Hukum Membongkar dan Memindahkan Kuburan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Membongkar kuburan di dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah “Nabsyu al Qubur“. Nabsy berarti menampakkan sesuatu yang dulunya tersembunyi, atau mengeluarkan sesuatu dari dalam tanah.

B.    Tujuan
Untuk mengetahui tentang hukum-hukum dalam memindahkan kuburan, sehingga kita akan paham dan tidak menjadi keliru dalam hal memindahkan kuburan.


BAB II
HUKUM MEMBONGKAR DAN MEMINDAHKAN KUBURAN

2.1  Hukum Membongkar dan Memindahkan Kuburan
Membongkar kuburan di dalam bahasa Arab sering disebut dengan istilah “Nabsyu al Qubur“. Nabsy berarti menampakkan sesuatu yang dulunya tersembunyi, atau mengeluarkan sesuatu dari dalam tanah. Maka an-Nabbasy adalah orang yang profesinya membongkar kuburan untuk  mengambil (mencuri) kain kafan atau barang berharga lainnya yang dikubur bersama mayit. (al Fayumi, al Misbah al Munir : 350)
Para ulama telah sepakat bahwa membongkar kuburan untuk  mengambil (mencuri) kain kafan darinya atau hanya karena iseng dan tidak ada kepentingan darinya adalah perbuatan yang dilarang dalam Islam, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan prinsip penghormatan terhadap manusia. Karena manusia ini terhormat ketika hidup dan ketika mati, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
"Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak Adam" (QS. Al Isra’: 70)
Perbuatan tersebut juga bertentangan dengan hadist 'Aisyah adhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
"Bahwa memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya pada waktu dia hidup." (Hadist Shahih Riwayat Abu Daud, no. 2792, Ibnu Majah, no. 1605, dan  Ibnu Hibban, no. 3167)
Sedangkan membongkar kuburan karena suatu mashlahat yang mendesak, mayoritas ulama, termasuk di dalamnya empat madzhab, yaitu  Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah menyatakan kebolehannya, baik mashlahatnya bersifat pribadi maupun umum.

Dalilnya adalah hadist Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَتَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ بَعْدَ مَا أُدْخِلَ حُفْرَتَهُ فَأَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ فَوَضَعَهُ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَنَفَثَ عَلَيْهِ مِنْ رِيقِهِ وَأَلْبَسَهُ قَمِيصَهُ
"Bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendatangi kuburan Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul, dan memintanya untuk dikeluarkan lagi, sehingga diletakkan di lututnya dan ditiupnya dengan ludahnya dan diselimuti dengan pakaiannya." (HR Bukhari dan Muslim)
Berkata Ibnu Hajar, "Hadits ini menunjukkan kebolehan membongkar kuburan karena maslahat mayit, seperti menambahkan barakah kepadanya (dalam hal ini karena tiupan dan dikenakan baju Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam)" (Fathu al Bari : 3/164)
Hal ini dikuatkan dengan atsar Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu  juga yang menyebutkan:
دُفِنَ مَعَ أَبِي رَجُلٌ فَلَمْ تَطِبْ نَفْسِي حَتَّى أَخْرَجْتُهُ فَجَعَلْتُهُ فِي قَبْرٍ عَلَى حِدَةٍ
"Seorang laki-laki dikuburkan bersama dengan bapakku, namun  perasaanku tidak enak, hingga akhirnya aku keluarkan beliau dari kuburan dan aku kuburkan beliau dalam satu liang kubur sendiri.” (HR Bukhari)
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwasanya Abdullah adalah orang tua dari Jabir bin Abdullah yang terbunuh dalam perang Uhud, dia dikuburkan dalam satu liang dengan seseorang yang tidak berkenan di hati Jabir. Setelah enam bulan berlalu, maka jasad bapaknya tersebut dikeluarkan dari kuburan, kemudian dikuburkannya sendiri di tempat lain.

2.2  Sebab-Sebab Dibolehkannya Membongkar Kuburan
Adapun sebab-sebab dibolehkan membongkar kuburan menurut mayoritas ulama adalah jika diperkirakan mayit sudah punah (lebur), tidak tersisa dari anggota badannya, serta telah menjadi tanah. (Al Nawawi, Al Majmu’: 5/233, Ibnu Qudamah, Al Mughni: 2/511, Ibnu Hazm, Al Muhalla: 2/32 ).
Tempat bekas kuburan yang telah punah seperti ini bisa difungsikan sebagai tempat kuburan baru, atau dibangun jalan umum atau hal-hal lain yang mengandung maslahat umum. Tetapi tidak dibenarkan jika dijadikan tempat bercocok tanam atau dibangun di atasnya pabrik atau pusat pusat perbelanjaan (mall) yang dimiliki oleh seseorang, karena tanah kuburan adalah milik masyarakat umum, maka harus dikembalikan lagi fungsinya kepada mereka.
Begitu  juga, jika seorang mayit muslim yang dikubur tidak menghadap kiblat, atau belum dimandikan, atau belum dikafani, maka dibolehkan untuk dibongkar lagi, agar posisinya menghadap kiblat, dan dimandikan serta dikafani terlebih dahulu. Bahkan para ulama dari kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah mewajibkan hal tersebut. Tentunya hal ini dilakukan selama mayit masih dalam keadaan bagus dan tidak rusak.
Begitu juga, jika seorang perempuan yang sedang hamil meninggal dunia dan langsung dikuburkan, padahal menurut perkiraan para ahli, bahwa anak yang ada dalam perutnya masih bisa diselamatkan, maka dalam hal ini dibolehkan, bahkan diwajibkan untuk membongkar kuburannya serta membedah perut sang mayit untuk mengeluarkan bayi yang diperkirakan masih hidup tersebut.
Begitu juga, jika seseorang yang tidak diketahui identitasnya ditemukan tewas di jalan atau terseret banjir atau terdampar di pantai, setelah dikubur, tiba-tiba datang seseorang yang mengaku bahwa orang tersebut adalah bapak atau suami atau istrinya, dan dia meminta hak atas warisan yang ditinggalnya, maka dalam keadaan ini boleh atau wajib dibongkar kuburannya untuk membuktikan pengakuaannya tersebut. (As Syarbini, Mughni Al Muhtaj : 1/367). Membongkar kuburan juga dibolehkan untuk keperluan penyelidikan suatu kasus kejahatan yang hendak diungkap.

2.3  Membongkar Kuburan Umat Masa Lalu
Para ulama membolehkan untuk membongkar kuburan umat-umat yang telah berlalu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya pernah membongkar kuburan kaum musyrikin yang telah rusak di kota Madinah, sebagaimana dalam hadist panjang yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. (HR Bukhari, no. 418 dan Muslim, no. 523). Selain itu, jika kuburan-kuburan yang telah punah dan rusak tersebut dibiarkan, maka akan menghambat pembangunan dan membiarkan tanah kosong dan mubadzir, maka dianjurkan untuk memanfaatkan tanah tersebut, tentunya setelah kuburan tersebut dibongkar dan dipindahkan ke tempat lain jika masih ada sisa–sisa anggota tubuh mereka.

2.4  Hukum Memindahkan Mumi
Bagaimana hukumnya memindahkan kuburan para mumi yang ada di Mesir? Sebagaimana diketahui bahwa tujuan menguburkan mayit adalah menghormatinya sebagai manusia dan menjaganya dari binatang buas pemangsa daging, serta menutup  baunya agar tidak mengganggu masyarakat sekitar. Para mumi yang diawetkan (dibalsem) dengan bahan tertentu, ternyata jasadnya masih utuh dan baunya biasanya tidak sebusuk mayit biasa. Sehingga sebagian ulama membolehkan untuk memindahkan mereka di tempat-tempat khusus, selain untuk keperluan penilitian ilmiyah, para mumi tersebut adalah salah satu tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sebagai pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahnya. Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang kisah tenggelamnya Fir’aun:
فَالْيَوْمَ نُنَجِّيكَ بِبَدَنِكَ لِتَكُونَ لِمَنْ خَلْفَكَ آيَةً وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ النَّاسِ عَنْ آيَاتِنَا لَغَافِلُونَ
"Maka pada hari ini, kami selamatkan badanmu, agar menjadi pelajaran bagi orang yang datang sesudahmu, dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus: 92)
BAB III
PENUTUP
 3.1  Kesimpulan
Bahwa dalam membongkar kuburan menurut mayoritas ulama adalah jika diperkirakan mayit sudah punah (lebur), tidak tersisa dari anggota badannya, serta telah menjadi tanah. (Al Nawawi, Al Majmu’: 5/233, Ibnu Qudamah, Al Mughni: 2/511, Ibnu Hazm, Al Muhalla: 2/32 ).
Tempat bekas kuburan yang telah punah seperti ini bisa difungsikan sebagai tempat kuburan baru, atau dibangun jalan umum atau hal-hal lain yang mengandung maslahat umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar