Jawara Luhur
Jawara Luhur
Di sebuah bukit nan lebat rerimbun pohon : Kuta Agung. Tersebutlah sebuah perguruan beladiri: Jawara luhur. Dulu sekali, perguruan (padepokan) ini amat terkenal, paling tidak se-kerajaan Dayeuhluhur, namanya harum sampai kawedanan Majenang. Singkat cerita, karena fitnah dan hasutan dari salah satu perguruan silat lain (Bahwa Jawara luhur dijadikan ajang pelatihan para pendekar jahat -perampok, pembegal) perguruan ini perlahan memudar pesona, para murid perguruan keluar. Bahkan sampai pada titik menghawatirkan. Yang tersisa tinggal 1 suhu dan 3 murid amat belia. Yang lain berpencar ke perguruan sekitar.
Sang suhu, Rangga Aditura tak lantas putus asa atas kejadian itu. baginya kebenaran tak pernah tertukar, walau seluruh dunia menudingnya salah, jika yang ia lakukan adalah kebenaran ia tak gentar. Fitnah itu tak membuatnya berkesah.
3 Murid tersisa berlatih dengan keras, 4 tahun berlalu, mereka lulus.
Petambahan murid di jawara luhur amat lambat, setiap tahun hanya ada 2-4 orang pendaftar. Kontras dengan perguruan lain di bukit seberang. Perguruan Haur Bakti, setiap tahun menerima hampir 100 murid.
Tahun ke 7 setelah fitnah itu Jawara luhur masih sepi. Total murid yang lulus hanya 10 orang. Sebuah angka yang menggiriskan. Tahun ke-8 dilalui dengan keprihatinan. Bangunan padepokan mulai rapuh, atap alang-alang sudah lapuk. ketika hujan deras, semua basah. Tak tahan cuaca, beberapa murid perguruan sakit keras.
Tak itu saja, tak disangka, sepucut surat dari kerajaan datang. Senopati Anggara meminta padepokan ditutup. Bukan apa, Senopati hanya ingin menggerus kekhawatiran masyarakat, mereka resah mendengar perguruan "Jawara Luhur" masih beroperasi. Padahal, dedengkot perampok paling bengis -Kantra- adalah lulusan "Jawara Luhur".
KI Rangga Aditura bergeming. Ditemuinya senopati Anggara untuk klarifikasi.
"Memang benar, Kantra adalah alumni Jawala luhur. Namun kini status alumninya sudah dicabut. Ia sudah ditegur, diperingatkan, karena melanggar DwiPatra Jawara Luhur : Tulus mengabdi. Abadi pada kebajikan. Memimpin gerombolan perampok jelas-jela melanggar Dwi Patra!" Tegas KI Rangga Aditura.
"Iya. Bisa jadi memang demikian. Tapi tetap saja desas-desus di masyarakat, Jawara Luhur di balik makar itu!?"
"Aih... Aneh... tak ada alasan bagi kami berbuat demikian!"
"Sudahlah, pokoknya tutup padepokan ini. Begini Ki Rangga, kalau Aki mau menutup padepokan itu Kerajaan siap mengangkat Aki jadi dalem istana. Ganti rugi. Bahkan kami bantu membuat padepokan baru!"
"Hmmm... ini tak masuk akal. semua ini benar-benar aneh. Kalau alasannya membuat rakyat resah, kenapa kerajaan tidak menenangkan mereka dengan memberi penjelasan. Buru cecunguk-cecunguk itu. Jawara luhur tak ada setitikpun kaitan dengan mereka. Ecamkan itu!" Ki Rangga Aditura pluang dengan geram. Baginya alasan itu di luar nalar.
Tiba di padepokan ia sendu. Murid-murid yang sakit pulang. Memutuskan keluar. Tabib kampung yang dipaggil Ki rangga tak bisa mengobati mereka. Tinggalah satu murid saja, Aria Pinunggal.
Tapi kenyataan itu tak membuat Ki Rangga patah arang. Ia tetap semangat mengajar Aria Pinunggul. Setiap pagi, sedari kemeriap fajar, Aria pinunggul terus digembleng jurus-jurus. Dialatih gerakan-gerakan beladiri unggul. Siangnya Ki Ranga bekerja di ladang, megolah palawija.
Suatu pagi, seorang Dalem dari Kawedanan Majenang -Bramusti -datang. Ia hendak mendaftarkan putranya, Jambrana untuk masuk padepokan.
"Siapapun berhak masuk padepokan ini, tapi tentu harus melewati syarat. Syarat utamanya, ia nya sendirilah yang punya dorongan masuk padepokan, bukan yang lain. Baik... Jambrana, Kau siap masuk padepokan ini?"
Jambrana menggeleng. sedari tadi ia seperti tertekan.
"Ayolah Ki Rangga, mohon terima dia, dia sudah saya daftarkan di berbagai padepokan, tapi tak ada yang cocok dengannya, saya berharap ia mau berguru disini.'
"Diamlah, akan saya tanyai dulu ia. Jambrana, kalau kau dewasa, kau ingin jadi apa? Jadi Pendekar?" Ki rangga menghampiri Jambrana. Ia merungkut. Takut2 ia menjawab,
"Saya ingin jadi pedagang Ki, Jambrana tak suka berkelahi!"
"Jelas sudah ki sanak. Putramu tak menyukai dunia ini. Padahal ia adalah syarat mutlak masuk Jawara Luhur"
"Ayolah Ki, akan saya bayar berapapun yang aki Minta!"
"Tidak! Janga rusak masa depan anakmu ki sanak. Ia ingin jadi pedagang, Ajari ia berdagang! Lekas pergi"
"Akan saya beri 50 keping emas kalau aki menerima JAmbrana, ayolah!"
"Saya tak habis pikir, siapa sebenarnya yang mau berguru, kau atau anakmu, sudah. Lekas pergi!"
Sang Dalem pergi kecut.
Tahun kesepuluh, tak ada perubahan berarti. Pertambahan murid hanya 2-3 orang. Dobol-dobol atap sudah diperbaiki. Namun padepokan itu masih tetap kusam.Tak ada perbaikan.
Tahun itu, Aria Pinunggul dinyatakan lulus. Tidak seperti murid sebelumnya yang dimintanya menyebar ke berbagai daerah, Aria diminta Ki Rangga tinggal bersamanya. Menemaninya. Sekaligus dididiknya.
Tahun ke-12. Ki Rangga 70 tahun. Saat itu ia mulai rapuh. Angin segar berhembus. Kantra berhasil dibekuk. Lebih melegakan lagi ia mengakui hal sebenarnya. Sejatinya ia menjadi perampok atas bujukan Suhu Utama Haur Mukti. Dulu. Ia sangat iri melihat kemajuan Jawara Luhur. Ia berpikir keras untuk menjatuhkan Jawara Luhur. Fitnah itupun disebar. Ia memperalat -kantra- yang notabene alumni Jawara Luhur untuk menjelek-jelekan citra Jawara Luhur. Dengan iming-iming harta. dan itu berhasil selama 12 tahun. rahasia persekongkolan itu tertutp. Hingga akhirnya, Aria Pinunggul berhasil membekuk Kantra, dan memaksanya mengaku.
tahun itu juga beberapa alumni kembali. Beberapa diantaranya sudah menjadi pimpinan resimen di beberapa kadipaten. Mereka kembali untuk membangun jawara Luhur. Perlahan. Para alumni membawa ide segar perbaikan. Diantaranya manajemen keuangan dan manajemen Sumber daya. Beberapa suhu lain didatangkan. Ki Rangga meneima ide itu dengan terbuka.
Setahun berlalu. Ki Rangga Wafat. Ia tak sempat menyaksikan langsung pemugaran padepokan. Ia tak sempat melihat kembalinya jawara luhur menjadi Jawara dengan ratusan murid. Ia tak sempat melihatnya lewat pandanan mata. Namun ia merasakannya dari alam sana.
***
Tamat.
Maaf jika tulisannya terkesan garing, Ini cerita yang langsung diketik tanpa konsep matang, jadi mohon maklum jika ada yg ngawur. But... sejatinya saya menulis ini tidak hendak bercerita, saya ingin mengajak sahabatn sekalian untuk mengambil ceruk hikmah dari kisah ini.
1. Pertama tentang keteguhan, keistiqomahan. misal kita berorganisasi, Jumlah anggotanya amat sedikit, bisa jadi hanya satu dua orang. Semoga itu tak lantas menyurutkan langkah. terus saja berjalan, dengan segala kekurangan. Bisa jadi memang "Api" itu redup, tapi JANGAN PERNAH MEMBIARKANNYA MATI. Karena jika hanya meredup, esok lusa, bertahun kemudian, semoga saja ada bensin yang akan membesarkan "Kobaran api". Dalam cerita tadi, bensin itu alalah para alumni. Ketika ia dipercikan pada api "walau redup" ia kan memantik kobaran. Sebaliknya jika ia sedari awal sudah mati. Seberapa banyakpun bensin takan pernah bisa mengobarkannnya.
Karenanya, seberapa kecil pun organisasi yang kita bersamai, seberapa terseok-seokpun jalan yang ditempuh. JANGAN BIARKAN IA MATI. Biarkan ia hidup, seredup apapun, semoga nanti ada Bensin yang mengobarkannya.
2. Idealisme penting. Asas dasar tak boleh goyah oleh apapun. Seperti terlukis dalam kisah itu, ketika ki Rangga dihasut Senopati Anggara dan iming-iming Dalem Bramusti. hakikat inti -ruh- tak boleh goyah. Walau demikian modernisasi dan dinamisasi diperbolehkan, seperti tampak pada pembaharuan para alumni jawara luhur.
3. Pentingnya regenenasi. Penyebaran alumni. Biarkan mereka berkarya di bidang adapun yang mereka kuasai. Namun demikian ikat ia dengan simpul hakiki, ikatan ukhuwah, yang bisa jadi tak kasat mata namun terpatri di hati.
4. Bisa jadi kita tidak sempat melihat "kobaran api" besar itu. Kita tak mempermsalahkan itu. tugas utama Kita sekali lagi menjaga lestari "api" itu.
Semoga bermanfaat.
Afwan jika ada yang kurang berkenan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar