Makalah Pembenaran Dalam Pemberian Hukuman Pidana berikut ini makalah yang berjudul lengkap Pembenaran Dalam Pemberian Hukuman Pidana (Tinjauan Tentang Pendekatan “Behavioral Prevention” yang Berkaitan Dengan Masalah Strict Liability, Sentencing Policy dan Insanity Defense). Semoga Makalah Pembenaran Dalam Pemberian Hukuman Pidana berikut ini dapat bermanfaat untuk anda semua.
Pendahuluan
Apabila para ahli/sarjana hukum membicarakan atau mendengar tentang sanksi pidana, maka umumnya mereka akan teringat kembali kepada tiga jenis teori pemidanaan yang selama ini dipelajari berdasarkan buku-buku teks, yang membahas mengenai : Teori Absolute, Relatif dan teori gabungan. Namun dalam makalah ini akan dibahas teori-teori pemidanaan yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer, yang jauh lebih mendalam dan jauh lebih luas akan aspek-aspek yang dibahasnya.
Masalah yang akan dibahas oleh Packer melalui bukunya yang berjudul “The Limit of The Criminal Sanction” secara ringkas dan sederhana adalah kembali pada satu pertanyaan pokok, yaitu : Mengapa ada sanksi pidana?
Dalam pembahasannya itu Packer mengkaitkan dengan tiga pertanyaan lanjutan, yaitu :
Apa rasional atau pembenaran atau dasar penalaran akan adanya sanksi pidana itu? (Justification For Criminal Punishment).
Apa yang akan kita lakukan dengan menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana dan karena itu harus diberikan sanksi bagi pelanggarnya?
Adalah pertanyaan yang berkisar kepada ”Proses”, khususnya pada aturan-aturan permainan dari pelaksanaan sanksi pidana itu.
Sifat dari sanksi pidana yang kadang-kadang terlalu dilebih-lebihkan kemampuannya, sehingga menimbulkan masalah bagi kita, yaitu bagaimana membatasi jangkauan dari sanksi pidana itu.
Packer mengemukakan bahwa sanksi pidana itu, yang merupakan suatu alat yang dahsyat yang dimiliki oleh penguasa dan dapat digunakan dengan sah menurut hukum, namun menurutnya bahwa sanksi pidana itu mempunyai batas jangkauannya.
Selanjutnya H.L. Packer mengemukakan bahwa ada 3 teori tentang pembenaran pemidanaan kriminal, yaitu :
1. Teori Retribution,
2. Teori Utilitarian Prevention, terdiri dari :
a. General Detterence
b. Special Prevention.
3. Teori Behavioural, terdiri dari :
Behavioural Prevention : Incapacitation,
Behavioural Prevention : Rehabilitation.
Dalam makalah singkat ini, kami akan lebih memfokuskan pembahasan pada teori atau pendekatan Behavioural dikaitkan dengan masalah Strict Liability, Sentencing Policy dan Insanity Defense, sedangkan untuk dua teori lainnya akan diuraikan secara garis besar saja.
Teori-teori Tentang Pembenaran Serta Tujuan Pemidanaan
Di dalam teori pemidanaan setidaknya ada 3 tujuan dari pemidanaan kriminal, yaitu :
Teori Retributive atau Teori Pembahasan
Teori ini merupakan teori yang berasaskan suatu balas dendam, yang pada dasarnya melihat bahwa pembenaran pemidanaan, sebenarnya terletak pada perbuatan itu sendiri. Jadi pembenarannya itu adalah karena si pelaku telah melakukan suatu perbuatan yang salah, yaitu melanggar peraturan perundang-undangan yang berakibat merugikan masyarakat dan mendatangkan penderitaan pada orang lain, sehingga sudah sepantasnya pelaku tadi dihukum.
”Sepantasnya dihukum” berarti bahwa harus memperoleh ”hukuman yang setimpal”. Hal ini sebenarnya adalah sama dengan teori Absolut, walaupun penjelasan tentang teori Absolut ini kurang mendalam dan hanya menyatakan bahwa secara filosofis perbuatan yang salah itu harus dicari hukumannya.
Sedangkan menurut teori Retribution dari Packer, bahwa ada beberapa kemungkinan atau beberapa variasi dan perkembangan-perkembangan pemikiran yang menarik.
Pertama, diakui oleh Packer bahwa teori retribusi mendasarkan diri pada pembalasan maka kitapun harus berbicara tentang reaksi dari masyarakat atau reaksi sosial terhadap si pelaku. Inilah ide dari teori pembalasan, yaitu masyarakat bereaksi kepada pelaku, masyarakat membalas (dendam) kepada si pelaku atas perbuatannya yang merugikan masyarakat.
Sisi lain dari teori retribusi, adalah yang oleh Packer dinamakan ”Expiation Theori” yaitu teori penderitaan dan penebusan dosa, yakni si pelaku kejahatan menjalani pidana sebenarnya untuk membayar kembali kesalahannya atau membersihkan dirinya (bertobat).
Jadi dalam teori retribusi, sisi pertama yaitu masyarakat (korban), pemidanaan itu merupakan suatu pembalasan dengan pelampiasan amarah dari masyarakat, dan dari sisi pelaku, adalah merupakan pembayaran kembali atas kerugian/penderitaan yang telah dilakukannya dengan menjalankan pidana, yang dapat diartikan sebagai membersihkan dirinya kembali atas kesalahannya terhadap masyarakat.
Karena itulah pandangan atau teori retribusi ini dianggap melihat ke belakang (backward looking).
Teori Utilitarian
Pandangan kedua ini justru berorientasi ke masa depan (forward looking). Kadang-kadang paham utilitarian ini juga disebut sebagai paham pencegahan (preventation atau deterrence). Dalam paham ini berkembang dua teori, yakni, (i) teori deterrence, yang mengemukakan bahwa efek pencegahan dari pidana yang dijatuhkan diharapkan terjadi setelah pemidanaan (after the fact inhibation) dan (ii) teori intimidasi, yaitu bahwa efek itu diharapkan sudah timbul sebelum pidana dijatuhkan (before the fact inhibation).
Yang lebih ditekankan oleh pandangan utilitarian ini adalah situasi atau keadaan yang akan tercipta atau yang akan dihasilkan jika pidana itu dijatuhkan, baik menyangkut si terpidana yang bersangkutan maupun menyangkut orang lain. Dalam pandangan ini, berkembang anggapan bahwa jika pidana dijatuhkan, maka yang bersangkutan akan menjadi jera (special deterrence) dan begitu juga orang lain tidak akan mencontoh kesalahan atau perbuatan yang serupa (general deterrence).
Istilah ”general deterrence” atau ”special deterrence” ini sering kali dikacaukan penggunaannya. Kedua konsep ini oleh Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cassey, dibedakan secara tegas.
”Deterrence” disebutnya ”has to do with refraining from crime because of fear of punishment”, sedangkan “prevention”, disebutnya ”has to do with refraining from crime for other reasons”. Karena itu Packer cenderung mempergunakan istilah “deterrence” untuk “general deterrence”, dan “intimidation” untuk “special deterrence”. (Lihat Packer hal. 21 - 22 ).
Teori Behavioural Prevention
Dalam pandangan yang ketiga ini, pemidanaan yang dalam hal ini berupa pemenjaraan, secara sederhana dipandang sebagai usaha yang : (i) menyebabkan terpidana tidak mampu lagi melakukan kejahatan lebih jauh, disamping bahwa penyekapan di dalam penjara itu dilakukan dengan maksud (ii) memudahkan pembinaan dalam rangka merehabilitasi si terpidana sehingga dapat berubah menjadi orang baik dan taat hukum. Dalam berbagai literatur hukum, teori pertama itu disebut dengan “Incapacitation Theory”, sedangkan yang kedua biasanya dinamakan ‘rehabilitation theory’. Kedua teori ini sama-sama bersifat preventif dan berorientasi ke depan serta lebih menekankan aspek tingkah laku terpidana, sehingga dua-duanya disebut sebagai paham ‘Behavioural Prevention’.
Paham atau pendekatan Behavioural Prevention, yang diarahkan kepada ‘Rehabilitation’ didasarkan atas pemikiran bahwa kita mengetahui atau dapat mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan seseorang itu melakukan pelanggaran hukum atau cenderung melakukan pelanggaran, maka salah satu cara mencegah diulangnya itu oleh si pelaku adalah dengan merubah perilaku tadi. Misalnya dengan cara “pembinaan mental”, yaitu mencoba membangun di dalam diri orang-orang yang dibina itu suatu sikap tertentu. Sebagai contoh adalah seperti pembinaan yang dilakukan terhadap orang-orang ex-PKI, agar mereka itu berubah dalam cara berpikir dan tidak lagi menganut ajaran komunis, penataran-penataran P-4, pembinaan terhadap anggota KORPRI, dll.
Cara berpikir seperti ini, merupakan cara berfikir yang didasarkan kepercayaan kita bahwa ilmu-ilmu sosial atau ilmu mengenai perilaku manusia, seperti sosiologi, psikologi dan kriminologi, telah mengetahui tentang hal-hal apa saja yang mendorong seseorang itu untuk berperilaku tertentu.
Pembenaran terhadap pemidanaan atau Justification of Criminal Punishment yang berdasarkan pemikiran Behavioural Prevention or Rehabilitation, mengatakan bahwa untuk kepentingan masyarakat sering dipergunakan dengan konsep “sosial defense”.
Kita menghukum orang itu bukan supaya orang tersebut menderita, tetapi agar dia merubah perilakunya. Kita mengirim orang-orang ex-PKI ke Pulau Buru bukan dimaksudkan agar mereka menderita atau sengsara, tetapi untuk dibina agar secara bertahap mereka menjadi warga negara yang baik dan tidak lagi menganut komunisme. Mereka disana bukan dihukum, tetapi dibina.
Salah satu konsep yang mendasari teori ini adalah mengenai hak manusia untuk merubah sikap pandang manusia yang lain.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa sebenarnya kita tidak usah terlalu jauh mengenai ”Rehabilitation”, karena Behavioural Prevention itu tidak perlu memikirkan untuk merubah sikap seseorang, tetapi cukup dengan mengekang orang-orang itu sementara waktu agar tidak melakukan perbuatannya lagi (incapacitation). Jadi dengan mengurung seseorang di penjara sebenarnya kita telah melakukan usaha mencegah dia untuk tidak dapat melakukan perbuatan yang dipersalahkan oleh pengadilan (hukum).
Apabila kita mempergunakan konsep ”Incapacitation” ini secara ekstrim, pemikiran-pemikiran itu pada awalnya dapat memenuhi sasarannya, tetapi kalau konsep ini dikembangkan lebih lanjut, maka ia akan menjadi ekstrim, yaitu ”maximal incapacitation”, berupa membuat seseorang tidak dapat berbuat lagi secara maksimal, misalnya bila untuk manusia, yaitu dengan membunuhnya dengan dijatuhkan hukuman mati.
Jadi hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di Singapura dan Malaysia untuk pelanggar ketentuan narkotika, di dalam bentuk yang murninya intinya bahwa si pelaku itu tidak bisa lagi menjual narkotika untuk selama-lamanya.
Agar ringan dari hukuman mati adalah teori yang mengatakan : ”Melalui pengetahuan medis sekarang ini, kita dapat membuat orang-orang tertentu itu menjadi tidak dapat melakukan perbuatannya lagi”. Misalnya di Eropa pernah berkembang pemikiran, bahwa melalui operasi medis pada otak manusia, maka manusia itu dapat dikendalikan perbuatannya. Atau dalam delik-delik seksual yang pelakunya dioperasi pengebirian, untuk membuat laki-laki itu tidak dapat melakukan hubungan seksual lagi.
Teori ini oleh John Kaplan dianggap teori yang paling sederhana untuk membenarkan dijatuhkan pidana, yaitu disebutnya: ”The Simplest Justification for any Punishment that Involves the use of physical Restraint is that for its duration the person on whom it is being inflicted loses entirely or nearly so that capacity to comment further crimes”.
Namun demikian, jika diperhatikan, asumsi yang terkandung dalam teori ini sebenarnya patut juga dipertanyakan. Karena dengan pernyataan di atas, teori ini beranggapan bahwa si pelaku jika tidak dipidana tentu akan terus melakukan kejahatan. Padahal kenyataannya belum tentu demikian.
Menurut Packer, pandangan Behavioural ini jauh lebih luas dan kompleks dari pada pandangan atau aliran pembalasan. Pandangan behavioural ini adalah suatu pendekatan yang timbul berdasarkan pemahaman-pemahaman baru tentang perilaku manusia, sejalan dengan perkembangan pengetahuan seperti psikologi, sosiologi dan kriminologi khususnya untuk perilaku yang melanggar hukum.
Ada empat hal atau prinsip yang oleh Packer dianggap merupakan dasar dari pandangan behavioural ini, yaitu :
Tentang Free Will, atau kehendak bebas manusia, yang dianggap sebagai suatu ilusi, karena adalah tidak benar bahwa manusia itu mempunyai kebebasan berkehendak.
Moral Responsibility (tanggung jawab moral), yang juga adalah suatu ilusi, yaitu bahwa seseorang yang melakukan perbuatan itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara moral.
Tentang perilaku manusia yang selalu berada dalam hubungan sebab akibat, yang oleh karenanya dapat dipelajari dan dikendalikan secara ilmiah.
Tentang fungsi dari hukum pidana adalah untuk memanipulasi pribadi manusia agar mereka itu menjadi orang-orang yang taat hukum.
Pandangan Behavioural Prevention, Berkenaan dengan Masalah Strict Liability, Sentencing Policy dan Insanity Defense
Packer mengajukan tiga masalah yang dikaitkan dengan pendekatan Behavioural, yaitu :
1. Issue tentang riset Strict Liability (pertanggungjawaban tanpa kesalahan).
2. Issue tentang kebijaksanaan penjatuhan pidana (Sentencing Policy).
3. Insanity Defense, yaitu pembelaan dari pihak terdakwa bahwa ia menderita gangguan jiwa.
Pandangan Strict Liability adalah suatu pandangan bahwa untuk menjatuhkan pemidanaan dalam tindak pidana tertentu, tanpa melihat kesalahan pelakunya. Tanpa perlu membuktikan niat jahat dari pelaku kejahatan itu, ia dapat dimintakan pertanggungjawaban walaupun dalam diri pelaku itu tidak ada kesalahan moral, seperti menghukum seorang pengedar barang-barang palsu, tanpa memperdulikan apakah orang-orang tersebut mengetahui bahwa barang-barang itu palsu atau tidak, atau menjual barang-barang terlarang bagi anak-anak di bawah umur, tanpa mempertimbangkan apakah si penjual itu mengetahui bahwa pembelinya masih di bawah umur atau tidak.
Jadi bila seseorang kedapatan melakukan sesuatu yang melanggar hukum, maka tanpa menyelidiki lagi apakah ia melakukan itu sengaja atau tidak atau dengan alasan apapun, orang tersebut akan dijatuhi hukuman. Hal ini adalah sejalan dengan konsep retributif, yaitu bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana, maka ia harus dibalas dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatan itu.
Melihat konsep seperti ini maka pandangan Behavioural tidak dapat menerimanya, karena menghukum pelaku kejahatan yang didasarkan atas konsep Strict Liability tidak untuk merehabilitasi si pelaku maupun untuk membuat tidak berdayanya orang tersebut, akan tetapi dilihat dari aspek perbuatannya semata, sehingga masyarakat akan terhindar dari perbuatan orang tersebut.
Kemudian tentang issue kebijakan pidana (Sentencing Policy), yaitu bahwa pemidanaan pelaku kejahatan adalah berkaitan dan ditentukan oleh suatu kebijakan tentang penetapan tinggi rendahnya sanksi pemidanaan, dan kebijaksanaan tentang pelaksanaan dari putusan pidana.
Berat atau ringannya suatu pemidanaan biasanya didasarkan atas bahaya dari perbuatan itu dan hal-hal yang meringankan serta memberatkan terdakwa sehingga dalam undang-undang pidana telah ditentukan pidana maksimal dan minimal dari pidana yang akan dijatuhkan.
Apabila masalah di atas dikaitkan dengan teori Behavioural, maka teori Behavioural tidak sependapat atau sejalan, karena menurut teori ini bahwa tinggi rendahnya pemidanaan itu tidak tergantung pada bahaya dari suatu perbuatan tetapi harus dikaitkan dengan kepentingan rehabilitasi (treatment) terhadap pelaku agar dapat merubah atau menentukan suatu waktu agar pelaku tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat.
Menurut “Behavioural Prevention”, hakimlah yang menentukan pemidanaan untuk kepentingan perubahan perilaku dari orang tersebut. Jadi kebijakan pemidanaan tidak tergantung dari bahayanya perbuatan si pelaku, tetapi tergantung seberapa jauh pemidanaan itu memperbaiki perilakunya.
Selanjutnya tentang “Insanity Defense” (pembelaan karena gangguan jiwa), adalah suatu konsep dari pandangan hukum pidana tradisional, bahwa apabila seseorang terganggu jiwanya melakukan suatu tindak pidana, maka kepadanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum, akan tetapi ia harus dibebaskan dari tuntutan hukum.
Terhadap konsep ini maka pandangan Behavioural, berpendapat bahwa pelaku tindak kejahatan tidaklah penting, tetapi yang perlu diperhatikan dan dilakukan adalah tindakan apa yang harus diambil setelah terjadinya tindak pidana itu. Artinya, bahwa kita harus mengambil tindakan berupa pembinaan (treatment) terhadap orang yang melakukan tindak pidana itu, dan tidak ada alasan untuk dibebaskan begitu saja, sehingga tidak ada upaya untuk memperbaiki tingkah lakunya tersebut. Hal ini dimaksudkan bahwa setelah perilakunya diperbaiki maka masyarakat terhindar dari perbuatan jahat dari perilaku itu di masa yang akan datang.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka, makin jelaslah bagi kita bahwa teori-teori atau konsep-konsep tentang pembenaran pemidanaan kriminal itu ternyata cukup kompleks dan tidaklah sesederhana seperti yang kita lihat, sehingga tidak dapat kita memandangnya dari satu sisi saja. Kita harus memperhatikan bahwa penjatuhan pidana pada seseorang hendaklah melihat tujuannya sebagai pencegahan dari kejahatan dan hakim harus secara seksama mempertimbangkan segala aspek dalam menjabarkan tujuan dari pemidanaan itu sebagai cara untuk penanggulangan kejahatan bagi ketentraman masyarakat dan menyadarkan si pelaku agar tidak melakukan lagi perbuatan yang merugikan masyarakat pada masa-masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar