Makalah Periwayatan Hadis Pada Masa Nabi

Assalamualaikum.. Makalah Periwayatan Hadis Pada Masa Nabi.  ini di presentasikan oleh mahasiswa Tafsir Hadis Uin Suska Riau. Pada semester genap. Bagi yang membutuhkan referensi tentang periwayatan hadis ini, dengan senang hati, silahkan di forwad aja, tapi mohon tinggalin jejak di koment dan mohon masukkan URL postingan ke Daftar Pustaka. Semoga bermanfaat. Periwayatan Hadis Pada Masa Nabi

Makalah Periwayatn Hadis Pada Masa Nabi
cover

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kaum muslimin memberikan perhatian yang sangat besar terhadap hadis Nabi. Mereka (para ulama khususnya) sangat bersemangat untuk menghafal, memindahkan dan menyampaikannya sejak masa-masa awal Islam. Di samping itu, mereka juga bersemangat untuk menghimpun dan mengkodifikannya . 
Penghimpunan dan periwayatan hadis dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan beragam bentuknya berdasarkan ka’idah-ka’idah ilmiah yang paling akurat. Suatu hadis tidak akan diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat-syarat yang amat rumit yang telah ditetapkan oleh ulama. 
Ulama tidak meninggalkan sesuatu pun yang berkaitan dengan hadis Rasulullah  kecuali mereka jelaskan. Sampai-sampai ada diantara mereka yang mengatakan: “Ilmu-ilmu hadis itu telah matang sampai terbakar, karena banyaknya pengabdian dan perhatian serius ulama”.
Didalam karya-karyanya ulama telah menjelaskan keilmuan yang berpengaruh besar dalam masalah hadis. Sehingga masing-masing ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan. Sebagai hasil penerapan keilmuan hadis ini, dibuat pengklasifikasian istilah-istilah pembahasan yang lebih khusus , agar masing-masing bisa dikaji secara lebih tuntas.  
Sedangkan dalam pembahasan periwayatan hadis  yang bermuara pada Ulumul Hadis, ia mencakup; Tahammul dan Ada’ hadis, syarat-syarat dan metode-metodenya, dan sebagainya yang menyangkut dalam masalah ini.




B.     RUMUSAN MASALAH

Dalam makalah yang membahas Periwayatan Hadis ini, penyusun bertolak belakang pada rumusan sebagai berikut :
1.      Pengertian Periwayatan Hadis.
2.      Kaifiyah Tahammul Wa Al-Ada.
3.      Perbedaan Riwayat dan Syahadat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Periwayatan Hadis

Dalam bahasa Arab, Kata ar-riwayat  adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti an-naql (penukilan), al-zikir (penyebutan), al-fatl(pintalan), dan al-istiqa (pemberian minum sampai puas).[1]Dan dalam bahasa Indonesia, kata riwayat yang berasal dari bahasa Arab itu mempunyai arti antara lain : cerita, sejarah dan tambo.[2]
Secara istilah, atau menurut ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu pada pada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.[3]
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka ia tidak disebut sebagai orang yang melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis kepada orang lain, tetapi tidak menyebutkan rangkiaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dinyatakan sebagai orang yang melakukan periwayatan hadis.
Fachrur Rahman, dalam bukunya ikhtisar mushthalah al-hadis mendefenisikan periwayatan hadis adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadis oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.[4]
Hadis bersumber dari Nabi Muhammad SAW, yang disebut sebagai shahib ar-riwayah, di-wurud kan kepada sahabat sebagai rawi pertama atau thabaqah pertama dan kemudian thabaqah kedua, tabiin. Dan seterusnya, akhirnya di-tadwin oleh mudawwin sebagai rawi terahir pada diwan.
Jadi, ada tiga unsur yang harus dipenuhi dalam periwayatan hadis, yaitu :
1.      Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis.
2.      Kegiatan menyampaikan hadis tersebut kepada orang lain.
3.      Ketika hadis itu disampaikan, susunan rangkaian periwayatnya disebutkan.
Orang yang melakukan periwayatan hadis dinamai ar-rawi (periwayat), apa yang diriwayatkan disebut dengan al-marwiy, susunan rangkaian periwayatnya dinamai sanad atau biasa juga disebut isnad, dan kalimat yang disebutkan setelah sanaad adalah matn. Seperti hadis yang dicatat oleh para periwayat dan penghimpun hadis, misalnya al-Bukhariy, Muslim dan Abu Dawud, yang mereka catat bukan hanya sabda, perbuatan, taqrir, atau hal ihwal Nabi semata, melainkan juga rangkaian nama-nama periwayatnya (sanaad). Hadis yang dikemukakan secara lengkap matn dan sanaad biasa disebut dengan hadis musnad.

و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَخْطُبُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَكْذِبُوا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ يَكْذِبْ عَلَيَّ يَلِجْ النَّارَ رواه مسلم

Artinya : Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu'bah (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshur dari Rib'i bin Hirasy bahwasanya dia mendengar Ali berkhuthbah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian berdusta atas namaku, karena siapa yang berdusta atas namaku niscaya dia masuk neraka." HR. Muslim[5]
Hubugan yang terjadi antara periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad  adalah hubungan penerimaan dan penyampaian riwayat hadis. Kedua kegiatan ini dalam istilah ilmu hadis disebut dengan tahammul wa ada’ al-hadis.[6]
B.     Tata-Tata Cara Penerimaan dan Penyampaian Hadis ( kaifiyah tahammul wa ada’)

1.      Pengertian Tahammul dan Ada’.
·         Definisi tahammul ( تحمل ).
Tahammul, menurut etimologis, adalah menerima , me-nanggung , penerimaan . Tahammul al-hadis ( تحمل الحديث ), menurut terminologis, yaitu suatu kegiatan menerima, mendengar, dan mengambil hadis dari seorang guru (syaikh) dengan menggunakan beberapa metode-metode atau “cara-cara penerimaan hadis” (thuruq at-tahammul).

·          Definisi ada’ ( أداء ).
Ada’, menurut etimologis, adalah penyampaian , menyampaikan atau meriwayatkan . Ada’ al-hadis ( أداء الحديث ), menurut terminologis, yaitu suatu kegiatan menyampaikan dan meriwayatkan hadis kepada orang lain atau muridnya, dengan menggunakan lafadz-lafadz serta “bentuk penyampaian” (shighah al-ada’) yang digunakan oleh ahli hadis . [7]
2.      Syarat-Syarat Tahammul.
Ulama hadis telah membahas syarat-syarat umum sahnya seorang periwayat menerima dan menyampaikan hadis. Dalam hal ini dibedakan antara orang yang menerima hadis dan menyampaikannya.
Jumhur ulama Hadis menetapkan, dalam masalahtahammulul hadis[8] , tentang orang kafir yang menerima hadis sebelum Islam, sesudah itu ia Islam, lalu meriwayatkan Hadis yang ia dengar sebelum Islam, diterima riwayatnya. Diantaranya dalil ada orang kafir yang menerima hadis semasih kekafirannya, lalu meriwayatkan sesudah Islam ialah Jubair ibn Math’im. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Jubair mendengar Nabi SAW, membaca dalam shalatnya surat at-thur. Jubair  datang ke Madinah sebelum masuk Islam.

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قال أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ اِبن شهاب عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قراَ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
Artinya : Abdullah ibn Yusuf telah bercerita kepada kami, dia berkata : Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Ibn Syihab dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im dari bapaknya dia berkata : saya mendengar Rasulullah shallallohu ‘alaihi wa sallam membaca surat “at Thur” di waktu shalat Maghrib[9].

Demikian juga anak kecil dan orang fasiq. Jumhur Ulama berdalil dengan alasan bahwa kebanyakan ulama Islam menerima riwayat-riwayat shahabat  muda, seperti Al-Hasan, Al-Husin, Abdullah ibn Az-Zubair, Ibnu Abbas, An-Na’man ibn Busyair, As-Saib ibn Yazid,  Al-Miswar ibn Makhtamah dan lain-lain.

Dalam hal ini jumhur ulama memberi batasan umur anak kecil yang menerima riwayat, adalah anak kecil yang sudah bagus pendengarannya. Jumhur ulama lain pun berpendapat Menurut nukilan Al-Qadly ‘Iyadh, bahwa ahlul hadis membatasi dengan umur 5 tahun. Ibnush Shalah mengatakan bahwa : “ inilah yang berlaku diantara Ahlul Hadis, yakni menulis hadis yang diriwayatkan anak-anak yang berumur lima tahun”.

Dalil mereka, iyalah riwayat Bukhari dari Mahmud Rabie’ :
عَقَلْتُ مِنَ النَّبِي ص م مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي مِنْ دَلْوٍ وَاَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ
Artinya :  “Aku masih ingat siraman Nabi  dari timba kemukaku, dan aku (ketika itu) berusia lima tahun.”
Kata Allamah Al-Alini dalam syarah Bukhari ; “maksud perkataan Bukhari bagus pendengaran bukan menjadi syarat”.
Namun demikian, para ulama berselisih pendapat shahnya batasan umur anak kecil yang mendengar hadis. Menurut Musa ibn Harun Al-Hammal apabila ia telah dapat membedakan antara lembu dan keledai.  Menurut Ahmad, apabila ia telah dapat memahami sesuatu.

Menurut Yahya ibn Ma’in, sekurang-kurang umur untuk menerima hadis ialah 15 tahun, karena Ibnu Umar ditolak oleh Nabi Muhammad untuk ikut dalam peperangan Uhud, sewaktu itu Ibnu Umar masih dalam umur 15 tahun.

Sebagai kesimpulan dari perselisihan itu, batasan umur anak kecil yang diterima hadisnya adalah : tamyiz, idrak, dan faham. Apabila ketiga itu telah ada dalam diri anak kecil sebelum berumur 15 tahun, diterimalah hadisnya.[10]

3.      Syarat-syarat ada’ (menyampaikan hadis).
Semua ulama Hadis, Ushul dan Fiqh, mensyaratkan untuk orang yang dapat kita berhujjah dengan riwayatnya, baik ia laki-laki maupun perempuan, syaratnya tersebut adalah:

a.       Beragama Islam.
Dengan dalil :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y`7,Å$sù :*t6t^Î/(#þqãY¨t6tGsùbr& (#qç7ŠÅÁè?$JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã$tB óOçFù=yèsùtûüÏBÏ»tRÇÏÈ  
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. QS. Al-Hujuraat 6.

b.      Sudah Sampai Umur.
Tidak dapat diterima riwayat anak-anak belum sampai umur, mengingat hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dari umar dan Ali :
”diangkat kalam dari tiga orang : dari orang orang gila, yang digagahi akalnya hingga ia sembuh, dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa”.

Para ulama tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil belum menyadi akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil menjadi wali bagi dirinya.

c.       Keadilan
Menurut bahasa adalah : mardli, maqbulusy syahadah. (orang yang diterima kesaksiannya).
Secara istilah, pendapat ulama diantaranya : orang yang terkumpul dalam ketententuan ini ; Islam, Taklif, sejahtera dari sebab-sebab yang merusak muruah dan ke fasikan.[11]
d.      Kedhabitan
تَيَقُظُ الرَّاوِى حِيْنَ تَحَمُّلِهِ وَفَهْمِهِ لِمَا سَمِعَهُ وَحَفِظَهُ لِذَالِكَ مِنْ وَقْتِ التــَّحَمُّلِ اِلَى وَقْتِ اْلاَدَاءِ
“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.” 

Yaitu si perawi itu sadar benar apa yang didengarnya, dan dipahaminya dengan baik, serta dihafalnya sejak ia menerima sampai ia menceritakan kembali pada orang lain. [12]

4.      Cara Penerimaan Dan Penyampaian Hadis.

Pada umumnya, Ulama Hadis membagi kaifiyah tahammul wa ada’ kepada delapan macam. Yaitu :
a.       Sama’ Min Lafazh Asy-Syaikh
Cara sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih menyakinkan tentang terjadinya pengungkapan riwayat. Yakni mendengarkan sendiri perkataan gurunya, baik secara dikte (imlak), atau bukan. Baik dar hafalannya maupun dibaca tulisannya, walaupun mendengar dibalik hijab, asalkan berkeyakinan bahwa suara yang didengar adalah gurunya. Kemudian ia menyampaikan pada orang lain.[13]
Inilah mazhhab jumhur.

Menurut  pendapat Abu Bashtham Syu’bah Ibn Al-Hajjaj : apabila seorang muhaddis menerangkan sesuatu hadis sedang engkau tak melihat mukanya, maka janganlah engkau meriwayatkan hadis itu, karena boleh jadi ia itu syetan yang merupakan diri dengan ahli hadis. Dia berkat : diceritakan kepada kami dan dikhabarkan kepada kami”.

Pendapat ini dibantah oleh jumhur, An-Nawawy menerangkan, bahwa ; “ Para shabat mendengar hadis dari Aisyah dan dari istri-istri Rasul yang lain, yang duduk dibelakang hijab dan mereka sahabat berpegang pada suara”.[14]

b.      Al-Qiraah ‘Ala Asy-Syaikh (‘aradh)
Murid membaca hadis di hadapan gurunya, baik ia sendiri yang menyampaikan maupun ia mendengar dari orang yang meriwayatkannya.

c.       Al-Ijazah
Rekomendasi, yakni seorang ahli hadis membolehkan atau memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: Saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku.

d.      Al-Munawalah
Penyerahan, seorang ahli hadis memberikan sebuah hadis, beberapa hadis, atau sebuah kitab kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya agar sang murid meriwayatkan dari-nya.



e.       Al-Mukatabah
Penulisan, seorang guru/ahli hadis menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadisnya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.

f.        I’lâm Asy-Syeikh
Pemberitahuan guru, maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk meriwayatkan dari padanya. Ulama berbeda pendapat ada yang membolehkan dan ada yang melarangnya

g.      Al-Washiyyah
wasiat, yaitu seorang guru mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Ulama sebagian membolehkan dan yang lain tidak membolehkan.

h.      Al-Wijâdah
penemuan, yaitu seorang rawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syeikh itu, sedangkan hadis-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh siperawi.[15]

C.    Perbedaan Dan Persamaan Riwayat Dengan Syahadah
Kalangan Ulama ada yang menghubungkan dan membandingkan periwayatan hadis dengan kesaksian atau syahadah. Hal ini demengerti, karena periwayatan dan syahadah memiliki beberapa persamaan dan perbedaan.

Namun sebelum memahami persamaan dan perbedaan yang terjadi antara Riwayat dan Syahadat ada baiknya kita mengetahui ta’rif dari keduanya tersebut :


1.      Syahadah
Menurut bahasa, syahadah mempunyai tiga arti :

Pertama, menghadiri atau mendapati. Biasa dikatakan syahida badrun : ia menghadiri peperangan badar, syahidna shalatal ‘ied ; kami menghadiri shalat hari raya.
Abu Ali berkata, makna inilah yang diberikan pada firman Allah :
4 `yJsù yÍky­ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù(
Artinya : Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, QS. Al-Baqarah 185


Kedua, menghabarkan. Biasa dikatakan syahida bikadza indal hakimi : dia terangkan begini dimuka hakim.
Ketiga, mengetahui. [16]
Dan secara istilah adalah : “suatu khabar yang khusus, dimaksudkan untuk menjadi dasar putusan hakim”. Demikian menurut Al-Mazari dalam syarah Al-Burhan. Menurut Ibnu Faris : “menghabarkan yang disaksikan”.

2.      Riwayat
Adapun pengertian riwayat secara bahasa sudah di jelaskan dalam Bab satu. Dan secara istilah : “khabar yang umum yang dimaksudkan untuk menerangkan, dalil dari suatu hokum syar’I”. [17]

a.       Persamaan Riwayat dan Syahadah
Persamaan keduanya terletak pada empat hal, yakni, bahwa baik dalam periwayatan dan syahadah pelakunya haruslah :
1.      Beragama Islam
2.      Berstatus mukallaf  (baligh dan berakal)
3.      Bersifat adil
4.      Bersifat dhabit.
Keempat ini berkaitan langsung dengan syarat syahnya pribadi periwayat atau saksi (syahadah).[18]

b.      Perbedaan Riwayat dan Syahadah
Adapun dalam masalah ini, Syuhudi Ismail menerangkan perbedaan yang terjadi antara riwayat dengan syahadah kepada enam macam[19] :
1.      Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba sahaya, sedang saksi haruslah orang yang bersetatus merdeka saja.
2.      Periwayat, untuk berbagai macam peristiwa yang diriwayatkannya, dapat laki-laki maupun wanita. Sedangkan saksi, untuk peristiwa-peristiwa tertentu harus laki-laki.
3.      Periwayat boleh orang yang buta matanya, asalkan pendengarannya baik. Sedangkan saksi tidak diperkenankan bermata buta.
4.      Periwayat boleh memiliki hubungan keketabatan dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya, sedang saksi tidak sah bila memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang diberikan kesaksian perkaranya.
5.      Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan sahnya periwayatan, sedang saksi untuk peristiwa-peristiwa tertentu haruslah lebih dari satu.
6.      Periwayat dapat saja mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya, sedang saksi dengan orang yang disebutkan dalam peristiwa yang disaksikannya tidak boleh ada permusuhan.

BAB III
A.    KESIMPULAN
Secara istilah, atau menurut ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu pada pada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Persamaan riwayat dengan syahadah :
1.      Beragama Islam
2.      Berstatus mukallaf  (baligh dan berakal)
3.      Bersifat adil
4.      Bersifat dhabit.
Perbedaan riwayat dengan syahadah :
1.      Periwayat boleh berstatus merdeka atau hamba sahaya, sedang saksi haruslah orang yang bersetatus merdeka saja.
2.      Periwayat, untuk berbagai macam peristiwa yang diriwayatkannya, dapat laki-laki maupun wanita. Sedangkan saksi, untuk peristiwa-peristiwa tertentu harus laki-laki.
3.      Periwayat boleh orang yang buta matanya, asalkan pendengarannya baik. Sedangkan saksi tidak diperkenankan bermata buta.
4.      Periwayat boleh memiliki hubungan keketabatan dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya, sedang saksi sebaliknya.
5.      Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan sahnya periwayatan, sedang saksi untuk peristiwa-peristiwa tertentu haruslah lebih dari satu.
6.      Periwayat dapat saja mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya, sedang saksi sebaliknya.

B.     SARAN
Akhirnya penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan belum sempurna, untuk itu segala bentuk kritikan dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan tulisan ini, sangat penulis harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, Bandung; Pustaka Setia
Hasbi Ash-Shadieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,jilid II, Jakarta; Bulan Bintang
Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah, Beirut; Dar al-Masyriq
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Dan Hadis, Jakarta; PT Bulan Bintang
Maktabah syamilah
W.J.S Poerwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka


[1]Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah,(Beirut; Dar al-Masyriq) hlm. 289
[2]W.J.S Poerwadarminta, kamus umum bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka) hlm. 829
[3]M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Dan Hadis, (Jakarta; PT Bulan Bintang) hlm. 23
[4]Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis, ( Bandung; Pustaka Setia) hlm. 84
[5]Shahih Muslim kitab mukaddimah hadis ke dua
[6]M. Syhudi Ismail, Opcit, hlm. 56
[8]Hasbi Ash-Shadieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis,jilid II, (Jakarta; Bulan Bintang) hlm. 38
[9] Shahih Bukhari no. 4854
[10]Hasbi Ash-Shadieqy, opcit. Hlm. 40
[11]Hasbi Ash-Shadieqy, opcit. Hlm. 32
[12]Ibid  Hlm. 42
[13]Badri Khaeruman, opcit. Hlm. 85
[14]Hasbi Ash-Shadieqy, opcit. Hlm. 42
[15]Badri Khaeruman, opcit. Hlm. 85
[16]Hasbi Ash-Shadieqy, opcit. Hlm. 30
[17]Ibid, hlm. 31
[18]Syhudi Ismail. Opcit. Hlm. 24
[19]Ibid. 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar