok, juga mensejajarkan kedudukan al Quran dengan Hadits. Beliau berkata:”perintah Allah dan Rasulnya semuanya fardhu, dan semua larangan Allah dan Rasulnya hukumnya haram. Seseorang tidak pantas berkomentar persolaan ini sunnah atau makruh, keculi dengan nash yang shahih yang menerangkan hal tersebut atau ijma”.
Ibnua Hazm tidak mengkategorikan perbuatan Nabi sebagai hujjah, kecuali sejalan dengan sabda Nabi. Adapun perkataan dan taqrir Nabi beliau memasukkannya secara langsung sebagai hujjah. Contoh sabda Rasulullah Saw:
عن عبد الله بن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان اذا افتتح الصلاة رفع يديه حذو منكبيه واذا رفع رأسه من الركوع رفعهما كذالك أيضا وقال: سمع الله لمن حمده ربنا ولك الحمد, وكان لا يفعل ذالك فى السجود (رواه البخارى
“Dari Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah Saw apabila hendak memulai salat mengangkat tangannya sejajar dengan bahunya, dan apabila ingin bangkit dari ruku’ beliau juga mengangkatnya seperti itu dan berkata: Allah mendengar terhadap orang yang memujinya, Ya Allah segala puji hanyalah untuk-Mu dan Rasulullah Saw tidak melakukan hal demikian di saat bangun dar sujud”. (HR. Bukhari)
Ibnu Hazm menerima periwatannya dari sahabat yang meriwatkan Hadits tersebut dan menolak taqlid padanya. Atau bisa dikatakan jika seorang sahabat meriwatkan sebuah Hadits dari Nabi Saw, kemudian ada riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat tersebut telah melakukan hal yang berbeda dengan apa yang diriwayatkannya, maka yang benar untuk diambil oleh seseorang, yaitu mengambil apa yang diriwayatkan sahabat tersebut (Hadits), bukan apa yang dia telah lihat ataupun yang di ketahui dari perbuatannya atau fatwanya. (baca-sahabat)
Contoh lain ketika Abu Hurairah Ra, meriwayatkah Hadits dari Nabi Saw yang mengharuskan mencuci wadah yang telah dijilat anjing sebanyak tujuh kali dengan tanah, dan salah satunya dengan mempergunakan air. Namun Abu Hurairah sendiri tidak mempergunaan hadits ini, karena didapati padanya ia hanya mencuci wadah yang dijilat anjing sebanyak tiga kali. Hal ini berbeda dengan hitungan pencucian pada hadits Nabi Saw yang telah di riwayatkannya sendiri. Maka dari hal ini yang sah menurut Ibnu Hazm untuk diambil adalah Hadits Nabi Saw yang diriwatkan Abu Hurairah tersebut yaitu mencuci bekas jilatan anjing sebanyak tujuh kali, bukan pada apa yang telah dilakukan Abu Hurairah yang hanya mencucinya tiga kali.
Ibnu Hazm juga menggunakan Hadits Mutawatir maupun Hadits Ahad. Adapun kedudukan Hadists Mutawatir kita mengetahui bersama bahwa hal itu adalah hujjah secara ijma’. Ibnu Hazm juga berpendapat bahwa wajibnya meneriam Hadits Ahad walaupun hal itu menyangkut masalah aqidah. Adapun dalil yang dipergunakan beliau yaitu: Ketika Rasulullah Saw mengutus para utusannya kepada para penguasa ( raja-raja), hanya berbentuk individu bukan berkelompok. Begipula ketika Rasulullah Saw mengutus utusan kepada kaum muslimin, para utusan tersebut tidak lebih dari satu. Mua’dz bin Jabal ke Yaman, Abu Bakar sebagai pemimpin haji, Ali sebagai hakim di Yaman. Ketika mereka diperhadapkan dengan masalah yang tidak didapati dalilnya dalam al Quran mereka beralih kepada Hadits Rasulullah Saw, apabila didapati mereka menghukumi dengannya tanpa memperhatikan jumlah orang yang meriwayatkannya.
Pendapat Ibnu Hazm ini besebarang dengan pendapat mayoritas ulama dari segi pengambilan Hadits ahad sebagai hujjah, mereka menolak pemakaian Hadits ahad dalam masalah yang berkaitan dengan aqidah. Namun Ibnu Hazm memandang setiap apa yang diriwayatkan oeh Rasulullah baik perbuatan maupun perkataan maka itu adalah hujjah baik sebagai mutawatir atau ahad dalam masalah ibadah atau aqidah hal itu adalah hujjah.
3. ijma,
Ijma, yang dimaksudkan Ibnu Hazm di sini yaitu terkhusus ijma’ para sahabat. Karena mereka menyaksikan langsung turunnya wahyu. Ibnu Hazm juga mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat mayoritas Ulama, yaitu tidak ada perbedaan pendapat dalam dalam ijma. Sebaaimana terdahulu beliau tidak mengkategorikan ijma’ secara umum yang meliputi ijma’ para Ulama melainkan hanya terkhusus ijma’ para sahabat saja yang hidup di awal Islam bersama Nabi. Ijma’ inilah yang beliau maksudkan dengan firman Allah Swt:
واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا (ال عمران: 103)
“Berpegang tegulah kalian semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai” (al Imran: 103). Dan firman Allah Swt:
ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم (الأنفال: 46)
“Dan jangnlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu”. (al Anfal: 46).
Dari hal ini apabila didapati dalam agama ada kesepakatan dan perselisihan, maka Allah Swt sungguh telah mengabarkan dalam kitab-Nya bahwa perselisihan bukanlah dari sisinya. Allah Swt berfirman:
ولو كان من عند غيرالله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا (النسا: 82)
Sekiranya al Quran itu bukan dari sisi Allah tentulah mereka akan mendapati perentangan yang banyak di dalamnya”. (an Nisa: 82).
Para mujtahid telah sepakat dari semua mazhab bahwa tidak ada ikhtilaf dalam mengambil perkataan sahabat yang tidak ada lapangan pemikiran dan ijtihad di dalamnya, karena kedudukannya merupakan khabar taukifi dari pembawa risalah. Begitu juga tidak ada perbedaan pendapat apa yang telah disepakati oleh para sahabat secara jelas, atau terhadap apa yang kita ketahui meskipun secara tidak sharih tapi mereka tidak berselisih pendapat di dalamnya. Seperti bagian seperenam dari warisan untuk kakek.
4. Dalil.
Sumber hukum keempat yang dijadikan istimbat hukum oleh Ibnu Hazm az Zhahiri yaitu: “Dalil”. Beliau memaksudkan dalil di sini adalah setiap perkara yang diambil dari ijma’ atau nash yang dapat dipahami maknanya secara langsung dari lafaznya dan bukan membawa keduanya kepada makna lain karena adanya illat. Hal ini berbeda dengan qiyas yang tidak disetujuinya. Karena qiyas mengelurkan illat dan nash kemudian memberikan hukum asal yang sama kepada setiap perkara yang masuk di dalamnya (baca illat). Adapun dalil yang dipakai Ibnu Hazm, yaitu apa yang bersandar kepada nash itu sendiri dan tidak mengeluarkannya kepada proses qiyas.
Kalau kita memperhatikan dngan seksama kita dapatr mengatakan bahwa dalil yang dipergunakan oleh Ibnu Hazm az Zhahiri sebagai sumber hukum keempat ini, tidak ada bedanya dengan sumber hukum ketiga sebelumnya, hanya saja penyebutan dalil ini merupakan ringkasan dari sumber hukum ketiga sebelumnya.
F. Pandangan Ulama Zhahiri mengenai Ra’yu dan Sumber-Sumber hukum lainnya.
Ngenai ra’yu dalam hal ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa tidak ada ra’yu dalam agama. Seseorang tidak berhak berijtihad dengannya dan tidak sah mengistimbatkan hukum dengannya. Karena nash adalah hukum Allah Swt, sedangkan apa yang dihasilkan oleh ra’yu berarti telah membuat hukum sendiri dan bukan hukum Allah Swt. Seseorang juga tidak berhak berpendapat dengan membawa nama Allah kecuali hany Rasul-Nya. Barang siapa yang berbicara dengan ra’yunya dalam agama sungguh dia telah mengada-ada dan berbohong kepada Allah Swt.
Adapun dalil-dalil yagn dipergunakan sebagai rujukan yaitu:
a. Dalil dari nash
Dalil al Quran firman Allah Swt:
ما فرطنا فى الكتاب من شىء (الأنعام: 38
“Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam kitab”. (al An’am: 38)
Dalil ini menunjukkan bahwa al Quran adalah penjelas bagi syariah secara mutlak, dan seseorang tidak berhak menambah-nambahkan hukum di dalamnya. Dan juga firman Allah Swt:
يا أيها الذين أمنوا أطيع الله وأطيع الرسول وأولى الأمر منكم فان تنازعتم فى شىء فردوه الى الله والرسول ان كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر (النساء:59
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan ta’atilah Rasul-(Nya), dal ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian”. (an Nisa: 59)
Ayat ini secara jelas membatasi hukum-hukum syariah itu hanya kepada al Quran, Hadits dan ijma’ saja. Maka ketika ditemukan perselisihan seharusnya dikembalikan kepada keduanya, dan tidak berhak merujuk kepada yang lain. Sekiranya ra’yu itu adalah tempat untuk diizinkan atau diperbolehkan pastilah akan ada nash yang menyinggung hal itu”.
Firman Allah Swt:
ان يتبعون الا الظن وان الظن لا يغني من الحق شيئا (النجم:28
“Mereka tidak lain hanya mengikuti prasangka sedang sesungguhnya prasangka itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”. (an Najm: 28)
Ibnu Hazm mengambil ayat ini sebagai dasar peniadaannya terhadap hukum yang berlandaskan dugaan. Beliau berkata: “Tidak sah pengambilan hukum yang berlandaskan dugaan secara mutlak”.
Firman Allah Swt:
اليوم اكملت لكم دينكم (المائدة: 3
“Pad hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu”. (al Maida: 3)
Ibnu Hazm berkata: Inilah agama tidak ada agama selain ini. Adapun ra,yu dan qiyas adalah dugaan dan dugaan itu adalah batil”.
Dalil-dalil dari Hadits.
لاينزع العلم من صدورالرجال ولاكن ينزع العلم بموت العلماء فاذا لم يبق عالم اتخذا الناس رؤساء جهالا فأفتوا بالرأي فضلوا واضلوا
“Tiadalah ilmu dicabut dari hati seseorang, melainkan dicabutnya ilmu itu dengan mewafatkan para Ulama. Apabila tidak dijumpai lagi orang yang berilmu, maka mereka akan mengangkat orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Mereka akan berpatwa dengan ra’yunya. Maka mereka telah sesat dan menyesatkan”.
Bandingkan dengan Hadits Rasulullah Saw yang bersumber dari Imam Bukhari
حدثنا اسماعيل بن ابى أويس قال حدثني مالك بن هشام بن عروة عن ابيه عن عبدالله بن عمرو بن العاص قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ان الله لا يقبض العلم بقبض العلماء حتى اذا لم يبق عالما اتخذا الناس رءوسا جهالا فسئلوا فافتوا بغيرعلم فضلوا وأضلوا (رواه البخاري
Ibnu Hazm berkomentar mengenai hadits ini: “Dari sini dapat diketahui bahwa ra’yu itu adalah jalan kesesatan. Hal ini terjadi ketika pengetahuan tentang al Quran dan Sunnah telah dicabut dari hati manusia”.
- Perkataan sahabat.
Kita dapat menjumpai perkataan sahabat mengenai hal ini, seperti perkataan Umar Ra: (“Hindarilah penggunaan ra’yu kalian dalam agama”). (“Berhati-hatilah kalian terhadap orang yang menggunakan ra’yunya karena sesungguhnya mereka adalah musuh Hadits”). (“Wahai manusia sesungguhnya ra’yu yang benar itu hanya ada pada Rasulullah Saw karena Allah Swt sendiri yang langsung memberitahukannya. Adapun yang ada pada kita hanyalah dugaan dan afektasi semata”). Abu Bakar juga berkomentar: (“Bumi yang mana yang kujumpai dan langit yang mana yang kutempati bernaung, jika aku pernah berpendapat dalam kitab Allah Swt dengan ra’yuku atau terhadap apa yang aku tidak ketahui”). Adapun komentar Ali Ra: (“Sekiranya agama ini diatur oleh ra’yu, maka pastilah bagian bawah khuf lebih utama disapu daripada atasnya, dan sungguh aku telah melihat Rasulullah Saw menyapu bagian atasnya”).
b. Mengenai perangkat hukum lainnya yang disepakati jumhur Ulama seperti qiyas dan yang juga menjadi perselisihan Ulama seperti: istihsan, Istishab, maslah al Mursalah, Urf dan lain-lain maka mazhab ini tidak memasukkannya sebagai sumber hukum bahkan tidak mebolehkan untuk mengambilnya. Kita dapat mengetahui hal ini sebagaimana telah disebutkan bahwa mazhab ini sangat anti terhadap ra’yu dan hanya mengambil hukum dari zhahir nash saja. Sedangkan perangkat-perangkat hukum di atas sangat erat kaitannnya dengan ra’yu.
Dari daalil-dalil yang disebutkan di atas ada baiknya kita juga menukil pandangan jumhur Ulama selain Zhahiri dalam masalah ra’yu yang mencanter pendapat Ibnu Hazm di atas.
Ulama ushul mendefinisikan ijtihad dengan ra’yu, yaitu: Mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai sasaran hukum pada suatu kejadian yang tidak ada nash padanya melalui pemikiran, dan mempergunakan berbagai jalan yang telah telah diberikan Allah padanya. Adapun ra’yu yang menjadi dasar dalam berijtihad dalam sesuatu yang tidak ada nash padanya’ yaitu melalui pemikiran yang sejalan dengan tuntunan Allah, karena hal itu lebih mendekatkan kepada kebenaran dan menjauhkan dari kebimbangan, serta membawa kepada kemaslahatan bersama. Pemikiran inilah yang dapat dikategorikan sebagai pemikiran terpuji yang tertera dalam Hadits Rasulullah Saw ketika mengutus Muadz bin Jabal sebagai Hakim. Dan juga yang dimaksudkan dengan perkataan sahabat seperti Abu Bakar ketika ditanya mengenai pengertian kalalah dalam firman Allah Swt.
وان كان رجل يورث كلالة (النساء: 12
Abu Bakar berkata: “saya akan menjawab dengan pendapatku. Sekiranya hal ini benar maka hal itu datangnya dari Allah, dan sekiranya hal itu salah maka itu adalah dari pribadi saya sendiri. Kalalah adalah kerabat selain anak dan ayah”.
Adapun pemikiran yang menyalahi ketentuan Allah maka pada umumnya pemikiran ini hanya berlandaskan hawa nafsu yang tercela yang akan mendatangkan perpecahan. Pemikiran inilah yang dimaksudkan oleh sahabat Umar Ra: “Berhati-hatilah kalian terhadap orang yang yang memakai ra’yu dalam hukum”. Dan perkataan yang banyak di lontarkan oleh para sahabat: “Barang siapa yang berkata dalam agama dengan ra’yunya sunguh dia telah sesat dan menyesatkan”.
Dari sini sudah jelas bahwa ijtihad dengan ra’yu merupakan salah satu bentuk ijtihad secara umum yaitu: Mengerahkan segala kekuatan untuk mencapai sasaran hukum yang diinginkan oleh Allah yang meliputi nash yang zhanni. Dan mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai sasaran hukum yang meliputi penerapan qaidah-qaidah syar’i secara umum. Juga mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai sasaran hukum yang tidak ada nash atasnya melalui qiyas istihsan, dan selainnya dari wasilah-wasilah yang ditunjukkan oleh Allah untuk mengeluarkan hukum yang tidak tertera nash di dalamnya.
G. Penutup
Setelah kita mengkaji perjalanan pembawa mazhab ini baik itu Daud az Zhahiri atau Ibnu Hazm, kita mengetahui keduanya sangat ikhlas dan giat dalam mencari ilmu, hingga mengantarkan keduanya kepada mazhab pilihannya yang berbeda dengan mazhab sebelumnya.
Demikaian apa yang sempat penulis bawakan mudahan-mudahan hal ini bisa menjadi pengantar untuk selanjudnya saudara-saudara sekalian bisa mengkaji mazhab ini lagi secara mendalam. Semoga Allah yang maha membalas amalan ikhlas yang sederhana ini dan mencatatnya di sisi-Nya. Amin..
H. Daftar Pustaka
1. Abdul Mu’thi, Prof. DR. Ibnu Hazm az Zhahiri, Dar al Kutub al Islamiyah, Bairut, libnan, cet. I, 1992
2. Abu Zahra, Ibnu Hazm Hayatuhu wa Ashruhu, Arauhu wa Fiqhuhu, Dar al Fikri al Arabi, Cairo, Mesir, 2004
3. Abu Zaid, Minna, Prof. DR. Maushua’ al Firag wa al Mazhahib fi al Islami, Wizara al Auqaf al Majlis al A’la li as Syuu’ni al Islamiyah, Cairo 2007
4. Al Hifnawi, Muhammad Ibrahim, Musthalah al Fuqaha wa al Ushuliyyin, Dar as Salam, Cairo, Mesir cet. II, 2007
5. Abdul Wahab Khallaf, at Tasyriu’ al Islami Fima la nassa fihi, Dar al Qalam, Cairo, Mesir, cet. VII, 2005
6. Ibnu Hazm, al Muhalla, tahqiq oleh Ahmad Muhammad Syakir, Maktabah Dar at Turats, Cairo, Mesir, vol. I, 2005
7. Majma, al Lugha al Arabiya, al Mu,jam al Washit, Maktab as Syuruk ad Dauliya, Cairo, Mesir, cet. IV 2005
8. Muhammad Musy’al, Mahmud Ismail, Atsar al Khilaf fi al Qawaid al Mukhtalaf fiha wa mada tatbiquha fi al Furu al Mu’ashara, Dar as Salam, Cairo, Mesir, cet. I, 2007
9. Said Mursi, Muhammad, Uzhamau al Islam, Muassasa Iqra’ Cairo, Mesir, cet. IV, 2005
Ditulis Oleh: Saeful Rijal, Lc
(Disampaikan dalam diskusi ISC, tanggal 15 Oktober 2009)
Artikel dari berbagai sumber.
Demikianlah beberapa artikel yang dapat saya susun mudah – mudahan bermanfaat bagi sahabat semua, Apabila ada kesalahan dalam menyusun makalah ini saya mohon maaf yang sebesar besarnya. Karena inilah kemampuan yang saya miliki. Wassalam,….?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar