Pendidikan matematika realistik (PMR) merupakan suatu pendidikan dalam pembelajaran matematika di Belanda. Penggunaan kata “ realistic” sebenarnya berasal dari bahasa belanda “zich realiseren” yang berati untuk dibayangkan. Penerapan PMR diberbagai negara telah disesuaikan dengan budaya dan kehidupan masyarakat. Karena PMR berawal dari suatu hal yang nyata dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat. Hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa PMR dapat diterima di Indonesia dan dikenal dengan nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Menurut Shadiq (2010:7) menyatakan “PMRI merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang mengungkapkan pengalaman dan kejadian yang dekat dengan siswa sebagai sarana untuk memehamkan persoalan matematika”. Pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik yang dimulai dengan hal-hal yang nyata, dapat dibayangkan, dekat dengan siswa dan lingkungannya. Jadi pendidikan matematika realistik merupakan suatu pendidikan matematika yang lebih menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imagineable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa.
Pendidikan matematika realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa dapat menemukan dan mengkontruksikan konsep-konsep matematika.
a. Prinsip-prinsip Pendidikan Matematika Realistik
Menurut Sofa (2008) Ada tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu: guided reinvention and progressive mathematizing, didactical phenomenology, self-developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
1. Guided reinvention/progressive mathematizing (penemuan kembali terbimbing/pematematikaan progresif)
Prinsip ini menghendaki bahwa dalam PMR, dari masalah kontekstual yang diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelesaikan masalah siswa diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika itu ditemukan. Sebagai sumber inspirasi untuk merancang pembelajaran dengan pendekatan PMR yang menekankan prinsip penemuan kembali (re-invention), dapat digunakan sejarah penemuan konsep/prinsip/rumus matematika.
Menurut penulis, prinsip penemuan ini mengacu pada pandangan kontruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan melalui pemberitahuan dari guru kepada siswa, melainkan siswa sendirilah yang harus mengkontruksi (membangun) sendiri pengetahuan itu melalui kegiatan aktif dalam belajar.
2. Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran)
Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di dalam menentukan suatu masalah kontekstual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah kontekstual itu digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses pematematikaan progresif.
3. Self – developed models (model-model dibangun sendiri).
Menurut prinsip ini, model-model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual, siswa diberi kebebasan untuk membangun sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan. Sebagai konsekuensi dari kebebasan itu, sangat dimungkinkan muncul berbagai model yang dibangun siswa.
Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari re-inventiondan sekaligus menunjukkan bahwa sifat bottom up mulai terjadi. Model-model tersebut diharapkan akan berubah dan mengarah kepada bentuk matematika formal. Dalam PMR diharapkan terjadi urutan pengembangan model belajar yang bottom up.
b. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik
Pendekatan PMR mememiliki beberapa karakteristik yang membedakan dengan pendekatan yang lain. Menurut Treffers (dalam Ariyadi.2012:21) merumuskan lima karakteristik pendidikan matematika realistik, yaitu:
1) Penggunaan Konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.
2) Penggunaan Model untuk Matematisasi Progresif
Dalam pendidikan matematika realistik, model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.
3) Pemanfaatan Hasil Kontruksi Siswa
Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan ada strategi yang bervariasi. Hasil kerja dan kontruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika. Karakteristik ketiga ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa.
4) Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.
5) Keterkaitan
Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep matematiak yang memiliki keterkaitan. Pendidikan matematika realistik menempatkan keterkaitan (intertwinement) antara konsep matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini suatu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka yang dimaksud dengan pembelajaran matematika realistik dalam penelitian ini adalah pendekatan pembelajaran matematika yang memiliki enam prinsip, yaitu: Prinsip guided reinvention and progressive mathematizing, didactical phenomenology, self-developed models. Ketiga prinsip tersebut kemudian dioprasionalkan menjadi lima karakteristik, yaitu: menggunakan masalah konteks dunia nyata sebagai pangkal tolak pembelajaran, menggunakan model matematika yang dikembangkan sendiri oleh siswa, mempertimbangkan kontribusi siswa, mengoptimalkan interaksi siswa dengan siswa, siawa dengan guru, dan siswa dengan sarana pendukung lainnya, dan mempertimbangkan keterkaitan antara topik dalam pembelajaran.
c. Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Menurut Sofa (2008) Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendidikan matematika realistik, adalah sebagai berikut:
1) Langkah pertama: memahami masalah kontekstual, yaitu guru memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siswa untuk memahami masalah tersebut.
2) Langkah kedua: menjelaskan masalah kontekstual, yaitu jika dalam memahami masalah siswa mengalami kesulitan, maka guru menjelaskan situasi dan kondusi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, terbatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami.
3) Langkah ketiga: menyelesaikan masalah kontekstual secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembar kerja siswa mengerjakan soal. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri.
4) Langkah keempat: membandingkan dan mendiskusikan jawaban, yaitu guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban masalah secara berkelompok. Siswa dilatih untuk mengeluarkan ide-ide yang mereka miliki dalam kaitannya dengan interaksi siswa dalam proses belajar untuk mengoptimalkan pembelajaran.
5) Langkah kelima: menyimpulkan, yaitu guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menarik kesimpulan tentang suatu konsep atau prosedur.
d. Kelebihan dan Kerumitan Penerapan Pendidikan Matematika Realistik
Beberapa kelebihan dari Pendidikan Matematika Realistik (PMR) menurut sofa (2008) antara ain sebagai berikut:
1) PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2) PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3) PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
4) PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
Sedangkan menurut sofa (2008) beberapa kerumitan dalam penerapan pendekatan PMR lain sebagai berikut:
1) Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah “jadi”, tetapi sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep-konsep matematika. Guru dipandang lebih sebagai pendamping bagi siswa.
2) Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih lagi karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3) Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru.
4) Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal-soal kontekstual, proses pematematikaan horizontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme, berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep-konsep matematika tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar