Guru sekolah di Kota Tacloban, Filipina Tengah, Bernadette Tenegra (44) takkan pernah bisa melupakan kata-kata terakhir putrinya yang menjadi korban keganasan Badai Yolanda, Jumat pekan lalu. Sambil terisak, Tenegra menceritakan kepergian putri cantiknya.
Tenegra mengatakan, putrinya menderita luka parah karena tertusuk serpihan kayu dari rumah yang diterjang topan dahsyat itu. Dengan sekuat tenaga, Tenegra yang selamat berusaha menolong putrinya. Namun, sang putri hanya menjawab lemah," Ma, lepaskan saya. Selamatkanlah dirimu."
Dengan hati hancur, Tenegra memeluk anaknya dan memintanya bertahan. "Saya sempat mengangkatnya. Tapi, dia menyerah," kata Tenegra yang tak bisa menyembunyikan duka mendalam dari raut wajahnya.
Keluarga Tenegra bertahan di rumah mereka di Barangay (desa) 66-Paseo de Legazpi karena percaya badai yang datang hanya karena perubahan cuaca saja. Namun, air naik dengan sangat cepat. Rumah pun rubuh dan air menghanyutkan seisi rumah, termasuk suami Tenegra dan dua putri mereka.
Mereka sempat berhasil merangkak ke tempat yang lebih aman. Namun, putri bungsu mereka terjebak dalam arus air yang terus berputar bersama puing-puing rumah.
"Saya sempat merangkak ke arah dia dan berusaha menariknya ke atas. Tapi, dia terlalu lemah. Tampaknya dia sudah menyerah," kata dia lagi, seperti dikutip dari Inquirer.
Tenegra tak punya pilihan. "Saya melepaskan dia," katanya sambil menangis.
Kala itu, matahari bersinar hanya beberapa jam setelah topan monster itu semua yang berdiri tegak, termasuk rumah Tenegra yang terletak di pinggir sungai itu. Topan ini juga mengirim air ke di sepanjang kota dan menumbangkan tiang listrik, mobil, rumah, dan sebagainya.
Mayat bergelimpangan di antara puing-puing bangunan. Beberapa korban selamat berusaha mencari kerabat mereka dengan melihat wajah mayat itu, satu per satu.
Beberapa korban selamat dari badai ini diterpa rasa bersalah karena orang-orang yang mereka kasihi tidak berhasil melalui topan itu. Reinfredo Celis, kepala desa 31-Pampango, menghabiskan Kamis dan Jumat pagi untuk mengevakuasi tetangganya ke sebuah sekolah di kota menggunakan mobilnya.
Namun, keluarganya sendiri tak dia angkut. Dia percaya keluarganya aman berada di rumah beton berlantai dua milik mereka. Tapi, dia salah.
Sejauh ini, jumlah korban tewas dalam badai itu lebih dari 10 ribu orang. Jumlah ini dikhawatirkan terus bertambah mengingat banyaknya puing-puing rumah yang belum dievakuasi.
Tenegra mengatakan, putrinya menderita luka parah karena tertusuk serpihan kayu dari rumah yang diterjang topan dahsyat itu. Dengan sekuat tenaga, Tenegra yang selamat berusaha menolong putrinya. Namun, sang putri hanya menjawab lemah," Ma, lepaskan saya. Selamatkanlah dirimu."
Dengan hati hancur, Tenegra memeluk anaknya dan memintanya bertahan. "Saya sempat mengangkatnya. Tapi, dia menyerah," kata Tenegra yang tak bisa menyembunyikan duka mendalam dari raut wajahnya.
Keluarga Tenegra bertahan di rumah mereka di Barangay (desa) 66-Paseo de Legazpi karena percaya badai yang datang hanya karena perubahan cuaca saja. Namun, air naik dengan sangat cepat. Rumah pun rubuh dan air menghanyutkan seisi rumah, termasuk suami Tenegra dan dua putri mereka.
Mereka sempat berhasil merangkak ke tempat yang lebih aman. Namun, putri bungsu mereka terjebak dalam arus air yang terus berputar bersama puing-puing rumah.
"Saya sempat merangkak ke arah dia dan berusaha menariknya ke atas. Tapi, dia terlalu lemah. Tampaknya dia sudah menyerah," kata dia lagi, seperti dikutip dari Inquirer.
Tenegra tak punya pilihan. "Saya melepaskan dia," katanya sambil menangis.
Kala itu, matahari bersinar hanya beberapa jam setelah topan monster itu semua yang berdiri tegak, termasuk rumah Tenegra yang terletak di pinggir sungai itu. Topan ini juga mengirim air ke di sepanjang kota dan menumbangkan tiang listrik, mobil, rumah, dan sebagainya.
Mayat bergelimpangan di antara puing-puing bangunan. Beberapa korban selamat berusaha mencari kerabat mereka dengan melihat wajah mayat itu, satu per satu.
Beberapa korban selamat dari badai ini diterpa rasa bersalah karena orang-orang yang mereka kasihi tidak berhasil melalui topan itu. Reinfredo Celis, kepala desa 31-Pampango, menghabiskan Kamis dan Jumat pagi untuk mengevakuasi tetangganya ke sebuah sekolah di kota menggunakan mobilnya.
Namun, keluarganya sendiri tak dia angkut. Dia percaya keluarganya aman berada di rumah beton berlantai dua milik mereka. Tapi, dia salah.
Sejauh ini, jumlah korban tewas dalam badai itu lebih dari 10 ribu orang. Jumlah ini dikhawatirkan terus bertambah mengingat banyaknya puing-puing rumah yang belum dievakuasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar