Palu Pengadilan |
BAB I
PENDAHULUAN
Praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
1. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Mengenai praperadilan ini diatur dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 79). Sedangkan permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 80).
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya(Pasal 81). Tentang tatacara pengajuan pra peradilan dan mekanisme pemeriksaan di sidang pengadilan selengkapnya bisa di baca di KUHAP Pasal 82 dan 83.
Menarik untuk dibahas di sini adalah praperadilan telah diatur dalam KUHAP dan hal tersebut merupakan hak setiap Tersangka, keluarga, kuasa hukum atau pihak ketiga guna menjamin suatu kepastian hukum terhadap proses hukum yang sedang atau telah berjalan. Setiap penyidik ataupun atasan penyidik seolah antipati dengan pra peradilan. Ada suatu anggapan bahwa seorang penyidik yang pernah di praperadilankan dipandang mempunyai suatu cacat, sehingga dianggap tidak cakap atau tidak mampu melakukan penyidikan.
Praperadilan adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu ditakuti sepanjang proses penyidikan atau upaya paksa yang dilakukan didasarkan kepada aturan dalam KUHAP. Tidak semua putusan pra peradilan dimenangkan oleh tersangka atau pihak yang mengajukan. Di dalam proses sidang pemeriksaan pra peradilan tentunya akan mempertimbangkan fakta baik secara yuridis maupun fakta materiil. Apabila dalam KUHAP tentunya pra peradilan tersebut dimenangkan juga telah diatur dalam KUHAP.
Dikabulkannya praperadilan juga harus ditinjau lagi secara adil apakah karena suatu sebab yang disengaja atau suatu sebab yang berasal dari luar proses penyidikan. Adanya pra peradilan adalah untuk menjaga agar penyidik tidak sewenang-wenang serta untuk mengawal agar proses penyidikan dan atau penuntutan berjalan dengan mekanisme yang diatur di dalam KUHAP. Yang terpenting di dalam suatu proses penyidikan adalah penyidik harus bersikap netral, professional dan proporsional. Apabila kita yakin bahwa proses penuntutan tersebut telah dilaksanakan secara professional dan tidak memihak saya rasa tidak ada yang perlu dirisaukan dan juga dikhawatirkan.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah harus segera dihapus anggapan bahwa praperadilan adalah suatu hal yang tabu bagi penyidik. Begitu pula dengan atasan penyidik atau pihak-pihak lain yang berkompeten terhadap proses penyidikan. Untuk mengurangi kesalahan dan keberpihakan penyidik dalam proses penyidikan,
Pengawas penyidikan juga dijabat oleh seorang perwira yang memiliki pengalaman yang cukup di bidang penyidikan. Kerja pengawas penyidikan ini bersifat independen. Selain itu mekanisme pengawasan internal juga berlaku terhadap setiap keberatan atau komplain dari pihak-pihak tertentu. Hal ini tidak lain menunjukkan adanya transparansi di dalam proses penyidikan. Oleh karena itu pra peradilan adalah suatu hal yang wajar dalam proses penyidikan dan untuk menjamin hak-hak tersangka atau pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia sebenarnya telah diletakkan dalam asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970, dan asas-asas tersebut yang akan ditegakkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut.
Telah disebutkan dalam penjelasan umum KUHAP, bahwa Undang-undang Hukum Acara Pidana ini adalah bersifat nasional sehingga wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnya ketentuan materi pasal atau ayat dalam undang-undang tersebut tercermin perlindungan hak asasi manusia.
Selanjutnya Penjelasan Umum dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memperinci asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakann kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukum administrasi.
e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukannya penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
i. Sedang pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Dari asas-asas tersebut di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Pidana kita hendaknya menjunjung tinggi hak asasi manusia, sekalipun terhadap seseorang yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana.
Perlu penegasan di sini, bahwa bukan berarti terhadap mereka yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, diberikan haknya sedemikian seperti halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa yang telah ditentukan undang-undang.
Didasari bahwa diiperlukan tindakan-tindakan tertentu di mana suatu tindakan akan melanggar hak asasi seseorang, yakni tindakan upaya paksa yang diperlukan bagi suatu penyidikan sehingga dapat menghadapkan seseorang ke depan pengadilan karena didakwa telah melakukan tindak pidana, akan tetapi bagaimanapun juga upaya paksa yang dilaksanakan tersebut akan menuruti aturan yang telah ditentukan dalm undang-undang sehingga bagi seseorang yang disangka atau didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, telah mengetahui dengan jelas hak-hak mereka dan sejauh mana wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan upaya paksa tersebut, di mana tindakan tersebut akan mengurangi hak asasinya.
Dalam hal tersebut di atas, maka Hukum Acara Pidana kita dengan tegas memberikan secara terperinci dalam pasal-pasalnya serta ayat-ayatnya sesuai dengan asas-asas yang telah kami kutipkan dari penjelasan umum Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di atas.
Dengan uraian di atas, maka timbul suatu pertanyaan, apakah dengan ditegaskan perlindungan hak asasi manusia di dalam KUHAP tersebut, berarti bahwa pada Hukum Acara Pidana sebelum KUHAP hak asasi manusia ini idak dilindungi.
Dengan perkataan lain, apakah di dalam H.I.R hak asasi manusia tidak atau kurang mendapat perlindungan.
Untuk mencari jawaban dari pertanyaan di atas, maka dilakkukan sesuatu pendekatan dengan memperhatikan sistem yang dianut di dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan, yakni model accusatoir dan inquisitoir.
Di dalam sistem inquisitoir, di mana peranan penegak hukum, dalam hal ini pegawai penyidik, menunjukkan suatu kegiatan sedemikian rupa untuk mengawasi perkara; merekaa mengambil inisiatif dalam pengarahan atas kesalahan seseorang; sehingga terlihat adanya kecenderungan dilanggarnya hak-hak asasi seseorang, padahal apabila kita tinjau pasal-pasal di dalam H.I.R, khususnya yang menyangkut upaya paksa, juga terdapat pengaturan yang membatasi sedemikian rupa sehingga para petugas yang mendapatkan wewenang dalam pelaksanaan upaya paksa tidaklah dapat berlaku sewenang-wenang, umpamanya surat perintah penahanan yang menjadi syarat suatu penahanan, batas seseorang dapat ditahan, meskiipun pada akhirnya penahanan tersebut dapat diperpanjang, asalkan mendapat persetujuan hakim; setidak-tidaknya ada suatu batasan-batasan tertentu terhadap dilaksanakannya upaya paksa.
Sedangkan dalam sistem accusatoir pendekatannya adalah asumsi bahwa tidak boleh diganggunya suatu ketentraman masayarakat dan mempertahankan suatu nilai dimana negara jangan ikkut campur terhadap adanya sengketa individudalam masyarakat.
Akibatnya adalah, apabila seseorang menuduh orang lain telah melakukan kejahatan, maka dia harus sedemikian rupa mencari bukti-bukti atas kesalahan orang yang dituduhnya tersebut. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ‘Preasumption of innocence’ adalah jantung dari sistem accusatoir ini.
Dengan pendekatan kedua sistem tersebut diatas, belumlah dapat dipecahkan perihal perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam fase pemeriksaan pendahuluan, karena sistem inquisatoir maupun accusatoira pendekatannya adalh asumsi bahwa tidak boleh diganggunya suatu ketentraman masyarakat dan memepertahankan suatu nilai dimana negara jangan ikut campur terhadap adanya sengketa individu dalam masyarakat.
Akibatnya adalah, apabila seseorang menuduh orang lain telah melakukan kejahatan, maka dia harus sedemikian rupa mencari bukti-bukti atas kesalahan orang yang dituduhnya tersebut. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ‘Preasumption of innocence’ adalah jantung dari sistem accusatoir ini.
Dengan Pendekatan kedua sistem tersebut di atas, belumlah dapat dipecahkan perihal perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam fase pemeriksaan pendahuluan, karena sistem inquisitoir maupun accuisatoir kedua-duanya memberikan batasan pada pelaksanaan upaya paksa, di mana justru di dalam pelaksanaan upaya paksa inilah dicari ukuran yang harus dinilai apabila dikaitkan dengan perlindungan hak asasi manusia.
Hanya kecenderungan-kecenderungan saja yang membedakan kedua sistem tersebut, di mana sistem inquisitoir mempunyai kecenderungan untuk memberikan kesempatan pegawai pwnyidikan memakai cara sedemikian rupa dalam mencari pembuktian atas kesalahan seseorang, sedangkan kesempatan tersebut tidak didapati pada sistem accusatoir.
Karena dengan melakukan pendekatan terhdap dua sistem di atas belum dapat dicari sejauh mana suatu sistem peradilan pidana menjunjung hak asasi manusia, maka selanjutnya dicoba untuk melakukan pendekatan dari dua model dari Herbert L. Packer, yakni Crime Control Model dan Due Process Model.
Apabila kita tinjau proses penyidikan pada zaman H.I.R haruslah disadari bahwa pada masa tersebut, khususnya dalam proses pidana, teknik penyelidikan belumlah berkembang, sehingga di dalam melakukan penyidikan lebih menekankan pada lat-alat bukti yang relatif mudah didapat, umpanya alat bukti pengakuan dari terdakwa. Dan dengan melihat tujuan dari pencegahan kejahatan, maka tidak bisa lain, haruslah dipkai cara yang paling efektif, dan efektivitas adalah pendekatan dari ‘Crime Control Model’.
Dalam Crime Control Model kewajiban untuk bekerja se-efisien mungkin, menjadi syarat utama, sehingga ada kekhawatiran bahwa para petugas yang dituntut bekerja secara efisien akan mengabaikan hak asasi manusia, meskipun hal tersebut disadari oleh logikayang wajar yang berpegang pada bekerja secara efektif. Sebagai contoh adalah pandangan perihal pemberian bantuan hukum bagi seseorang yang sedang dalam fase penyidikan seperti yang diuraikan di bawah ini.
Dengan bekerja secara efisien untuk menanggulangi kejahatan tidak berarti dengan demikian dikurangi hak asasi manusia, akan tetapi dengan berpangkal pada, bahwa seseorang yang telah secara faktual melakukan kejahatan, dan secara faktual telah bersalah, maka tidak dapat lain dari melakukan tindakan dengan digunakan perangkat perundang-undangan dalam melaksanakan proses hukum acara pidana.
Sehingga, apabila kita hubungkan dengan perlunya bantuan hukum, seorang pemuda pembela dianggap belum berguna dalam tahapan pemeriksaan pendahuluan, karena pada tahapan tersebut khususnya dalam fase penyidikan, yang diutamakan adalah masalah penemuan fakta, dan bukan hukumnya, sedangkan pembela diperlukan berkenaan dengan peristiwa hukumnya, sehingga seorang pembela baru akan diperlukan apabila telah sampai pada fase pemeriksaan yang berhubungan dengan masalah hukum.
Dengan berpegang pada efektivitas dalam penanggulangan kejahatan, maka bagi Crime Control Model, tidak diperlukan pembela pada fase penyidikan, bukanlah menghilangkan hak asasi dari tersangka, akan tetapi melihat kegunaan dari pembela yang terutama diperlukan di dalam pemberian bantuan di bidang hukum, dan bukan dalam pencarian fakta-fakta yang sedang dilakukan oleh petugas penyidik pada fase penyidikan.
Faham tersebut di atas bukan hanya dilihat dari sistem peradilan pidana pada zaman H.I.R saja, akan tetapi faham tersebut juga berkembang di Amerika Serikat bahwa dengan tidak dikehendakinya pembela pada fase penyidikan tersebut, bukannya menghilangkan hak asasi tersangka, akan tetapi memang dalam fase tersebut bukan fase dimana tersangka sudah berhubungan dengan proses hukumnya, pada fase tersebut barulah dicari fakta-fakta tentang yang mungkin dilakukan oleh tersangka. Sedangkan apabila terjadi suatu kesalahan dalam penahanan umpamanya, maka telah ada perangkat untuk memperbaikinya, yakni lembaga habeas corpus.
Dan apabila kita perhatikan sistem yang dipakai dalam KUHAP di maka telah diintrodusir suatu lembaga hakim yang telah lebih berperan secara aktif dalam pemeriksaan pendahuluan, yakni pra peradilan, tidak lain adalah suatu sarana dalam melakukan pengawasan tindakan dari para penegak hukum, khususnya dalam fase pemeriksaaan pendahuluan, apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap hukumnya, karena para petugas penyidik hatus bekerja secara efektif, terutama dalam mereka mencari fakta-fakta sehingga mungkin terjadi bahwa segi hukumnya kurang diperhatikan.
Apabila kita hubungkan dengan Crime Control Model, fungsi pra peradilan justru menjadi pengawas apakah di dalam fase penyidikan, dimana pegawai penyidik melakukan tugasnya dengan bertitik tolak pada efektivitas pencegahan kejahatan telah melanggar hak asasi dari tersangka.
Di dalam Due Process Model, sistem peradilan pidana diibaratkan sebagai suatu mekanisme ban berjalan dan pada tiap tahap tertentu diadakan suatu ‘pengujian’ apakah suatu proses telah dilakukan sebagaimana mestinya oleh para petugas yang bergerak dalam wewenangnya.
Lembaga Pra Peradilan apabila dikaitkan dengan sistem due process model, dapat dianggap sebagai suatu batu penguji terhadap suatu fase pemeriksaan, yakni fase pemeriksaan pendahuluan, khususnya dalam hal didahulukannya penangkapan dan penahanan.
Hakim pra peradilan melakukan pengujian apakah pelaksanaan hukum acara khususnya dalam penangkapan dan penahanan telah digunakan dengan benar.
Bagi Due Process Model, ditakutkan apabila segi efesiensi yang diutamakan seperti dalam Crime Control Model, akan terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalam pelaksanaan hubungan hukum acara pidana, oleh karena itu, Due Process Model lebih menekankan pada penekanan pelaksanaan aturan-aturan hukum yang ada dengan benar dan semestinya.
Aturan-aturan yang telah diundangkan, merupakan peraturan yang telah diuji agar keserasian antara hak asasi seseorang dengan pelaksanaan hukum acara pidana, dijaga dengan baik, sehingga setiap kali suatu tahapan haruslah ada ‘batu pengujinya’ untuk menguji apakah memang peraturan yang telah ada dilaksanakan dengan semestinya.
Persoalannya sekarang adalah, bagaimana apabila terjadi ‘salah tindak’ oleh pegawai penyidik. Atau ada hak dari tersangka atau terdakwa tidak diberikan dengan semestinya .
Di dalam sistem Crime Control Model, karena pendekatannya adlah efesiensi dalam melakukan penanggulangan kejahatan, maka tindakan yang dilakukan terhadap pegawai penyidik yang lalai tersebut, tidak mempengaruhi proses perkara, artinya kalaupun terbukti memang terdakwa bersalah sedang ada kekeliruan perihal hukumnya sehingga ada hak tersangka atau terdakwa yang dilanggar dalam suatu pemeriksaan pendahuluan, maka meskipun dilakukan tindakan bagi petugas yang telah melakukan kekeliruan, akan tetapi tersangka tetap dilanjutkan proses perkaranya.
Oleh karena itu, dalam pra peradilan, pemeriksaan perihal keabsahan suatu pengangkapan dan atau penahanan adalah dilakukan apabila terhadap tersangka atau terdakwa dihentikan penyidikan atau penuntutannya, khususnya dalam menetapkan ganti kerugiannya.
Di dalam KUHAP, di mana telah dimuat hak-hak tersangka dan terdakwa, yang berarti dijaminnya hak-hak tersebut, merupakan suatu kemajuan dari hukum acara pidana di Indonesia, akan tetapi bagaimana apabila terjadi dilanggarnya hak-hak yang telah dijamin tersebut oleh para petugas yang melakukan pelaksanaan hukum acara pidana, apakah telah ada suatu pengaturan tentang hal tersebut?
Ternyata hal tersebut tidak diatur, kecuali adanya pengujian oleh hakim pra peradilan tersebut, sehingga kita belum dapat memecahkan permasalahan tersebut.
Apabila memang dianut pendekatan dengan cara bekerja seefesien mungkin, maka tentunya meskipun terjadi suatu kesalahan dilakukan oleh pegawai penegak hukum, maka kalupun ternyata ditemukan bersalah, proses perkaranya akan tetap dilakukan, sedangkan terhadap kesalahan yang terjadi, yang disebabkan oleh para pejabat tersebut dilakukan tindakan administratif belaka.
Berbeda dalam Due Process Model, di mana dari semula didasarkan pada pelaksanaan aturan mana yang merupakan suatu yang telah ditentukan demi menjaga hak asasi manusia, maka apabila terjadi suatu kesalahan dalam penerapan pelaksanaan aturan acara pidana, maka dengan sendirinya proses perkara tersebut dianggap batal, karena dengan demikian telah dianggap menyalahi hak asasi seseorang, dan ini tidak dibenarkan oleh konstitusi mereka.
Tidak dapat dipisahkan perihal akibat dari suatu kesalahan tindakan pejabat di atas, ialah sikap masyarakat kita. Umpamakan telah terjadi suatu kekeliruan dalam pelaksanaan penangkapan atau penahanan, umpamanya sajapenangkapan itu tidak disertai surat penangkapan, padahal melihat fakta-fakta memang tersang adalah pelaku tindak pidana, dan si tersangka memohon pra peradilan untuk menguji keabsahan penangkapannya, dan ternyata secara formil adalah tidak sah, meskipun secara materiil telah memenuhi persyaratan ditangkapnya seseorang.
Amat sulit diterima bahwa dengan demikian proses perkaranya batal demi hukum; lebih tepat kiranya, terhadap pegawai penyidik yang telah melakukan kesalahan diberikan suatu tindakan, sedangkan dalam prosesnya dilakukan pembetulan.
Barangkali ada satu siatem yang pernah ada dalam hukum acara pidana Indonesia, yakni pada H.I.R, patut menjadi perhatian kita; yaitu kewenangan hakim pengadilan negeri utnuk melakukan perubahan surat tuduhan (pasal 282 HIR) di mana hakim dapat menambahkan atau merubah dengan ketentuan yang ada dalam pasal 282 HIR tersebut tidak lain untuk melakukan sistem peradilan pidana, khususnya dalam hal ini adalah antara surat tuduhan dengan pemeriksaan di dipen sidang.
Pada sistem yang dipakai dalam KUHAp, pemerikasaan di depan sidang didasarkan pada surat tuduhan, dan apa pun yang ada di dalam surat tuduhan, hakim hanya mencari pembuktian atas kebenaran terhadap apa yang dituduhkan jaksa, sehingga paabila terjadi – umpama saja karena kekhilafan pada surat tuduhan sehingga apa yang dituduhkan dinyatakan tidak terbukti, maka dengan sendirinya terdakwa akan dibebaskan.
Hal tersebut di atas, apabila dipandang dari Due Process Model, adlah memang seharusnya demikian, artinya baik didasari proses penyusunan surat tuduhan, maupun di dalam pemeriksaan di depan sidang telah mempunyai aturan masing-masing, sehingga apabila terjadi kesalahan di dalam proses pembuatan surat tuduhan, maka dengan sendirinya akan berakibat bahwa terdakwa dibebaskan; Akan tetapi haruslah disadari bahwa dalam sistem Anglo Amerika terdapat suatu fase yang disebut Pretrial Conference, di mana dalam sidang yang juga dipimpin oleh seorang hakim, dicari dan dipersiapkan seluruh alat-alat pembuktian, sehingga dengan demikian amat tipis kemungkinan akan terdapat suatu kesalahan, sehingga kalaupun terjadi kesalahan, maka sudah selayaknya berakibat batalnya perkara tersebut demi hukum.
Kalaupun memang sejak semula KUHAP akan diarahkan ke sistem Duo Process Model, maka haruslah dipersiapkan perangkat sedemikian rupa pada masing-masing tahap pemeriksaan, sehingga sekecil mungkin terjadinya suatu kesalhan yang akan dilakukan oleh petugas pada masing-masing tahap tersebut.
Terlepas dari pendekatan baik dari Crime Control Model maupun dari Due Process Model untuk melihat sejauh mana KUHAP memperhatikan hak asasi manusia, maka dengan dicantumkannya hak dari tersangka dan terdakwa, berarti kita telah memperhatikan dan menghormati harkat manusia yang dalam hal ini mempunyai sifat universal, seperti yang termuat dalam “The Universal Declaration of Human Rights” serta “The International Convenant on Civil and Political Rights” beserta Optional Protocolnya, terutama yang termuat dalam Pasal 9 serta Pasal 14 ICCPR tersebut.
Dihhubungkan pila dengan tujuan dari Hukum Acara Pidana di mana antara lain adalah untuk mencari kebenaran materiil, sehingga dapat menjatuhkan pidana bagi mereka yang ternyata melakukan suatu tindak pidana, disamping juga harus menjaga agar mereka yang tidak bersalah jangan sampai mendapat hukuman.
Maka hukum acara pidana juga merupakan suatu undang-undang yang membatasi tindakan dari para penguasa.
Perihak batasan ini, sama diakui baik oleh sistem Crime Control Mode maupun oleh sistem Due Process Model, di mana terhadap kewenangan penguasa di dalam melakukan penyidikan maupun penanganan terhadap mereka yang dituduh melakukan tindak pidana, diberikan batasan-batasan tertentu.
Dengan tercantumnya hak-hak tersangka dan terdakwa di dalam KUHAP di satu pihak, dan dengan adanya batasan bagi para pegawai penyidik di pihak lain, ternyata menjadikan permasalahan dengan implementasinya.
Lembaga pra peradilan dimaksudkan sebagai suatu penguji apakah batasan yang diberikan oleh undang-undang terhadap pegawai penyidik yang melakukan penahanan dan penangkapan telah dilaksanakannya dengan benar, akan tetapi dengan di introdusirnya lembaga pra peradilan ini, justru mengakibatkan suatu keraguan bagi pegawai penyidik untuk melakukan suatu tindakan, khususnya dalam melakukan penangkapan dan penahan.
Keraguan dalam bertindak bagi para pegawaipenyidik tersebut di atas, tidak terjadi di dalam sistem anglo saxon maupun di negeri Belanda, karena di dalam bertindak, setidak-tidaknya mempunyai penasehat, terutama di bidang yurididnya, yakni prosecuter maupun magistrat di Amerika Serikat dan Rechter Commissaris di Negeri Belanda.
Di Indonesia, dengan sistem yang dianut oleh KUHAP, penyidik tunggal ada di tangan kepolisian, sehingga tanggung jawab hukunya sepanjang mengenai penangkapan maupun penahanan apabila dianggap tidak sah, dapat dimintakan pemeriksaan peradilan, di mana hal sedemikian dapat saja menyebabkan seorang pegawai penyidik bertindak ragu dalam menjalankan tugasnya.
Padahal suatu tindakan yang pertama-tama sekali untuk menentukan bahwa seorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana berada di tangan pegawai penyidik, dan untuk itu dibutuhkan suatu tindakan yang cepat dari seorang pegawai penyidik.
Sperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, Polisi dan Jaksa adalah suatu unsur yang kritis di dalam menegakkan keadilan; tidak ada orang lain yang menduduki posisi lebih sensitif sebagaimana penegakan hukum dijalankan; para penegak hukum ini amat besar pengaruhnya terhadp siapa akan dilakukan penahanan, terhadap siapa akan dilakukan penuntutan. Apabila mereka berbuat salah dalam tindakannya, atau mereka ‘malas’ dalam bertindak, maka niscaya keadilan akan gagal ditegakkan.
Lebih mudah dilakukan pengawasan, adalah terhadap kejahatan yang menimbulkan korban atau siapapun yang merasa dirugikan akan melakukan pengawasan terhadap kelanjutan proses perkaranya, akan tetapi sulit bagi perkara ‘Victimless Crime’, di mana perihal penyidikan serta penuntutannya sama sekali tergantung pada polisi dan jaksa.
Oleh karena itu maka polisi adalah sedemikian pentingnya untuk menentukan apakah seorang yang dicurigai melakukan tindak pidana akan diteruskan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ataukah cukup dilakukan penyelesaiannya di depan pegawai penyidik saja.
Dengan melihat betapa pentingnya peranan polisi dalam melakukan penyaringan apakah seseorang akan diajukan pada tahap berikutnya dalam suatu proses peadilan pidana atau tidak, maka perlu ditinjau sejauh mana tindakan mereka, baik yang ‘pro-active’ mapun yang ‘reactive’.
Apabila peran mereka lebih bersifat ‘reactive’ belaka, di mana mereka baru akan melakukan suatu tindakan bila ada laporan, maka sulit diharapkan bahwa terjelma suatu ketertiban dalam masyarakat; terlebih apabila dihubungkan dengan ‘kerepotan’ bagi pelapor (untuk menjadi saksi dan sebagainya) sehingga mereka ‘segan’ melakukan laporan.
Oleh sebab itu diperlukan tindakan yang ‘proactive’ dari seorang polisi, meskipun tidak sampai sejauh pada ‘mencari kesalahan seseorang’.
Perihal peranan polisi yang masih selalu mendapat sorotan bukan saja di Indonesia , akan tetapi juga di Amerika Serikat dituliskan oleh Seymour:
Successful police work must be swift efficient and effestive. This mean adequate personal, equipment and support resources, productive but fair investigative and arrest procedures and court in bringing arrested person promptly to trial. Unfortunately, we are still a long way from these objectives.
Untuk mengharapkan pekerjaan polisi sebgai pegawai penyidik agar bekerja se-efektif serta se-efisien mungkin sesuai apa yang dikehendaki dalam KUHAP, memang harua ditunjang beberapa faktor, umpanya faktor personalnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, umpamanya faktor personal dan lain sebagainya; dan apabila faktor-faktor yang menunjang tersebut tidak ada, ataupun kurang memadai, maka justru polisi yang berada dalam pintu gerbang dari suatu sistem peradilan pidana akan suli diharapkan bekerja dengan efektif dan efesien.
Suatu hal yang patut mendapat mendapat perhatian khusus kita perihal KUHAP, dengan dicantukan sejumlah hak bagi tersangka dan terdakwa, dibandingkan dengan ‘Declaration of Human Rights’ maupun Pasal 9 dan Pasal 14 ICCPR dapatlah dikatakan nahwa Hukum Acara Pidana Indonesia telah menempatkan dirinya pada deretan negara-negara di mana hak serta kehormatan seseorang dijunjung tinggi dan diatur dalam perundang-undangan secara terperinci.
Jika terdapat perbedaan antara beberapa hukum acara pidana pada negara-negara tertentu, apakah dari negara-negara Anglo Saxon, yaitu Inggris dan Amerika, atau negara-negara Eropa Kontinental seperti Jerman, Prancis dan Belanda ataupun negara-negara lain di Asis seperti Jepang, maka perbedaan itu hanya berupa sutu nuansa dalam penetapan bentuk yurudisnya yang berkenaan dengan teknik perundang-undangan, dan tidak mengenai isinya, khususnya yang berupa asas-asas di dalam hukum acara pidana.
Sejumlah hak tersangka dan terdakwa telah tercantum dalam perundang-undangan Indonesia, sehingga dengan demikian secara formal hak-hak tersebut telah dijamin dalam undang-undang, dan terhadap pelanggarannya, khususnya mengenai penangkapan dan penahanannya, telah disediakan perangkat peninjauannya melalui lembaga pra peradilan, sehingga dengan demikian telah tersalur suatu sistem peradilan pidana yang menjunjung hak asasi manusia.
BAB III
PENUTUP
Sudah tidak dapat dihindari bahwa dalam suatu sistem peradilan pidana haruslah diarahkan kepada suatu keterpaduan, agar tercapai suatu pencegahan kejahatan serta pembinaan nara pidana seperti yang diharapkan..
Disamping itu, KUHAP pun telah mencantumkan hak-hak tersangka dan terdakwa dengan lebih terperinci, dan ini telah menunjukkan ciri khusus suatu hukum acara pidana yang modern, sesuai pula dengan landasan negara kita, yakni negara hukum, di mana salah satu cirinya adalah dihormatinya hak asasi manusia.
Untukmenjaga hak-hak tersebut, meskipun bagian tertentusaja, yakni yang menjadi wewenang pra peradilan, cukup menunjukkan bukti tentang betapa perlunya hak-hak yang telah dicantumkan dalam KUHAP tersebut dijaga dan dijamin keberlangsungannya; di mana justru yang dijaga dan dijamin tersebut adalah yang paling erat hubungannya dengan hak asasi manusia, yakni kebebasan bergerak dari setiap warga negara.
Akan tetapi perwujudan selanjutnya dari Hukum Acara Pidana tersebut mendapatkan permasalahan-permasalahan, terutama implementasinya. Banyak usaha menemui kegagalan, karena seluruh tindakan didasari oleh formalisme belaka, dan ternyata Hukum Acara Pidana kita pada hakekatnya baru merupakan bentuk formal dari suatu usaha untuk merubah wajah masyarakat menjadi lebih berperikemanusiaan.
Adapun keberhasilan Hukum Acara Pidana di dalam menjaga dan melindungi hak asasi manusia, akan ditentukan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan oleh segenap anggota penegak hukum
Segala sesuatu itu pada akhirnya tergantung pada manusianya, oleh karena itu, disamping penguasaan pengetahuan tentang hukum acara pidana yang diharapkan dari para penegak hukum juga dituntut tumbuhnya kesadaran akan harkat serta martabat manusia yang harus dijunjung tinggi , dan ini berkenaan dengan faktor mental. Dan Hukum Acara Pidana di Indonesia diharapkan akan menjadi sarana pembinaan bagi para penegak hukum untuk mengadakan perubahan mental yang mengarah kepada pengakuan dan penghormatan ‘human dignity’.
Lembaga pra peradilan juga mempunyai tugas untuk menjaga dua kepentingan yang saling berhadapan, yakni polisi dan Jaksa di satu pihak, dan hak-hak tersangka dan terdakwa di lain pihak.
Demi efesiensi dan efektivitas kerja, tidak jarang terjadi bahwa baik polisi maupun jaksa akan mencari suatu pembuktian yang relatif mudah untuk segera menghadapkan terdakwa ke depan sidang pengadilan. Haruslah diakui bahwa sistem efisiensi penanggulan kejahatan tersebut oleh para penegak hukum sering dipergunakan oleh negara-negara yang masih muda.
Betapapun juga dengan diintrodusirnya lembaga pra peradilan telah membawa hukum acara pidana kita pada deretan negara yang menjunjung tinggi harkat manusia, dan hal sedemikian bukanlah karena ikut-ikutan saja, akan tetapi melakukan dengan penuh kesadaran, dan patutlah perihal menjunjung serta menghormati hak asasi manusia menjadi sikap seluruh warga Indonesia, terutama bagi mereka yang berhubungan erat dengan upaya paksa.
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbell, Blacks law dictionary, 6th ed, West Publishing, St Paul-Minn, USA, 1990.
Purwosutjipto HMN, Pengertian Pokok Hukum Acara pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1990
Loqman, Loebby, Pra peradilan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Hadari Djanawi tahir, Drs. S.H. Pokok-Pokok Pikiran Dalam KUHAP . Allumni, Bandung, 1981
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara pidana Indonesia, Politia Bogor, Jakarta, 1995
Sutcipto rahardjo. Aneka Permasalahan Hukum. Penerbit Alumni/1977/Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar