Moral Lingkungan Hidup
Judul : Moral Lingkungan Hidup
Penulis : Dr. William Chang, OFMCap
Penerbit : Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2001
Ukuran Buku : 12,5 x 20 cm
Jumlah halaman : 114 halaman
Masalah Lingkungan Hidup Sebagai Masalah Moral
Agus Tridiatno
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Akhir-akhir ini disadari bahwa masalah lingkungan hidup bukan hanya masalah lingkungan fisik manusia. Masalah lingkungan hidup bukan hanya masalah biologis manusia. Tetapi juga masalah moral. Kerusakan alam: erosi, banjir, dan kebakaran hutan dsb. bukan hanya menimbulkan kecemasan bagi nasib hidup manusia ini, tetapi menimbulkan keprihatinan betapa perilaku manusia telah bejat dan rusak. Itulah sebabnya masalah lingkungan hidup menjadi lahan pemikiran para ahli moral.
Moral lingkungan hidup membahas tindakan manusia yang berhubungan dengan tempat tinggalnya dan makhluk-makhluk non-manusia. Moral lingkungan hidup bukanlah cabang moral, seperti moral-medis dan moral bisnis, tetapi perluasan bidang moral (hlm. 37). Moral lingkungan hidup memberikan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan biologis mengenai hubungan manusia dengan tempat tinggalnya dan makhluk ciptaan lainnya (hlm. 34). Pertimbangan-pertimbangan filosofis berarti pertimbangan-pertimbangan yang mendasar, yang sesuai dengan hakikat manusia. Misalnya: manusia adalah makhluk berakal budi, maka ia harus menggunakan akal budinya apabila ingin memutuskan apa yang akan dilakukannya. Manusia adalah makhluk sosial, maka ia harus senantiasa memperhatikan orang lain dan makhluk lain di dalam segala tindakannya. Berkaitan dengan lingkungan hidup, misalnya, kalau manusia akan membabat hutan apakah ia sudah mempertimbangkan banjir yang bisa diakibatkan oleh gundulnya hutan tersebut. Moral memang tidak secara langsung berkaitan dengan observasi terhadap hal-hal praktis. Maka kalau moral ingin menyampaikan pertimbangan-pertimbangan yang praktis, ia harus mendapatkan sumbangan dari ilmu-ilmu lain yang telah membuat observasi-observasi terhadap persoalan-persoalan konkret. Dalam kapasitas yang demikianlah, moral lingkungan hidup dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan biologis.
Cakupan perhatian moral lingkungan hidup meliputi pandangan manusia tentang alam semesta, komunitas moral, dampak dari tindakan manusia, norma-norma moral, dan keputusan politik. Pandangan manusia terhadap alam semesta amat mempengaruhi tindakan manusia di dalam memperlakukan alam semesta. Pandangan manusia yang menganggap diri sebagai penguasa alam, yang mengatasi alam semesta, dan bukan termasuk di dalam salah satu bagian dari alam semesta ini, menyebabkan manusia bertindak sewenang-wenang terhadap alam semesta, yang selanjutnya dapat memunculkan masalah lingkungan hidup. Maka pandangan manusia tentang alam semesta menjadi salah satu lingkup perhatian moral lingkungan hidup. Moral lingkungan hidup juga memperluas komunitas moral, yang mencakup manusia dan ciptaan-ciptaan yang bukan manusia. Pandangan lama menyatakan bahwa manusia hanya bertanggungjawab atas tindakan-tindakakannya yang diarahkan pada sesama manusia, sedangkan tindakan-tindakannya terhadap makhluk yang bukan manusia tidak menjadi tanggungjawabnya. Artinya, manusia dapat berbuat apa saja terhadap makhluk non-manusia. Di samping itu, moral lingkungan hidup juga membahas dampak tindakan manusia terhadap semua makhluk, norma-norma moral yang mengatur tindakan manusia, serta keputusan-keputusan politis yang berdampak bagi manusia dan lingkungan hidupnya. Yang menjadi kriteria pokok bagi keputusan-keputusan politis yang bermoral adalah mengutamakan kesejahteraan umum. Keputusan politis yang mengutamakan kesejahteraan umum sudah semestinya harus adil, baik bagi manusia maupun bagi ciptaan-ciptaan non-manusia. Keputusan politis yang demikianlah yang tidak mendatangkan masalah lingkungan hidup.
Beberapa teori etik dipaparkan di dalam buku ini secara menarik. Pertama adalah Human-centered Ethics, yaitu teori etika yang menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan. Teori ini menitikberatkan pada kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dalam alam semesta ini. Hanya manusialah yang layak dipertimbangkan secara moral (hlm. 42). Artinya, makhluk-makhluk non-manusia harus dikalahkan demi kesejahteraan manusia. Tindakan-tindakan yang buruk yang dikenakan pada makhluk non-manusia tidak merupakan kejahatan moral. Teori etik demikian bercorak antroposentris. Kedua adalah Animal-centered Ethics. Teori kedua ini mencakup pula hewan sebagai makhluk yang mesti mendapatkan pertimbangan moral, meskipun tidak semua hewan mesti diperlakukan secara sama. Ketiga adalah Life-centered Ethics. Teori ini mencakup seluruh kehidupan di alam semesta ini yang mesti mendapatkan pertimbangan secara moral, meskipun tidak semua makhluk memiliki makna moral yang sama. Artinya, setiap tindakan yang dikenakakan pada semua makhluk ciptaan Tuhan harus melewati pertimbangan-pertimbangan moral agar ia dapat disebut tindakan yang baik. Dalam bentuk radikal, Life-centered Ethics menyatakan bahwa semua makhluk hidup memiliki makna moral yang sama. Namun, biasanya yang diterima umum menempatkan makna moral setiap makhluk hidup secara berbeda. Teori terakhir ialah teori nilai intrinsik. Teori ini menyatakan bahwa setiap makhluk hidup memiliki nilai intrinsiknya sendiri-sendiri. Maka tindakan-tindakan memperlakukan setiap makhluk hidup harus mempertimbangkan nilai intrinsik dari tiap makhluk hidup tersebut. Melawan nilai intrinsik yang ada di dalam tiap makhluk hidup berarti tindakan yang "tidak bermoral".
Paradigma Baru
Moral lingkungan hidup menyarankan cara pandang baru tentang posisi manusia di dalam tatanan alam semesta. Cara pandang baru ini tidak lagi menempatkan manusia sebagai penguasa dan pusat dari tatanan alam semesta ini (antroposentrisme). Tetapi manusia adalah salah satu ciptaan Tuhan di dalam alam semesta ini. Semua ciptaan Tuhan di dunia ini memiliki nilai intrinsik sendiri-sendiri, dan masing-masing berhak atas perlakuan sesuai dengan nilai intrinsik tersebut. Cara pandang baru ini juga memperhatikan generasi yang akan datang sebagai generasi yang berhak atas lingkungan hidup yang sehat. Maka krisis lingkungan saat ini merupakan bentuk ketidakbertanggungjawaban generasi sekarang atas generasi yang akan datang. Di dalam arus gerakan kepedulian pada lingkungan hidup, cara pandang baru ini disebut deep ecology. Sedangkan gerakan yang lain disebut shallow ecology yang hanya memperhatikan penyelesaian krisis lingkungan dalam jangka pendek.
Di samping itu moral lingkungan hidup juga menegaskan pentingnya persaudaraan universal antarumat manusia dan antar-semua makhluk. Kenyataan membuktikan bahwa krisis lingkungan hidup disebabkan oleh perilaku diskriminatif dan kurang adil antar manusia. Diskriminasi bangsa yang satu terhadap bangsa yang lain dan ketidakadilan bangsa yang satu terhadap bangsa yang lain akan menimbulkan permusuhan dan peperangan dalam bentuk yang amat luas. Pada gilirannya permusuhan ini akan mendatangkan kerusakan pada lingkungan hidup manusia. Maka penghapusan segala macam bentuk diskriminasi dan menggantinya menjadi persaudaraan universal merupakan jalan terbaik untuk mengatasi krisis lingkungan hidup. Persaudaraan universal ini diharapkan juga mencakup perlakuan yang bertanggungjawab terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan yang bukan manusia.
Paradigma baru ini menyisakan dua persoalan etis yang penting. Pertama, kalau memang setiap ciptaan Tuhan, juga yang non-manusia, memiliki nilai intrinsik dan berhak atas perlakuan sesuai dengan nilai intrinsik tersebut, lantas di manakah transendensi manusia? Apakah manusia sebagai makhluk berakal budi tidak boleh "memanfaatkan" ciptaan lainnya? Pada batas-batas apa manusia boleh mengeksplorasi ciptaan Tuhan lainnya demi pengembangan peradaban dunia ini? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada tanggungjawab moral manusia sendiri. Justru di sini kesulitan itu muncul. Kedua atas dasar apa generasi mendatang mesti menjadi salah satu pertimbangan moral bagi tindakan manusia? Teori tentang hak menyatakan bahwa yang memiliki hak hanyalah makhluk yang "mempunyai kesadaran dan dapat menyebut diri 'aku' bisa dianggap pemilik hak" (Bertens, 1993:206). Itu berarti generasi yang akan datang hanyalah generasi yang imaginatif, yang belum jelas, dan yang belum memiliki hak (hlm 94). Untuk apa memperhatikan generasi yang sama sekali belum jelas? Kalau memang generasi yang akan datang merupakan subjek hak yang potensial dan harus menjadi pertimbangan moral bagi tindakan manusia, sampai batas-batas apa perhatian pada generasi mendatang? Tanpa batas-batas yang jelas, bisa terjadi generasi sekarang melakukan suatu pengorbanan yang tidak jelas bagi generasi yang akan datang. Dua pertanyaan inilah yang tidak secara eksplisit dijawab oleh buku ini, meskipun di sana-sini disinggung jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu (hlm. 95-96). Terlepas dari sedikit kekurangan ini, buku ini amat menarik untuk dibaca karena pemaparannya amat runtut dan jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar