Makalah Peradaban dan Kebudayaan
PENDAHULUAN
Istilah mengenai ‘peradaban’ merupakan sebuah istilah yang tidak asing dalam sejarah kehidupan manusia. Sejarah peradaban manusia pada dasarnya dimulai sejak awal kehidupan manusia di bumi ini. Ia memiliki banyak defenisi dalam berbagai variasinya, tergantung dari sudut mana orang mendefenisikan kata peradaban itu. Konsep mengenai peradaban biasanya selalu dipertentangkan dengan konsep ‘barbarisme’ atau dalam bahasa Islam disebut ‘zaman jahiliyah’. Peradaban juga sering dikaitkan dengan ‘tidak tersosialisasikannya nilai-nilai yang merangsang timbulnya pencerahan dalam suatu masyarakat’. Antitesis dari peradaban ternyata bukanlah konsep mengenai sebuah “masyarakat atau negara yang tak tercerahkan,” melainkan lebih merupakan fenomena etnis dan antropologis yang terjadi pada suatu masyarakat, baik pada masyarakat primitif atau yang terjadi pada masyarakat modern.
Pengertian di atas bisa dicari pembenarannya melalui rekonstruksi sejarah peradaban bangsa-bangsa bahkan jauh sebelum datangnya agama Islam. Lebih kurang 3000 sebelum masehi misalnya, dunia menyaksikan kelahiran dan pertumbuhan bangsa Sumeria. Konon itulah komunitas pertama manusia yang berhasil membangun kota, mengatasi luapan sungai Dajlah dan Furat. Merekalah yang pertama menggunakan weluku dan bajak secara intensif untuk menggarap tanah pertanian. Masih pada masa yang kurang lebih sama, berkembang pula sebuah bangsa yang berambut keriting, berbibir tebal dan bermata agak sipit, tinggal di tepi sungai Shindu, di daratan Anak Benua Asia. Pusat kebudayaannya terletak di kota Mahenjro Daro (kini terletak di daerah Pakistan), ditemukan bekas reruntuhan kota, seperti struktur bangunan, jalan dan rumah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat kota.
Kurang lebih pada 2000 SM, di lembah sungai Eufrat dan Tigris muncul kebudayaan Babilonia Awal dengan rajanya yang terkenal bernama Hammurabi. Di wilayah Asia Kecil tercatat pula pernah muncul peradaban bangsa Hatti (Hethit) kurang lebih dari tahun 1700-1400 SM. Bangsa Persia yang menjadi nenek moyang bangsa Iran saat ini, membangun peradabannya sejak 2500 SM. Bangsa Arya melakukan migrasi besar-besaran kurang lebih pada tahun 2000-1500 SM ke daratan India yang kemudian mengembangkan peradabannya di wilayah itu. Dari bangsa Aryalah, konon kepercayaan Hinduisme berasal dan kemudian dikembangkan.[1]
Pada masa sekarang ini, peradaban-peradaban itu telah runtuh. Kalau pun ada yang tersisa, seperti Persia, Mesir, Yahudi, Cina ataupun Arya, maka ia sudah pasti melebur ke dalam perubahan total yang terjadi tidak hanya pada tingkat material maupun sosial saja, melainkan juga pada tingkat mental-kognitif yang dialami oleh masyarakat bangsa itu. Hal ini adalah akibat dari intervensi dari munculnya ‘peradaban baru’ yang datang belakangan dan dengan kuat memberikan pengaruhnya terhadap peradaban-peradaban klasik itu. Peradaban-peradaban kuno tersebut pada akhirnya harus menerima kenyataan sebagai peradaban yang terkalahkan oleh peradaban yang lebih kuat dan maju dibanding peradaban yang mereka miliki. Dari hal itu dapat diketahui bahwa sebuah peradaban akan dapat dikalahkan oleh peradaban lain yang lebih besar dan kuat. Selain itu, sebuah peradaban tidak hanya diukur dari unsur-unsur material yang kongkrit saja, tetapi yang lebih penting bahwa sebuah peradaban dapat memproyeksikan dan menyebarluasan paham-paham dan ide-ide ke dalam cara berfikir dan pola hidup yang secara tak terelakkan dapat mereduksi nilai-nilai dan tradisi asli dari bangsa yang menerima peradaban itu.
PEMBAHASAN
A. Peradaban dan Kebudayaan
Para penulis dan pemikir telah banyak memberikan teori mengenai peradaban. Malik Bennabi menuliskan ‘civilization is the sum total those moral and material means that enable a society to provide each of it's members with all the social service needed for him to progress’.[2] (Peradaban merupakan keseluruhan total dari unsur material dan moral yang memungkinkan suatu masyarakat untuk menyediakan masing-masing anggotanya dengan semua layanan sosial yang diperlukan untuk mencapai kemajuan). Sementara menurut Huntington, peradaban adalah suatu entitas budaya.[3] Ia dipahami sebagai entitas sosial yang sangat besar dan komprehensif yang timbul melebihi individu, keluarga, atau bahkan negara. Secara panjang lebar Huntington menuliskan:
“Desa-desa, daerah-daerah, kelompok-kelompok keagamaan, semuanya mempunyai budaya yang berbeda-beda pada tingkat keragaman budaya yang berbeda-beda pula. Budaya di Italia Selatan mungkin berbeda dari budaya Italia Utara, tapi keduanya sama-sama berbudaya Italia sehingga membedakan mereka dari desa-desa di Jerman. Masyarakat Eropa yang berbeda-beda itu mempunyai budaya yang sama, yaitu budaya Barat, yang membedakan mereka dari masyarakat Arab atau Cina. Karena itu, suatu peradaban adalah pengelompokan tertinggi dari orang-orang dan tingkat identitas budaya yang paling luas yang dimiliki orang sehingga membedakannya dari spesies lainnya. Ia dibatasi oleh unsur-unsur objektif berupa bahasa, sejarah, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga; dan juga dibatasi oleh unsur subjektif, yaitu identifikasi-diri dari orang-orang itu. Masyarakat mempunyai tingkatan identitas: penduduk Roma mungkin mendefenisikan dirinya dengan derajad intensitas yang bervariasi sebagai orang Romawi, Italia, Katolik, Kristen, Eropa, dan akhirnya Barat.
Peradaban adalah tingkat identifikasi yang paling luas yang dimiliki orang, dan dengan perdaban itu ia mengidentifikasi dirinya secara intens. Orang-orang atau bangsa-bangsa bisa dan dapat melakukan redefenisi identitas mereka. Karena redefenisi ini, komposisi dan batas-batas peradaban dapat berubah. Peradaban bisa mencakup sejumlah besar orang atau masyarakat, misalnya Cina (Suatu peradaban yang menjadi negara), atau sejumlah kecil orang atau masyarakat, seperti orang-orang Caribia Anglophone. Suatu perdaban bisa mencakup sejumlah negara-bangsa, seperti peradaban Barat, Latin Amerika dan Arab, atau hanya satu, misalnya peradaban Jepang atau Cina.
Peradaban-peradaban jelas bercampur-aduk dan tumpang tindih, dan bisa mencakup sub-peradaban: Arab, Turki, dan Melayu. Peradaban merupakan entitas yang jelas, dan kalaupun garis-garis pemisah antara peradaban-peradaban itu biasanya tidak tajam, tetapi nyata. Peradaban-peradaban itu dinamis, mengalami pasang dan surut, bisa terpilah-pilah dan memencar. Seperti dikatakan para ahli sejarah, peradaban-peradaban menghilang dan terkubur zaman. Perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tapi juga mendasar. Peradaban terbedakan oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting lagi, agama. Perbedaan peradaban melahirkan perbedaan dalam memandang hubungan manusia dengan Tuhan, individu dan kelompok, warga dan negara, orang tua dan anak, suami dan istri, hak dan kewajiban, kebebasan dan kekuasaan, dan kesejajaran atau kesamaan dan hirarki. Perbedaan ini hasil proses berabad-abad. Mereka tidak mudah hilang, dan jauh lebih mendasar daripada ideologi atau rezim politik. Perbedaan tidak mesti melahirkan konflik, dan konflik tidak dengan sendirinya melahirkan kekerasan. Tapi selama berabad-abad, perbedaan telah menimbulkan konflik yang paling keras dan lama”.[4]
Istilah peradaban sering juga diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan ‘Kebudayaan’. Sementara ‘kebudayaan’ dalam bahasa Arab adalah al-saqafah (Inggris: culture). Dalam ilmu Antropologi, kedua istilah ini jelas dibedakan. Menurut Koentjaraningrat,[5] kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Adapun Istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus dan indah. Menurutnya, peradaban sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Kalau kebudayaan lebih banyak direflksikan dengan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terrefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.[6]
Pernyataan Koentjaraningrat di atas, sebenarnya bertentangan dengan konsepsi yang dikemukakan Huntington sebelumya. Koentjaraningrat telah memasukkan konsep peradaban ke dalam kebudayaan dan menyatakan bahwa peradaban sebuah masyarakat lebih tercermin pada sistem teknologi, politik, ekonomi, seni bangunan, seni rupa, dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks. Jadi baginya, peradaban adalah bagian dari kebudayaan. Sementara Huntington menyatakan bahwa peradaban adalah sekumpulan budaya-budaya dan merupakan identifikasi pada tingkat tertinggi dari suatu bangsa atau masyarakat. Dari hal tersebut dapat dinilai bahwa konsep peradaban itu bisa bertentangan dan tidak bersesuaian. Hal ini lebih disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dalam melihat konsep peradaban tersebut. jika Koentjaraningrat mendefenisikan peradaban dari sudut pandang antropologi, maka Huntington melihatnya dari sudut pandang politik.
Yusuf al-Qardawi, seorang ulama modern Mesir, cenderung menyamakan kebudayaan dengan peradaban, konsep kebudayaan atau peradaban menurutnya adalah berbagai pemikiran, pengetahuan dan pencapaian yang dicampur dengan nilai-nilai, keyakinan dan perasaan yang sering disebut dengan akhlak dan ibadah, adab dan perilaku, juga ilmu pengetahuan, berbagai jenis seni, serta hal-hal yang bersifat materi dan spiritual.[7]
Pada awal pendahuluan telah disebutkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang berkaitan dengan defenisi peradaban. Kita mendapati beberapa Ilmuan dan pemikir ternyata memiliki konsep-konsep yang berbeda mengenai peradaban. Di sisi lain juga ditemukan para ahli yang membedakan kebudayaan dengan peradaban, ataupun sebaliknya, menyamakan kedua konsep tersebut. Terlepas dari persoalan-persoalan di atas, suatu hal yang mungkin dapat menyeragamkan pemikiran kita mengenai konsep peradaban adalah bahwa sebuah peradaban itu dibentuk oleh teori pengetahuannya, atau dengan kata lain disebut epistimologi. Epistimologi begitu penting dalam mengatur segala aspek studi tentang manusia, mulai dari filsafat, ilmu pengetahuan murni, hingga ilmu-ilmu sosial.[8] Sementara ide utama tentang sejarah kebudayaan, yakni apa yang menjadi nilai instrinsik dalam sejarah manusia dan apa yang telah dihasilkan manusia dalam hal kepercayaan, sistem pemikiran, bentuk dan intuisi seni, dan bahwa setiap fase sejarah ditandai oleh semangat tertentu, seperti halnya dengan semua produk kebudayaan yang mempunyai kesamaan satu sama lain dan merupakan manifestasi dari realitas yang sama.[9] Peradaban atau kebudayaan manusia tidak bisa dilepaskan dan diawali oleh perubahan yang terjadi dalam sistem pemikiran, epistemologi, kepercayaan dan nilai-nilai instrinsik lainnya, sehingga akhirnya memunculkan suatu peradaban dan kebudayaan tertentu pada suatu masyarakat atau bangsa. Jadi, hal terpenting dari sebuah peradaban bukanlah diukur dari aspek yang bersifat lahiriyah, seperti struktur bangunan dan teknologi, namun aspek-aspek batiniyah atau nilai-nilai instrinsik, seperti sistem kepercayaan, sistem pemikiran, epistemologi, dan agama adalah sebagai motor penggerak utama bagi munculnya sebuah peradaban.
1. Islam Sebagai Agama Yang Melahirkan Peradaban
Sudah diyakini dan disepakati bersama bahwa agama Islam itu memunculkan sebuah peradaban yang disebut ‘peradaban Islam’. Perkembangan peradaban Islam, berjalan secara beriringan dengan perkembangan agama Islam yang di awali pada saat kelahirannya di Jazirah Arab. Landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam, terutama dalam wujud idenya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi, dalam Islam, agama bukanlah kebudayaan atau peradaban, tetapi melahirkan kebudayaan dan peradaban.
Agama Islam yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw, telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Islam dengan cepat bergerak mengembangkan dunia, mengembangkan suatu dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya bersumber dari peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. H.A.R. Gibb di dalam bukunya Whither Islam menyatakan, “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization”. (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah sistem kepercayaan (agama), ia adalah sebuah peradaban yang sempurna).[10] Karena yang menjadi pokok kekuatan dan sebab timbulnya kebudayaan adalah agama Islam, kebudayaan yang ditimbulkannya dinamakan kebudayaan atau peradaban Islam.
Dalam pengembangan peradaban Muslim pertama, ilmu pengetahuan memiliki pengaruh yang sangat besar. Para sarjana Muslim pertama telah memberikan sejumlah pemikiran-pemikiran dan sumbangan ilmu pengetahuan yang hebat sekali pada seluruh level masyarakat. Bagi mereka, sebuah peradaban Islam tanpa ilmu pengetahuan tidak dapat dibayangkan akan seperti apa, sementara dalam agama Islam telah diterangkan dengan jelas betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam membangun sebuah peradaban yang luhur dan maju.
Demikianlah Islam membangun masyarakat Arab yang jahiliyah menjadi masyarakat yang memiliki peradaban yang tinggi dan luhur. Agama Islam tidak hanya berisi sebuah konsep yang menuntun manusia untuk dapat mengenal dan dekat kepada Tuhan. Tetapi lebih dari itu, ajaran Islam memiliki memiliki konsep-konsep yang dapat mengantarkan manusia dalam pencapaian tujuan di dunia dan akhirat. Sebagai landasan dan pedoman hidup, agama Islam menuntun manusia untuk membangun sebuah peradaban yang dapat menjadikan manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, sebagai khalifah yang dapat mengatur dan melaksanakan amanat-amanat yang telah dibebankan atas dirinya. Dengan begitu, manusia pada dasarnya telah menjalankan fitrahnya yang hakiki.
Al-Faruqi dalam bukunya yang berjudul Tauhid: Its Implications for Thought and Life, menyebutkan: “Dalam dimensi sosial, Islam sungguh unik di antara peradaban-peradaban dan agama-agama dunia yang pernah diketahui. Berlawanan dengan agama-agama di dunia, Islam menggambarkan dirinya sebagai seluruh urusan kehidupan, seluruh ruang-waktu, seluruh proses sejarah yang tidak salah, yang baik dan yang diinginkan dengan sendirinya sebab ia adalah menjadi ciptaan, dan hadiah dari Tuhan.[11]
Banyak penulis-penulis Barat yang mengidentikkan kebudayaan dan peradaban Islam dengan ‘kebudayaan Arab’ atau ‘peradaban Arab’. Untuk masa klasik, pendapat ini mungkin dapat dibenarkan, meskipun sebenarnya antara ‘Islam’ dan ‘Arab’ tetap bisa dibedakan. Karena pada masa itu pusat pemerintahan hanya satu dan untuk beberapa abad sangat kuat. Peran bangsa Arab di dalamnya sangat dominan. Semua wilayah kekuasaan Islam menggunakan bahasa yang satu, yaitu bahasa Arab, sebagai bahasa administrasi. Akan tetapi pada masa sesudahnya, yaitu pada periode pertengahan dan modern, sudah terdapat kebudayaan-kebudayaan dan peradaban-peradaban Islam. Walaupun pada masa pertengahan umat Islam masih memandang bahwa tanah airnya adalah satu, yaitu wilayah kekuasaan Islam dan agama masih dilihat sebagai tanah air dan kewarganegaraan. Tetapi setelah terjadi disintegrasi kekuatan politik Islam ke dalam beberapa kerajaan yang wilayahnya sangat luas, juga terjadi pergeseran nilai-nilai. Kebudayaan dan peradaban Islam tidak lagi diekspresikan melalui satu bahasa. Bahasa administrasi Islam sudah berbeda-beda, seperti Persia, Turki, Urdu di India, dan Melayu di Asia Tenggara. Bahkan, peran Arab kini sudah jauh menurun.
DAFTAR PUSTAKA
- Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, Cet.25, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002
- Albert Hourani, Islam Dalam Pandangan Eropa, Terj. Imam Baihaqi & Ahmad Baidlowi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1970
- Anton Bakker & Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990
- Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, cet.10, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
- Effat al-Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986
- Fauzia Bariun, Malik Bennabi, His Life and Theory of Civilization, Kuala Lumpur: ABIM, 1993
- Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI-Press, 1985
- Ismail Razi Al-Faruqi, Al Tawhid: Its Implications for Thought and Life, (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1992
- Louis Ma’luf, Al-Munjid, Beirut: Dar Al-Masyreq, 1975
- M. Nasir Tamara & Saiful Anwar Hashem, Agama dan Dialog Antar Peradaban, dalam Agama dan Peradaban, dalam: M. Nasir Tamara & Elza Peldi Taher (ed.), Jakarta: Paramadina, 1996
- Mohd. Koharuddin Mohd. Balwi, Peradaban Melayu, Johor Darul Ta’zim: Universiti Teknologi Malaysia, 2005
- Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and Secularism, Delhi: New Crescent Publissing Co, 2002
- Omar Farouk, Muslim Asia Tenggara Dari Sejarah Menuju Kebangkitan Islam, dalam: Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Saiful Muzani (ed.), Jakarta: Pustaka LP3ES, 1993
- Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia, dalam: M. Nasir Tamara & Elza Peldi Taher (ed.), Jakarta: Paramadina, 1996
- Syahrin Harahap, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, (Jakarta: Mulya Istiqomah Press, 2006) h. 41. Anton Bakker & Achmad Charris Zubeir, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990
- Umi Chulsum & Windi Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Kashiko, 2006
- Yusuf Qardawi, Kebudayaan Islam: Eksklusif atau Inklusif, terj. Jasiman (Solo: Era Intermedia, 2001
- Ziauddin Sardar, Masa Depan Peradaban Islam, Alih Bahasa: Mochtar Zoerni & Ach. Hafas Sn, Surabaya: Bina Ilmu, 1985
- Ziauddin Sardar & Merryl Wyn Davies (ed.), Wajah-Wajah Islam, terj. A.E. Priono dan Ade Armando, Bandung: Mizan, 1989
____________________
[1] M. Nasir Tamara &Saiful Anwar Hashem, Agama dan Dialog Antar Peradaban, dalam Agama dan Peradaban, dalam: M. Nasir Tamara & Elza Peldi Taher (ed.), (Jakarta: Paramadina, 1996) h. xiv-xv
[2] Fauzia Bariun, Malik Bennabi, His Life and Theory of Civilization, (Kuala Lumpur: ABIM, 1993) h. 163
[3] Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, Masa Depan Politik Dunia, dalam: M. Nasir Tamara & Elza Peldi Taher (ed.), (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 5
[4] Ibid., h. 6
[5] Yatim, Sejarah……, h. 1-2
[6] Effat al-Syarqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1986), h. 5
[7] Yusuf Qardawi, Kebudayaan Islam: Eksklusif atau Inklusif, terj. Jasiman (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 22
[8] Ziauddin Sardar, Masa Depan Peradaban Islam, Alih Bahasa: Mochtar Zoerni & Ach. Hafas Sn, (Surabaya: Bina Ilmu, 1985) h. 27
[9] Albert Hourani, Islam Dalam Pandangan Eropa, Terj. Imam Baihaqi &Ahmad Baidlowi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1970), hlm. 116
[10] Yatim, Sejarah Peradaban…., hlm. 2
[11] Ismail Razi Al-Faruqi, Al Tawhid: Its Implications for Thought and Life, (Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1992) h. 85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar