*Tere Liye
Karena kalau untuk urusan begini tidak semua orang suka dijadikan contoh, maka saya saja yang dijadikan contoh. Saya, seringkali terperangkap dalam ilusi 'terbaik'. Saya tidak tahu padanan kata yang lebih presisi, tapi kurang lebih itu merujuk pada kenyataan, bahwa saya seringkali merasa lebih baik dibanding orang lain. Merasa lebih superior. Dalam contoh ini, saya gunakan buku2
. Saya merasa lebih baik dibanding penulis2 lainnya. Dibandingkan Kang Abik (Habibburahman El Shirazy) misalnya, maka saya dengan PD membenak dalam hati, "Ah, Kang Abik itu novelnya cuma itu2 saja. Lebih kerenan saya kemana2." Atau dibandingkan Andrea Hirata, maka saya lagi2 membenak dalam hati, "Ah, itu juga sama, hanya itu2 saja novelnya. Tidak ada genre lain." Dibandingkan siapapun, Mbak Dee, Bang Fuad, Bang Dhony, maka saya tetap merasa superior, lebih baik. Ada-ada saja alasan yg berhasil saya temukan, dan senang sekali kalau itu terasa valid. Bersorak dalam hati.
Inilah yang disebut ilusi 'terbaik'. Tentu saja, perasaan lebih baik itu tidak ditunjukkan ke siapapun, karena kalau ditunjukkan maka dia jatuh dalam definisi yang lebih nista lagi. Hanya disimpan dalam hati. Memandang rendah siapapun di sekitar.
Lantas apakah saya lebih baik dibanding Kang Abik atau Bang Andrea Hirata? Jauh panggang dari api. Tidak perlu orang lain membantahnya, dengan akal sehat sendiri, ilusi 'terbaik' ini sirna bagai kabut disiram matahari pagi. Itu hanya perasaan saya saja, ilusi yang diciptakan oleh hati yang dangkal.
My dear anggota page, maka, mari kita kembangkan pemahaman ini. Lihatlah diri kita sendiri, sekitar. Berapa kali ilusi 'terbaik' ini pernah memerangkap kita? Merasa lebih baik dibanding orang lain? Merasa lebih pintar? Merasa punya sekolah/kampus lebih unggul? Merasa punya pekerjaan lebih baik? Merasa tampilan wajah dan fisik lebih baik? Merasa lebih berharta? Dan merasa-merasa lainnya. Memandang sekitar dengan senyum, tapi di dalam hati penuh dengan ilusi 'terbaik'. Merasa pendapat kita lebih unggul. Merasa derajat kita lebih tinggi, merasa lebih jujur, merasa lebih bersih, dsbgnya, dsbgnya.
Dan akan sangat-sangat berbahaya, jika ilusi 'terbaik' ini masuk dalam urusan beragama. Kita merasa paling rajin shalatnya, merasa paling banyak sedekahnya, merasa paling taat pada perintah Tuhan. Lantas memandang rendah siapapun di sekitar kita--padahal jelas mereka saudara se-agama dengan kita sendiri. Berapa sering kita merasa lebih baik dalam urusan ber-agama dibanding orang lain? Berapa sering kita merendahkan saudara se-iman karena melihat tampilan fisik, dan menurut kita orang ini lebih rendah dibanding kita? Berapa kali kita merasa lebih baik dalam urusan beragama dibanding saudara se-agama sendiri?
Ilusi 'terbaik' adalah fatamorgana. Semua orang yang mengalaminya seringkali tidak menyadari telah terperangkap dalam 'pemandangan hebat' tersebut. Maka banyak-banyaklah menghisab diri sendiri, dan terus melatih hati agar tidak bergegas nyeletuk. Kitalah yang mengendalikan hati, akal kita. Bukan sebaliknya, kita dikendalikan, lantas ilusi 'terbaik' itu merembes diperlihatkan ke orang lain, dan kita jatuh pada jurang nista sombong, angkuh, dan penyakit lebih serius lainnya--yang lagi2 tidak kita sadari.
Inilah yang disebut ilusi 'terbaik'. Tentu saja, perasaan lebih baik itu tidak ditunjukkan ke siapapun, karena kalau ditunjukkan maka dia jatuh dalam definisi yang lebih nista lagi. Hanya disimpan dalam hati. Memandang rendah siapapun di sekitar.
Lantas apakah saya lebih baik dibanding Kang Abik atau Bang Andrea Hirata? Jauh panggang dari api. Tidak perlu orang lain membantahnya, dengan akal sehat sendiri, ilusi 'terbaik' ini sirna bagai kabut disiram matahari pagi. Itu hanya perasaan saya saja, ilusi yang diciptakan oleh hati yang dangkal.
My dear anggota page, maka, mari kita kembangkan pemahaman ini. Lihatlah diri kita sendiri, sekitar. Berapa kali ilusi 'terbaik' ini pernah memerangkap kita? Merasa lebih baik dibanding orang lain? Merasa lebih pintar? Merasa punya sekolah/kampus lebih unggul? Merasa punya pekerjaan lebih baik? Merasa tampilan wajah dan fisik lebih baik? Merasa lebih berharta? Dan merasa-merasa lainnya. Memandang sekitar dengan senyum, tapi di dalam hati penuh dengan ilusi 'terbaik'. Merasa pendapat kita lebih unggul. Merasa derajat kita lebih tinggi, merasa lebih jujur, merasa lebih bersih, dsbgnya, dsbgnya.
Dan akan sangat-sangat berbahaya, jika ilusi 'terbaik' ini masuk dalam urusan beragama. Kita merasa paling rajin shalatnya, merasa paling banyak sedekahnya, merasa paling taat pada perintah Tuhan. Lantas memandang rendah siapapun di sekitar kita--padahal jelas mereka saudara se-agama dengan kita sendiri. Berapa sering kita merasa lebih baik dalam urusan ber-agama dibanding orang lain? Berapa sering kita merendahkan saudara se-iman karena melihat tampilan fisik, dan menurut kita orang ini lebih rendah dibanding kita? Berapa kali kita merasa lebih baik dalam urusan beragama dibanding saudara se-agama sendiri?
Ilusi 'terbaik' adalah fatamorgana. Semua orang yang mengalaminya seringkali tidak menyadari telah terperangkap dalam 'pemandangan hebat' tersebut. Maka banyak-banyaklah menghisab diri sendiri, dan terus melatih hati agar tidak bergegas nyeletuk. Kitalah yang mengendalikan hati, akal kita. Bukan sebaliknya, kita dikendalikan, lantas ilusi 'terbaik' itu merembes diperlihatkan ke orang lain, dan kita jatuh pada jurang nista sombong, angkuh, dan penyakit lebih serius lainnya--yang lagi2 tidak kita sadari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar