Perlawanan Ulama Melawan Kolonial Abad ke-16-19
Saat proses Islamisasi sudah menorehkan pengaruhnya yang sangat luas, Indonesia masuk kepada babak sejarah selanjutnya: menghadapi kehadiran kolonialisme Eropa. Masuknya penetrasi asing yang diawali dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511, kemudian disusul oleh kedatangan kapal-kapal Spanyol ke Filipina, Kalimantan Utara, Tidore, Bacan dan Jailolo tahun 1521 serta organisasi dagang Belanda yaitu VOC tahun 1602, tidak menyurutkan peran-peran sentral ulama. Selama proses kolonialisasi, bangsa-bangsa Eropa datang silih berganti, untuk menguras kekayaan alam Indonesia melalui penaklukan politik dan ekonomi. Hadirnya kekuasaan asing tentu tidak bisa diterima. Hasil kerja keras ulama mengislamkan penduduk Nusantara dengan damai selama berabad-abad tentu harus dipertahankan. Disinilah, lagi- lagi para ulama menunjukkan taring dan kekuatannya. Ulama tidak hanya mengajarkan agama tapi menanamkan semangat anti penjajahan. Ulama memberikan penyadaran kepada rakyat dan membangunkan harga dirinya bahwa hidup terjajah apalagi dalam kekuasaan “kafir” adalah hidup yang hina. Ulama mengajarkan betapa mahalnya mempertahankan keyakinan dan harga diri kemanusiaan. Hampir semua gerakan perlawanan dan pemberontakan ulama dan para santrinya kepada kolonial Belanda bergaung di bawah panji-panji para ulama dan simbol-simbol keislaman. Melalui penanaman semangat jihad fisabilillah, ulama memproduksi ideologi “anti-kafirisme.”
Maka, pada sejak abad ke-16 perlawanan demi perlawanan mulai ditunjukkan, sejak serangan gagal Pati Unus terhadap Portugis tahun 1513 hingga puncaknya pada abad ke-19 dan pertengahan abad ke-20. Panggung sejarah Indonesia menyaksikan sederetan kisah perjuangan yang diprakarsai, digerakkan dan dipimpin para ulama. Dalam sejarah Jawa, ketika Mataram hanya memikirkan ekspansi kekuasaan termasuk menyerang sentra-sentra perdagangan Muslim, para ulama menjadi pelopor perlawanan terhadap kerajaan yang sedang berkuasa penuh di pulau Jawa itu. Menghadapi meluasnya pengaruh dan perlawanan yang dipimpin para ulama, Raja Mataram, Amangkrat I secara membabi-buta melakukan pembunuhan hingga 5.000–6.000 ulama (Schrieke 1960: 76-77). Dalam The Protest Movements in Rural Java (1978), Sartono Kartodirjo, banyak mengidentifikasi gerakan-geraka protes abad ke-19 yang menyulut peperangan-peperangan besar dalam sejarah Indonesia melawan penindasan kepada para ulama, terutama pada kekuasaan kolonial sebagai “realitas asing” yang tidak bisa diterima. Dalam rentetan gerakan pemberontakan itu, abad ke-19 adalah periode yang paling masif diwarnai perlawanan para ulama seperti dilukiskan Kuntowijoyo berikut ini.
“Pada abad kesembilan belas, Belanda menciptakan lagi cara pemerasan lain, yakni dengan modus produksi kolonial. Sistem Tanam Paksa dimulai tahun 1830; dan masa liberal yang menyusul, tak dapat merubah nasib rakyat sama sekali. Umat pada masa itu menjadi petani tanam paksa di bawah sistem kolonial, yang terus menerus melawan kekuasaan. Pada masa inilah ide perang suci (perang sabil, jihad fi sabilillah) melawan musuh-musuh kafir menjadi panji perlawanan petani. Ideologi mesianistik dengan harapan akan datangnya kehidupan yang lebih baik di bawah pimpinan seorang mesiah atau Ratu Adil, kemudian ide kabangkitan-kembali Islam yang diilhami oleh gerakan Wahhabi di Timur Tengah, serta gerakan pribumi melawan kekuasaan asing yang masuk, telah mewarnai abad kesembilan belas Indonesia. Kebanyakan pemimpin pemmberontakan itu adalah kaum ulama, kiayi atau haji, mereka yang oleh Belanda disebut “kaum fanatik agama.” Umat kemudian menjadi sumber tenaga manusia untuk berbagai pemberontakan. Pesantren-pesantren menjadi tempat persemaian ideologi anti-Belanda. Para kiai memperoleh penghormatan dari para muridnya, hingga mereka mampu memobilisasi penduduk desa untuk melakukan pemberontakan. Para haji yang baru pulang dari Mekah sering mengambil prakarsa untuk pemberontakan, dan Belanda mencoba dengan segala daya untuk memotong pengaruh mereka. Jenis pemimpin yang lain adalah kiai tarikat atau guru persaudaraan sufi” (1999: 150).
Diantara pemberontakan yang paling kolosal dipimpin ulama adalah Perang Jawa. Perang yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825–1830) ini, selama lima tahun telah menyulut perlawanan rakyat hampir di seluruh tanah Jawa. Dalam Babad Diponegoro diceritakan bahwa ia orang yang rajin belajar di beberapa pesantren dan tekun menjalankan perintah agama. Karena keinginannya memperdalam agama, ia ikut neneknya ke Tegalrejo, belajar agama, sastra dan sejarah Jawa. Ia seorang yang gemar melakukan tafakkur. Sebagai seorang yang kuat beragama, Pangeran Diponegoro sering malas datang ke Istana Yogyakarta karena persekongkolan di kalangan istana, kemerosotan moral, pelanggaran agama, gaya hidup Barat yang bebas, sudah sangat merusak kesultanan itu. Tentu, Diponegoro tidak akan berpikiran begitu bila tidak ada kesadaran keulamaan dalam dirinya. Ketika diangkat menjadi sultan, ia digelari “Sultan Ngabdulkamid Herucakra Kabirulmukminina Sayidin Panatagama Kalifatul Rasulullah Hamengkubuwono Senapati Ingalaga Sibilullah ing Tanah Jawa” (Raja adil pertama dari orang mukmin, pengatur agama, khalifah Allah di Jawa) (Steenbrink, 1984: 31). Gelar tinggi “penata agama khalifah Rasulullah” adalah pengakuan kalangan kerajaan kepadanya sebagai ulama. Maka, ia pun merubah penampilan pakaiannya sebagai ulama. Sebagai ulama pula, maka dukungan kiayi dan santri terhadapnya mengalir. Seperti dicatat Peter Carey, Perang Jawa mendapat dukungan dari 108 kiayi, 31 haji, 15 syekh dan 12 pegawai penghulu Yogyakarta dan 4 guru tasawuf (Steenbrink, 1984: 30). Perang ini awalnya melawan kraton Yogyakarta dan Surakarta yang disokong Belanda. Karena disemangati sikap anti kolonial, kemudian akhirnya melawan Belanda yang berkobar hampir di seluruh tanah Jawa.
Perang besar kedua yang dipimpin para tokoh Islam dan ulama adalah perang Aceh. Perang Aceh adalah perang paling lama dan panjang dalam sejarah perlawanan terhadap kolonial Belanda di Indonesia. Perang ini berlangsung beberapa kali dalam kurun waktu sekitar 39 tahun (1873 – 1912). Perang Aceh berawal dari usaha Belanda meluaskan daerah koloninya dan meminta agar Aceh mengakui kedaulatan Belanda, tetapi Aceh menolaknya. Merasa terancam, Kesultanan Aceh meminta bantuan kekhalifahan Turki dan Amerika Serikat. Atas penolakan itu, Belanda menyatakan perang dan menyerbu Aceh pertama kali pada tanggal 5 April 1873 yang merupakan awal peperangan yang berlangsung lama. Rakyat Aceh melakukan perang dengan taktik gerilya yang menyulitkan Belanda. Belanda menghadapinya dengan menggunakan taktik adu domba atau devide et impera (pecah belah) antara para ulama dengan uluebalang. Beberapa uluebalang ada yang membelot dan mengakui kedaulatan Belanda, diantaranya Teukur Umar tapi kemudian balik lagi memusuhi Belanda. Taktik pecah belah yang berhasil melemahkan perlawanan rakyat Aceh yang sudah berlangsung sangat lama dan memakan biaya sangat besar pemerintahan Belanda ini adalah berkat sarannya Snouck Hurgronje. Atas taktik itu, Snouck dipuji dan diakui jasanya oleh pemerintah Belanda dalam melemahkan kekuatan Aceh. Dalam peperangan itu, sejumlah pimpinan Islam sebagai pejuang gugur sebagai pahlawan seperti Teukur Cik Ditiro (1836-1891), Teuku Umar (1854-1899), Cut Nyak Dien (1848-1908), Cut Meutia (1870-1910), Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah yang diasingkan ke Ambon pada 1907. Cut Nyak Dien yang melanjutkan perjuangan suaminya (Teuku Umar) dibuang ke Sumedang dan meninggal disitu.
Selain kedua perang besar itu, Perang Paderi di Sumatera Barat adalah panggung sejarah ulama dalam perlawanan melawan kolonial Belanda. Perang Paderi dipimpin oleh para ulama yang bergelar “Tuanku” yaitu Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai dan Tuanku nan Cerdik, berturut-turut dari tahun 1821 sampai tahun 1837. Selain itu, Perang Sumatera dan Kalimantan (1821 – 1838); Perang Banjarmasin (1857 – 1862) dan seterusnya.
Di Tanah Sunda, meletus juga bebarapa pemberontakan yang dilakukan para ulama. Di Cilegon Banten, terjadi peristiwa pemberontakan kaum santri yang dipimpin para kiayi melawan kolonial Belanda yang meletus pada tanggal 9 Juli 1888. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan peristiwa Geger Cilegon atau Jihad Cilegon. Para kiayi yang memimpin pemberontakan itu adalah Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marjuki, dan Haji Wasid (Kartodirdjo, 1982). Di Cimareme (Cikendal, Leles) Garut terjadi peristiwa perlawanan pada hari Senin, 7 Juli 1919 yang dipimpin oleh Haji Hasan. Keributan dipicu oleh kesewenang-wenangan pemerintah Kolonial dalam menentukan harga padi hasil panen rakyat. Kekecewaan demi kekecewaan terhadap penindasan dan ketidakadilan pemerintah Belanda, memuncak ketika Haji Hasan dan para petani menolak perintah harus menjual padi kepada pemerintah kolonial Belanda dengan harga yang sangat rendah, jauh di bawah pasar. Haji Hasan dikepung oleh 67 orang pasukan serdadu dan polisi, ia dan dan pengikutnya didrel oleh pasukan kompeni. Kerusuhan senjata itu menewaskan Haji Hasan dan empat orang pengikutnya (Suminto, 1986: 71).
Kemudian KH. Yusuf Taujiri, ulama aktifis revolusi kemerdekaan dari Pesantren Cipari Garut, yang beberapa kali ditangkap dan ditahan, karena aktifitas-aktiftasnya yang mengancam pemerintah Belanda dan Jepang. Kemudian, kisah heroik yang dikobarkan ulama pejuang dari Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, KH. Zainal Mustofa. Dari pesantren di sebuah sudut desa, KH. Zainal Mustofa menyerukan perlawanan. Dalam ceramah-ceramahnya, ia selalu mengkritik pemerintah Belanda dan Jepang dengan pedas dan terbuka, menolak melakukan seikerei yaitu hormat tunduk ke arah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika. Oleh keberaniannya ini, sang ulama langganan keluar masuk penjara. Ujungnya, ia dengan para santrinya melakukan pemberontakan kepada pemerintah Jepang pada 25 Februari 1944, yang menelan korban 163 orang meninggal dan luka-luka, termasuk beliau sendiri syahid akibat pemberontakan itu.
Dari uraian di atas nampak, sepanjang masa kolonial yang memuncak pada abad ke-19, perlawanan bersenjata dan penolakan terbuka terhadap pemerintah Belanda hampir seluruhnya dilakukan oleh para ulama, kiayi dan masyarakat pengikutnya (santri, petani dan penduduk desa). Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sebuah ignorance (kebodohan) mempermasalahkan hubungan Islam dengan kebangsaan (nasionalisme). Nasionalisme umat Islam bukan lagi dalam konsep dan slogan-slogan, tapi dalam bukti nyata peperangan bersenjata berkorban nyawa bersimbah darah melawan penjajahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar