MAKALAH JUAL BELI DENGAN SISTEM NAJSY (PROVOKASI HARGA) - FIQH MUAMALAH.
A.pengertian jual beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa adalah al-bai’, al-tijarah,sebagaimana Allah. Swt. Berfirman:
Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi (fathir:29).
Menurut istilah terminologi yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut:
1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
2. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara.
3. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikekola (tasharruf) dengan ijab qabul, dengan cara sesuai dengan syara.
Dari beberapa definisi diatas dapat dipahami bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan Syara’ dan disepakati.
Sesuai dengan ketepatan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jualbeli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.
Oleh karenanya jual beli merupakan tindakan atau transaksi yang telah disyari’atkan dalam arti telah ada hukumnya yang jelas dalam islam, hukumnya adalah boleh. Kebolehannya ini dapat ditemukan dalam al-qur’an di antaranya dan begitu pula dalam hadist nabi. Adpun dasarnya dalam al-qur’an di antaranya adalah pada surat al-baqarah ayat 275:
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Sedangkan dasarnya dalam hadist nabi di antaranya adalah yang berasal dari rufa’ah bin rafi’ menurut riwayat al-bazar yang di sahkan oleh hakim:
Sesungguhnya nabi Muhammad saw pernah di Tanya tentang usaha apa yang lebih baik; nabi berkata: “usaha seseorang dengan tangannya dan jual beli yang mabrur”.
Adapun hikmahnya dibolehkanya jual beli itu adalah untuk menghidarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya. Dan supaya usaha jual beli itu berlangsung menurut cara yang dihalalkan, maka harus mengikuti ketentuan yang telah ditentukan. Ketentuan yang dimaksud berkenaan dengan rukun dan syarat dan terhindar dari hal-hal yang terlarang.
B. Rukun dan Syarat jual beli
Untuk sahnya jual beli yang dilakukan diperlukan beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi:
Pertama, penjual dan pembeli dengan syarat:
a. Berakal
b. Kehendak sendiri
c. Keadaanya tidak mubazir (pemboros)
Kedua, uang dan benda yang diperjual belikan dengan syarat:
a. Suci
b. Bermanfaat
c. Dapat dikuasai dan diserahkan
d. Benda dan harganya milik penjual dan pembeli
e. Pembeli dan penjual mengetahui tentang zat, bentuk, kadar (ukuran) dan sifat-sifat benda tersebut
Ketiga, sigahatul akad, yaitu bagaimana ijab dan qabul yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.
C. Macam-macam jual beli
Ditinjau dari segi hukumnya:
1. jual beli yang sah menurut hukum
2. Jual beli yang batal menurut hukum
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk:
“jual beli ada tiga macam: 1) jual beli benda yang kelihatan, 2)jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3) jual beli benda yang tidak ada”.
Ditinjau dari segi pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi tiga bagian, dengan lisan, dengan perantara, dan dengan perbuatan.
Selain pembelian diatas , jual beli juga ada yang di bolehkan dan ada yang dilarang. Jual beli yang dibolehkan disani tentunya telah memenuhi syarat dan rukunnya, sedangkan jual yang dilarang adalah jual beli yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya,, misalnya saja suatu muamalah atau jual beli tersebut mengandung unsur jual beli riba,gharar,dharar atau mengandung unsur kedzaliman. Dalam pembahasan ini akan lebih banyak membahas muamualah atau jual beli yangmengandung unsur gharar.
D. Jual beli yang dilarang karena penipuan (gharar)
Gharar artinya keraguan,tipuan atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan orang lain. Suatu akad mengandung unsur penipuan, karena tidak ada kepastian, baik mengenai ada atau tidak ada obyek akad, besar kecil jumlah maupun menyerahkan obyek tersebut.
Menurut imam Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam islam. Para ulama fikih telah sekian banyak mengemukakan beberapa definisi gharar.
Imam al-Qarafi mengemukakan gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas, apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli ikan yang masih dalam air (tambak).
Termasuk dalam transaksi gharar adalah menyangkut kualitas barang. Dalam transaksi disebutkan kualitas barang yang berkualitas nomor satu, sedangkan dalam realisasinya kualitasnya berbeda. Hal ini mungkin diketahui kedua belah pihak (ada kerja sama) atau hanya sepihak saja (pihak pertama).
Pendapat al-Qarafi sejalan dengan pendapat Imam as-Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah yanh memandang gharar dari ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengatakan, bahwa gharar adalah suatu objek akad yang tidak mampu diserahkan, baik obyek itu ada maupun tidak, sepertimenjual sapi yang sedang lepas.
Ibnu Hazam memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi akad tersebut.
Menurut ulama fikih, bentuk-bentuk gharar yang dilarang adalah:
1. Tidak ada kemampuan penjual untuk menyerahkan obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad iti sudah ada maupun belum ada.
2. Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan penjual. Apabila barang yanh sudah dibeli dari orang lain belum diserahkan kepada pembeli, maka pembeli itu belum boleh menjual barang itu kepada pembeli lain.
Akad semacam ini mengandung gharar, karena terdapat kemungkinan rusak atau hilang obyek akad, sehingga akad jual beli dan yang kedua menjadi batal.
3. Tidak ada kepastian tentang jenis pambayaran atau jenis benda yang dijual.
Wahbah az-zuhaili berpendapat, bahwa ketidakpastian tersebut merupakan salah satu bentuk gharar yang terbesar laranganya.
4. Tidak ada kepastian tentang sifat tertentu dari barang yang dijual.
5. Tidak kepastian tentang jumlah harga yang harus dibayar.
6. Tidak ada kepastian tentang waktu penyerahan objek akad.
7. Tidak ada ketegasan bentuk transaksi, yaitu ada dua macam atau lebih yang berbeda dalam satu objek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang dipilih waktu terjadi akad.
8. Tidak ada kepastian obyek akad, karena ada dua obyek ajad yang berbeda dalam satu tansaksi.
Termasuk kedalam jual beli gharar adalah jual beli dengan cara undian dalam berbagai bentuknya.
9. Kondisi obyek akad , tidak dapat dijamin kesesuaiannya dengan yang ditentukan dalam transaksi.
Selain yang telah dikemukakan di atas , yang semuanya mengandung gharar (tipuan), maka ada transaksi gharar yang barangnya (obyek akadnya) tidak ada, sedangkan nilainya ada yaitu dalam kehidupan sehari-hari disebut jual beli fiktif. Umpamanya : seseorang memesan peralatan kantor dengan harga sekian, harganya sudah dibayar, tetapi barangnya memang tidak ada.
Termasuk dalam trannsaksi gharar adalah mempermainkan harga. Dalam transaksi, harga barang dicantumkan dua atau tiga kali lipat dari harga pasaran.
Menyamakan barang tiruan dan asli seperti arloji,emas murni dan imitasi dianggap sama, adalah termasuk penipuan dalam jual beli. Tentu masih banyak lagi contoh-contoh lain, yang pada dasarnya ada mengandung unsur gharar (penipuan) didalamnya.
Maka contoh-contoh jual beli diatas itu dilarang karena kerugian yang sebabnya adalah penipuan. Dan penipuan terdapat pada barang dagangan itu ada beberapa segi: kemungkinan dari segi ketidaktahuan tentang penentuan barang yang diakadkan atau penentuan akad itu sendiri, atau dari ketidaktahuan mengenai sifat harga barang yang yang dihargai ukurannya atau waktu yang ditentukannya, jika ada batas waktu yang ditentukan. Dan kemungkinan dari segi ketidaktahuan mengenai keberadannya atau ketidakmungkinan untuk mendapatkannya. Diantara jual beli yang di dalamnya terdapat beberapa bentuk penipuan ini ialah: jual beli yang dijelaskan hukumnya syariat dan ada yang tidak dijelaskan dalam syariat.
Jual beli gharar (jual beli yang masih samar, mengandung tipuan) itu dilarang karena dapat merugikan orang lain, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli yang tidak jelas (membahayakan). Dalam salah satu riwayat, ditambahkan kata “ dan jual beli berdasarkan hitungan kerikil.” ( Shahih Muslim )
Dari Ibnu Mas’ud, bahwasanya Nabi SAW bersabda, ‘ janganlah kalian membeli ikan di dalam air (kolam), karena hal itu mengandung unsur penipuan (samar).” (HR Ahmad)
Jual beli yang mengandung unsur gharar diantaranya adalah jual beli dengan sistem najsy (menjual dengan provokasi).
E. Jual beli dengan sistem najsy
Najsy secara bahasa berarti mempengaruhi. Sedangkan menurut pengertian terminologi, najsy berarti jika seseorang meninggikan harga sebuah barang, namun tidak bermaksud untuk membelinya, melainkan hanya untuk membuat orang lain tertarik dengan barang tersebut sehingga dia terjebak di dalamnya, atau dia memuji komoditas tersebut dengan kelebihan-kelebihan yang sebenarnya tidak dimiliki komoditas tersebut dengan tujuan untuk promosi belaka.
Contoh dari jual beli najsy sebagai berikut: seseorang menaikan harga penawaran suatu barang, padahal ia tidak ingin membeli barang tersebut. Ia melakukan itu hanya karena ingin menipu dan memperdaya orang lain agar tertarik dengan barang tersebut. Bahkan ia berani menaikkan lagi harga jualnya, kendati nilai harga tersebut tidak pernah didengar oleh orang yang melakukan jual beli dengan cara seperti ini.
Jual beli demikian disebut dengan provokasi karena orang yang mempengaruhi membangkitkan rasa suka kepada barang dan akhirnya terjerembab dalam transaksi dengan persetujuan penjual. Keduanya sama-sama berdosa. Dan jika hal tersebut terjadi di luar pengetahuan penjual, maka hanya orang yang mempengaruhinya saja yang berdosa. Dan bisa saja yang berdosa hanya penjualnya saja seperti ketika dia memberitahu bahwa sebelumnya ada seseorang yang membeli dengan harga yang lebih tinggi dengan tujuan agar orang lain terbujuk dengan benda tersebut. Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa najsy adalah menipu dan memperdaya. Dan sebenarnya jual beli najsy merupakan jual beli yang bersifat pura-pura, dimana si pembeli menaikan harga barang, bukan untuk membelinya tetapi hanya untuk menipu pembeli lainnya, membeli dengan harga tinggi. Banyak hadist yang melarang jual beli dengan system najsy, diantaranya:
Dari abu hurairah, ia berkata: aku mendengar rasulullah SAW bersabda, “seseorang tidak boleh menjual barang dagangan yang sedang dijual kepada saudaranya, orang kota tidak boleh menjualkan barang dagangan orang desa, janganlah kamu melakukan an-najsy, seseorang tidak boleh menaikkan harga atas barang dagangan yang sedang dijual kepada saudaranya serta seseorang wanita tidak boleh menuntut perceraian saudarinya agar ia bias menumpahkan seseuatu yang ada dalam wadah saudarinya (mendapatkan nafaqah dan kebaikan)”.
Larangan terhadap jual bei ini terdapat juga dalam hadis Nabi dari Ibnu Umar menurut riwayat muttafaq ‘alaih:
Rasulullah SAW melarang jual beli secara najsy (jual beli dengan provokasi) .
Rasulullah SAW, pada prinsipnya melarang bai’ an-najsy. An-najsy yang dimaksud dalam hadis ini adalah bentuk praktek sebagai berikut: seseorang yang telah ditugaskan menawar barang dengan mendatangi penjual lalu menawar barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi dari yang biasa. Hal itu dilakukan di hadapan pembeli dengan tujuan memperdaya si pembeli. Sementara ia sendiri tidak berniat membelinya, namuan tujuannya semata-mata ingin memperdaya si pembeli dengan penawarannya.
Pensyarah Rahimahullah Ta’ala mengatakan: Ucapan perawi (an-najsy), disebutkan di dalam Al –Fath: An-Najsy secara etimologi brarati melepaskan binatang buruan dari kandangnya dengan maksud untuk diburu, sedangkan menurut terminologi syari’at ialah menambah harga barang dagangan, dan itu bisa terjadi dengan sepengetahuan si penjual,sehingga keduanya (sipenawar yang menaikan harga) dan penjual sama-sama menanggung dosa, dan bisa juga dilakukan tanpa sepengetahuan si penjual, sehingga pelakunya (si penawar) di sebut najisy (pelaku praktek ini).
Hal-hal penting yang dapat diambil dari hadist diatas diantaranya adalah:
1. Hadist diatas di dalamnya merupakan larangan melakukan penawaran, yaitu dengan meninggikan penawaran harga barang perniagaan yang diajukan untuk dijual, bukan untuk dibeli, tetapi untuk menipu para pembeli dengan penawaran harga tersebut atau untuk tujuan keduanya atau tidak ada keinginan lain kecuali sekedar main-main saja.
2. Larangan di dalam hadist menunjukan hukum haram. Ibnu bathal berkata, “para ulama sepakat bahwa orang yang melakuan penawaran tersebut telah bermaksiat dengan pekerjaanya”.
3. Pendapat yang masyhur dari madzhab imam ahmad adalah sahnya akad tersebut. Akan tetepi apabila si pembeli menipu penjualan melebihi kebiasaan dengan penambahan yang dilakukan oleh si penawar, maka boleh bagi si pembeli melakukan khiyar (memilih) antara menerima harga yang telah ditetapkan ketika akad jual beli atau menolak lalu mengembalikan nilainya.
4. Adapun bila penambahan harganya tidak terlalu parah, maka al-wazir berkata, “para ulama sepakat bahwap penipuan di dalam barang perniagaan dengan seseuatu yang tidak terlalu parah, maka tidak mempengaruhi keabsahan jual beli.
Asy-Syafi’I mengatakan, “An-Najsy adalah mendatangi barang dagangan yang sedang diperdagangkan lalu menawar dengan suatu harga padahal ia tidak bermaksud membelinya, akan tetepi bermaksud agar para penawar lainnya tertarik lalu menawar dengan harga yang lebih tinggi ketika mendengar tawarannya.”
Ibnu Bathal mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa pelaku praktek najsy adalah orang yang bermaksiat karena perbutannya itu, namun mereka berbeda pendapat mengenai transaksi jual beli yang dilakukan dengan cara ini. Ibnu Al Mundzir mengutip pendapat dari segolongan ahli hadist, bahwa jual beli tersebut rusak (tidak sah) jika dilakukan dengan cara najsy, demikianjuga pendapat golongan Azh-Zhahiri, salah satu riwayat dari Malik dan pendapat yang masyhur dari mazhab Hanbali bila hal itu dilakukan dengan kesepakatan si penjual. Sedangkan pendapat yang masyhur dari mazhab Maliki adalah tetapnya hak memilih (antara melanjutkan jual beli atau membatalkan).
Imam Al-Bukhari menjelaskan, Ibnu Abi Aufa mengatakan, “ pelaku najsy (jual beli dengan provokasi) adalah orang yang memakan riba dan penghianat.” Ia adalah sebuah tindakan batil yang tidak diperbolehkan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menuturkan: Ibnu Abi Aufa secara umum menyatakan bahwa orang yang diceritakan telah membeli dengan harga yang lebih tinggi dari yang dia beli berarti dia adalah orang yang mempengeruhi karena keterlibatannya dengan orang yang meninggikan harga suatu barang, padahal si pembeli tidak ingin membelinnya dalam tipuan orang lain sehingga keduanya sama-sama berdosa. Dan dengan penjelasan berarti dia memakan harta riba.
Termasuk dalam kategori ini adalah seseorang yang ketika ditanya harga barang yang ia beli, ia menjawab dengan harga yang kebih tinggi. Imam al- bukhari mengatakan, “ini adalah bentuk penipuan dan kebathilan dan hukumnya haram. Imam nawawi juga berkomentar mengenai jual beli dengan system najsy, “ ini diharamkan menurut ijma’ ulama “. Karena pada dasernya jual beli denan system najsy ini berangakat dari keinginan untuk menaikkan harga. Sebab dalam prakteknya, pelaku jual beli dengan cara seperti ini menginginkan harga barang daganganya bias naik.
Lebih lanjut, jumhur ulama menyatakan bahwa menjual dengan mempengaruhi hukumnya haram karena hal ini jelas dilarang dan juga karena menipu seseorang muslim padahal ini juga haram .Namun mengenai pelarangan oleh Nabi SAW tentang jual beli dengan sistem najsy ini: para ulama sepakat tentang larangan hal itu,najsy (seseorang memberikan harga yang lebih tinggi pada barang dagangan dan dalam dirinya tidak ada maksud untuk membelinya, hanya ingin memberikan manfaat kepada si penjual agar ada penawaranyang melebihi harga darinya dan merugikan pembeli.
Mereka berbeda pendapat jika jual beli ini terjadi:
1. Ahlu zhahir mengatakan bahwa jual beli tersebut rusak
2. Malik mengatakan bahwa jual beli itu cacat dan pembeli diberikan hak untuk memilih, antara mengembalikanya atau mempertahankanya.
3. Abu Hanifah dan Syafi’I mengatakn jika terjadi maka berdosa dan jual beli tersebut dibolehkan.
Sebab perbedaan pendapat para ulama adalah: apakah larangan itu mengandung arti rusaknya seseuatu yang dilarang, jika larangan itu tidak berada pada barang itu sendiri , tetapi diluarnya? Ulama yang mengaatakan bahwa larangan itu mengandung arti batalnya jual beli, mereka tidak membolehkan hal itu. Dan ulama yang mengatakan bahwa larangan itu tidak mengandung arti batal, mereka membolehkannya.
Jumhur berpendapat bahwa suatu larangan jika menjelaskan makna pada sesuatu yang dilarang, maka hal itu mengandung arti rusak. Seperti larangan terhadap riba dan penipuan. Jika ada perintah dari luar maka hal itu tidak mengandung arti rusak.
Jual beli dengan sistem najsy pada asalnya itu bermaksud menyembunyikan karena perbuatan orang ini adalah menyembunyikan niatnya. Dari penjelaan tentang jual beli dengan system najsy, dari segi pelakunya timbul beberapa hukum, diantaranya:
1. Apabila perbuatan ini dilakukan dengan persetujuan penjual dan pelaku najsy ini, maka hukumnya adalah haram. Perbuatan ini akan menjadikan kedua-duanya berdosa, penjual dianggap telah menipu pembeli dan dengan itu pembeli berhak menuntut khiyar, namun jika tidak ada bukti antera penjual dan pelaku najsy untuk merancang perbuatan tersebut maka pembeli tidak berhak menuntut khiyar.
2. Kalau terjadi tanpa pengetahuan penjual, dosa akan ditanggung oleh orang yang melakukannya.
3. Kadang-kadang ia dosa akan ditanggung sendiri olehpenjual apabila seseorang telah mengatakan bahwa ia telah membeli barang tersebut dengan harga yang lebih mahal dan harga jual hanya untuk memperdaya orang lain.
Secara tuntasnya najasy adalah orang yang bermaksud sengaja menawarkan harga belian yang tinggi sedangkan dia tidak berniat membelinya, tujuanya supaya orang lain merasakan bahwa barang tersebut bernilai tinggi dan mereka akan mrmbelinya dengan harga yang lebih tinggi dan sesungguhnya para ulama juga telah sepakat bahwa jual beli ini tidak sah.
Bai’ najsy itu terjadi juga dalam contoh rekayasa pasar dalam demand yang terjadi bila seorang produsen/pembeli menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak parmintaan terhadap suatu produk sehingga harga jual produk itu akan naik. Hal ini terjadi, misalnya dalam bursa saham, bursa valas, dan lain-lain. Cara yang ditempuh bermacam-macam, mulai dari menyebarkan isu, melakukan order pembelian, sampai benar-benar melakukan pembelian pancingan agar tercipta sentiment pasar untuk ramai-ramai membeli saham/mata uang tertentu. Bila harga sudah naik sampai level yang diinginkan, maka yang bersangkutan akan melakukan aksi ambil untung dengan melepas kembali saham/mata uang yang sudah dibeli, sehingga ia akan mendapatkan untung besar. Rekayasa demand ini dalam istilah fiqihnya disebut dengan bai’ najsy.
Jual beli dengan system najsy itu diharamkan, karena penjual menyuruh orang lain memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik pula membeli, sang penipu didalam hatinya memang betul-betul tidak berkeinginan membeli. Sebelumnya orang ini mengadakan kesepakatan dengan penjual, untuk membeli dengan harga tinggi agar ada pembeli riil yang sesungguhnya dengan harga yang lebih tinggi dengan untuk menipu.
Contoh bai’ najsy pada misalnya pada waktu Indonesia di landa krisis moneter pada tahun 1997. Terjadinya isu kelangkaan pangan, karena takut kehabisan persediaan beras, terutama di kota-kota besar masyarakat ramai-ramai memborong beras. Sehingga permintaan terhadap beras meningkat. Sehingga harga beras naik, tak lama kemudian beras di gudang bulog meningkat.
DAFTAR PUSTAKASuhendi hendi,2010. Fiqh muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Jafri syafii,2008. Fiqh muamalah. Pekanbaru: Suska Press.
Asy-Syaukani, 2006.Nailul Authaar. Jakarta: Pustaka Azzam.
Syaikh abu bakar jabir al-jaza’iri, 2006. Minhajul Muslim. Jakarta: Darul Haq.
Karim adiwarman, 2004. Bank islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syarifuddin amir, 2003. Garis-garis besar fiqh. Jakarta: kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar