Dasar Kepercayaan Masyarakat Kepada Profesi Hukum

PENDAHULUAN
Latar belakang Masalah
Ada fenomena menarik yang patut dicatat dalam perkembangan dunia hukum di Indonesia belakangan ini, yaitu bangkitnya kembali organisasi-organisasi keprofesian hukum, serta sorotan masyarakat terhadap peran lembaga peradilan
. Tentu fenomena tersebut hanya merupakan beberapa tanda saja dari telah adanya proses perubahan cara pandang masyaraat terhadap institusi hukum. Pada akhirnya belum berarti apa-apa untuk dapat merumuskan sebuah konsep ideal bagi etika profesi hukum. Guru besar kriminologi dari Universitas Indonesia, Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, misalnya, berpendapat bahwa hukum telah mengalami degradasi nilai, sehingga fungsi hukum tidak lain dari alat kejahatan, atau dalam bahasa beliau ‘law as a tool of crime’ (Semu, Kepastian Hukum di Indonesia, Kompas, 26 November 2005).
Tapi apa yang bisa kita dapatkan dari informasi tersebut selain sekedar sebuah peringatan siaga belaka? Haruskah, kemudian, kita hapuskan saja institusi hukum, karena keberadaan dirinya telah membatalkan fungsinya sendiri (contradictio in terminis)? Akankah terjawab bagaimana semestinya konsep ideal bagi etika profesi hukum? Untuk mencegah pemikiran yang hanya akan membawa kita pada sikap apatis dan pesimis dalam menghadapi kekusutan arah dan tujuan sistem hukum kita, maka perlu ada usaha untuk menguraikan permasalahan tersebut lebih lanjut lagi. Ini memang bukan hal yang mudah, namun bukan sesuatu yang tidak mungkin.

PEMBAHASAN

A.    Dasar Kepercayaan Masyarakat

Proses perubahan masyarakat yang terjadi saat ini, dan mungkin juga di masa yang akan datang, tidak bisa dipisahkan dari adanya proses globalisasi, proses lintas batas. Pengaruh MTV di Belanda terhadap gaya hidup anak mudanya, misalnya, tidak beda dengan pengaruh MTV di Indonesia terhadap gaya hidup anak muda setempat. Memang, karakter lokal bukannya tidak memegang peran penting. Justru kondisi masyarakat setempatlah yang nantinya akan menentukan konsep yang paling ideal bagi masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pula, modernisasi mesti dimengerti sebagai sebuah proses. Sebagai sebuah proses, dengan sendirinya modernisasi bukanlah suatu bentuk atau tatanan yang tetap. Dengan begitu, cara terbaik untuk dapat memahami modernisasi adalah dengan memahami proses itu sendiri, dan bukan sekedar akibatnya (masyarakat ‘modern’). Membatasi modernisasi hanya pada sebuah bentuk masyarakat ‘modern’ hanya akan membawa pengingkaran pada proses tersebut. Karena, dalam sebuah proses pada prinsipnya semua dapat berubah, kecuali perubahan itu sendiri.
 Modernisasi pada satu masyarakat, dapat saja berbeda dengan modernisasi pada masyarakat yang lain. Pada akhirnya kondisi masyarakat bersangkutan sendirilah yang akan menentukan.Gambaran modernisasi dari sudut pandang sosiologis yang cukup terkenal disampaikan oleh filosof Jerman Max Weber (1864-1920). Menurutnya, modernisasi adalah sebuah proses sekularisasi, rasionalisasi dan ‘desakralisasi’ (demystification). Analisa Weber sendiri adalah analisa menyeluruh pada semua aspek sosial, sedang hukum hanya satu bagian saja dari sebuah sistem sosial.
Modernisasi ini telah mengundang kegerahan seorang guru besar kriminologi yang menyebut fenomena perkembangan hukum di Indonesia sebagai ‘law as a tool of crime’. Hukum yang berfungsi sebagai alat kejahatan. Beliau bahkan berpendapat: “Proses hukum menjadi ajang beradu teknik dan keterampilan. Siapa yang lebih pandai menggunakan hukum akan keluar sebagai pemenang dalam berperkara. Bahkan, advokat dapat membangun konstruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak sedemikian canggihnya sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan.” Pertanyaannya adalah: apakah tindakan itu salah? Salahkah bagi seorang advokat sebagai seorang profesi hukum menggunakan pengetahuan hukumnya sebagai alat untuk memenangkan kliennya? Sayangnya ilustrasi yang beliau berikan tentang permasalahan di dalam hukum kontrak tersebut tidaklah konkrit, sehingga dengan informasi tersebut tidaklah cukup untuk menimbang benar tidaknya tindakan si advokat yang dimaksud. Namun begitu, memang mesti diakui bahwa bukan tidak mungkin dengan kondisi hukum yang telah ‘memasyarakat’ ini, pendekatan-pendekatan pragmatis yang mungkin bertentangan dengan asas-asas dan doktrin-doktrin hukum akan digunakan oleh advokat untuk memenangkan kliennya. Bahkan, kalau kita jeli memperhatikan, cara pikir pragmatis seperti ini terjadi juga di tingkatan pembuat kebijakan. Beberapa waktu yang lalu, misalnya, terdengar usulan dari seorang anggota dewan untuk memberlakukan pembedaan tarif pembuatan paspor untuk mencegah korupsi di Imigrasi (DPR Usulkan Paspor Beda Tarif, detikcom, 18 Januari 2006).

B.     Konsep Etika Profesi
Ada dua konsep etika profesi hukum yang saat ini cukup mendominasi dalam menghadapi modernisasi atau proses pergeseran dari hukum ‘klasik’ menuju hukum ‘modern’ seperti telah dijelaskan di atas. dua konsep tersebut lahir dari ahli-ahli teori hukum di Amerika. Meski begitu, bukan berarti dua konsep ini memiliki pandangan yang sejalan. Justru sebaliknya. Masing-masing konsep dimaksud justru telah memilih dua kutub berseberangan dalam menghadapi modernisasi.
Konsep yang pertama adalah konsep yang diutarakan oleh Anthony Kronman dalam bukunya The Lost Lawyer (1993). Kronman menggambarkan seorang profesional hukum yang ideal sebagai seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut harus memiliki tiga elemen pokok berikut ini:
1.    kecakapan teknis yuridis,
2.     sifat yang terpuji,
3.    serta kebijaksanaan yang membumi (phronesis).
Dilihat dari karakter-karakter tersebut, profesional hukum yang ideal di mata Kronman, tak lain dari profesional hukum yang lahir di tengah budaya hukum ‘klasik’. Memang itu yang dimaksudkan Kronman, yaitu nostalgia pada figure phronimos atau ‘sang bijak’ ala Aristoteles. Masalahnya, saat ini kita telah mulai menuju ke arah pembentukan budaya hukum ‘modern’. Bukankah ini merupakan pengingkaran dari proses perubahan masyarakat itu sendiri? Akibatnya apa? Seperti kritik William Twining dalam Law In Context, Enlarging a Discipline (1997), konsep tersebut akan membawa profesi hukum kembali pada paternalisme dan elitisme. Bukankah akibat dari adanya modernisasi profesional hukum justru dituntut untuk mampu membuktikan bahwa dirinya patut dipercaya?.
Di sisi lain, bukankah artinya kepercayaan ini tidak bisa begitu saja diberikan, hanya karena dan oleh karena, profesional hukum tersebut adalah ‘sang bijak’ itu tadi? Jika memang hakim sudah pasti bijaksana, tentu tidak akan ada keraguan yang mempertanyakan integritas para hakim agung seperti yang telah terjadi di Indonesia saat ini. Bukankah hakim agung adalah seorang hakim yang merunut arti katanya adalah ‘sang bijak’ itutadi?
Selanjutnya, di kutub sebaliknya, Richard A. Posner justru menyambut proses pergeseran budaya hukum ‘klasik’ ke budaya hukum ‘modern’ ini dengan positif. Proses perubahan tersebut bukanlah sebuah kemunduran budaya, namun justru dasar bagi berkembangnya suatu budaya hukum baru. Menurut Posner, profesi hukum tak lain dari sebuah kartel atau sindikat yang berusaha melindungi anggotanya dari pengaruh eksternal, yaitu pengaruh pasar dan regulasi pemerintah, serta pengaruh internal, yaitu persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional hukum yang ideal adalah seorang sociaal engineer. Dia harus lebih terorientasi pada penelitian empiris, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pada umumnya, serta harus lepas dari kemampuan yuridis ‘klasik’ yang menitikberatkan pada interpretasi teks dan argumentasi praktis. Hukum di mata Posner adalah suatu bidang ilmu yang otonom. Masalahnya, hal tersebut juga membawa konsekuensi bahwa hukum harus memiliki satu landasan baru, karena dia akan lepas dari asas-asas serta doktrin-doktrin moral yang menjadi penyangganya. Untuk hal ini, Posner kemudian meletakkan ekonomi sebagai dasar baru bagi hukum. Baik tidaknya suatu tindakan, akan dianalisa dengan prinsip ekonomi, dengan kata lain, nilai kebaikan hanya diukur dengan pendekatan material. Pandangan tersebut tentu saja kontroversial, mengingat dengan begitu Posner telah menegasikan muatan politik dan moral yang terkandung di dalam hukum. Bukankah hukum juga merupakan sarana untuk menjembatani proses perubahan dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain? Hukum harus melek sejarah, dalam arti tidak bisa mengesampingkan interpretasi teks dan sejarah lahirnya teks, serta tidak akan hanya bisa didasarkan pada instrumen-instrumen rasionalitas belaka. Kritik tersebut di antaranya datang dari ahli-ahli teori hukum Belanda, A.M. Hol dan M.A. Loth, dalam sebuah artikel mereka yang berjudul Iudex mediator; naar een herwardering van de juridische professie (2001). Pendeknya, menurut Hol dan Loth konsep Posner ini miskin nilai-nilai moral dan hanya akan membawa kita pada pragmatisme.
Setelah melihat dua konsep ideal tersebut, tentu kita berpikir bahwa modernisasi telah membawa kita pada satu kondisi yang dilematis. Ibarat makan buah simalakama, apabila kita ikuti konsep nostalgia Kronman, telah terbukti bahwa ‘sang bijak’ belum tentu bijak, sedang apabila kita ikuti konsep teknokrasi Posner kita akan jatuh ke dalam pragmatisme yang bukan tidak mungkin membuat hukum rimba kembali berlaku (mungkin bukan lagi berupa kekuatan okol atau kekuasaan, namun berupa kekuatan kapital). Tentu ini bukan pilihan mudah. Untungnya, di samping mengkritik, Hol dan Loth juga memberikan konsep jalan tengah.

C.    Konsep Jalan Ketiga
Meminjam pendapat Gus Dur dalam artikelnya berjudul Budaya Kita di Masa Peralihan (22 Juni 2004), dasar pemikiran yang cukup dikenal dalam tradisi Nahdlatul Ulama: “Al-muhafazhatu ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” (Tetap menggunakan hal-hal lama yang baik, dan hanya menggunakan hal-hal baru yang lebih baik). Begitulah kurang lebih gambaran dasar berpikir konsep jalan ke tiga yang ditawarkan oleh Hol dan Loth. Pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke hukum ‘modern’ memang telah terjadi, namun bukan berarti perubahan itu kita tolak mentah-mentah atau justru kita ikuti dengan membuta. Hukum ‘klasik’, bagaimanapun rentannya, telah meninggalkan asas-asas serta doktrin-doktrin hukum yang akan menyangga berdirinya institusi hukum. Meski begitu, berdirinya institusi tersebut tidak lagi hanya bisa didasarkan pada kharisma atau wibawa profesional hukumnya saja. Lebih dari itu, institusi tersebut harus merupakan sebuah instrumen keadilan yang memang dapat menjadi cerminan dari nilai keadilan yang hidup di masyarakat. Namun, bukankah modernisasi telah membawa kita pada situasi di mana setiap elemen di dalam masyarakat memiliki standar keadilan sendiri-sendiri, sesuai dengan kepentingan dan keinginan mereka masing-masing.

KESIMPULAN
Dasar pemikiran yang cukup dikenal dalam tradisi Nahdlatul Ulama: “Al-muhafazhatu ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.” (Tetap menggunakan hal-hal lama yang baik, dan hanya menggunakan hal-hal baru yang lebih baik). Begitulah kurang lebih gambaran dasar berpikir konsep jalan ke tiga yang ditawarkan oleh Hol dan Loth. Pergeseran dari hukum ‘klasik’ ke hukum ‘modern’ memang telah terjadi, namun bukan berarti perubahan itu kita tolak mentah-mentah atau justru kita ikuti dengan membuta.

Disusun oleh : Badarudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar