Seperti yang kita ketahui bahwa sejak awal diterapkannya sistem madrasah di Indonesia pada sekitar awal abad ke-20, madrasah telah menampilkan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam. Identitas itu tetap dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang tidak kecil, terutama pada masa penjajahan.
Pada masa penjajahan Belanda, perkembangan madrasah muncul dari semangat reformasi yang dilakukan oleh masyarakat Muslim. Ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia; pertama, adanya pandangan yang mengatakan bahwa sistem pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat. Kedua, adanya kekhawatiran atas kecepatan perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbulkan pemikiran sekuler di masyarakat. Untuk menyeimbangkan perkembangan sekulerisme, para reformis (khususnya dari kalangan Muhammadiyah) kemudian memasukkan pendidikan Islam dalam persekolahan melalui pembangunan madrasah
Pada masa itu, banyak sekali peraturan-peraturan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang pada intinya tidak lain adalah untuk mengontrol atau mengawasi madrasah. Karena pemerintah takut dari lembaga pendidikan tersebut akan muncul gerakan atau ideologi perlawanan yang akan mengancam kelestarian penjajahan mereka di bumi Indonesia ini, dan Dampak dari ketakutan yang berlebihan itu mencapai puncaknya ketika banyak madrasah yang ditutup karena dianggap melanggar ketentuan yang digariskan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Ketika Indonesia diproklamasikan sebagai negara merdeka tahun 1945, madrasah kembali bermunculan dengan tetap menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam. Tentunya tidak lepas dari perhatian para pejabat pada saat itu.
Pemerintah RI tidak kalah perhatiannya terhadap madrasah atau pendidikan Islam umumnya, terbukti juga dengan dibentuknya Departemen Agama (Depag) pada 3 Januari tahun 1946. Dan salah satu kebijakan Departemen Agama terhadap madrasah yang cukup mendasar adalah dibuatnya Surat Kesepakatan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama tentang “Peningkatan Mutu pendidikan pada Madrasah” pada tahun 1975. Maka dari itu, dalam makalah ini akan membahas tentang SKB 3 Menteri dengan batasan masalah meliputi lahirnya, implikasi dan efektifitas dari SKB 3 Menteri ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana lahirnya SKB 3 Menteri?
2. Bagaimana Implikasi dari SKB 3 Menteri?
3. Bagaimana Efektifitas dari SKB 3 Menteri?
C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memahami lahirnya SKB 3 menteri
2. Untuk memahami Implikasi dari SKB 3 Menteri
3. Untuk memahami Efektifitas dari SKB 3 Menteri
1. Lahirnya SKB 3 Menteri 1975
Pada tanggal 18 April tahun 1972, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 tentang “ Tanggung-Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan.” Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.
- Menteri tenaga Kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
- Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Dua tahun berikutnya, Keppres itu dipertegas dengan Instruksi Presiden No. 15 tahun 1974 yang mengatur realisasinya. Bagi Departemen Agama yang mengelola pendidikan Islam, termasuk madrasah, keputusan ini menimbulkan masalah. Padahal dalam Tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan Nasional. Selain itu, dalam Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama sebagai penyelenggara pendidikan madrasah tidak saja yang bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga yang bersifat kejuruan.
Dengan Keppres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 itu, penyelenggaran umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang telah menggunakan kurikulum nasional kepada kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Menarik untuk dicermati, bahwa kebijakan Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah dengan pendidikan nasional. Keppes dan Inpres ini juga dipandang oleh sebagian umat Islam adalah sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah, padahal madrasah merupakan wadah utama pendidikan dan pembinaan umat Islam, sekaligus sebagai lembaga formal umat Islam yang lebih diperhatikan pemerintah terutama bagi masyarakat pedesaan yang jauh dari pusat pemerintahan, yang sejak zaman penjajahan diselenggarakan oleh umat Islam.
Ketegangan ini wajar saja muncul dan dirasakan oleh umat Islam. Betapa tidak, pertama, sejak diberlakunya UU No. 4 tahun 1950 dan UU No. 12 tahun 1954, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan dan bahkan tidak disinggung sama sekali, yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum). Dampaknya madrasah dan pesantren dianggap berada di luar sistem. Kedua, umat Islam pun “curiga” bahwa mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Dan kecurigaan itu pun diperkuat dengan dikeluarkannya Keppres 34/1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres 15/1974 yang isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidikan nasional.
Munculnya reaksi dari umat Islam ini disadari oleh pemerintah Orde Baru, kemudian pemerintah mengambil kebijakan yang lebih operasional dalam kaitan dengan madrasah, yaitu melakukan pembinaan mutu pendidikan madrasah.
Sejalan dengan upaya meningkatkan mutu pendidikan madrasah inilah, maka pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud). SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah.
2. Implikasi SKB 3 Menteri 1975
Implikasi SKB 3 Menteri 1975 ini antara lain adalah:
a. Aspek Lembaga
Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa-siswa madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan pada Departemen Agama. Dan secara tidak langsung hal ini memperkuat dan memperkokoh posisi Departemen Agama dalam struktur pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah.
b. Aspek Kurikulum
Karena diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah, berisi mata pelajaran dengan perbandingan 70% mata pelajaran umum dan 30% pelajaran agama. Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah. Di lain pihak, bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.
c. Aspek Siswa
Dalam SKB 3 Menteri ditetapkan bahwa:
1. Ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
2. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
3. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang lebih atas
d. Aspek Masyarakat
SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat (communnity participation) yang peduli pada nasib pendidikan bagi anak bangsanya. Hal ini terbukti jelas dengan prosentase madrasah yang berstatus swasta jauh lebih banyak (91%) dibandingkan dengan yang berstatus negeri (9%)
Trend pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khiththah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat (community based education), maka madrasah hanya tinggal maju satu tahap ke depan yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien.
Untuk menunjang suksesnya pendidikan berbasis masyarakat, maka peranan masyarakat sangat besar sekali. Masyarakat sebagai obyek pendidikan sekaligus juga akan menjadi subyek pendidikan. Sebagai obyek pendidikan, masyarakat merupakan sasaran garapan dari dunia pendidikan dan sebagai subyek pendidikan, masyarakat berhak mendesain model pendidikan sesuai dengan potensi dan harapan yang diinginkan oleh masyarakat setempat. Lebih dari itu sebagai subyek pendidikan, masyarakat juga bertanggungjawab terhadap prospek, termasuk dana pendidikan.
Ada beberapa bentuk peran serta masyarakat dalam menunjang keberhasilan otonomi dalam bidang pendidikan, antara lain:
- Pendirian dan penyelenggaraan satuan pendidikan jalur pendidikan sekolah dan luar sekolah.
- Pengadaan dan pemberian bantuan tenaga kependidikan.
- Pengadaan dan pemberian tenaga ahli (guru tamu, peneliti, dan sebagainya).
- Pengadaan / penyelenggaraan program pendidikan yang belum diadakan oleh sekolah.
- Pengadaan bantuan dana; wakaf, hibah, pinjaman, beasiswa dan sebagainya.
- Pengadaan dan pemberian bantuan ruang, gedung, tanah dan sebagainya.
- Pemberian bantuan buku-buku pelajaran.
- Pemberian kesempatan untuk magang / latihan kerja.
- Pemberian bantuan managemen pendidikan.
- Bantuan pemikiran dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pendidikan.
3. Efektifitas SKB 3 Menteri 1975
Keputusan Bersamaa Tiga Menteri tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat, sehingga:
a. Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
b. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas.
c. Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Peningkatan mutu pendidikan pada madrasah agar tujuan dimaksudkan di atas tercapai meliputi bidang – bidang :
a. Kurikulum
b. Buku – buku pelajaran, alat – alat pendidikan lainnya dan sarana – sarana pendidikan lainnya.
c. Pengajar.
Pembinaan fungsional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah berdasarkan SKB Tiga Menteri tersebut dilakukan pembagian tugas pembinaan sebagai berikut:
a. Pengelolaan madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b. Pembinaan pelajaran agama dilakukan oleh Menteri Agama.
c. Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum dilakukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama – sama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri.
Adapun bantuan pemerintah dalam rangka peningkatan mutu pada madrasah meliputi sebagi berikut:
a. Dalam bidang pengajaran umum dengan mengadakan buku – buku mata pelajaran pokok dan alat pendidikan lainnya.
b. Dalam bidang sarana fisik dengan melakukan penataran dan bantuan pengajaran.
c. Dalam bidang sarana fisik dengan pembangunan gedung sekolah. Sedangkan pelaksanaan bantuan tersebut di atas diatur bersama – sama oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri.
d. Badan anggaran dalam pelaksanaan ketentuan – ketentuan dalam SKB Tiga Menteri tersebut di atas, dibebankan kepada anggaran Departemen Agama, sedangkan yang berupa bantuan dibebankan kepada anggaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Dalam Negeri.
e. Dalam pelaksanaan SKB Tiga Menteri ini, Departemen Agama sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam bidang – bidang yang harus dilaksanakan telah mengusahakan hal – hal sebagai berikut:
1) Melakukan pembakuan kurikulum madrasah untuk semua tingkat yang realisasinya dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama No. 73 Tahun 1976 untuk Ibtidaiyah; No. 74 Tahun 1976 untuk Tsanawiyah; dan No. 75 Tahun 1976 untuk tingkat Aliyah. Pelaksanaan kurikulum ini dilaksanakan secara bertahap sejak tahun ajaran 1976 dan dalam tahun 1979 semua jenjang madrasah harus telah dapat melaksanakan kurikulum baru tersebut.
2) Memberikan legalitas yuridis untuk mempersamakan tingkat / derajat madrasah dengan sekolah umum dan mempersembahkan ijazah madrasah swasta dengan madrasah negeri. Masing – masing dituangkan dengan keputusan Menteri Agama No. 70 Tahun 1976 dan No. 5 Tahun 1977. kemudian di dalam pelaksanaan teknis persamaan ijazah madrasah swasta dengan madrasah negeri telah diatur oleh Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/D/69/77, yang mengatur tentang status madrasah terdaftar dan status madrasah dipersamakan dengan persyaratan – persyaratannya.
3) Dalam rangka efektifitas pendidikan di madrasah itu pula maka telah dilakukan restrukturisasi madrasah dengan Keputusan Menteri Agama No. 15 Tahun 1976 ( untuk Madrasah Ibtidaiyah ), No. 16 Tahun 1976 ( untuk MTsN ), dan No. 17 Tahun 1976 ( untuk MAN ).
Kesimpulan
1. Pada tanggal 24 Maret 1975 dikeluarkan lah sebuah kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama (Prof. Dr. Mukti Ali), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Letjen. TNI Dr. Teuku Syarif Thayeb) dan Menteri Dalam Negeri (Jend. TNI Purn. Amir Machmud).
2. Dalam Implikasi SKB 3 Menteri ada beberapa aspek yaitu meliputi aspek lembaga, kurikulum, siswa dan aspek masyarakat.
3. Efektifitas SKB 3 Menteri adalah bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum yang setingkat, kemudian meningkatan mutu pendidikan pada madrasah agar tujuan dimaksudkan di atas tercapai dan pembinaan fungsional dalam rangka peningkatan mutu pendidikan pada madrasah berdasarkan SKB Tiga Menteri.
DAFTAR PUSTAKA
- Arif, Abdul, Madrasah Dalam Politik Pendidikan Di Indonesia, Jakarta: Wacana
- Ilmu, 2005.
- Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003.
- Tobroni, Andi, Relevansi SKB 3 Menteri, Ciputat: IMI, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar