PROSES HISTORIS DAN FAKTOR YANG MENJADI SASARAN MODRENISASI AL-AZHAR
Al-Mu’iz Dinillah, pemimpin Dinasti Fathimiyah adalah orang yang paling berjasa dalam membangun gagasan pendirian Masjid al-Azhar sebagai pusat pemerintahan dan penyebaran faham Syi’ah Ismailiyah. Al-Azhar dalam perkembangannya, bukan saja sebagai tempat untuk mendalami ilmu agama atau penampungan bagi orang-orang miskin, bahkan al-Azhar juga merupakan tempat pemersatu umat dalam perjuangan membebaskan Mesir dari penjajahan Negara Perancis.
Keistimewaan al-Azhar, tidak hanya piawai dalam melahirkan ulama-ulama yang berkualitas, akan tetapi ia juga membangun peradaban dunia melalui dua cara, yaitu dengan kepribadian yangn dimiliki oleh al-Azhar sendiri, dan melalui lulusan-lulusannya yang membawa perubahan terhadap masyarakat dunia. Al- Azhar dalam perjalanannya sebagai lembaga pusat pendidikan keagamaan terus mengalami pasang-surut dalam perkembangannya, pembaharuan demi pembaharuan terus dilakukan, adapun tokoh pembaharuan serta ide yang mereka tawarkan dan lakukan, beberapa di antaranya :
1. Muhammad Ali yang merupakan penguasa Mesir dengan dukungan penuh dari para ulama al-Azhar. Adapun reformasi yang dilakukan Muhammad Ali antara lain :
a. Setiap pelajar yang akan memasuki al-Azhar harus mendaftar dan mengikuti ujian seleksi.
b. Setiap tingkatan memiliki kurikulum dan system yang jelas.
c. Mendirikan sejumlah kelas untuk pendidikan umum, seperti kedokteran dan teknik.
d. Mengirim pelajar untuk belajar ke Eropa dan setelah lulus mengabdikan diri untuk mengembangkan ilmu di al-Azhar.
e. Adanya dewan tinggi dalam rangka memaksimalkan kualitas pendidikan di al-Azhar.
f. Memberikan ijazah kepada lulusan al-Azhar.
Muhammad Ali melakukan pembaharuan terhadap al-Azhar, dengan dua cara, yaitu :
a. Jangka pendek, yaitu memegang kendali kebijakan al-Azhar.
Meskipun al-Azhar dipimpin oleh Grand Syaikh dan dikoordinasikan dengan Dewan Tinggi al-Azhar, tetapi dalam penunjukan Grand Syaikh, Muhammad Ali memegang otoritas tertinggi.
b. Jangka Panjang, Muhammad Ali menggalakkan pengiriman para ulama ke Perancis untuk belajar, hal ini dimaksudkan agar para ulama dapat mensintesiskan antara kultur pendidikan al-Azhar dan pendidikan Barat.
2. Ismail cucu dari Muhammad Ali. Ia memberikan kebebasan kepada kalangan Katolik dan Protestan untuk mengembangkan pendidikan, kemudian mendirikan Dar Ulum tahun 1872 M, dengan tujuan melatih para guru dan hakim. Tahun 1873 M, tenaga guru mencapai 314 dan jumlah pelajar 9.441 orang. Jumlah pelajar terus mengalami peningkatan sampai 10.780 orang dengan rincian 5.651 orang berafiliasi mazhab Syafi’i, 3.826 orang berafiliasi mazhab Maliki,1.278 berafiliasi mazhab hanafi, dan 25 orang berafiliasi mazhab Hambali. Jumlah ini terdapat pada tahun 1876 M.
Sejak tahun 1872, al-Azhar telah memperhitungkan kualitas dan kelayakan bagi guru ingin mengajar di al-Azhar, dengan memberikan sertifikasi bagi mereka yang lulus fit and proper test, dan berhak untuk mengajar di al-Azhar.
3. Kemudian Abbas Ilmi pada tahun 1892 membangun kelas khusus dilantai bawah untuk ruangan ujian, menata kembali perpustakaan,dan membangun rumah sakit di al-Azhar.
4. Muhammad Abduh, ia adalah Grand Mufti Mesir. Ia menyampaikan lima proposal reformasi di dalam al-Azhar, yaitu :
a. Mengubah sistem halaqoh menuju system kelas yang terjadual
b. Melaksanakan ujian yang rutin dalam rangka mengukur kemampuan akademis setiap pelajar.
c. Menggunakan buku-buku primer yang ditulis para ulama yang mempunyai otoritas dalam bidangnya, daripada buku-buku sekunder yang ditulis sebagian guru.
d. Memperkaya kurikulum dengan materi-materi baru, bahkan hal-hal yang tidak ada dalam khazanah keilmuan al-Azhar.
e. Sentralisasi perpustakaan.
Kerjasama yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sebagai Grand Mufti dan Syaikh Hassunah al-Nawawi sebagai Grand Syaikh al-Azhar, mempunyai dampak yang sangat besar terhadap reformasi al-Azhar.
Suwito (2008) : Membahas tentang reformasi pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh reformis yang lahir pada tahun 1849 M di Mahallat Nasr sebuah desa di Mesir. Di antara pemikirannya yang berkaitan dengan reformasi system pendidikan di al-Azhar adalah :
1. Ia menentang pengkafiran terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan. Seperti membaca buku geografi, ilmu alam, atau filsafat adalah haram, memakai sepatu adalah bid’ah.
2. Materi pelajaran yang diberikan al-Azhar tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu agama an sich, tetapi juga memperkenalkan sekaligus mengajarkan filsafat, sejarah dan peradaban Eropa, teologi, serta logika.
3. Ia tidak setuju dengan metode pengajaran di al-Azhar yang lebih menekankan kepada aspek penghafalan, tetapi ia lebih menekankan kepada mahasiswa untuk dididik berfikir.
4. Kemudian pada tahun 1895 M, dibentuk satu lembaga yang diberi nama Majlis al-Iradah atau Dewan Administratif. Dewan ini terdiri dari Grand Syaikh al-Azhar, empat ulama representative dari empat mazhab fiqh dan dua orang dari pemerintah. Dewan ini melakukan pembaharuan di antaranya :
a. Standarisasi pelajar yang dapat menimba ilmu di al-Azhar ;
Keharusan menghafal 15 juz Al-Qur’an pada pelajar yang berusia 15 tahun.
b. Perubahan kurikulum ;
1) Al-Maqashid : Materi inti dari pendidikan keagamaan
Seperti : Aqidah, Akhlak, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits dan Tafsir
2) Al-Wasail : Materi yang penting untuk dipelajari oleh pelajar,
Seperti : Bahasa Arab dan Ilmu Hadits.
Selama tahun 1888, banyak orang yang mengiginkan agar materi modern masuk ke dalam kurikulum, terkhusus adanya permintaan agar rektor al-Azhar memberikan keputusan hukum tentang masalah tersebut. setelah berkonsultasi dengan Mufti dan para pakar lain ia menyatakan bahwa, " Suatu tindakan yang benar untuk mengajarkan ilmu matematika seperti aritmatika dan geometri, serta geografi, karena ilmu ini tidak bertentangan dengan kebenaran, karena merupakan pengetahuan yang diperlukan “ al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu pada aspek tertentu dari astronomi dan astrology tidak boleh dipelajari. Sedangkan mempelajari ilmu-ilmu alam diperbolehkan, dengan dasar hukum (syari'ah), tetapi dilarang jika didekati dari sudut pandang metafisika, Alchemy dilarang, tetapi eksperimen kimia yang diizinkan, asalkan tidak bertentangan dengan doktrin Islam.
Menurut Khafagi ada tiga sosok penting dalam menjeput era baru di al-Azhar, terutama dalam rangka menjaga keseimbangan antara modernisasi, reformasi, dan kemerdekaan politik. Pertama Rifa’ah Tahtawi. Ia adalah sosok ulama modern yang berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra di al-Azhar ….
Kedua, Abdullah bin al-Nadim dan Ahmad Urabi. Al-Nadim seseorang yang menggalang kekuatan di kalangan Budayawan untuk mengobarkan api revolusi dan reformasi. Untuk mencapai misinya, ia mendirikan sebuah lembaga yang sangat popular, yaitu Jam’iyyah al-Kahiriyyah al-Islamiyah. Sedangkan Urabi adalah seorang agitator yang dapat membakar spirit orang-orang Mesir untuk menyalakan api revolusi. Bahkan, al-Azhar turut serta dalam revolusi yang dipimpin oleh Urabi, yang kemudian dikenal dengan revolusi Urabi.
Ketiga, Muhammad Abduh, Ia dikenal sebagai salah satu murid Jamaluddin al-Afghani, yang melanjutkan pemikiran progesif dan menuju modernisasi yang sesungguhnya. Ia menggabungkan antara kekuatan aktivitasme dan intelektualisme. Sebuah gerakan reformasi yang hampir dikatakan sempurna. Setelah beberapa tahun kemudian, muncullah ide untuk menjadikan al-Azhar sebagai universitas, tetapi inisiatif ini ditolak pemerintah dengan mendirikan universitas tandingan pada tahun 1908 yang diberi nama Universitas Kairo, ada anggapan bahwa sikap pemerintah ini adalah untuk meminimalisir peran sosial al-Azhar. Namun hal ini tidak mengurangi kepribadiaan al-Azhar sebagai pusat pendidikan keagamaan, bahkan perannya secara nasional, regional, dan internasional semakin meningkat.
Sidi Gazalba mengatakan;… Setelah sepuluh abad perkembangan madrasah, tahun 1911 ia diresmikan sebagai Universitas Agama.“… Al Azhar telah dibagi menjadi dua jurusan, jurusan umum yang meneruskan cara lama dan jurusan khusus yang terdiri dari ilmu kalam, hukum dan bahasa Arab: dan tiap-tiap fakultas mempunyai beberapa sekolah rendah dan menengah. Pada jurusan khusus mahasiswa dikuliahi pelajaran-pelajaran modern dengan rencana pelajaran-pelajaran yang terakhir, diberi ujian-ujian tahun; diwajibkan spesialisasi dengan mengajukan desertasi serta diberi gelar akademi…“
Al-Azhar diakui secara internasional adalah lembaga pendidikan yang mencetak para ulama yang memiliki karakter yaitu kritisme, dan ulama yang selalu merujuk pada sumber primer yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Abad 9 H/15 M adalah masa keemasan bagi al-Azhar, karena pada saat itu banyak ilmuan yang muncul, seperti : Ibnu Khaldun, Al-Farisi, Al-Suyuthi, Al-Maqrizi, dan lainnya. Kemudian banyak juga ulama kontemporer yang merupakan lulusan al-Azhar, antara lain : Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Yusuf Qardhawi, Quraish Shihab.
Misrawi Zuhairi; menyatakan :
Dalam hal ini, terdapat dua kelompok ulama yang berjasa besar dalam menjaga eksistensi al-Azhar sebagai benteng peradaban Sunni. Pertama, para ulama yang dipilih sebagai Grand Syaikh al-Azhar. Mereka mempunyai jasa besar, karena di tangan merekalah segala urusan yang berkaitan dengan al-Azhar dikendalikan untuk kemaslahatan umat.
Kedua, para ulama yang menghabiskan waktu untuk mengajar dan menelurkan pemikiran –pemikiran keagamaan cemerlang di al-Azhar. Dedikasi dan karya mereka ditulis dengan tinta emas sebagai sebuah pembuktian. Bahwa al-Azhar telah memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk berkarya untuk tumbuhnya pemikiran keagamaan yang membawa harapan tentang kemajuan dan kebangkitan. Kedua kelompok ulama tersebut telah menjadikan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kedudukan penting di hati umat Islam. Dalam usianya yang lebih dari 1.000 tahun, al-Azhar telah membuktikan dirinya sebagai salah satu model pendidikan yang patut diacungkan jempol dengan catatan ulama yang telah lahir dari rahim al-Azhar.
Hal senada juga di aminin oleh Bayard Dodge yang mengatakan; “In conclusion Dr. al-Bahay says that “The readjustment of al-azhar consists in bearing in mind the accomplishment of a mission, which is the understanding of Islam and making it know more perfectly"."It ia an individual mission, which no other educational institution can undertake “ ." Islam in the future will have a strong or weak influence, as al-azhar is strong or weak. " . Kesimpulannya adalah Dr. al-Bahay mengatakan “ al-Azhar berdiri dengan komitmen membawa misi yang kuat, menanamkan pemahaman keislaman dan pengetahuan yang sempurna. “ Ini adalah misi yang besar dan belum ada lembaga lain yang dapat melakukannya. “ .“ Kuat atau lemahnya masa depan Islam akan berpengaruh terhadap al-Azhar.
Hasan Asari memberi pendapat :
“ Posisi penting ulama Mesir berkaitan dengan keberadaan Al-Azhar. Lembaga keagamaan yang didukung oleh system waqf yang sangat besar ini bertahan sejak zaman klasik Islam dan telah menjadi bagian dari identitas Mesir. Meski setelah penaklukannya di awal abad ke – 16, kerajaan Ustmani melikuidasi sebagian besar waqf lembaga keagamaanMesir, Al-Azhar merupakan pengecualian yang bahkan mendapat dukungan dari penguasa tersebut. Lembaga ini berfungsi sebagai pusat revitalisasi pendidikan islam (khususnya dalam kajian hadits dan tasawuf), di samping memberi peluang pertukaran informasi antar berbagai penjuru dunia Islam. Keberadaannya mengundang kehadiran sejumlah ulama besar yang sekaligus menjadi dasar kosmopolitanisme kegiatan ilmiah muslim. Sejumlah ulama terkenal didaerah lain, semacam India atau Indonesia mempunyai hubungan erat denga para ulama Al-Azhar di Kairo.
Hubungan antara ulama dan penguasa Mesir mengalami pasang surut, sesuai dengan besarnya kekuasaan yang mereka miliki. Ulama cenderung memiliki kekuatan dan prestise yang tinggi bila pemerintah pusat lemah dan tidak mampu mengendalikan rakyat secara efektif. Kekuranggannya kendali politik memberi kesempatan bagi ulama untuk berkolaborasi dengan penguasa, dan dengan demikian dapat mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan. Namun demikian sebagai pengayom umat Islam, ulama akan menentang penguasa yang tiran terhadap rakyat. Sebaliknya, dibawah penguasa yang kuat, yang pemerintahannya ditandai dengan pemerintahan pusat yang efektif, otoritas ulama cenderung kehilangan kekuatannya
Al-Mu’iz Dinillah, pemimpin Dinasti Fathimiyah adalah orang yang paling berjasa dalam membangun gagasan pendirian Masjid al-Azhar sebagai pusat pemerintahan dan penyebaran faham Syi’ah Ismailiyah. Al-Azhar dalam perkembangannya, bukan saja sebagai tempat untuk mendalami ilmu agama atau penampungan bagi orang-orang miskin, bahkan al-Azhar juga merupakan tempat pemersatu umat dalam perjuangan membebaskan Mesir dari penjajahan Negara Perancis.
Keistimewaan al-Azhar, tidak hanya piawai dalam melahirkan ulama-ulama yang berkualitas, akan tetapi ia juga membangun peradaban dunia melalui dua cara, yaitu dengan kepribadian yangn dimiliki oleh al-Azhar sendiri, dan melalui lulusan-lulusannya yang membawa perubahan terhadap masyarakat dunia. Al- Azhar dalam perjalanannya sebagai lembaga pusat pendidikan keagamaan terus mengalami pasang-surut dalam perkembangannya, pembaharuan demi pembaharuan terus dilakukan, adapun tokoh pembaharuan serta ide yang mereka tawarkan dan lakukan, beberapa di antaranya :
1. Muhammad Ali yang merupakan penguasa Mesir dengan dukungan penuh dari para ulama al-Azhar. Adapun reformasi yang dilakukan Muhammad Ali antara lain :
a. Setiap pelajar yang akan memasuki al-Azhar harus mendaftar dan mengikuti ujian seleksi.
b. Setiap tingkatan memiliki kurikulum dan system yang jelas.
c. Mendirikan sejumlah kelas untuk pendidikan umum, seperti kedokteran dan teknik.
d. Mengirim pelajar untuk belajar ke Eropa dan setelah lulus mengabdikan diri untuk mengembangkan ilmu di al-Azhar.
e. Adanya dewan tinggi dalam rangka memaksimalkan kualitas pendidikan di al-Azhar.
f. Memberikan ijazah kepada lulusan al-Azhar.
Muhammad Ali melakukan pembaharuan terhadap al-Azhar, dengan dua cara, yaitu :
a. Jangka pendek, yaitu memegang kendali kebijakan al-Azhar.
Meskipun al-Azhar dipimpin oleh Grand Syaikh dan dikoordinasikan dengan Dewan Tinggi al-Azhar, tetapi dalam penunjukan Grand Syaikh, Muhammad Ali memegang otoritas tertinggi.
b. Jangka Panjang, Muhammad Ali menggalakkan pengiriman para ulama ke Perancis untuk belajar, hal ini dimaksudkan agar para ulama dapat mensintesiskan antara kultur pendidikan al-Azhar dan pendidikan Barat.
2. Ismail cucu dari Muhammad Ali. Ia memberikan kebebasan kepada kalangan Katolik dan Protestan untuk mengembangkan pendidikan, kemudian mendirikan Dar Ulum tahun 1872 M, dengan tujuan melatih para guru dan hakim. Tahun 1873 M, tenaga guru mencapai 314 dan jumlah pelajar 9.441 orang. Jumlah pelajar terus mengalami peningkatan sampai 10.780 orang dengan rincian 5.651 orang berafiliasi mazhab Syafi’i, 3.826 orang berafiliasi mazhab Maliki,1.278 berafiliasi mazhab hanafi, dan 25 orang berafiliasi mazhab Hambali. Jumlah ini terdapat pada tahun 1876 M.
Sejak tahun 1872, al-Azhar telah memperhitungkan kualitas dan kelayakan bagi guru ingin mengajar di al-Azhar, dengan memberikan sertifikasi bagi mereka yang lulus fit and proper test, dan berhak untuk mengajar di al-Azhar.
3. Kemudian Abbas Ilmi pada tahun 1892 membangun kelas khusus dilantai bawah untuk ruangan ujian, menata kembali perpustakaan,dan membangun rumah sakit di al-Azhar.
4. Muhammad Abduh, ia adalah Grand Mufti Mesir. Ia menyampaikan lima proposal reformasi di dalam al-Azhar, yaitu :
a. Mengubah sistem halaqoh menuju system kelas yang terjadual
b. Melaksanakan ujian yang rutin dalam rangka mengukur kemampuan akademis setiap pelajar.
c. Menggunakan buku-buku primer yang ditulis para ulama yang mempunyai otoritas dalam bidangnya, daripada buku-buku sekunder yang ditulis sebagian guru.
d. Memperkaya kurikulum dengan materi-materi baru, bahkan hal-hal yang tidak ada dalam khazanah keilmuan al-Azhar.
e. Sentralisasi perpustakaan.
Kerjasama yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sebagai Grand Mufti dan Syaikh Hassunah al-Nawawi sebagai Grand Syaikh al-Azhar, mempunyai dampak yang sangat besar terhadap reformasi al-Azhar.
Suwito (2008) : Membahas tentang reformasi pendidikan di al-Azhar, Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh reformis yang lahir pada tahun 1849 M di Mahallat Nasr sebuah desa di Mesir. Di antara pemikirannya yang berkaitan dengan reformasi system pendidikan di al-Azhar adalah :
1. Ia menentang pengkafiran terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan kebiasaan. Seperti membaca buku geografi, ilmu alam, atau filsafat adalah haram, memakai sepatu adalah bid’ah.
2. Materi pelajaran yang diberikan al-Azhar tidak hanya terbatas kepada ilmu-ilmu agama an sich, tetapi juga memperkenalkan sekaligus mengajarkan filsafat, sejarah dan peradaban Eropa, teologi, serta logika.
3. Ia tidak setuju dengan metode pengajaran di al-Azhar yang lebih menekankan kepada aspek penghafalan, tetapi ia lebih menekankan kepada mahasiswa untuk dididik berfikir.
4. Kemudian pada tahun 1895 M, dibentuk satu lembaga yang diberi nama Majlis al-Iradah atau Dewan Administratif. Dewan ini terdiri dari Grand Syaikh al-Azhar, empat ulama representative dari empat mazhab fiqh dan dua orang dari pemerintah. Dewan ini melakukan pembaharuan di antaranya :
a. Standarisasi pelajar yang dapat menimba ilmu di al-Azhar ;
Keharusan menghafal 15 juz Al-Qur’an pada pelajar yang berusia 15 tahun.
b. Perubahan kurikulum ;
1) Al-Maqashid : Materi inti dari pendidikan keagamaan
Seperti : Aqidah, Akhlak, Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits dan Tafsir
2) Al-Wasail : Materi yang penting untuk dipelajari oleh pelajar,
Seperti : Bahasa Arab dan Ilmu Hadits.
Selama tahun 1888, banyak orang yang mengiginkan agar materi modern masuk ke dalam kurikulum, terkhusus adanya permintaan agar rektor al-Azhar memberikan keputusan hukum tentang masalah tersebut. setelah berkonsultasi dengan Mufti dan para pakar lain ia menyatakan bahwa, " Suatu tindakan yang benar untuk mengajarkan ilmu matematika seperti aritmatika dan geometri, serta geografi, karena ilmu ini tidak bertentangan dengan kebenaran, karena merupakan pengetahuan yang diperlukan “ al-Ghazali berpendapat bahwa ilmu pada aspek tertentu dari astronomi dan astrology tidak boleh dipelajari. Sedangkan mempelajari ilmu-ilmu alam diperbolehkan, dengan dasar hukum (syari'ah), tetapi dilarang jika didekati dari sudut pandang metafisika, Alchemy dilarang, tetapi eksperimen kimia yang diizinkan, asalkan tidak bertentangan dengan doktrin Islam.
Menurut Khafagi ada tiga sosok penting dalam menjeput era baru di al-Azhar, terutama dalam rangka menjaga keseimbangan antara modernisasi, reformasi, dan kemerdekaan politik. Pertama Rifa’ah Tahtawi. Ia adalah sosok ulama modern yang berjasa dalam pengembangan bahasa dan sastra di al-Azhar ….
Kedua, Abdullah bin al-Nadim dan Ahmad Urabi. Al-Nadim seseorang yang menggalang kekuatan di kalangan Budayawan untuk mengobarkan api revolusi dan reformasi. Untuk mencapai misinya, ia mendirikan sebuah lembaga yang sangat popular, yaitu Jam’iyyah al-Kahiriyyah al-Islamiyah. Sedangkan Urabi adalah seorang agitator yang dapat membakar spirit orang-orang Mesir untuk menyalakan api revolusi. Bahkan, al-Azhar turut serta dalam revolusi yang dipimpin oleh Urabi, yang kemudian dikenal dengan revolusi Urabi.
Ketiga, Muhammad Abduh, Ia dikenal sebagai salah satu murid Jamaluddin al-Afghani, yang melanjutkan pemikiran progesif dan menuju modernisasi yang sesungguhnya. Ia menggabungkan antara kekuatan aktivitasme dan intelektualisme. Sebuah gerakan reformasi yang hampir dikatakan sempurna. Setelah beberapa tahun kemudian, muncullah ide untuk menjadikan al-Azhar sebagai universitas, tetapi inisiatif ini ditolak pemerintah dengan mendirikan universitas tandingan pada tahun 1908 yang diberi nama Universitas Kairo, ada anggapan bahwa sikap pemerintah ini adalah untuk meminimalisir peran sosial al-Azhar. Namun hal ini tidak mengurangi kepribadiaan al-Azhar sebagai pusat pendidikan keagamaan, bahkan perannya secara nasional, regional, dan internasional semakin meningkat.
Sidi Gazalba mengatakan;… Setelah sepuluh abad perkembangan madrasah, tahun 1911 ia diresmikan sebagai Universitas Agama.“… Al Azhar telah dibagi menjadi dua jurusan, jurusan umum yang meneruskan cara lama dan jurusan khusus yang terdiri dari ilmu kalam, hukum dan bahasa Arab: dan tiap-tiap fakultas mempunyai beberapa sekolah rendah dan menengah. Pada jurusan khusus mahasiswa dikuliahi pelajaran-pelajaran modern dengan rencana pelajaran-pelajaran yang terakhir, diberi ujian-ujian tahun; diwajibkan spesialisasi dengan mengajukan desertasi serta diberi gelar akademi…“
Al-Azhar diakui secara internasional adalah lembaga pendidikan yang mencetak para ulama yang memiliki karakter yaitu kritisme, dan ulama yang selalu merujuk pada sumber primer yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Abad 9 H/15 M adalah masa keemasan bagi al-Azhar, karena pada saat itu banyak ilmuan yang muncul, seperti : Ibnu Khaldun, Al-Farisi, Al-Suyuthi, Al-Maqrizi, dan lainnya. Kemudian banyak juga ulama kontemporer yang merupakan lulusan al-Azhar, antara lain : Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, Yusuf Qardhawi, Quraish Shihab.
Misrawi Zuhairi; menyatakan :
Dalam hal ini, terdapat dua kelompok ulama yang berjasa besar dalam menjaga eksistensi al-Azhar sebagai benteng peradaban Sunni. Pertama, para ulama yang dipilih sebagai Grand Syaikh al-Azhar. Mereka mempunyai jasa besar, karena di tangan merekalah segala urusan yang berkaitan dengan al-Azhar dikendalikan untuk kemaslahatan umat.
Kedua, para ulama yang menghabiskan waktu untuk mengajar dan menelurkan pemikiran –pemikiran keagamaan cemerlang di al-Azhar. Dedikasi dan karya mereka ditulis dengan tinta emas sebagai sebuah pembuktian. Bahwa al-Azhar telah memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk berkarya untuk tumbuhnya pemikiran keagamaan yang membawa harapan tentang kemajuan dan kebangkitan. Kedua kelompok ulama tersebut telah menjadikan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai kedudukan penting di hati umat Islam. Dalam usianya yang lebih dari 1.000 tahun, al-Azhar telah membuktikan dirinya sebagai salah satu model pendidikan yang patut diacungkan jempol dengan catatan ulama yang telah lahir dari rahim al-Azhar.
Hal senada juga di aminin oleh Bayard Dodge yang mengatakan; “In conclusion Dr. al-Bahay says that “The readjustment of al-azhar consists in bearing in mind the accomplishment of a mission, which is the understanding of Islam and making it know more perfectly"."It ia an individual mission, which no other educational institution can undertake “ ." Islam in the future will have a strong or weak influence, as al-azhar is strong or weak. " . Kesimpulannya adalah Dr. al-Bahay mengatakan “ al-Azhar berdiri dengan komitmen membawa misi yang kuat, menanamkan pemahaman keislaman dan pengetahuan yang sempurna. “ Ini adalah misi yang besar dan belum ada lembaga lain yang dapat melakukannya. “ .“ Kuat atau lemahnya masa depan Islam akan berpengaruh terhadap al-Azhar.
Hasan Asari memberi pendapat :
“ Posisi penting ulama Mesir berkaitan dengan keberadaan Al-Azhar. Lembaga keagamaan yang didukung oleh system waqf yang sangat besar ini bertahan sejak zaman klasik Islam dan telah menjadi bagian dari identitas Mesir. Meski setelah penaklukannya di awal abad ke – 16, kerajaan Ustmani melikuidasi sebagian besar waqf lembaga keagamaanMesir, Al-Azhar merupakan pengecualian yang bahkan mendapat dukungan dari penguasa tersebut. Lembaga ini berfungsi sebagai pusat revitalisasi pendidikan islam (khususnya dalam kajian hadits dan tasawuf), di samping memberi peluang pertukaran informasi antar berbagai penjuru dunia Islam. Keberadaannya mengundang kehadiran sejumlah ulama besar yang sekaligus menjadi dasar kosmopolitanisme kegiatan ilmiah muslim. Sejumlah ulama terkenal didaerah lain, semacam India atau Indonesia mempunyai hubungan erat denga para ulama Al-Azhar di Kairo.
Hubungan antara ulama dan penguasa Mesir mengalami pasang surut, sesuai dengan besarnya kekuasaan yang mereka miliki. Ulama cenderung memiliki kekuatan dan prestise yang tinggi bila pemerintah pusat lemah dan tidak mampu mengendalikan rakyat secara efektif. Kekuranggannya kendali politik memberi kesempatan bagi ulama untuk berkolaborasi dengan penguasa, dan dengan demikian dapat mengumpulkan kekuasaan dan kekayaan. Namun demikian sebagai pengayom umat Islam, ulama akan menentang penguasa yang tiran terhadap rakyat. Sebaliknya, dibawah penguasa yang kuat, yang pemerintahannya ditandai dengan pemerintahan pusat yang efektif, otoritas ulama cenderung kehilangan kekuatannya
DAFTAR BACAAN
- Adam Lebor, (2009), A Heart Turned East, Pergulatan Muslim di Barat: Antara Identitas dan Integritas, Bandung, Mizan Media Utama.
- Ajid Thohir, (2009), Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.
- As-Sayyid Abul Hasan Ali Al-Hasani An-Nadwi, (2002), Maadza Khasiral ‘Aal’am, Binhithaatil Muslimiin,Bahaya Kemunduran Umat Islam, Bandung, Pustaka Sedia.
- Badri Yatim, (2010), Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta, PT.RajaGrafindo Persada.
- Hasan Asari, (2006), Menguak Sejarah Mencari Ibrah, Bandung, Citapustaka Media Perintis
- L. Hidayat, (2010), Sejarah Peradaban Islam Klasik, Bandung, Citapustaka Media Perintis.
- Muhammad ‘Ali ‘Utsman, (2010), Ilmuan-Ilmuan Muslim yang Mengubah Dunia, Yogyakarta, Beranda.
- Muhammad Gharib Jaudah, (2007), dalam bukunya yang berjudul Abaqirah Ulama’ Al-Hadharah wa Al-Islamiyah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, Muhyiddin Mas Rida, Jakarta,Pustaka al-Kautsar.
- Raghib As-Sirjani, (2009), Madza Qaddamal Muslimuna lil’Alam Ishamaatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insyaniyah, Sumbangan Peradaban Islam Pada Dunia, Sonif, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar.
- Sami’ bin Abdullah, (2010), Al-Athlas al-Tarikh li Sirah ar-Rasul, Perjalanan Hidup Nabi Muhammad, Dewi Kournia Sari et.all, Jakarta, Al-Mahira.
- Google Maps, (2011), Peta Pemerintahan Islam, (online), di unduh tanggal 13 Mei 2011, pada http://www.google.co.id
- Kamaluddin Laode. M, On Islamic Civilization (Menyalakan Kembali Lentera Peradaban Islam Yang Telah Padam) ; Semarang, Unissula Press, Tangerang banten, Republikata; 2010.
- Hitti. K. Philip.; History of The Arabs (Yogyakarta;PT Serambi Ilmu Semesta; 2005).
- Nakosteen, Mehdi,Historyof Islamic Orginof Western Education A.D.800-1350 with an Introduction to Medival Muslim Education. Boulder : The Unjversity Of Colorado Press, 1964
- Al-Qaradhawi, Yusuf. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar; 2005
- As-Siba'i, Husni Musthafa, Khazanah Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Setia; 2002.
- J. Pedersen. J, The Arabic Book, Fajar Intelektualise Muslim, Alwiyah Abdurrahman, (Bandung, Mizan, 1996).
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijinkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah PROSES HISTORIS DAN FAKTOR YANG MENJADI SASARAN MODRENISASI AL-AZHAR , anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar