A. Pendahuluan
Islam merupakan salam satu agama samawi yang meletakkan beberapa nilai kemanusiaan atau hubungan antara personal, interpersonal, dan masyarakat secara agung dan luhur, tidak terdapat perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian yang mengikat seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itulah Islam yang berakar pada kata “Salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan sifatnya yang fitrah. Kedamaian akan hadir jika manusia tersebut menggunakan dorongan diri (Drive) kearah memanusiakan manusia atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bukan hanya unik, tapi juga sempurna. Jika sebaliknya manusia mengikuti hawa nafsu dan tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Allah swt ialah adzab dan kehinaan.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang tidak dapat ditawar, ia hadir seiring tipuan ruh dalam janin manusia dan begitu manusia lahir dalam bentuk manusia, yaitu mempunyai mata, telinga, tangan,kaki dan anggota tubuh yang lainnya sangatlah tergantung terhadap wilayah itu sendiri, baik dari tempat, lingkungan dimana manusia tersebut dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan lingkungan muslim sudah tentu secara akidah akan mempunyai persepsi ketuhanan (iman) yang sama pula, begitupun lingkungan lain yang beragama lain. Inilah yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamaan seorang manusia yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering kali dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat dari berbagai sudut pandang normativitas, melinkan juga dapat dilihat dari historisitas. Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara komperensif dan seyogyanya harus diposisikan sebagai perspektif tanpa menapikan yang lain. Keberagaman yang berbeda (Defersial) antara satu dengan yang lainnya merupakan salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Sebab Islam lahir dengan pondasi keimanan, syari’at, muamalat, dan ihsan. Keimanan ialah inti pemahaman manusia terhadap sang penciptanya. Syari’at ialah jalan menuju penghambaan manusia terhadap Tuhannya, sedangkan muamalat dan ihsan ialah keutamaan manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan harmonis yang bermuara kepada kesalehan sosial. Hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang keberagaman manusia yang berbeda (hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat ialah perbedaan cara pandang (Perspektif) dan sangat tergantung dari manusia itu sendiri yang sudah dikatakan atas sebagai fitrah manusia yang diberikan akan mengarahkan terhadap kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dari konteks ini ialah sebagaimana manusia selain diposisikan terhadap kebenaran transendent juga memahamkan dirinya terhadap kebenaran hubungan antar manusia yang dalam Islam masuk dalam katagori “Ihsan” yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebaikan. Dorongan ihsan itu sendiri akan melahirkan sebuah prilaku, yaitu moral atau etika.
PEMBAHASAN
B. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani Ethos yaitu watak kesusilaan atau kebiasaan. Secara umum etika berkaitan dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa latin “MOS” dalam bentuk jamaknya ialah “Mores” yaitu kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik dan menghindari beberapa hal tindakan yang buruk. Pengertian antara etika dan moral cenderung sama, tapi berbeda dalam peristiwa sehari-hari, sebab moralitas lebih cenderung pada penilaian perbuatan yang dilakukan, tapi etika merupakan sebuah pengkajian dalam sistem nilai yang berlaku. Sedangkan etika dalam bahasa Arab ialah akhlak, yaitu prilaku seseorang dengan budi pekerti.
Aristoteles membagi etika dalam dua faktor yaitu :
- Terminius Techicus, yaitu etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari permasalahan dan perbuatan atau tindakan manusia.
- Manner dan Custom, etika yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan yang melekat dalam kodrat manusia (In Herent In Human Nature) yang terikat dengan pengertian baik dan buruk, atau suatu tingkah laku manusia atau perbuatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.
C. Macam-Macam Etika
Dalam pembahasan etika sebagai suatu ilmu yang menyelidiki kesusialaan, atau sama halnya dengan berbicara moral (Mores) manusia dapat disebut dengan etis yaitu manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi keinginan dalam rangka keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan dari pihak lain, antara rohani dan jasmaninya, atau dengan dirinya sendiri dan Tuhan yang menciptakannya. Hal tersebut juga membahas suatu nilai atau norma yang berkaitan dengan etika, dan dibagi menjadi dua macam etika, sebagai berikut :
1. Etika Deskriptif
Dalam perspektif ini etika lebih pada menelaah secara kritis dan rasional mengenai sikap atau prilaku manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai hal bernilai, yaitu etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.
2. Etika Normatif
Etika yang menetapkan berbagai sikap atau prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan yang bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan beberapa hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang telah disepakati dan telah berlaku dikalangan masyarakat.
Dapat diketahui dari beberapa definisi yang terlah dipaparkan mengenai etika tersebut, maka dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis definisi, yaitu :
- Etika dipandang sebagai suatu cabang filsafat yang khusus membicarakan mengenai nilai baik dan buruk dari perilaku manusia itu sendiri.
- Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik dan buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sehingga definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa terdapat keragaman norma, sebab terdapat ketidak samaan waktu dan tempat, sehingga akhirnya etika menjadi sebuah ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.
- Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik dan buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, tapi cukup dengan informasi yang menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih pada bersifat informatif, direktif dan reflektif.
D. Etika Dalam Perspektif Islam
Etika dalam pandangan Islam ialah suatu kajian kritis rasional mengenai yang baik dan yang buruk, bagaimana halnya dengan teori etika dalam Islam itu sendiri. Etika dalam Islam memiliki antisipasi jauh kedepan dengan dua ciri-ciri utama yaitu. Etika Islam tidak menentang fitrah manusia, dan etika Islam sangatlah rasionalistik. Setelah melakukan sebuah kajian terhadap berbagai teori dan definisi mengenai modernisasi, inkeles membuat rangkuman mengenai sikap modern sebagai berikut, yaitu: kegandrungan menerima gagasan baru dan mencoba metode baru, kesediaan menyatakan pendapat, kepekaan pada waktu dan lebih mementingkan waktu kini, yang akan datang, dan masa lampau. Rasa ketepatan waktu yang lebih baik, keprihatinan yang lebih besar untuk merencanakan organisasi dan efisiensi, kecenderungan memandang dunia sebagai suatu yang dapat dihitung, menghargai ketentuan ilmu dan teknologi, dan keyakinan pada keadilan yang dapat dirasatakan.
Hal ini rasanya tidak perlu lagi dikemukakan bahwa apa yang dikemukakan inkeles dan diklaim sebagai sikap modern yang sejalan dengan erika al-Qur’an. Dalam diskusi mengenai hubungan antara etika dan moral, problem yang seringkali terjadi ialah bagaimana melihat peristiwa moral yang berisifat partikular dan individual dalam perspektif teori etika yang bersifat rasional dan universal. Islam yang mempunyai klaim universal ketika dihayati dan direalisasikan mempunyai kecenderungan menjadi sebuah peristiwa partikular dan individual.
Pendek kata bahwa tindakan moral ialah tindakan konkrit yang bersifat pribadi dan subyekif. Tindakan moral ini akan menjadi pelik ketika dalam waktu dan subyek yang sama akan terjadi konlfik nilai. Misalnya, nilai solidaritas terkadang berbenturan dengan nilai keadilan dan kejujuran. Nah disinilah letaknya kebebasan dan kesabaran moral dan rasionalitas menjadi sangat penting. Yakni bagaimana mempertanggung jawabkan suatu tindakan subyektifitas dalam sebuah kerangka nilai etika obyektif, tindakan mikro dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam kerangka nilai etika obyektif, tindakan miko dalam kerangka etika makro, tindakan lahiriah dalam acuan sikap batin. Dalam perspektif psikologi, manusia terdiri dari tiga unsur penting, yaitu : Ide, Ego dan Superego. Sedangkan dalam pandangan Islam sendiri ketiganya sering dipadankan dengan nafsu amarah, nafsu lawwamah, dan nafsu mutmainnah. Ketiganya merupakan suatu unsur kehidpan yang terdapat dalam manusia yang akan tumbuh berkembang dengan seiringnya zaman. Maka untuk menjaga guna ketiganya berjalan dengan baik, diperlukan edukasi yang diberikan orang tua terhadap anaknya dalam bentuk pemberian muatan etika yang menjadi ujung tombak dari ketiga unsur di atas. Diantara pemberian edukasi etika kepada anak diarahkan terhadap beberapa hal sebagai berikut:
- Pembiasaan kepada beberapa hal yang baik dengan contoh dan prilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan bahasa verbal dalam mencari kebenaran dan tentu sangat tergantung pada sisi historisitas seseorang dalam menjalani kehidupan.
- Apabila seorang anak mampu memahami dengan suatu kebiasaan, maka dapat diberikan arahan lajutan dengan memberi penjelasan apa dan mengapa yang berkaitan dengan hukum kuasalitas (sebab akibat).
- Pada saat dewasa, anak juga tidak dilepas begitu saja, bahwa peran orang tua sebagai pengingat dan pengarah tidak haruslah putus, tanpa harus ada kesan otoriter, bahkan mengajak anak untuk diskusi mengenai pemahaman keagamaan. Pembiasaan kepada beberapa hal yang baik dengan contoh dan perilaku orang tua dan tidak banyak menggunakan bahasa verbal dalam menyampaikan baik dan buruk sesuatu, manfaat dan mudharatnya, sesat dan tidaknya.
Adapun konsep etika dalam Islam menurut Hammudah Abdallati berpusat pada beberapa prinsip, yaitu:
1) Tuhan sebagai pencipta dan sumber kebaikan, kebenaran dan keindahan.
2) Manusia adalah agen yang bertanggung jawab, bermartabat dan berharga bagi pencipta.
3) Tuhan menciptakan segala sesuatu duntuk terhadap manusia.
4) Tuhan tidak memberikan beban yang melampui kemampuan manusia.
5) Jalan tengah merupakan jaminan bagi integritas dan moralitas tinggi.
6) Banyak hal yang diizinkan bagi manusia, dan terdapat sedikit yang dilarang.
7) Puncak tanggung jawab manusia ialah Tuhan.
Beberapa prinsip yang disebutkan diatas memberikan suatu gambaran relasi antara Tuhan, manusia, dan alam. Tuhan sebagai pencipta, manusia sebagai pusat penciptaan, dan alam ialah ciptaan yang berfungsi sebagai obyek bagi pusat ciptaan. Relasi antara Tuhan dan manusia ialah relasi ketundukan, manusia harus tunduk terhadap Tuhan dan harus bertanggung jawab kepadanya atas semua prilaku terhadap alam. Dalam memberikan amanat pengelola alam kepada manusia, Tuhan tidak bersikap semena-mena. Manusia diberikan anugrah yang berupa akal. Demikian pula Tuhan tidak memberikan beban yang melebihi kemampuan manusia. Dengan akal manusia diharapkan dapat mengenal potensi diri, alam sekitar, mengetahui watak dan hukum yang telah berlaku dalam alam dan kehidpan. Dengan wahyu manusia diharapkan dapat bertindak dan mengatur alam dengan benar, sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan.
E. Ajaran Islam yang berhubungan dengan bimbingan konseling.
Berbicara mengenai agama terhadap kehidupan manusia memang cukup menarik, khususnya agama Islam. Hal tersebut tidak terlepas dari tugas para nabi yang membimbing dan mengarahkan manusia kepada tindak kebaikan yang hakiki dan para nabi juga menjadi figur konselor yang sangat mumpuni dalam memecahkan suatu permasalahan atau problem solving yang berkaitan dengan kejiwaan manusia, guna mengeluarkan manusia dari tipu daya syaitan. Sebagaimana firman Allah swt swt dalam surat Al-Ashr, ayat 1-3
وَالْعَصْرِإِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍإِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sungguh manusia dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan melakukan amal kebaikan, saling menasehati supaya mengikuti kebenaran dan saling menasehati supaya mengamalkan kesabaran”. (Al-Ashr :1-3)
Dengan kata lain manusia diharapkan saling memberi bimbingan sesuai dengan kemampuan masing-masing, sekaligus memberi konseling guna tetap sabar dan tawakal dalam menghadap perjalanan kehidupan yang benar.
وَيَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلا أُنْزِلَ عَلَيْهِ آيَةٌ مِنْ رَبِّهِ قُلْ إِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ أَنَابَ
“Berkata orang-orang tiada beriman:”Mengapa tiada diturunkan kepadanya (Muhammad) sebuah mukjizat dari Tuhannya?”
Jawablah :”Allah swt membiarkan sesat siapa yang Ia kehendaki, dan membimbing orang yang bertobat kepada-Nya.” (Ar-Ra’d :27)
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa terdapat jiwa yang menjadikan manusia bertakwa dan fasik, semuanya menurut keinginan manusia itu sendiri, sebab manusia telah diberikan suatu pilihan oleh Allah swt swt, dengan kata lain Allah swt swt memberikan suatu keleluasaan terhadap manusia untuk memilih, entah manusia tersebut ingin menjadi baik atau tdak baik. Dalam proses pendidikan dan pengajaran agama tersebut dapat dikatakan sebagai suatu bimbingan dalam bahasa psikologi. Nabi muhammad saw menyuruh manusia untuk menyebarkan atau menyampaikan suatu ajaran agama Islam yang diketahuinya, meskipun ia memahami satu ayat saja. Dengan demikian dapat diketahui bahwa nasihat agama tersebut diibaratkan dengan (guidance) dalam suatu pandangan psikologi.
Daam hal ini Islam memberikan suatu perhatian terhadap proses bimbingan. Allah swt swt telah menunjukkan adanya bimbingan, nasihat atau petunjuk terhadap manusia yang beriman dalam melakukan perbuatan yang terpuji, misalnya yang terdapa dalam surat at-Tiin, ayat 4-5
لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh, maka bagi mereka pahala yang tidak putus-putusnya” (At-Tiin :4-5)
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan-keturunan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka dan Allah swt mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab : Betul (Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi). Kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan :”Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (Al-A’Raf :172)
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran:104)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalann-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An Nahl:125)
Terdapat beberapa ayat yang khusus menjelaskan tugas seseorang dalam membina agama bagi keluarganya, yaitu dalam surat at-Tahrim, ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah swt terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (At Tahrim:6)
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (As-Syu’ara:214)
Selanjutnya ialah hal yang berkaitan dengan suatu perkembangan konseling, khususnya konseling terhadap anak yang masih duduk dibangku sekolah menengah keatas, yaitu meliputi beberapa tipe konseling sebagaimana berikut ini:
- Konseling kritis dalam menghadapi saat-saat kritis yang dapat terjadi, misalnya hal yang mengakibatkan kegagalan dalam meraih sesuatu, baik dalam masalah pendidikan, pergaulan, bahkan dalam berhubungan dengan lawan jenis, dan penyalah gunaan obat-obatan.
- Konseling fasilitatif dalam menghapi suatu kesulitan dan kemungkinan kesulitan dalam memahami diri sendiri dan mengambil suatu keputusan dalam karir, akademisi, dan pergaulan sosial.
- Konseling preventif dalam mencegah sedapat mungkin kesulitan yang dapat dihadapi dalam pergaulan, memilih karir, dan lain sebagainya.
- Konseling developmental, hal ini ialah menopang kelancaran perkembangan indivial anak, misalnya pengembangan kemandirian, percaya diri, citra dini, perkembangan akademik dan lain sebagainya.
Dengan demikian kebutuhan akan hubungan suatu bantuan (Helping Relationship), terutama konseling. Pada dasarnya timbul dari diri dan luar individu yang melahirkan seperangkat suatu pertanyaan mengenai apakah yang haru diperbuat oleh anak secara individual. Dalam kosep Islam sendiri, pengembangan diri merupakan sikap dan perilaku yang sangat diistimewakan. Manusia mampu mengoptimalkan potensinya sendiri, sehingga menjadi pakar dalam disiplin ilmu pengetahuan.
F. Pendekatan Islam dalam pelaksanaan bimbingan konseling
Pendekatan secara Islam dapat dikaitkan dengan aspek psikologis dalam melaksanakan bimbingan konseling yang meliputi kepribadian, sikap, kecerdasan, perasaan, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan seorang kalien dan konselor. Bagi keperibadian seorang muslim yang berpihak terhadap pondasi tauhid, pastilah seseorang yang berkerja keras, akan tetapi nilai kerja baginya ialah untuk melaksanakan tugas suci yang telah diberikan oleh Allah swt dengan sebuah kepercayaan penuh, hal ini ialah suatu ibadah, sehingga pada pelaksanaan pembimbingan konseling kepribadian muslim tersebut memiliki ketangguhan pribadi dengan beberapa prinsip sebagai berikut :
1. Selalu memiliki sebuah prinsip landasan dan prinsip dasar, yaitu hanya beriman terhadap Allah swt swt.
2. Memiliki prinsip kepercayaan, yaitu berikan terhadap malaikat.
3. Memiliki prinsip kepemimpinan, yaitu beriman terhadap para nabi dan rasul.
4. Selalu memiliki sebuah prinsip pembelajaran, yaitu berperinsip terhadap al-Qur’an.
5. Memiliki prinsip masa depan, yaitu beriman terhadap hari kemudian.
6. Memiliki prinsip keteraturan, yaitu beriman terhadap ketentuan Allah swt.
Apabila konselor memiliki prinsip tersebut, maka pelaksanaan bimbingan dan konseling tentu akan mengarahkan klien kearah kebenaran, selanjutnya ialah dalam pelaksanaanya pembimbing dan koselor perlu memiliki tiga langkah untuk menunjukkan pada kesuksesan bimbingan dan konseling, yaitu:
a. Memiliki Mission Statement yang jelas, yaitu dua kalimat syahadat.
b. Memiliki sebuah metode pembangunan karakter sekaligus simpul kehidupan, yaitu shalat lima waktu.
c. Memiliki kemampuan pengendalian diri yang dilatih dan disimblkan dengan puasa.
Prisip dan langkah tersebut sangatlah penting bagi pembimbing dan konselor muslim, sebab hal tersebut akan menghasilkan kecerdasan emosi dan spritual (ESQ) yang sangat tinggi (Akhlakul Karimah). Dengan mengamalkan hal tersebut akan memberikan kenyataan dan kepercayaan bagi Counseler yang melakukan bimbingan dan konseling. Sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dalam surat ali-Imran ayat 104.
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada diantara kamu suatu umat yang menyeru berbuat kebaikan, dan menyuruh orang melakukan yang benar, serta melarang yang mungkar. Merekalah orang yang mencapai kejayaan.” (Ali Imran : 104)
Pada ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa melaksanakan bimbingna dan konseling yang akan mengarahkan seseorang kepada kesuksesan dan kebijaksanaan, dan bagi konselor sendiri akan mendapat nilai tersendiri dari Allah swt swt. Para pembimbing dan konselor harus mengetahui pandangan filsafat keTuhanan (Theologi). Manusia dapat di Homo divians yaitu, makhluk yang berkeTuhanan, dan manusia dalam sepanjang sejarahnya pasti mempunyai kepercayaan terhadap keTuhanan atau kepada hal-hal gaib yang menggetarkan hatinya atau hal-hal gaib yang mempunyai daya tarik kepadanya. Hal semacam ini oleh beberapa agama besar didunia dipertegas bahwa manusia adalah makhluk yang disebut makhluk beragama (Homo Religioun). Oleh sebab itulah ia memliki naluri agama (insting regilion), sesuai dengan firman Allah swt swt dalam al-Qur’an, surat ar-Rum, ayat 30.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah swt (tetaplah atas) fitrah (naluri) Allah swt yang telah menciptakan manusia menurut naluri itu, tidak ada perubahan pada naluri dari Allah swt itu. Itulah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Ar-Rum : 30)
Pada diri Counselee juga terdapat beberapa benih agama, sehingga untuk mengatasi suatu maslah dapat dikaitkan dengan agama, dengan demikian pembimbingan dan konselor dapat mengarahkan individu (Counselee) kearah agama, dan dalam hal ini ialah kepada agama Islam itu sendiri. Dengan perkembangan ilmu jiwa (psikologi) dapat diketahui bahwa manusia memerlukan bantuan untuk mengatasi beberapa kesulitan yang dihadapinya, kemudian mucullah berbagai bentuk petunjuk pelayanan kejiwaan, baik dari yang paling ringan, yang sedang, bahkan yang paling berat yang disebut terapi, sehingga hal tersebut dapat berkembang suatu psikologi yang memiliki beberapa cabang kerapan, diantaranya ialah bimbingan konseling, dan terapi. Kemudian ditemukannya bahwa agama, khususnya agama Islam mempnyai suatu fungsi pelayanan bimbingan, konseling terapi, dimana filosopinya didasarkan atas beberapa ayat dalam al-Qur’an. Proses pelaksanaan bimbingan konseling dan psikoterapi dalam Islam tentunya membawa kepada peningkatan iman ibadah dan jalan hipup yang diridhai oleh Allah swt swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar