Makalah Hubungan Syariat Islam dengan Fiqih
A. Pengertian Syariat Islam dan Hubungannya dengan Fiqh
Hakikat Islam yang disampaikan Muhammad saw tidak berubah, yaitu menyerah diri kepada Allah Ta’ala. Untuk menyelami aplikasinya secara luas dan mendalam dapat dicapai dengan mempelajari syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada Muhammad saw. Wujud syariat ini terungkap dalam firman Allah Ta’ala :
“Kemudian Kami jadikan kamu (hai Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”[1]
Syariat tersebut mengikuti pribadi Muhammad saw lebih dahulu sebelum umatnya. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kepadanya agar mengikutinya dan sebaliknya melarangnya mengikuti pandangan dan sikap manusia yang tidak tahu Allah Ta’ala sehingga tidak mengetahui kebenaran.
B. Pengertian Syariat
Meskipun tafsir kata syariat dalam ayat di atas berbeda-beda, namun mempunyai persamaan dari segi maksudnya. Ibnu Abbas r.a. menafsirkannya dengan petunjuk yang jelas. Qatadah menafsirkannya dengan ketentuan-ketentuan, batasan-batasan, perintah dan larangan. Ibnu Zaid menafsirkannya dengan din (agama).[2] Fakhrurrozi menafsirkannya dalam bentuk definisi yaitu :
“Apa-apa yang ditetapkan Allah Swt atas para mukallaf (orang yang wajib melaksanakan hukum Allah Ta’ala) supaya mereka ikuti.”[3]
Keterangan-keterangan tersebut di atas tidak bertentangan, tetapi pengertian syariat yang dikemukakan Fakhrurrazi lebih jelas dan telah dirumuskan dalam bentuk definisi.
At Thahanawi juga mengemukakan definisi yang sama, yaitu :
“Syari’at ialah hukum-hukum yang disyari’atkan Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya yang disampaikan oleh salah seorang nabi dari nabi-nabi (sallallahu ‘alaihim dan sallallahu ‘ala nabiyyina wa sallam), baik hukum-hukum tersebut mengenai amal perbuatan ………… maupun mengenai akidah.”[4]
Pengertian atau definisi syariah di atas adalah umum. Ia bukan saja pengertian syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada Rasul-Nya Muhammad saw., tetapi bahkan pengertian semua syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada para rasul sebelum Muhammad saw.
C. Syariat-Syariat Yang Berbeda-beda
Sebagaimana kita ketahui Al Quran menginformasikan bahwa Allah Ta’ala memberikan pula syari’at kepada rasul-rasul sebelum Muhammad saw, seperti kepada Musa a.s. dan Isa a.s.
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.”[5]
Ini menunjukkan bahwa masing-masing Rasul diberi syariat. Dengan demikian kata syari’at merupakan istilah umum, tidak terbatas pada syariat yang ditetapkan Allah Swt buat Rasul-Nya Muhammad saw saja.
Informsi lain yang dipahami dari ayat di atas ialah bahwa syariat yang diberikan Allah kepada Rasul-rasul-Nya dan umat-umat mereka dapat berbeda. Bagi Taurat ada syari’at, bagi Injil ada syari’at dan bagi Al Qur’an ada pula syari’at.[6]
Oleh karena terdapat perbedaan-perbedaan, maka mayoritas ahli hukum Islam memandang informasi ayat ini mengandung isyarat dari Allah Ta’ala bahwa masing-masing syariat berdiri sendiri, sehingga syariat yang diberikan Allah Ta’ala kepada rasul-Nya sebelumnya tidak mengikat rasul yang datang kemudian.[7]
D. Kerangka Umum Syariat Bagi Muhammad saw
Syari’at Islam yang ditetapkan Allah Swt bagi Rasul-Nya Muhammad saw mencakup tiga bidang hukum yang sangat luas, yaitu (1) hukum-hukum mengenai akidah (kepercayaan), (2) hukum-hukum mengenai amal perbuatan, dan (3) hukum-hukum mengenai akhlak (moral). Ada yang mempersempitnya menjadi dua bidang hukum saja, dengan menggabungkan bagian kedua dan ketiga menjadi satu, mengingat akhlak (moral) termasuk amal perbuatan.
Allah Ta’ala memberlakukan hukum-hukum tersebut pada manusia untuk mewujudkan perbaikan-perbaikan dalam masyarakat manusia sendiri dan demi kepentingan masyarakat manusia pula.
Dr. Musthafa Ahmad Az Zarqa’ membagi perbaikan-perbaikan tersebut kepada tiga bagian pokok, yaitu :
1. Membebaskan akal manusia dari belenggu taklid (mengikuti begitu saja tanpa memahami dasarnya) dan khurafat.
Caranya ialah menanamkan akidah dan iman kepada Allah YME serta membimbing akal manusia agar selalu mengacu kepada dalil (dasar) dan berpikir berdasarkan ilmu pengetahuan yang luas dan terbuka.
2. Memperbaiki jiwa maupun akhlak individu, membimbingnya ke arah kebaikan, mendorongnya melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan atas dirinya dan tidak tenggelam dalam syahwat dan ambisinya, dan mengendalikan akal pikirannya sehingga tidak menajdi penghambat pelaksanaan tugas kewajiban yang dipikulnya.
Caranya ialah setiap individu didorong agar mengamalkan dan menunaikan ibadat-ibadat yang sah. Ibadat-ibadat tersebut senantiasa mengingatkannya akan Penciptanya. Begitu juga setiap individu diberi informasi tentang akan adanya pahala dan sanksi di akhirat. Sehingga setiap individu yang beriman senantiasa mengontrol amal perbuatannya agar tidak melalaikan kewajiban-kewajibannya.
3. Memperbaiki kehidupan masyarakat.
Caranya ialah menjelmakan keamanan dan keadilan serta perlindungan atas kemerdekaan masyarakat dalam batas-batas yang wajar, begitu juga melindungi kehormatan (harga diri) manusia melalui suatu sistem hukum menyangkut kepentingan individu maupun masyarakat, politik maupun pemerintahan yang mencakup semua asas hukum yang diperlukan untuk :
- Menegakkan kehidupan masyarakat dalam suatu negara.
- Mengatur hubungan-hubungan antara sesama anggota masyarakat dan hubungan antara anggota masyarakat dengan pihak penguasa.
- Serta melindungi hak-hak khusus bagi individu dan hak-hak umum bagi masyarakat.
Dari tiga tujuan Syari’at Islam tersebut di atas menjadi jelaslah makna syari’at dan menjadi jelas pula tiga unsur yang menjadi asas bagi syari’ay Islam yaitu akidah, ibadat dan hukum dan pengadilan. Sehingga menjadi jelas kebenaran kesimpulan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama dan negara.[8]
Bidang akidah dibahas dalam ilmu tersendiri yaitu ilmu kalam (ilmu tauhid). Bidang ibadat dan hukum dan pengadilan dibahas dalam yang tersendiri pula yaitu ilmu fiqh.
D. Hubungan Syariat dan Fiqh
Penerapan syariat Islam dalam masyarakat melahirkan fiqh. Antara fiqh dan syariat mempunyai hubungan yang sangat erat, karena sesungguhnya fiqh tetap berpijak pada syariat. Fiqh merupakan tuntutan yang harus timbul dan sukar dielakkan dalam pelaksanaan syariat. Hubungan antara fiqh dan syariat tersebut diungkapkan para faqih dalam pengertian (definisi) fiqh, sebagaimana akan diuraikan.
Karena itu menguasai pengertian (definisi) fiqh akan mempermudah upaya memahami beberapa hal, di antaranya :
- Hakikat fiqh
- Ruang lingkup pembahasan fiqh
- Posisi fiqh secara tepat dan lebih mendalam
- Cara lahirnya fiqh
REFERENSI
[1] QS.Al Jaatsiyah ayat 18
[2] Ath Thabari, Jami’ Al Bayan, (Kairo : Dar Al Ma’arif, 1954), cet. ke II, XXII hal. 146-147
[3] Fakhrurrazi, At Tafsir Al Kabir, (Teheran : Dar Al Kutub Al ‘Ilmiyah), cet. ke II, hal. 12
[4] Dr. Muh. Yusuf Musa, Al Fiqh Al Islami, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah, 1954), hal 8
[5] QS. Al Maaidah ayat 48
[6] Fakhrurrazi, loc.cit.
[7] ibid
[8] Lih. Dr. Musthafa Ahmad Az-Zarqa’, Al Madkhal Al Fiqhi Al ‘Am, (Damaskus : Al Adib, 1967-1968), I, hal. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar