Diversifikasi Pendidikan Agama Dan Keagamaan

Makalah Diversifikasi Pendidikan Agama Dan Keagamaan
Oleh : Ali M Zebua

PENDAHULUAN

Globalisasi tidak menjamin lahirnya sebuah peradaban berpendidikan yang relijius. Terpaan gelombang globalisasi ternyata membawa implikasi yang cukup serius bagi dunia pendidikan. Pendidikan menjadi kian bergeser dari status dan fungsi awalnya yang cukup idealis, -sebagai human development-, kini, mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Disatu sisi ia menjadi eksklusif dan tak terjangkau oleh kalangan bawah, sehingga darwinisme sosial pun sulit dielakkan berlaku. Sedang disisi lain visi dan misinya tidak keluar dari koridor ekonomi (menyiapkan peserta didik sebagai homo economicus semata). Peserta didik disibukkan oleh rutinitas studi-studi berdasarkan kurikulum yang juga terasing dari kehidupan sosial. Misalnya, ketika bicara sains dan teknologi, peserta didik digiring untuk memusatkan diri pada teknologi yang bias sektor urban. Misalnya, mesin-mesin industri berat dan bukan perihal teknologi tepat guna, yang murah, mudah dijalankan dan langsung memberi manfaat kepada masyarakat kecil. Globalisasi budaya dan peradaban semakin tak terbendung oleh sekat-sekat negara-bangsa.

Menjawab tantangan arus globalisasi, perlu adanya wadah pendidikan yang memusatkan kepada pembentukan peserta didik yang berperadaban dan relijius. Dalam globalisasi sekarang ini, pendidikan agama dan keagamaan – dalam hal ini agama Islam – merupakan salah satu pendidikan yang membawa anak bangsa menuju kepada peradaban yang lebih baik dan relijius.

Beberapa pendidikan agama dan keagamaan di era globalisasi sekarang ini menjadi pilihan masyarakat agar menjadikan anak-anaknya manusia yang berilmu pengetahuan dan beriman kepada Tuhannya. Oleh sebab itu, kualitas pendidikan agama dan keagamaan akan ditingkatkan kualitasnya dan menjadi yang terbaik dan unggul atau setidaknnya sama dengan pendidikan umum. Surya Dharma Ali selaku menteri agama juga mengatakan “Kemenag akan menekankan peningkatan akses dan kualitas pendidikan Raudhatul Athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan,” [1]

Program peningkatan kualitas yang dimaksud adalah peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan berbasis keagamaman yang bermutu; perintisan pendidikan berbasis keagamaan bertaraf internasional; peningkatan mutu dan daya saing pendidikan tinggi agama; peningkatan ma’had aly pada pondok pesantren; peningkatan mutu pengelolaan dan layanan pendidikan diniah dan pondok pesantren; peningkatan layanan pendidikan non formal dan vokasional pada pondok pesantren; peningkatan mutu pendidikan agama di sekolah; peningkatan profesionalitas dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan; dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan Raudhatul Athfal, madrasah, perguruan tinggi agama, pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Mencermati hal di atas, penulis menganalisis mengenai sejauhmana kebijakan madrasah sebagai sekolah umum yang bercirikan Islam dan juga pendidikan keagamaan yang sama-sama meningkatkan mutu pendidikan agama Islam di Indonesia.

PEMBAHASAN

A. Madrasah Sebagai Sekolah Umum / Kejuruan Bercirikan Islam

Terminologi “modernisasi madrasah” mulai menguat saat orde baru melancarkan manuver-manuver politik pendidikannya, baik melalui jalan formalisasi yaitu usaha penegerian madrasah, maupun melalui jalan strukturisasi, yaitu perjenjangan madrasah dengan mengacu pada aturan Departemen pendidikan (Depag RI, 2005:5).[2]

Pendidikan Islam kala itu masih tersisih dari sistem Pendidikan Nasional. Keadaan ini berlangsung sampai dikeluarkannya SKB 3 menteri tanggal 24 Maret 1975 yang berusaha mengembalikan ketertinggalan pendidikan Islam untuk memasuki mainstream pendidikan Nasional. SKB ini mencoba meregulasi madrasah secara integral komprehensip. Era ini dikenal dengan era baru madrasah yang ditandai dengan efektifnya pembenahan madrasah di tahun-tahun berikutnya dengan porsi kurikulum pendidikan umum 70% dan pendidikan agama 30%.[3] Terbitnya SKB ini bertujuan antara lain untuk meningkatkan mutu pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya untuk bidang non agama. Kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi madrasah, karena ijazahnya dapat mempunyai nilai yang sama dengan sekolah umum dan sederajat; lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi; dan siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat, serta membuka peluang siswanya memasuki peluang wilayah pekerjaan modern.[4]

Lebih lanjut Nizar menjelaskan, dengan adanya SKB tersebut, madrasah memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada di bawah naungan Departemen Agama. Pada perkembangan selanjutnya, di akhir dekade 1980-an, dunia pendidikan Islam memasuki era integrasi dengan lahirnya UU nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang makin menempatkan eksistensi madrasah sebagai lembaga yang bercirikan Islam, dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum Madrasah sama persis dengan sekolah, plus pelajaran Agama Islam sebanyak 7 mata pelajaran. Secara perasional, integrasi Madrasah ke dalam system Pendidikan Nasional ini dikuatkan dengan PP Nomor 28 tahun 1990 dan SK Meteri Pendidikan Nasional Nomor 0478/U/1992 dan nomor 054/U/1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD/SMP. Keputusan-keputusan ini ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama nomor 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sedangkan tentang MA diperkuat dengan PP nomor 29 tahun 1990, SK Mendiknas nomor 0489/U/1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menteri Agama nmor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada lagi perbedaan antara MI, MTs, MA dengan SD, SMP, dan SMA selain cirri khas agama Islamnya.[5]

Berdasarkan undang-undang di atas, mestinya dipahami bahwa, madrasah adalah konsep pendidikan yang memang berbeda dari jenis lembaga pendidikan lainnya, sehingga tidak mudah dibandingkan. Selama ini yang dibandingkan hanya prestasi mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional. Padahal madrasah memiliki kelebihan, yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan pada umumnya.

Sikap-sikap yang berkembang seperti tersebut, sebenarnya sangat tidak menguntungkan bagi keberadaan madrasah secara keseluruhan. Akibatnya, pada madrasah tertanam sikap rendah diri yang berlebihan. Sehingga, sebutan madrasah dianggap sebagai simbol kerendahan dan ketertinggalan. Padahal, hakekatnya tidak seperti itu. Madrasah memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan selainnya. Di antara keunggulan itu misalnya, adalah pada pendidikan karakter, yang saat ini banyak orang pada merasakan betapa pentingnya. Madrasah telah lama merasakan hal itu dan selama ini telah menjalankannya.

Namun ada beberapa kelemahan dari madrasah seperti belum ditemukannya format keilmuan yang bersifat integrative, yaitu yang menggabungkan antara sumber-sumber ilmu berupa Alquran dan Hadis Nabi dengan sumber-sumber dari hasil observasi, eksperimentasi dan penalaran logis. Madrasah yang disebut sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, hingga kini ciri yang dimaksudkan itu, belum sedemikian tampak jelas. Apa yang disebut ciri itu baru bersifat tambahan. Artinya, di madrasah terdapat tambahan pelajaran agama lebih banyak jumlahnya.[6]

Manakala Islam sudah dilihat sebagai ciri khas pendidikan itu, maka pelajaran biologi, fisika, kimia, sosiologi dan sejenisnya harus dianggap sebagai bagian dari menunaikan ajaran Islam. Sebab Alquran memerintahkan agar umatnya mempelajari bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung ditegakkan, dan seterusnya. Akan tetapi pada kenyataannya, baru disebut sebagai pelajaran Islam manakala menyangkut pelajaran fiqh, tauhid, akhlak dan tasawuf saja.

Berangkat dari kenyataan ini, maka ternyata membangun pendidikan Islam yang berparadigma Islam, untuk semua tingkatan tidak mudah dilakukan. Oleh karena itu tugas para ahli pendidikan Islam masih cukup panjang. Menjawab tantangan di atas, perlu kiranya kita mengkaji mengenai keberadaan Madrasah Diniah (MD) sebagai pilihan yang dapat menjadi benteng terdepan dalam problematika pendidikan Islam. Selain itu dalam pembahasan ini juga akan membahas mengenai Raudhatul Athfal (RA).


Madrasah di dunia Islam merupakan tahapan ketiga dari perkembangan lembaga pendidikan. Masjid merupakan tahapan pertama lembaga pendidikan Islam… masjid tidak hanya berfungsi sebagai pusat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pengajaran. Madrasah tumbuh di Indonesia pada permulaan abad keduapuluh, pada masa merosotnya perkembangan sistem pendidikan madrasah di dunia islam, sementara itu dunia islam sendiri berinteraksi secara aktif dengan dunia barat dengan rasa sebagai negeri jajahan yang subordinate dank arena itu berkecendrungan meniru. Keadaan ini telah mendorong upaya perencanaan lembaga pendidikan baru model barat disatu pihak dan upaya reformasi terhadap sistem pendidikan islam yang ada di pihak lain.

Terlepas dari perbedaan karakteristik di atas, madrasah yang pertama didirikan di Indonesia adalah sekolah Adabiah. Madrasah ini didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 di padang, tapi kemudian pada tahun 1915 madrasah ini dirubah menjadi HIS Adabiah. Empat tahun sebelum sekolah adabiah didirikan, yaitu tahun 1905 sebenarnya di Surakarta telah didirikan madrasah manba’ul Ulum oleh Raden Hadipati sasro diningrat dan raden penghulu tafsirul anom, tetapi karena masih mengikuti sistem pendidikan pondok pesantren (tanpa kelas), madrasah tersebut tidak dikategorikan sebagai madrasah yang pertama didirikan di Indonesia. Baru pada tahun 1916, diterapkan sistem kelas pada madrasah tersebut yaitu I s.d kelas XI.

Pada masa reformasi, eksistensi madrasah diniah diakui dan menyemai eksistensi memburu sertifikasi kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM). Kebijakan madrasah diniah pada masa reformasi adalah tentang Pendidikan Agama (PA) dan pendidikan Keagamaan (PK), lihat PP No. 55 tahun 2007. Dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan diniah termasuk jenis pendidikan keagamaan yang diatur pada pasal 30 yang terdiri dari (5) ayat dan pasal 36 dan 37 yang mengatur kurikulum. Pada pasal 30 dinyatakan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/ atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pada pasal 36 yang mengatur kurikulum, ditetapkan sebagai berikut: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Peraturan pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan acuan operasional yang standar untuk penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, apapun jenis, bentuk dan jenjang pendidikan, termasuk madrasah Diniah. Ruang lingkup SNP meliputi : Standar Isi, Proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan.
  • Kurikulum Madrasah Diniyah Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP)
Pendidikan Agama dan pendidikan Keagamaan Sebagai acuan opersional penyelenggaraan madrasah diniah, pemerintah telah mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (PP PA dan PK) yang disahkan 5 oktober 2007. Ketentuan tentang Madrasah diniah dalam PP PA dan PK pasal 14 sampai pasal 20 adalah sebagai berikut: Pasal 14 (1) Pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan Diniah dan pesantren (2) Pendidikan diniah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal (3) Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal dan informal Pasal 15 Pendidikan diniah Formal menyelenggarakan pendidikan pada ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran agama Islam pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal 16 (1) Pendidikan diniah dasar menyelenggarakan pendidikan sederajat MI/SD yang terdiri atas 6 tingkat dan pendidikan diniah menengah pertama sederajat MTs/SMP yang terdiri dari 3 tingkat (2) Pendidikan diniah menengah menyelenggarakan pendidikan diniah menengah sederajat MA/SMA yang terdiri atas 3 tingkat (3) Penanaman satuan pendidikan diniah dasar dan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan hak penyelenggara pendidikan yang bersangkutan Pasal 17 (1) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik di madrasah diniah pendidikan dasar, seorang harus berusia sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun (2) Dalam hal daya tampung satuan pendidikan masih tersedia maka pendidikan yang berusia 6 (enam) tahun dapat diterima sebagai peserta didik pendidikan diniah dasar (3) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik madrasah diniah pendidikan menengah pertama, seorang harus berijazah pendidikan diniah dasar atau yang sederajat (4) Untuk dapat diterima sebagai peserta didik madrasah diniah pendidikan menengah atas, seseorang harus berijazah pendidikan diniah menengah pertama atau yang sederajat. Pasal 18 (1) Kurikulum pendidikan diniah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar (2) Kurikulum pendidikan diniah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan seni dan budaya. Pasal 19 (1) Ujian nasional pendidikan diniah dasar dan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam (2) Ketentuan lebih lanjut tentang ujian nasional pendidikan diniah dan standar kompetensi ilmu-ilmu yang bersumber dari ajaran Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam peraturan menteri agama dengan berpedoman kepada Standar Nasional Pendidikan Pasal 20 (1) Pendidikan diniah pada jenjang pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, vokas, dan profesi berbentuk universitas, institute dan sekolah tinggi (2) Perguruan tinggi keagamaan Islam selain menekankan ilmu pembelajaran agama, wajib memasukkan pendidikan kewarganegaraan dan bahasa Indonesia (3) Mata kuliah dala program studi memiliki program wajib belajar yang dinyatakan dalam satuan kredit semester (sks) (4) Pendidikan diniah jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.

Akhir-akhir ini, sekalipun status madrasah menjadi kuat, yaitu masuk dalam system pendidikan nasional, namun masih muncul berbagai penilaian, misalnya bahwa kualitas madrasah ternyata tertinggal dibanding dengan sekolah umum. Penilaian semacam itu sesungguhnya jika kita mau berpikir jernih tidak adil. Sebab, yang dibandingkan hanyalah prestasi bidang mata pelajaran tertentu yang diujikan secara nasional. Padahal jika yang dibandingkan adalah mata pelajaran agama, maka jelas madrasah lebih unggul. Selain itu, membandingkannya juga tidak tepat. Sekolah dasar milik pemerintah seluruh kebutuhannya, guru, buku, sarana dan prasarana lainnya, dipenuhi, sedangkan madrasah tidak. Perlakuan terhadap keduanya yang tidak sama itu, maka semestinya tidak tepat dibandingkan hasilnya. Membandingkan dengan cara seperti itu mestinya dihindari, sebab menjadi tidak adil. Tetapi anehnya, para pejabat yang memiliki otoritas mengelola madrasah juga ikut-ikutan menyuarakan hal yang tidak semestinya itu. Mereka juga ikut mengatakan bahwa madrasah selama ini tertinggal, dan kualitasnya rendah. Akibatnya, citra madrasah sebagai lembaga pendidikan yang berkualitas rendah, tertanam di masyarakat. Sekalipun rendahnya citra itu, ternyata juga tidak mengurangi semangat masyarakat mempercayai madrasah sebagai lembaga pendidikan yang dianggap lebih baik dan mencukupi.[7]

Akhir-akhir ini, madrasah di berbagai tingkatannya, Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah, sudah mulai mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain beberapa di antaranya ditingkatkan statusnya, yakni dinegerikan, maka yang masih berstatus swasta pun juga dibantu, seperti gedungnya diperbaiki, dibantu berupa buku pelajaran dan lain-lain, sekalipun masih terbatas jumlahnya. Hanya saja lembaga pendidikan Islam yang berupa Madrasah Diniah, rupanya belum mendapatkan cukup perhatian. Padahal, sebenarnya lembaga pendidikan jenis ini keberadaannya sangat penting, sebagai pelengkap atau menambal dari kekurangan yang dialami oleh sekolah umum. [8]

Dulu, madrasah diniah di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup baik. Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya tidak terlalu formal, para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah atau sertifikat, maka menurut informasi dari beberapa sumber, tidak sedikit santri madrasah diniah mampu memahami kitab kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi agama Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat mereka kurang ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih ditambah kelemahan lainnya, yakni mereka kuliah hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan ijazah.
Madrasah diniah merupakan bagian dari sistem pendidikan pesantren yang wajib dipelihara dan dipertahankan keberadaannya karena lembaga ini telah terbukti mampu mencetak para kyai/ulama, asatidz dan lain sebagainya. Diundangkannya UU No. 19 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan secara khusus adalah diundangkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. PP tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan bagi madrasah diniah. Peluangnya, karena PP 55 Tahun 2007 khususnya telah mengakomodir keberadaan pendidikan diniah, madrasah diniah dan pendidikan pesantren. Sedangkan tantangannya adalah bagaimana para pengasuh pondok pesantren dan madrasah diniah secara arif merespon pemberlakuan PP 55 Tahun 2007 tersebut.

Standarisasi pendidikan madrasah diniah jelas merupakan salah satu solusi dan alternatif yang harus dilakukan. Namun demikian, apapun jenis, bentuk dan jenjang pendidikan madrasah diniah yang akan diberlakukan harus tetap memperhatikan tiga pilar utama, yaitu: 1) Pilar Filosofis Adalah pilar yang harus dijadikan pijakan bahwa madrasah diniah adalah fardhu ‘ain untuk dipertahankan sebagai lembaga pendidikan tafaqquh fiddiin melalui sumber pembelajaran pada kitab-kitab kuning yang merupakan ide, cita-cita dan simpul keagungan dari pondok pesantren. 2) Pilar Sosiologis Adalah pilar yang dijadikan dasar pemikiran bahwa madrasah diniah tidak berada dalam ruang kosong (vacuum space), tetapi ia bagian dari system sosial yang lebih luas untuk memberikan layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Pilar ini memerlukan refleksi secara mendalam agar eksistensi madrasah diniah tidak sekedar sebagai pelengkap (supplement), tetapi diharapkan menjadi pilihan utama masyarakat. 3) Pilar Yuridis Merupakan pilar yang harus mendapat perhatian bahwa pendidikan di Indonesia berlaku sistem pendidikan nasional. Artinya, jenis, bentuk dan jenjang pendidikan apapun harus menyesuaikan dengan regulasi pendidikan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan tentang pendidikan. PP 55 Tahun 2007 jelas merupakan salah satu pijakan yuridis yang mengatur tentang posisi dan eksistensi madrasah diniah, pendidikan diniah dan pondok pesantren.

Di masa depan pengelolaan dan pelaksanaan untuk memberdayakan madrasah diniah perlu mengambil langkah-langkah strategis sebagai berikut:
  • Membentuk badan hukum pendidikan berbentuk “Yayasan pendidikan madrasah diniah” atau apapun namanya yang terdaftar di “notaris”
  • Menyusun jenjang pendidikan/satuan pendidikan, seperti: (1) madrasah diniah ula, (2) madrasah diniah wustha dan (3) madrasah diniah ‘ulya.
  • Secara bertahap, menyiapkan tenaga pengajar (guru) madrasah yang mempunyai kualifikasi minimal diploma empat (D IV) atau strata satu (S1) bidang pendidikan sesuai mata pelajaran yang diampunya/diajarkan.
  • Berupaya menerapkan kurikulum madrasah diniah yang standar (dan sesuai ketentuan) secara bertahap dan berkesinambungan.
  • Pengelolaan madrasah diniah harus intens melakukan kajian (evaluasi diri), khususnya tentang kelemahan, kekuatan, ancaman dan peluangnya karena dengan melakukan itu kita akan mudah mengembangkan strategi untuk memberdayakan madrasah diniah.
2. Raudhatul Athfal[10]

Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Segera setelah anak dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan. Pendidikan membantu agar proses itu berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Maka dari itu anak sebagai harta yang perlu dibina dan dipupuk sejak dini, ia membutuhkan pendidikan untuk menyiapkan diri menatap masa depan sehingga menjadi manusia dewasa yang berkualitas. Kini dunia juga bergantung kepada sistem dan dasar pendidikannya. Apabila pendidikannya benar maka wajah dunia akan menjadi indah berseri dan sebaliknya apabila pendidikannya salah dunia akan dibelenggu oleh kegarangan hidup yang bisa mengubah watak manusia menjadi hewan yang buas yang selalu ingin menerkam kawan dan lawan.

Mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, anak yang cerdas perlu diawali di taman anak (sekarang Taman Kanak-kanak atau masa wiraga), dimana diberikan pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan daya cipta dan pikir, bahasa, perilaku dan keterampilan, jasmani serta moral, emosi, sosial, dan disiplin. Sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Pasal 28 Tentang Pendidikan Anak Usia Dini:
  • Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
  • Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
  • Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudlatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
  • Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
  • Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan
Pembelajaran pada anak usia dini adalah hasil dari interaksi antara pemikiran anak dan pengalamannya dengan materi-materi, ide-ide dan orang disekitarnya. Pendidik dapat menggunakan pengetahuan tentang perkembangan anak guna mengidentifikasi tentang ketepatan tingkah laku, aktivitas dan materi-materi yang diperlukan untuk suatu kelompok usia, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memahami pola perkembangan anak, kekuatan, minat dan pengalaman serta guna merancang lingkungan pembelajaran yang sesuai. Walaupun gaya pembelajaran ditentukan oleh berbagai faktor antara lain tradisi, nilai sosial-budaya, harapan orang tua dan strategi guna mencapai perkembangan yang optimal yang harus disesuaikan dengan usia dari masing-masing individu.

Di banyak tempat, sistem pembelajaran di Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal tidak banyak berbeda dengan di Sekolah Dasar. Jika praktik pendidikan seperti ini di teruskan, di khawatirkan akan terjadi dampak-dampak negatif pada perkembangan anak di kemudian hari. Oleh karena itu, dalam pendidikan usia dini harus selalu memperhatikan aspek-aspek perkembangan anak, yakni: kurikulum yang digunakan.
  • Pemerataan dan Perluasan Akses
Pemerataan dan perluasan akses akan diupayakan bersama-sama oleh pemerintah dan swasta, dimana pemerintah lebih berkonsentrasi pada pendidikan formal TK/RA dan mendorong swasta melakukan perluasan PAUD non-formal (KB, TPA). Perluasan oleh pemerintah antara lain juga dilakukan dengan mendirikan model-model atau rintisan penyelenggaraan PAUD yang disesuaikan dengan kondisi daerah/wilayah. Pada tahun 2009, pemerintah menargetkan APK pra sekolah mencapai 45%. Perluasan akses PAUD akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut:

Penyediaan sarana/prasarana PAUD oleh pemerintah dilaksanakan dengan pembangunan USB TK, dan mengembangkan model atau rintisan penyelenggaraan PAUD yang sesuai dengan kondisi lokal. Target yang akan dicapai lembaga PAUD formal pada tahun 2009 sekurang-kurangnya satu TK, termasuk TK Pembina di setiap kecamatan. Sedangkan target lembaga PAUD non-formal, sekurang-kurangnya satu PAUD (Taman Penitipan Anak atau Kelompok Bermain atau Satuan PAUD Sejenis) di setiap desa.Penyediaan biaya operasional pendidikan diberikan dalam bentuk subsidi kepada penyelenggara PAUD baik negeri maupun swasta, terutama pada lembaga yang peserta didiknya sebagian besar berasal dari keluarga miskin. Target yang ingin dicapai pada tahun 2009 adalah lebih dari 50% lembaga PAUD yang siswanya berasal dari keluarga miskin dapat dibiayai oleh pemerintah. Mendorong peran serta masyarakat dilakukan untuk menumbuhkan minat masyarakat (demand side) dalam menyelenggarakan lembaga PAUD, termasuk bekerja sama dengan berbagai organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, organisasi lain serta PT melalui subsidi imbal swadaya, kemudahan perizinan, dan bantuan fasilitas. Pengembangan “TK-SD Satu Atap”; bagi SD yang memiliki fasilitas mencukupi didorong untuk membuka lembaga TK yang terintegrasi dengan SD (TK-SD Satu Atap) melalui subsidi pembiayaan secara kompetitif.
  • Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing
Peningkakan mutu, relevansi, dan daya saing PAUD akan dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan berikut: Pengembangan menu generik pembelajaran dan penilaian merupakan kegiatan yang menyangkut pengembangan kurikulum, khususnya materi bahan ajar, model-model pembelajaran, dan penilaian. Pengembangan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak didik, perkembangan ilmu pengetahuan, budaya, estetika, dan etika, peningkatan kualitas dan kreativitas peserta didik dan pendidik PAUD. Termasuk dalam kegiatan ini ialah pengembangan proses pembelajaran melalui pengadaan alat belajar, alat bermain, dan alat pendidikan, serta penyelenggaraan akreditasi khususnya untuk TK. Muatan pendidikan pada anak-anak usia dini ditekankan pada seluruh aspek kecerdasan termasuk emosi, mental, dan spiritual, yang diarahkan pada penghayatan atas nilai-nilai dan karakter positif, serta kesiapan masuk sekolah. Pengembangan program PAUD model sebagai rujukan bagi pengembangan PAUD yang diselenggarakan oleh swasta yang kualitasnya masih di bawah standar. Target pada tahun 2009 sekurang-kurangnya satu program PAUD Model setiap kabupaten/kota. Peningkatan kapasitas institusi dan sumberdaya penyelenggara dan satuan PAUD. Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan manajemen secara efektif dan efisien, sehingga mampu memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal. Pengembangan tenaga pendidik dan kependidikan PAUD. Pemerintah mentargetkan sekitar 59 ribu orang telah terlatih sebagai tenaga pengelola dan pendidik PAUD, dan sebanyak lebih dari enam ribu Guru, Kepala TK, dan Pembina akan mendapat pendidikan dan pelatihan sampai dengan tahun 2009. Di samping itu, diberikan subsidi bagi tenaga pendidik PAUD non-formal satu orang di setiap lembaga perintisan.
  • Penguatan Tata Kelola, Akuntabilitas, dan Pencitraan Publik
Peningkatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik di bidang PAUD diarahkan pada bagaimana partisipasi masyarakat dalam melakukan kontrol dan evaluasi kinerja PAUD dapat mengambil peran makin nyata dan efektif. Untuk itu akan dilakukan peningkatan advokasi, sosialisasi/pemasyarakatan dan pembudayaan pentingnya PAUD kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah daerah.

Penyediaan data dan sistem informasi PAUD, serta peningkatan kerja sama stakeholder pendidikan, merupakan faktor pendukung untuk membangun kesamaan persepsi, pencitraan yang positif, dan kebersamaan tanggung jawab dalam pengelolaan PAUD yang akuntabel. Setelah di baca saduran di atas, mungkin kita dapat melihat keseriusan pemerintah dalam hal ini DEPDIKNAS dalam mempersiapkan generasi kuat sesuai dengan potensi yang di miliki oleh masing-masing anak Indonesia, meskipun pendidikan orang tua sendiri tidak kalah pentingnya atas perkembangan putra-putrinya di masa depan. Semoga anak Indonesia menjadi lebih baik ke depannya.


B. Lembaga Pendidikan Keagamaan

Pertumbuhan pendidikan keagamaan di Indonesia pasca kemerdekaan didorong oleh berkembangnya lembaga keagamaan yang tumbuh dari gerakan-gerakan pembaruan yang peduli terhadap pendidikan Islam. Perubahan tersebut dimulai dari adanya pondok pesantren sebagai cikal bakal pendidikan Islam di Indonesia, hingga saat sekarang sekolah/madrasah yang bertaraf internasional dan beberapa perguruan tinggi Islam yang banyak tersebar di Indonesia.

Pondok (Arab: funduk) atau pesantren merupakan embrio paling genuine atas dimulainya tradisi pendidikan Islam di Indonesia. Bentuk tradisional dari pendidikan Islam tersebut hingga sekarang memang masih bertahan, meskipun secara terus menerus dan massif tergerus oleh modernisasi, globalisasi, bahkan kapitalisasi pendidikan yang melanda dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya yang paling mengkhawatirkan dari transformasi pendidikan Islam ini bukan semata-mata pada aspek kelembagaannya, melainkan pada semakin surutnya nilai-nilai adi luhung yang menjadi urat nadi pendidikan Islam di Indonesia. Akibat buruk yang paling tidak menguntungkan secara institusional bagi keberadaan pendidikan Islam adalah pudarnya nilai-nilai kemandirian dan keikhlasan dalam penyelenggaraan pendidikan oleh para pemuka agama. Sementara di sisi lain, pergeseran orientasi terhadap institusi pendidikan semakin menjurus pada proses fabrikasi yang hanya akan melahirkan manusia-manusia robot tanpa nilai dan kering dari moralitas agama.[11]

Kekhawatiran semacam itu tentu tidak terlalu berlebihan, mengingat sekarang ini ekspektasi masyarakat terhadap sistem pendidikan yang ada lebih berkecenderungan materialistik, ketimbang ideal-moralistik. Besar kemungkinan banyak kita jumpai orang tua murid lebih takut jika kelak anaknya tidak mendapat pekerjaan yang pantas, daripada lebih takut anaknya akan menjadi seorang koruptor. Dalam prakteknya, penyelenggaraan pendidikan memang perlu memperhatikan supplay and demand(permintaan). Akan tetapi, pemenuhan terhadap tuntutan masyarakat dari dunia pendidikan seharusnya tidak lalu mengorbankan idealisme pendidikan untuk mewadahi proses pemanusiaan manusia (humanizing human) dan proses pembudayaan masyarakat.

Di tengah persinggungan kepentingan semacam itulah, institusi pendidikan Islam sangat berpotensi mampu memenuhi tuntutan masyarakat modern di era global, sekaligus menjadi mercusuar dalam penguatan nilai-nilai dan moralitas agama. Memang, memasuki abad ke-20 terjadi transformasi besar-besaran di tubuh pendidikan Islam di Indonesia. Meski tidak sepenuhnya meninggalkan pola pendidikan tradisional ala pesantren, tetapi modernisasi di tubuh pesantren telah banyak mengubah rasa pesantren menjadi sekolah umum dengan sebutan madrasah. Mengingat akan hal tersebut, majelis taklim sebagai salah satu pendidikan keagamaan bisa menjadi option dalam membackup memenuhi tuntutan ilmu-ilmu yang kurang atau belum sempurna didapatkan ketika di pesantren atau madrasah.

Belakangan, diskusi soal eksistensi pendidikan Islam tidak lagi berkutat pada aspek substantif-akademik, melainkan semakin mengkerucut pada aspek formatif-institusional.[12] Hal ini mengingat keberadaan pendidikan Islam dalam berbagai pola dan bentuknya sudah diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Namun demikian, dalam situasi di mana terjadi peleburan pendidikan Islam dengan sistem pendidikan nasional, tentu kita harus tetap memperkuat semangat dan cita-cita awal untuk membentengi masyarakat muslim dengan nilai-nilai dan moralitas agama. Jangan sampai tuntutan dunia kerja dan profesional menjadi satu-satunya tujuan dari penyelenggaraan pendidikan, tetapi pada saat yang bersamaan melupakan peran pendidikan dalam melakukan transmisi nilai-nilai agama dan budaya bangsa.

Pendidikan Islam yang ditandai dengan penguatan pada disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial (human and social sciences), dan ilmu-ilmu alam (natural sciences) sekarang ini semakin membuktikan kesetaraan institusi pendidikan Islam dengan sekolah umum. Meskipun memang secara mendasar lokus pendidikan Islam terletak pada pendidikan agama dan keagamaan. Justru dengan demikian secara keilmuan lulusan dari lembaga pendidikan Islam diharapkan memiliki nilai lebih (added value) bahkan keunggulan komparatif (comparative advantage), berupa wawasan dan pengetahuan keIslaman yang relatif lebih baik,[13] dan dapat bersaing secara nasional dan internasional.

Harapan untuk memiliki nilai lebih bagi institusi pendidikan Islam khususnya dalam mencapai akreditasi internasional tentu bukan persoalan mudah. Ada sejumlah persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi untuk mencapai target itu. Dari segi kurikulum, misalnya, kita tidak mungkin menjadikan lembaga pendidikan Islam mampu melahirkan lulusan yang ideal, ketika struktur kurikulum tidak memberi ruang yang cukup bagi penguatan bidang-bidang umum secara spesifik dan intensif; dan begitupun sebaliknya. Pada tingkat madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), pemenuhan kurikulum secara nasional perlu diekstensifikasi dengan bidang-bidang keIslaman dan kemampuan bahasa asing. Hal ini tidak memungkinkan jika pembelajaran dilakukan tanpa terintegrasi dengan pola pesantren (Islamic boarding school). Dengan pola pendidikan berasrama, penguatan bidang-bidang profesional dapat dilakukan secara simultan dengan penguatan pada bidang-bidang keIslaman dan pendidikan karakter (akhlak al-karimah).

1. Majelis Taklim

Menurut akar katanya, istilah majelis taklim tersusun dari gabungan dua kata: majlis yang berarti (tempat) dan taklim yang berarti (pengajaran) yang berarti tempat pengajaran atau pengajian bagi orang-orang yang ingin mendalami ajaran-ajaran Islam sebagai sarana dakwah dan pengajaran agama.[14]

Majelis taklim adalah salah satu lembaga pendidikan diniah non formal yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia bagi jamaahnya, serta mewujudkan rahmat bagi alam semesta.

Dalam prakteknya, majelis taklim merupakan tempat pangajaran atau pendidikan agama Islam yang paling fleksibal dan tidak terikat oleh waktu. Majelis taklim bersifat terbuka terhadap segla usia, lapisan atau strata social, dan jenis kelamin. Waktu penyelenggaraannya pun tidak terikat, bisa pagi, siang, sore, atau malam . tempat pengajarannya pun bisa dilakukan dirumah, masjid, mushalla, gedung. Aula, halaman, dan sebagainya. Selain tiu majelis taklim memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai lembaga dakwah dan lembaga pendidikan non-formal. Fleksibelitas majelis taklim inilah yang menjadi kekuatan sehingga mampu bertahan dan merupakan lembaga pendidikan Islam yang paling dekat dengan umat (masyarakat). Majelis taklim juga merupakan wahana interaksi dan komunikasi yang kuat antara masyarakat awam dengan para mualim, dan antara sesama anggot jamaah majelis taklim tanpa dibatasi oleh tempat dan waktu.

Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan diniah non-formal yang keberadaannya di akui dan diatur dalam :
  • Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional.
  • Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tantang standar nasional pendidikan.
  • Peraturan pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan
  • pendidikan keagamaan.
  • Keputusan MA nomor 3 tahun 2006 tentang strutur departement agama tahun 2006.
Dengan adanya dasar yuridis majelis taklim, maka majelis taklim menjadi salah satu lembaga pendidikan keagamaan alternative bagi umat Islam yang tidak memiliki cukup tenaga, waktu, dan kesempatan menimba atau mengkaji ilmu agama dijalur pandidikan formal. Inilah yang menjadikan majlis taklim memiliki nilai karkteristik tersendiri dibanding lembaga-lembaga keagamaan lainnya.

Dalam perkembangannya, eksistensi majelis taklim mengalami pergeseran dimana majelis taklim disamping hanya sebagai kelompok pengajian kini berkembang menuju paradigma pendidikan seumur hidup pada masyarakat tanpa dibatasi usia. Majelis taklim dilihat dari karakteristiknya secara umum adalah lembaga (institusi) yang melaksanakan pendidikan atau pengajian agama Islam, yang memiliki kurikulum, ustaz/guru, jama’ah, metode, materi dan tujuan pembelajaran.[15] Sementara itu, Kementerian Agama RI menyatakan, majelis taklim adalah lembaga pengajian Islam yang memiliki ciri-ciri tersendiri dilihat dari sudut metode dan buku pegangan yang digunakan, jama’ah, pengajar materi yang diajarkan, sarana dan tujuan.[16]

Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan Islam non formal yang telah eksis sejak lama. Eksistensi majelis taklim sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan Islam non formal telah mendapat pengakuan dalam Undang-Undang RI nomor 20 Bab VI pasal 26 ayat 4 yang secara eksplisit menyebutkan majelis taklim sebagai bagian dari pendidikan nonformal. Hal ini menunjukkan bahwa majelis taklim merupakan salah satu bagian penting dari sistem pendidikan nasional.

Majelis taklim sebagai bagian dari pendidikan non-formal memiliki peran penting dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional.Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal dan non formal, dan informal di sekolah, dan di luar sekolah, yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbanagan kemampuan-kemampuan individu, agar di kemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat.[17]

Sesuai dengan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan bahwa pemerintah menyelenggarakan pendidikan keagamaan yang diatur dengan undang-undang. Bahwa pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Dan pendidikan keagamaan ini dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Selanjutnya pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.[18]

Karena itu, majelis taklim sebagai institusi pendidikan Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek kerohanian dan jasmaninya juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena suatu pematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan atau pertumbuhan, baru dapat tercapai bila mana berlangsung melaui proses demi proses kearah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhannya.[19]

Majelis taklim sebagai institusi pendidikan Islam yang berbasis masyarakat memiliki peran strategis terutama dalam mewujudkan learning society, yaitu suatu masyarakat yang memiliki tradisi belajar tanpa dibatasi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, juga dapat menjadi wahana belajar, serta menyampaikan pesan-pesan keagamaan, wadah mengembangkan silaturahmi dan berbagai kegiatan kegamaan lainnya bagi semua lapisan masyarakat.

Majelis taklim sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, melaksanakan fungsinya pada tataran nonformal, lebih fleksibel, terbuka dan merupakan salah satu solusi yang seharusnya memberikan peluang kepada masyarakat untuk menambah dan melengkapi pengetahuan yang kurang atau tidak sempat mereka peroleh pada pendidikan formal, khususnya dalam aspek keagamaan.

Majelis taklim sebagai lembaga dakwah sekaligus wadah pembinaan ummat mempunyai beberapa fungsi diantaranya: 1) wadah untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan kepada jamaahnya; 2) wadah yang memberi peluang kepada jama’ah untuk tukar menukar pikiran, berbagi pengalaman, dalam masalah keagamaan; 3) wadah yang dapat membina keakraban di antara sesama jama’ahnya; dan 4) wadah informasi dan kajian keagamaan serta kerjasama di kalangan ummat.[20]

Akan tetapi realitasnya, majelis taklim tersebut belum diikuti dengan sentuhan manajerial yang memadai, sehingga majelis taklim dan kegiatannya cenderung berjalan dalam ritme yang monoton tanpa inovasi, mencerminkan kelompok-kelompok pengajian yang bersifat rutinitas, kurang menyentuh terhadap realitas kehidupan yang dialami oleh jama’ah, serta kurang berdaya memberikan kontribusi dalam membantu dan menyiapkan jama’ahnya menghadapi tantangan hidup yang semakin kompetitif. Oleh karena itu pemerintah harus lebih proaktif dalam pengembangan majelis taklim dalam mewujudkan salah satu tujuan pendidikan Nasional, yakni menjadikan manusia yang beriman dan bertakwa.

Kajian tentang pendidikan keagamaan di majelis taklim dapat ditinjau dari aspek legal-formal atau undang-undang dan peraturan pemerintah, aspek pendidikan berbasis masyarakat, dan aspek komponen pembelajaran.

Pertama, dilihat dari aspek legal-formal, kedudukan majelis taklim sebagai pendidikan nonformal di Indonesia menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 disebutkan dengan jelas pada pasal 26 ayat 1 bahwa pendidikan non-formal diperlukan untuk menambah dan melengkapi pendidikan formal. Bahkan pada ayat 4 secara eksplisit disebutkan majelis taklim merupakan bagian dari pendidikan non formal.

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dinyatakan bahwa pendidikan non formal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Lebih jelas pada pasal 26 ditegaskan pula bahwa (1) pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat; dan (2) pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Secara lebih rinci pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan dijelaskan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan majelis taklim adalah memperoleh pengetahuan dan keterampilan, memperoleh keterampilan kecakapan hidup, mengembangkan sikap dan kepribadian profesional, mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri, dan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Kedua, majelis taklim dapat ditinjau sebagai bentuk pendidikan berbasis masyarakat. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010, pasal 55, dijelaskan bahwa: (1) masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat; dan (2) penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Majelis taklim sebagai bentuk pendidikan masyarakat sebagaimana diungkapkan Kartono bahwa urusan pendidikan adalah urusan kita bersama, yaitu urusan seluruh bangsa Indonesia, jelas bukan eksklusif menjadi urusan pemimpin dan pakar-pakar pendidikan saja. Oleh karena itu kebijakan pendidikan ditingkat nasional baru bisa berjalan lancar atau mantap hanya berkat dukungan rakyat banyak yaitu berupa partisipasi aktif segenap warga masyarakat.[21]

Menurut Suprapto,[22] dalam implementasi partisipasi masyarakat, seharusnya anggota masyarakat merasa bahwa tidak hanya menjadi objek dari kebijakan pemerintah, tetapi harus dapat mewakili masyarakat itu sendiri sesuai dengan kepentingan mereka. Perwujudan partisipasi masyarakat dapat dilakukan, baik secara individu atau kelompok, bersifat spontan atau terorganisasi, secara berkelanjutan atau sesaat, serta dengan cara-cara tertentu yang dapat dilakukan.

Ketiga, aspek komponen pembelajaran yang menempatkan majelis taklim sebagai lembaga pendidikan. Komponen pembelajaran meliputi input, proses, output, outcome, dan impact. Input terdiri dari jama’ah, kurikulum, dan fasilitas (ustadz, gedung, perpustakaan, dana). Proses pembelajaran melibatkan jama’ah, ustadz, kurikulum, fasilitas, dan peluang. Output dapat diukur dari perubahan yang ada setelah mengikuti pengajian, proporsi jama’ah, dan lama mengaji.Outcome dicirikan oleh kriteria “kompetensi” yang harus dikuasai dan dilaksanakan oleh jama’ah; kriteria ini melekat pada tujuan pembelajaran (pengajian).Impact dapat diukur, dilihat, atau digali dari komunitas jama’ah beberapa waktu setelah mengikuti pengajian.Walaupun sulit diukur, dari output, outcome, dan impact dapat diambil manfaatnya untuk perbaikan mutu dari penyelenggaraan pendidikan nonformal majelis taklim.[23]

Dalam konteks pendidikan keagamaan di masyarakat, maka proses pembelajaran tidak terikat oleh ruang dan waktu, dalam arti “mengaji” bisa terjadi dimanapun selama jama’ah memiliki minat yang tinggi dalam memahami dan mengembangkan materi pengajian. Tugas utama guru/ustadz adalah mengorganisir suasana dan situasi agar dapat dijadikan proses belajar.

2. Pesantren

Menurut Nurchalish Madjid di dalam buku Amin Haedari mengatakan bahwa pesantren merupakan artefak peradaban Indonesia yang di bangun sebagai instiusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigenous. Pasantren mempunyai berbagai macam nama lain sesuai dengan daerahnya, jika di minang kabau disebut dengan surau di Aceh disebut meunasah dan di kalimantan disebut dengan rangkang.[24]

Adapun tujuan didirikannya pesantren menurut yang disebutkan Wiki Pedia- adalah untuk memperdalam pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa bahasa Arab. Hal tersebut memang benar adanya, namun disamping itu, tujuan didirikannya pesantren adalah sebagai pusat dakwah Islamiyah dalam rangka menyebarluaskan ajaran agama Islam dan meningkatkan iman dan ketakwaan kaum muslim.[25] Terdapat tri dharma pondok pasantren yaitu peningkatan keimamanan dan ketakwaan terhadap Allah SWT, pengembangan keilmuan yang bermanfaat dan pengapdian terhadap agama, masyarakat dan agama.[26]

Pondok pasantren menggunakan manhaj dalam bentuk kitab-kitab yang harus dipelajari dengan tuntas tamatnya satuan pendidikan tidak dilihat dari waktu tetapi tuntasnya santri dalam mengkaji kitab tersebut sehingga menghasilkan 4 kompetensi lulusan pondok pasantren yaitu; memahami, menghayati, mengamalkan dan mengajarkan isi kitab tertentu yang telah di tetapkan kompetensi tersebut tercerminkan pada penguasaan kitab-kitab secara graduatif.[27] Jika pada pesantren salafiah durasi waktu pembelajarannya tidak menggunakan satuan waktu tetapi berdasarkan waktu tamatnya kitab yang dipelajari.

Layaknya proses belajar mengajar yang menggunakan metode pembelajaran agar tercapainya tujuan pendidikan maka pada pondok pasantren juga menggunakan metode-metode saat pembelajaran berlangsung adapun metode-metode yang diadobsi oleh pondok pasantren baik yang asli dari pembelajaran pondok pasantren maupun dari pembelajaran modren yang meliputi metode sorongan, wetonan, musyawarah, pengajian pasaran, demontrasi.[28] Kultur belajar mengajar di pesantren yang banyak dirasakan kurang memberi kelonggaran untuk bertanya, apalagi berdebat, terutama dalam rumusan “mengapa“, hal yang demikian karena berhubungan erat dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan masyarakat Islam zaman Pertengahan.

Proses penilaian pada pondok pasantren ialah setelah santri menyelesaikan pendidikannya beberapa tahun di menekuni ilmu dan telah tampak mampu menguasai ilmu tersebut maka dihadapkan pada sidang yang di hadiri oleh para kiyai dan santri senior dan di tanyai tentang ilmu yang sudah di pelajari dengan teknik diskusi atau kajian lisan seperti ilmu falak, bahasa dll. Apabila terdapat kecakapan pada diri santri maka di berikan penghargaan dengan memberikan hak mengajarkan ilmu-ilmunnya, berfatwa dll.[29]

Sebuah lembaga dapat dikatakan pondok pasantren apabila didalamnya terdapat paling sedikit lima komponen yaitu kiyai, santri, pengajian, asrama dan masjid dengan segala aktivitas pendidikan keagamaan dan kemasyarakatannya. Yang menjadi cikal bakal berdirinya pondok pesantren adalah kiyai[30] pesantren yang telah muncul sekitar 500 tahun yang lalu dapat berdiri tegak dengan kukuh dengan menyeimbangi diri mengikuti percepatan globalisasi hingga mengasilkan pesantren yang modren dengan berbagai macam pengkolaborasian materi dan metode pembelajaran yang diadobsi dari sekolah dan madrasah hingga muncul berbagai macam bentuk pesanren.

Namun dengan segala kemajuan di atas, sejarah pesantren tidak dapat kita lupakan ketika pesantren pertama sekali masuk dalam sistem pendidikan nasional. Ketika Departemen Agama dibentuk tahun 1946 setahun setelah kemeredekaan, dalam tahun-tahun pertama Departemen Agama membuat divisi khusus yang menangani pendidikan agama di sekolah umum dan pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren).[31] Namun perhatian pemerintah yang begitu besar di awal kemerdekaan yang dilandasi dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BP KNIP tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika Undang-undang Pendidikan Nasional pertama, yaitu UU Nomor 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun 1954 diundangkan, masalah pesantren ataupun madrasah tidak dimasukkan sama sekali, yang ada hanyalah masalah pendidikan agama di sekolah umum dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar, yang berdampak, madrasah dan pesantren dianggap diluar system, padahal, pada tanggal 27 Desember 1945 BP KNIP dalam rapatnya merekomendasikan agar pesantren mendapat perhatian, tuntunan, dan bantuan material dari pemerintah. Seiring dengan waktu, pesantrenpun akhirnya di akui sebagai salah satu pendidikan Islam di Indonesia.

Setelah masa orde baru, pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan keagamaan yang telah diakui keberadaannya secara hukum. Dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, pendidikan pesantren termasuk jenis pendidikan keagamaan yang diatur pada pasal 30 yang terdiri dari (5) ayat. Pada pasal 30 dinyatakan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. (5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Dari penjelasan undang-undang di atas, jelas bahwa jenis pendidikan keagamaan salah satunya adalah pesantren. Selain itu, peranan pesantren dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat, pasantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan saja, tetapi juga sebagai lembaga pemberdayaan umat merupakan petunjuk yang amat berarti bahwa pondok pasantren sebagai sarana bagi pengembangan potensi dan pemberdayaan umat, pondok pasantren dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat bahwa disini tempat yang tepat untuk menempa ahlak dan budi pekerti yang baik sehingga pada masyarakat tertentu terdapat kecendrungan memberikan kepercayaan pendidikan hanya kepada pondok pasantren, disini juga pondok pasantren pada pembelajarannya melakukan magang di beberapa tempat sebagai fasilitator jadi peranan sumber daya manusia, serta pondok pasanren sebagai agent of development.

Jika melihat potensi yang dihasilkan oleh lulusan pondok pesantren bisa di katakan cukup bagus dengan hubungan sosial namun sangat di sayangkan pada era percepatan teknologi ini para lulusan dari pondok pesantren sangat sedikit yang terserap pada jenjang pendidikan selanjutnya dan pada lapangan kerja yang menuntut kedalaman ilmu umum khususnya di bidang ilmu teknologi sehingga masyarakat beralih untuk memilih pendidikan umum sebagai pendidikan anaknya hingga berdampak pondok pesantren yang semakin minim santrinya khususnya pesantren salafiah[32]. Tidak hanya itu perhatian pemerintah juga tidak sebanding dengan pendidikan umum lainnya baik pengadaan sarana dan prasarana maupun alokasi dana yang di kucurkan kepada pondok pesantren yang sangat minim, ditambah dengan kualitas para pengajar yang sangat minim. sehingga citra pondok pasantren di nomor duakan khususnya bagi masyarakat ekonomi ke atas (sudut pandang pasantren salafiah).

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan, bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa perubahan dan inprovisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang menyusun kurikulumnya, berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya. Tidak dinafikan bahwa beberapa pondok pasantren modren yang sudah mengadopsi kurikulum pemerintah dengan memasukkan materi pelajaran umum dan teknologi tanpa menghilangkan dan tetap menomor satukan pembelajaran keagamaan yang sudah dikolaborasi dengan sedemikian rupa untuk menghadapi persaingan tuntutan di era globalisasi saat ini sebut saja Pasantren Gontor, pasantren al-Amin, yang sudah sangat tersohor di seluruh pendengaran masyarakat akan kualitas out put yang dihasilkan sehingga dapat bersaing dengan sekolah umum lainnya.

3. Pendidikan Islam Bertaraf Internasional (PIBI)

Dewasa ini perkembangan di bidang teknologi dan komunikasi tidak memiliki batas yang jelas, selalu menciptakan inovasi-inovasi baru yang sangat mutakhir. Umat Islam sekarang ini berada dalam kondisi yang menyedihkan terhadap pengembangan dan pengusaan sains dan teknologi, sehingga umat Islam menjadi kelompok yang terbelakang. Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan semakin berkembangnya model-model pendidikan dan tantangan globalisasi. Harus diakui bahwa model pendidikan Islam di Indonesia jauh dari kata memuaskan, baik dari segi kualitas kurikulum maupun kualitas lulusannya.[33]

Oleh sebab itu sebuah lembaga pendidikan Islam baik yang tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI) hingga perguruan tinggi (UIN, IAIN, STAIN, PTAI) perlu memiliki kualifikasi tertentu yang bertaraf Internasional. Selain itu harus bisa menciptakan kualitas lulusan yang bukan hanya mampu bersaing dalam globalisasi tetapi juga mampu menciptakan inovasi baru dalam perkembangan globalisasi.

Pada umumnya orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum begitu jelas. Dengan demikian arah pendidikan Islam itu mau dibawa kemana? dan apakah dapat mencapai capaian yang diinginkan. Untuk itu pendidikan Islam harus memiliki kualifikasi yang bertaraf internasional dan ideal agar pendidikan Islam dapat menciptakan lulusan-lulusan yang berkualitas. Masalahnya adalah bagaimana caranya untuk menciptakan lembaga pendidikan Islam yang memenuhi kualifikasi yang bertaraf internasional dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya. Juga mampu bermain dalam pesatnya globalisasi.

Menciptakan lembaga Pendidikan Islam yang memiliki kualifikasi tertentu yang bertaraf internasional serta menciptakan lulusan yang lebih matang dan berkualitas. Dengan adanya kualifikasi tertentu yang bertaraf internasional dalam lembaga pendidikan Islam, diharapkan bisa menciptakan pendidikan Islam yang ideal serta menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dalam menghadapi tantangan globalisasi. Salah satu program pendidikan yang bertaraf internasional adalah program RSBI, yang mulai menjamur pada sekolah atau madrasah-madrasah Islam.

RSBI merupakan rintisan sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis standar nasional pendidikan atau SNP Indonesia berkualitas internasional dan lulusannya berdaya saing internasional.[34]

Dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasala 50 dijelaskan bahwa: ayat (2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional, dan ayat (3) pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu sekolah pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi sekolah yang bertaraf internasional.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa sekolah bertaraf internasional telah dikuatkan secara hukum UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dengan demikian, pelaksanaan sekolah yang bertaraf internasional pada setiap Pemerintahan Daerah sekurang-kurangnya memiliki satu sekolah yang bertaraf internasional.

Selain itu, sebagaimana telah ditegaskan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah telah menetapkan tiga rencana strategis dalam jangka menengah, yaitu: (1) peningkatan akses dan pemerataan dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan dasar, (2) peningkatan mutu, efisiensi, relevansi, dan peningkatan daya saiang, (3) peningkatan manajemen, akuntabiltas, dan pencitraan publik.

Dalam upaya peningkatan mutu, efiseiensi, relevansi, dan peningkatan daya saing secara nasional dan sekaligus internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, maka telah ditetapkan pentingnya penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional, baik untuk sekolah negeri maupun swasta. Berkaitan dengan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bertaraf internasional ini, maka: (1) pendidikan bertaraf internasional yang bermutu (berkualitas) adalah pendidikan yang mampu mencapai standar mutu nasional dan internasional, (2) pendidikan bertarf internasional yang efisien adalah pendidikan yang menghasilkan standar mutu lulusan optimal (berstandar nasional dan internasional) dengan pembiayaan yang minimal, (3) pendidikan bertaraf internasional juga harus relevan, yaitu bahwa penyelenggaraan pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik, orang tua, masyarakat, kondisi lingkungan, kondisi sekolah, dan kemampuan pemerintah daerahnya (kabupaten/kota dan propinsi); dan (4) pendidikan bertaraf internasional harus memiliki daya saing yang tinggi dalam hal hasil-hasil pendidikan (output dan outcomes), proses dan input sekolah, baik secara nasional maupun internasional.[35]

RSBI atau SBI merupakan kemajuan di dunia pendidikan dengan memperhatikan kualitas pendidikan di mana secara awam ditafsirkan sekolah dengan kualitas lulusan yang mampu menggunakan bahasa inggris khususnya yang sampai saat ini atau bahkan untuk tahun ke depanpun merupakan tolak ukur utama siswa atau seseorang dikatakan mempunyai kemampuan lebih di dunia pendidikan.

Pada dasarnya RSBI dimaksudkan agar mutu pendidikan dapat dimaksimalkan dengan melakukan rintisan sekolah bertaraf internasional dengan menggunakan pengantar bahasa inggris meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa seseorang dalam merintis arah kehidupan sangat ditentukan oleh kemampuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki, di mana sampai saat ini untuk memasuki sekolah yang lebih tinggi dibutuhkan kemampuan lebih atau bahkan untuk memasuki dunia kerja nantinya diutamakan seseorang yang mempunyai berbagai keahlian dan kemampuan. Salah satu yang sampai saat ini yang sangat penting adalah kemampuan menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, dalam arti mampu aktif berbahasa inggris. Lebih-lebih diprasyaratkan adanya sertifikat Toefl yang menjadikan momok bagi sebagian besar lulusan sekolah untuk memasuki dunia kerja. Hal ini tidak mengesampingkan pentingnya kemampuan yang harus dimiliki seseorang seperti komputer, Bahasa Asing yang lain, dan lain-lain.[36]


Daftar Pustaka dan Footnote
  • Abd Halim Soebahar. Pendidikan Islam dan Trend Masa Depan. Jember : Pena Salsabila, 2009.
  • Ainurafiq Dawan dan Ahmad Ta’arif. Manajemen Madrasah Berbasis Pasantren. Yogyakarta: Lista Friska Putra, 2004.
  • Depag RI. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Depag RI, 1996.
  • Depag RI. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005.
  • Depag RI. Undang-undang Republik Indnesia tentang Guru dan Dosen, serta Undang-undang Republik Indnesia tentang SISDIKNAS. Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006.
  • Depag RI. Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru). Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005.
  • Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. Pondok Pasantren dan Madrasah. Jakarta: Departemen agama RI Direktora Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003.
  • Dewan Redaksi. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001.
  • Kartini Kartono. Tujuan Pendidikan Harus Singkron dengan Tujuan Manusia. Bandung: Mandar Maju, 1991.
  • Kementerian Pendidikan Nasional. Panduan Pelaksanaan SMP-RSBI. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2010.
  • Ludmerer KM. Learner-centered medical education. England J. Med 2004.
  • Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 1998.
  • Redja Mudiyaharjo. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Penddidikan pada Umumnya dan Pendididkan di Indonesia.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
  • Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.
  • Suprapto. Peran Masyarakat dalam Pendidikan; Suatu Bahasan Kebijakan Pendidikan.Jakarta: Pelita Pustaka, 2003.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
____________________
[1] Dikutip dari wawancara Menteri Agama saat temu nasional alumni LPI Darul Ulum Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura, Jawa Timur. Penulis alja, http://miislamiyahkalilandak.wordpress.com/2010/05/04/menag-ingin-ciptakan-pendidikan-agama-dan-keagamaan-unggul-dan-berkualitas/. Di unduh tanggal 11 Oktober 2012.

[2] Depag RI, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia(Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), h.5.

[3] Depag RI, Undang-undang Republik Indnesia tentang Guru dan Dosen, serta Undang-undang Republik Indnesia tentang SISDIKNAS (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2006), h.6.

[4] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.294.

[5] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru) (Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005), h.65.

[6] Dikutip dari artikel Prof. Dr. H. Imam Suprayogo (Rektor UIN Malang), Catatan Dari Pertemuan Dengan Kepala MAN se Jawa Timur(http://izaskia.wordpress.com/2010/11/07/beberapa-catatan-dari-pertemuan-dengan-kepala-man-se-jawa-timur/#more-1572). Di unduh tanggal 11 Oktober 2012.

[7] Dikutip dari internet dalam http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=980:09-05-2009&catid=25:artikel-rektor. Di unduh tanggal 10 Oktober 2012.

[8] Ibid.

[9] Di kutip dari buku Abd Halim Soebahar dengan beberapa tambahan oleh penulis. Abd. Halim Soebahar, Pendidikan Islam dan Trend Masa Depan (Jember : Pena Salsabila, 2009).

[10] Artikel ini dikutip dari internet. Artikel ini ditulis oleh H. Yuyun Yuningsih, S.Ag, Program Pengembangan Raudhatul Athfal (Ra) (Dibuat untuk Perlombaan KEPSEK RA se-JawaBarat).

[11] Oleh El Chumaedi, Pendidikan Islam dan PembangunanMasyarakat Relijius dalam internet http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=pendisdanpembangunan, di unduh tanggal 09 Oktober 2012.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] http://www.wikipedia.com

[15] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h.120-121.

[16] Depag RI, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Depag RI, 1996), h.675.

[17] Redja Mudiyaharjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Penddidikan pada Umumnya dan Pendididkan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.11.

[18] UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[19] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), h.9.

[20] Ibid.,h.676.

[21] Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan Harus Singkron dengan Tujuan Manusia (Bandung: Mandar Maju, 1991), h.11.

[22] Suprapto, Peran Masyarakat dalam Pendidikan; Suatu Bahasan Kebijakan Pendidikan (Jakarta: Pelita Pustaka, 2003), h.39.

[23] Ludmerer KM, Learner-centered medical education (England J. Med 2004), h.1163-1164.

[24] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pasantren dan Madrasah (Jakarta: Departemen agama RI Direktora Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003), h.96.

[25] Dikutip dari artikel internet dalam http://taimullah.wordpress.com/2010/02/13/sejarah-peran-dan-perkembangan-pesantren/.

[26] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok .., , h.29.

[27] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok .., , h.32.

[28] Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok .., , h.39.

[29] Ainurafiq Dawan dan Ahmad Ta’arif, Manajemen Madrasah Berbasis Pasantren (Yogyakarta: Lista Friska Putra, 2004), h.103.

[30] Ainurafiq Dawan & Ahmad Ta’arif, Manajemen…, h.97.

[31] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.293.

[32] Pesantren Salafiah; salaf artinya lama atau tradisional yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik yang berbahasa Arab tanpa diberikan pengetahuan umum. Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pondok Pasantren ., h.31.

[33] Lihat artikel internet dalam http://mgmppaismpta.com/2011/12/kualifikasi-bertaraf-internasional-di-lembaga-pendidikan-islam/.

[34] Dikutip dari internet dalam http://stellamarisserpong.worpress.com/2009/03/13/pengertian-rsbi/

[35] Kementerian Pendidikan Nasional, Panduan Pelaksanaan SMP-RSBI (Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2010), h.1.

[36] Dikutip dari artikel internet dalam http://stellamarisserpong.worpress.com/2009/03/13/pengertian-rsbi/.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar