Makalah Belajar Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Hadis
Pendahuluan
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting karena tanpa melalui pendidikan, proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan sulit untuk diwujudkan. Demikian juga dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Oleh karena itu Islam menekankan akan pentingnya belajar baik melalui aktivitas membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini.
Belajar adalah suatu aktifitas di mana terdapat sebuah proses dari tidak tahu menjadi tahu, tidak mengerti menjadi mengerti, tidak bisa menjadi bisa untuk mencapai hasil yang optimal. Jadi belajar merupakan perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Oleh karena itu belajar dapat disimpulkan sebagai suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu.
Islam memandang manusia sebagai mahluk yang dilahirkan dalam kaadaan fitrah atau suci, Tuhan memberi potensi yang bersifat jasmaniah dan rohaniah yang didalamnya terdapat bakat untuk belajar dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan mansia itu sendiri.
Al-Qur’an merupakan Firman Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai pedoman bagi manusia dalam menata kehidupannya, agar memperoleh kebahagiaan lahir dan bathin, dunia dan akhirat. Konsep-konsep yang dibawa Al-Qur’an selalu relevan dengan problema yang dihadapi manusia, karena ia turun untuk berdialog dengan setiap umat yang ditemuinya, sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problema yang dihadapinya, kapan dan dimanapun mereka berada.
Malakah ini akan menganalisis konsep belajar dalam perspektif al-Qur’an dan Hadis Nabi saw, mencakup dasar hukum dan karakterintiknya.
PEMBAHASAN
A. Keniscayaan Belajar
Pandangan al-Qur’an terhadap aktivitas pembelajaran, antara lain dapat dilihat dalam kandungan ayat 31-33 al-Baqarah:
وعلم ءادم الأسماء كلها ثم عرضهم على الملائكة فقال أنبئوني بأسماء هؤلاء إن كنتم صادقين(31)قالوا سبحانك لا علم لنا إلا ما علمتنا إنك أنت العليم الحكيم(32)قال ياآدم أنبئهم بأسمائهم فلما أنبأهم بأسمائهم قال ألم أقل لكم إني أعلم غيب السموات والأرض وأعلم ما تبدون وما كنتم تكتمون(33)البقرة
Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!"
Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?"
Menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, ayat ini menginformasikan bahwa manusia dianugrahi ALLAH potensi untuk mengetahui nama-nama atau fungsi dan karakteristik benda-benda, misalnya fungsi api, angin dan sebagainya. Dan ia juga dianugrahi untuk berbahasa. Itulah sebabnya maka pengajaran bagi anak-anak bukanlah dimulai melalui pengajaran “kata kerja”, tetapi terlebih dahulu mengenal nama-nama . Ini ayah, Ibu, anak, pena, buku danlain sebagainya.[1]
Senada dengan penjelasan di atas, Prof. H. Ramayulis, menyatakan bahwa Allah telah mengajarkan berbagai konsep dan pengertian serta memperkenalkan kepada nabi Adam AS sejumlah nama-nama benda alam (termasuk lingkungan) sebagai salah satu sumber pengetahuan, yang dapat diungkapkan melalui bahasa. Dengan demikian maka Nabi Adam berarti telah diajarkan menangkap konsep dan memaparkannya kepada pihak lain. Dus, Nabi Adam AS pada saat itu telah menguasai symbol sebagai saran berfikir (termasuk menganalisis), dan dengan simbul itu ia bisda berkomunikasi menerina tranformasi pengetahuan, ilmu, internalisasi nilai dan sekaligus melakukan telaah ilmiah.[2]
Jadi proses pembelajaran Nabi Adam (manusia pada saat awal kehadirannya) telah sampai pada tahap praekplorasi fenomena alam, dengan pengetahuan mengenali sifat, karakteristik dan perilaku alam. Hal ini bisa kita perhatikan pernyataan ayat 31 al-Maidah:
فَبَعَثَ اللَّهُ غُرَابًا يَبْحَثُ فِي الْأَرْضِ لِيُرِيَهُ كَيْفَ يُوَارِي سَوْءَةَ أَخِيهِ قَالَ يَا وَيْلَتَا أَعَجَزْتُ أَنْ أَكُونَ مِثْلَ هَذَا الْغُرَابِ فَأُوَارِيَ سَوْءَةَ أَخِي فَأَصْبَحَ مِنَ النَّادِمِينَ (31)المائدة
Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal.
Sebagian mufassir menjelaskan bahwa setelah “Qobil”[3] mengamati apa yang dilakukan oleh burung gagak dan mendapatkan pelajaran darinya, dia berkata:” Aduhai celaka besar, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak itu, lalu menguburkan mayat saudaraku (untuk menutupi bau busuk yang ditimbulkannya)?. Karena itu dia menjadi orang yang menyesal akibat kebodohannya, kecuali sesudah belajar dari peristiwa gagak.[4] Peristiwa ini menjadi indikasi bahwa telah terjadi proses pembelajaran melalui fenomena alam, dengan pengetahuan mengenali sifat, karakteristik dan perilaku alam
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar dan pembelajaran merupakan aktivitas yang melekat secara inhern dalam diri manusia. Sebagai hamba Allah yang ditugasi sebagai khalifah di bumi, manusi tidak bisa tidak pasti terlibat secara alamiah dengan pembelajaran. Jadi ayat tersebut terkait erat dengan ayat sebelumnya, yaitu bahwa Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifahNya di muka bumi. Atas alasan inilah maka manusia dianugrahi potensi untuk belajar dan mengajar sebagai bagian tak terpisah dengan tugas yang diembannya. Oleh karena itu Islam sebagai agama menegaskan bahwa belajar merupakan kewajiban bagi setiap muslim, sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw.
حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ شِنْظِيرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ ».ابن ماجه
Berangkat dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa manusia yang tidak terdorong untuk belajar(mendapatkan kebnaran), pada dasarnya adalah mengingkari watak alamiyahnya, karena belajar itu hakikatnya merupakan kebutuhan asasi manusia. Dorongan ini ada dalam diri manusia untuk menemukan berbagai hakikat sebagaimana adanya. Artinya manusia ingin mendapatkan pengetahuan tentang alam dan wujud benda-benda dalam kaadaan sesungguhnya. Teori ini diperkuat dengan salah satu do’a Nabi saw.,
“Ya Allah perlihatkan kepadaku segala sesuatu sebagaimana yang sesungguhnya ada”.[5]
Kecenderungan manusia terhadap filsafat adalah bagian dari kecenderungan mengetahui berbagai hakikat. Oleh sebab itu dorongan mencari kebenaran ini sering pula disebut sebagai kesadaran filosofis. Dorongan ini muncul karena dalam diri manusia terdapat fitrah, dan karena itu pula manusia dapat menerima rangkaian pengetahuan dari luar. Dalam bahasa Arab menalar disebut dengan al-idrak . Artinya adalah naik tangga dan sampai.. Berdasar pengertian ini para failosof menyebut orang yang mencari sesuatu dan menemukannya dengan istilah Innahu qad adrakahu. Orang ahli psikologi menyebut dorongan ini dengan istilah “dorongan ingin tahu”.[6]
Pendapat para ahli, menyatakan bahwa dorongan ingin tahu mulai muncul pada diri anak sejak mereka berumur antara dua tahun setengah, atau tiga tahun. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh sang anak. Jika orang tua tidak pandai menyikapi, maka perkembangan kemampuan ini bisa terhambat, dan akan merusak pertumbuhan kecerdasan anak bersangkutan.[7]
Oleh karena itu supaya dapat mengembangkan diri secara optimal maka secara berkelanjutan manusia senantiasa belajar untuk mendapatkan kebenaran demi kebahagiaan dan cita-citanya. Inilah salah satu alasannya mengapa Allah menyatakan bahwa antara orang yang berilmu dengan yang tak berilmu tidak boleh disamakan. sebab hanya orang yang berilmulah yang dapat mengambil pelajaran, sehingga ia dapat mengambil manfaat dari peoses kehidupan ini. Tugas kekhalifahan akan mecapai sukses jika didukung dengan ilmu.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الأَلْبَابِ" (الزمر/ 9)
Sukses mengemban amanat tersebut sering wujud dengan perasaan bahagia. Maka dalam konteks ini, Rasulullah menegaskan dalam salah satu haditsnya bahwa siapa saja yang terus berproses dalam belajar mencari pengetahuan dan ilmu, maka Allah akan menunjukkan kemudahan mencapai “surga”. Statemen Rasulullah ini sekarang menjadi semboyan bahwa ilmu dan tehnologi menawarkan kenyamanan hidup.
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَاءِ وَالأَرْضِ حَتَّى الْحِيتَانِ فِى الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَمَاءَ هُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ ».ابن ماجه
B. Karakteristik belajar
اقرأ باسم ربك الذي خلق(1)خلق الإنسان من علق(2)اقرأ وربك الأكرم(3)الذي علم بالقلم(4)علم الإنسان ما لم يعلم(5) العلق
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari makna ini lahir beragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik teks tulis maupun tidak tertulis. Ayat ini tidak menjelaskan obyek yang harus dibaca. Ini berarti al-Qur’an menghendaki umat yang beriman kepadanya supaya membaca seluruh fenomena alam ini, selama pembacaan tersebut dilakukan “bismi Rabbik”, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Obyek pembacaan bisa berupa alam semesta, tanda-tanda zaman, sejarah maupun diri sendiri.[8]
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa untuk mendapatkan kecakapan membaca dan wawasan yang baru, maka proses pembacaan harus dilakukan secara berulang-ulang. Kontiunitas pembacaan haruslah tetap dalam kerangka bismi Rabbik (Demikian pesan dari pernyataan Iqra’ wa Rabbuka al-Akram). Selanjutnya diperoleh isyarat pula bahwa cara memperoleh hasil belajar/ ilmu dapat ditempuh melalui dua model. Cara pertama pembelajaran dengan alat (pena) yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan cara kedua dengan pembelajaran tampa alat dan tampa usaha manusia. Walaupun berbeda, namun ke dua cara itu sama-sama bersumber dati Allah.
Dalam konteks proses pembacaan dengan landasan “bismi Rabbik ini”, maka landasan iman hendaknya dijadikan sebagai tumpuan utama. Dengan begitu maka motivasi belajar akan selalu diniatkan karena mejalankan perintah Allah (ikhlas) dan ilmu yang diperopleh senantiasa diorientasikan kepada kemaslahatan mansia. Ilmu dan teknologi memberi banyak manfaat dan menawarkan kenyamanan hidup, sedangkan iman memberikan arah dan makna hidup. Perapaduan keduanya akan mengantar manusia menempati predikat unggul, sebab hidupnya mendapat ridla Allah dan senantiasa memberi manfaat pada orang lain. Sebagaimana diisyaratkan ayat 11 al-Mujadalah:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Selanjutnya sebagai konsekuensi logis dari paradigma “1qra’ bismi Rabbik” tersebut, maka dalam proses pembelajaran , manusia harus melibatkan seluruh patensi yang dimiliki, potensi akal fikiran, perasaan/intuisi dan hati sekaligus. Sebab menurut al-Qur’an, seorang yang memiliki ilmu haruslah memiliki sifat dan ciri khasyat, takut dan kagum kepad Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Fathir 28:
إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور(28)الفاطر
Oleh karena itu maka pembelajaran yang dilakukan oleh Rasulullah bukan hanya sekedar mencerdaskan akal fikiran manusia, tetapi sekaligus melakukan proses tazkiyah, sebagaimana ditegaskan ayat 2 al-Jum’at:
هو الذي بعث في الأميين رسولا منهم يتلو عليهم ءاياته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين(2)
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, Muhahammad Abduh memahami bahwa misi Nabi Muhammad saw adalah membacakan ayat kauniyah yang menunjukkan kekuasaan Allah, kebijaksanaan dan keesaanNya; membersihkan jiwa dari keyakinan yang sesat, kekotoran akhlak dan lain-lain yang meraja lela pada jaman jahiliyah; mengajar tulis menulis dengan pena, membebaskan meraka dari keterbelakangan untuk meraih peradaban yang unggul; mengajarkan rahasia persoalan agama, pengetahuan hokum, kemaslahatan dan cara pengamalannya.[9]
Oleh karena itu menurut al-Qur’an, semboyan ilmu hanya untuk ilmu, atau belajar hanya untuk pengembangan ilmu, tidak dikenal sama sekali. Ilmu pengetahuan/ belajar dalam perspektif al-quran tidak bebas nilai, tetapi harus memiliki nilai ilahiyah (transenden); dikembangkan sebagai bagian dari ibadah kepada Allah dan diorientasikan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kemanusiaan. Itulah sebabnya maka kaum muslimin dilarang oleh Rasulullah saw untuk berfikir dan berbuat hal-hal yang tidak berguna, dan sebaliknya didorong untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana dalah hadist Nabi saw.
أخبرنا يزيد بن سنان قال حدثنا عبد الرحمن بن مهدي قال أنبأنا سفيان عن أبي سنان عن عبد الله بن أبي الهذيل عن عبد الله بن عمروأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يتعوذ من أربع من علم لا ينفع ومن قلب لا يخشع ودعاء لا يسمع ونفس لا تشبع- النسائي في السنن الكبرى
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « اللَّهُمَّ انْفَعْنِى بِمَا عَلَّمْتَنِى وَعَلِّمْنِى مَا يَنْفَعُنِى وَزِدْنِى عِلْمًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ عَذَابِ النَّارِ » ابن ماجه
Selanjutnya dari hadits dan ayat ayat di atas dapat dipahami pula bahwa bagian penting dari proses belajar adalah kemampuan individu untuk memproduksi hasil belajarnya menjadi hal-hal yang bermanfaat. Hal ini bisa dikaitkan dengan kemampuan Nabi Adam AS menyubutkan nama-nama kepada Malaikat. Demikian juga kemampuan Qabil untuk menguburkan jenazah saudaranya yang telah dibunuh. Jadi belajar harus membuahkan perubahan kea rah yang lebih baik. Dengan demikian maka proses belajar menjadi wahana untuk memiliki kemampuan memilih.
Daftar Pustaka
- Quraish Shihab, Prof, Dr, Tafsi al-Mishbah , Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Pisangan Ciputat: Lentera Hati, 2010)
- H. Ramayulis, Prof. Dr. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002)
- Murtadla Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (terj.) , ( Jakarta : Lentera, 2002 ),
- M. Quraish Sjhihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998) h. 433
________________
[1] Lihat Quraish Shihab, Prof, Dr, Tafsi al-Mishbah , Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Pisangan Ciputat: Lentera Hati, 2010) Vol. I h, 176-177
[2] H. Ramayulis, Prof. Dr. Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002) hal 21
[3] Qobil putra Nabi Adam AS, yang telah membunuh saudaranya sendiri bernama “Habil”.
[4] Lihat Quraish Shihab, Prof. Dr. Tarsir al-Mishbah…. Vol. hal. 97 dan 98
[5] Terdapat suatu do’a yang senantiasa dibaca kaum muslimin supaya senantiasa dalam kebenaran اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه
[6] Murtadla Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta (terj.) , ( Jakarta : Lentera, 2002 ), hal. 47, 51
[7] Ibid, hal. 53
[8] M. Quraish Sjhihab, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudlu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998) h. 433
[9] Quraish Shihab, Prof. Dr. Tafsir al-Misbah…..Vol. 14, h. 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar