Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang harus disiapkan, disebarluaskan dan dikembangkan oleh penganutnya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun. Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan para pedagang muslim yang juga berperan sebagai dai, dengan berbagai metode yang digunakan berusaha mengembangkan sayap Islam seluas-luasnya sampai penjuru Nusantara.
Semenjak Islamisasi masuk ke Indonesia, maka bermunculan berbagai kerajaan-kerajaan Islam hingga Indonesia merdeka. Sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya umat Islam.
Cikal bakal timbulnya kerajaan Islam di nusantara ini dapat dilihat dari beberapa unsur. Berdasarkan hal demikian, maka penulis membatasi pembahasan makalah ini antara lain: Masuknya Islam ke nusantara serta proses Islamisasi, Kerajaan Langkat, Kerajaan Aceh, dan Kerajaan lainnya serta cakupannya.
B. Masuknya Islam ke Indonesia
Sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia melalui dakwah yang damai dan bukan dengan ketajaman mata pedang.[1] Akan tetapi sejauh menyangkut kedatangan Islam di Indonesia terdapat diskusi dan perdebatan panjang di antara para ahli, mengenai tiga masalah pokok, tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.[2]
Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada. Terdapat kecenderungan kuat, suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok, sementara mengabaikan aspek-aspek lainnya.[3] Dan juga disebabkan oleh subjektivitas penulis.[4]
Islam menyebar di India dan semenanjung Arab hingga ke Malaya dan masuk ke Indonesia. Pada beberapa daerah, Islam disebarkan melalui penaklukkan, akan tetapi di Asia Tenggara Islam disebarkan oleh para pedagang dan aktivitas sufi.[5]
Dalam berbagai literatur yang ada, banyak pendapat yang dikemukakan oleh para ahli mengenai tiga persoalan di atas, namun di sini hanya akan dikemukakan beberapa masalah saja.
Seorang penulis berkebangsaan Barat, Thomas W. Arnold menjelaskan bahwa telah dibawa ke Nusantara oleh pedagang-pedagang Arab sehak abad pertama hijriah, lama sebelum adanya catatan sejarah. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya perdagangan yang luas oleh orang-orang Arab dengan dunia timur sejak masa awal Islam.[6]
Di dalam Tarikh China, pada tahun 674 M, terdapat catatan tentang seorang pemimpin Arab yang mengepalai rombongan orang-orang Arab dan menetap di pantai barat Sumatera. Kemudian berdasarkan kesamaan mazhab yang dianut oleh mereka (pedagang dan muhballigh) anut, yaitu mazhab Syafi’i. Pada masa itu mazhab Syafi’I merupakan mazhab yang dominan di pantai Corromandel dan Malabor ketika Ibnu Batutah mengunjungi wilayah tersebut pada abad ke-14.[7]
Dalam pernyataan di atas, Arnold mengatakan bahwa Arabia bukan satu-satunya tempat asal Islam dibawa, tapi juga dari Corromander dan Malabar.
Versi lain yang dipaparkan oleh Azra yang mengutip beberapa pendapat dan teori sarjana, kebanyakan sarjana Belanda yang berpegang pada teori yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara berasal dari anak Benua India bukan Persia atau Arab. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel, seorang pakar dari Leiden. Dia mengaitkan asal muasal Islam di Nusantara dengan dengan wilayah Gujarat dan Malabar. Menurut dia, adalah orang-orang yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[8] Teori ini dikembangkan oleh Snoujk Hurgronje
Moquetta, seorang sarjana Belanda lainnya, berdasarkan hasil penelitiannya menyimpulkan bawha tempat asal Islam di Nusantara adalah Cambay, Gujarat. Dia berargument bahwa tipe nisan yang terdapat baik di Pasai maupun Gresik memperlihatkan tipe yang sama dengan yang terdapat di Cambay, India.[9]
Selain dari itu, seminar yang dilaksanakan di Medan pada tahun 1963, tahun 1978 di Banda Aceh, dan tanggal 30 september 1980 di Rantau Kuala Simpang tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia menyimpulkan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad I H langsung dari tanah Arab melalui Aceh.[10]
Kemudian daerah yang pertama kali didatangi Islam ialah pesisir Sumatera. Para muballigh itu selain sebagai penyiar agama juga merupakan pedagang. Dan penyiaran Islam di Indonesia dilakukan secara damai.[11]
Beberapa teori lain, sebgaimana yang dihimpun oleh Muhammad Hasan al-Idrus menjelaskan dua teori yang berbeda yang bertolak belakang. Teori pertama diwakili oleh sarjanawan Eropa yang menjelaskan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia pada sekitar abad ke-13 M, ketika Marcopolo singgah di Utara pulau Sumatera pada tahun 1292 M.[12]
Teori kedua, adalah teori yang dikemukakan oleh beberapa sarjana Arab dan Muslim, antara lain Muhammad Dhiya’ Syahab dan Abdullah bin Nuh yang menulis kitab al-Islam fi Indonesia, serta Syarif Alwi bin Thahir al-Haddad seorang mufti kesultanan Johor Malaysia dalam kitabnya yang berjudul al-Madkhal ila Tarikh al-Islam fis Syarqi al-Aqsha, keduanya menolak teori yang dikemukakan oleh para sarjanawan Barat yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Asia Tenggara khusunya ke Malaysia dan Indonesia pada abad ke-13 M. mereka meyakini bahwa Islam masuk pada abad ke-7 H, karena kerajaan Islam baru ada di Sumatera pada sekitar akhir abad ke-5 dan ke-6 H. Hal ini mereka pertegas dengan mengemukakan beberapa bukti, antara lain tentang sejarah kehidupan seorang penyebar agama Islam di Jawa yakni Seikh Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri) bin Maulana Uluwwul Islam Makhdum lahir pada tahun 1355 tahun Jawa. Sedangkan ayahnya masuk ke Jawa setelah masuknya Sayrif al-Husein raja Carmen pada tahun 1316 tahun Jawa. Setelah itu masuk Raden Rahmat, seorang penyebar agama Islam di Jawa Timur pada tahun 1316 tahun Jawa.[13]
Teori versi Indonesia menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedangan dari Persia, Arab dan India melalui pelabuhan penting seperti pelabuhan Lamuri di Aceh, Barus dan Palembang di Sumatera sekitar abad I H/7 M.[14]
C. Kerajaan Islam di Nusantara
I. Kesultanan Samudera Pasai
Berdasarkan berita Marcopolo (th 1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai. Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang.
Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada Tahun 1283 Pasai dapat ditaklukannnya, kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama dengan gelar Sultan Malik Al Saleh (1285 - 1297). Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.
Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi.
Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai. Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah. Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.
Dengan cermin pribadinya yang begitu rendah hati, raja yang memerintah Samudera Pasai dalam kurun waktu 1297- 1326 M ini, pada batu nisannya dipahat sebuah syair dalam bahasa Arab, yang artinya, ini adalah makam yang mulia Malikul Dhahir, cahaya dunia sinar agama. Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Pada tahun 1297 Malik Al saleh meninggal, dan digantikan oleh putranya Sultan Muhammad (th 1297 – 1326) lebih dikenal dengan nama Malik Al Tahir, penggantinya Sultan Ahmad (th 1326 – 1348), juga pakai nama Malik
Al Tahir, penggantinya Zainal Abidin. Raja Zainal Abidin pada tahun 1511 terpaksa melarikan diri dan meninggalkan tahtanya berlindung di Majapahit, karena masih saudara raja Majapahit. Hal ini berarti hubungan kekerabatan Raja Samudra Pasai dengan Raja Majapahit terbina sangat baik, menurut berita Cina disebutkan pertengahan abad 15, Samudra Pasai masih mengirimkan utusannya ke Cina sebagai tanda persahabatan.
Dinamika Sosial-Budaya
Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.
Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai.
Dinamika Agama
Kehidupan masyarakat Samudera Pasai diwarnai oleh agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahnya bersifat Theokrasi (berdasarkan ajaran Islam) rakyatnya sebagiab besar memeluk agama Islam. Raja raja Pasai membina persahabatan dengan Campa, India, Tiongkok, Majapahit dan Malaka.
Dinamika Ekonomi
Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada masa itu sedang mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam, para pedagang dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang berdagang di Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan pelabuhan terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah berdasarkan pola budaya Indonesia dan Islam.
Tercatat, selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai salah satu kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan yang sangat sibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.
Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.
Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.
Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai.
II. KESULTANAN PERLAK
Kesultanan perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada 1292. proses berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di Sumatera. Sebelum kesultanan Perlak berdiri di wilayah perlak sebenarnya sudah berdiri negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He La dan pengikutnya.
Pada tahun 840 ini, rombongan yang berjumlah 100 orang dari Timur Tengah datang ke pantai Sumatera yang dipimpin oleh nakhoda khilafah. Rombongan ini bertujuan untuk berdagang sekaligus membawa da’I yang bertuga untuk menyebarkan Islam di ke Perlak. Dalam waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka yakni Hindu dan Budha dan memeluk agama Islam.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang dari anak buah nakhoda khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja’far Shadiq dikawinkan dengan adik Syahir Nuwi, yakni raja Perlak keturunan Parsi. Dari perkawinan mereka lahirlah Sultan Alaiddin Sayyid Maulanan Abdul Aziz Shah yang menjadi sultan pertama di kesultanan Perlak. Ibukota negeri Perlak yang dahulunya bernama Bandar Perlak berubah menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan Perlak dipimpin oleh 18 raja yang dimulai oleh Sultan Alaiddin Syekh Maulanan Abdul Aziz (840-864) hingga yang terakhir Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292). Masa kesultanan Perlak dibagi kepada dua masa yakni dinasti Syekh Maulanan Abdul Aziz dan dinasti Johan Berdaulat yang merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli.
Dinamika Agama
Masa kesultanan Perlak bersamaan dengan pergolakan dan persaingan antara kaum Sunni dan Syiah. Hal ini juga terjadi di kesultanan Perlak. Raja pertama kesultanan Perlak berpindah agama ke Islam dengan aliran Syiah.
Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Eprlak pada masa pemerintahan sultan ke-3. setelah ia meninggal terjadi perang saudara antara kaum Sunni dan Syiah yang menyebabkan situasi politik tidak menentu dan kesultanan Perlak kosong dari kepemimpinan
Pergolakan ini terus terjadi hingga 400 tahun lamanya dan berakhir dengan perdamaian dua belah pihak dan kembali menyatukan kerjaan pada tahun 986.
Dinamika Politik
Dengan masuknya aliran Sunni ke kesultanan Perlak, terjadilah pergolakan yang terus menerus di kesultanan Perlak. Seperti disebutkan di atas, bahwa karena pergolakan tersebut kesultanan Perlak mengalami kekosongan pemimpin, hingga kemudian kedua belah pihak berhasil didamaikan pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Syed Maulanan Shah (986-988) dari kaum Syiah dan Sultan Makhdum Alaiddin Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023) dari kelompok Sunni
Dinamika Sosial, Budaya dan Ekonomi
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan agama Islam di kawasan ini. Selain itu, masyarakat Perlak juga lambat laun belajar berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
III. Kerajaan Langkat.
Awal Kelahiran dan Perkembangannya.
Wilayah kabupaten Langkat yang dikenal sekarang ini sebelumnya adalah sebuah kerajaan. Wilayahnya terbentang antara aliran sungai Seruwai atau daerah Tamiang (sekarang menjadi wilayah Aceh Tamiang) sampai ke aliran anak sungai Wampu. Terdapat sebuah sungai lainnya si antara kedua sungai ini, yaitu sungai Batang Serangan yang merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat dengan luar negeri terutama ke Penang atau Malaysia.Sungai Batang Serangan ketika bertemu dengan sungai Wampu, namanya menjadi sungai Langkat. Sehingga dapat dikatagorikan bahwa kerajaan Langkat lahir dan berkembang di sekitar kawasan sungai-sungai di daerah Langkat yang meliputi kawasan Aceh Tamiang sampai ke Binjai dan wilayah Bahorok.
Nama kerajaan Langkat diambil dari nama sebuah pohon yaitu pohon Langkat.[15] Pohon ini dulu banyak tumbuh di sekitar pinggiran sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini sekarang langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat. Pohon Langkat menyerupai pohon Langsat, tetapi rasanya pahit dan kelat. Oleh karena pusat kerajaan Langkat berada di sekitar sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan istilah kerajaan Langkat.
Silsilah kesultanan Langkat diambil dari nama leluhur dinasti Langkat yang terjauh adalah Dewa Sahdan.[16] Menurut mitos yang ada, ia lahir di tengah hutan belantara dan dibrsarkan di Kuta Buluh (tanah tinggi Karo) kira-kira hidup pada tahun 1500 sampai 1580 Masehi. Kemudian Dewa Sahdan turun gunung dan beberapa kali berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, karena terlibat peperangan dengan kerajaan-kerajaan lain, khususnya Aceh yang pada saat itu sedang mengembangkan daerah kekuasaannya.
Pendiri kerajaan Langkat yang dikenal adalah Raja kahar, yang pada pertengahan abad ke –18 pada tahun 1750 sejak itu, nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat pemerintahannya masih berpindah-pindah. Baru setelah Sultan Musa Berkuasa maka pusat kerajaan resmi berada di Kota Tanjung Pura, selanjutnya secara damai meluaskan wilayahnya sehingga wilayah kekuasaannya bertambah luas mulai dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok. Setelah Sultan Musa mangkat maka kerajaan diambil alih olehSultan Abdul Aziz dan Sultan Mahmud hingga berakhirnya kekuasaan kerajaan Langkat.
Adapun silsilah kerajaan Langkat yaitu: Dewa Sahdan (1500-1580) di Kota Rantang hamparan Perak, Dewa Sakti (1580- w. 1612) wafat pada perang Aceh, Raja Abdullah atau Marhum Guri (1612-1673), Raja Kahar (1673-1750) di Kota Dalam Secanggang, Badiulzaman (1750-1814), Kejuruan Tuah Hitam (1814-1823), Raja Ahmad (1824-1870), Sultan Musa di Tanjung Pura (1870-1896), Sultan Abdul Aziz di Tanjung Pura (1896-1926), Sultan Mahmud di Binjai (1926-1946).
Dinamika Keagamaan
Masyarakat melayu Langkat sebelum adanya kerajaan Langkat diketahui sedah beragama Islam, khususnya di wilayah pesisir. Hali ini dikarenkan wilayah Langkat yang berbatasan dengan daerah Aceh, maka ini membawa dampak bagi perkembangan Islam. Menurut Marco polo pada tahun 1292 telah ditemukan komunitas Muslim di wilayah Pase pada abad ke-14 M. Islam telah berkembang do daerah pesisir timur Sumatera. Pada masa ini orang-orang melayu berperan besar dalam penyebaran agama Islam ke pelosok Nusantara,[17] dan hubungan perdagangan dengan semenanjung Malaka.
Kerajaan Langkat terutama setelah berpusat di Tanjung Pura, menjadikan agama Islam sebagai pedoman atau rujukan terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas Islam dalam perilakunya telah mencerminkan nilai-nilai agama yang sangat kuat walaupun masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme dan lain sebagainya.
Selanjutnya dalam peyebaran Islam, maka sultan-sultan Langkat membangun fasilitas-fasilitas peribadatan, mesjid-mesjid yang megah yang indah bentuknya seperti Mesjid Azizi di Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat dan Mesjid Raya Binjai dan beberapa madrasah yang dibangun untuk pendidikan rohani rakyat.[18] Sedangkan mengenai gaji-gaji guru dan nazir mesjid, demikian juga untuk pemeliharaan gedung-gedung tersebut semuanya ditanggung oleh pihak kerajaan.[19]
Dinamika keagamaan yang begitu kuat dapat dilihat dengan keberadaan Babussalam sebagai pusat kegiatan Tariqat Naqsabandiyah. Ketika kesultanan Langkat dipimpain oleh Sultan Musa, maka pusat tariqat tersebut muncul dan menjadi sebuah simbol keagamaan pada masa itu dan bahkan sampai saat sekarang. Awal mula lahirnya Tariqat Naqsabandiyah ketika meninggalnya anak Sultan Musa yang bernama Tuanku Besar dikarenakan sakit, hal ini membuat sultan dan isterinya mengalami kesedihan mendalam dan depresi kejiwaan yang kuat bebepara pihak yang mengkhawatirkan keadaan ini berusaha untuk mengembalikan kesehatan dan kestabilan jiwa sultan. Maka dalam hal ini ada seorang guru agama kerajaan yang bernama Syekh N. M. Nur mempunyai teman sepengajian ketika di Mekkah yang bernama Syekh Abdul Wahab Rokan[20] atas nasehatnya, maka sultan dan isteri disuruh bersuluk dan mengaji kepada Syekh Abdul Wahab Rokan dengan harapan mudah-mudahan dengan selalu berzikir den mengingat Allah, maka akan membuat hati lebih tenang. Sultan Musa setuju dan akhirnya mengirimkan sebuah surat kepada Syekh yang isinya mengajak Syekh tersebut datang ke Langkat. Surat itu diterima oleh syekh Abdul Wahab di Kubu (sekarang Provinsi Riau). Ketika iti pula Syekh telah mendirikan tariqat di Kubu dan akhirnya permintaan Sultan Musa dipenuhi oleh Syekh Abdul Wahab.[21]
Dinamika Sosial dan Budaya
Di masa kesultanan Langkat telah dikenal strata masyarakat atau kelas-kelas sosial yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan raja-raja yang dikenal dengan gelar-gelar tertentu seperti tengku, sultan dan datuk.[22] Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih melekat pada masyarakat. Bahkan sisa pelapisan sosial lama masih tampak dalam prilaku masyarakat melayu saat ini.
Dengan adanya pelapisan sosial masyarakat, maka keturunan raja dan aristokrat di Langkat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk hidup libeh makmur dibandingkan dengan rakyat biasa. Meraka masing-masing diberi jabatan dan diberi kekuasaan untuk mengatur atau mengelola kecamatan do daerah Langkat. Pembagian kekuasaan dan hasil daerah membuat golongan bangsawan langkat dapat hidup berkecukupan dalam bidang materi.[23]
Dinamika Ekomomi dan Intelektual
Kerajaan Langkat termasuk kerajaan yang makmur ini terlihat dari bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kerajaan ini seperti istana-istana yang megah, lembaga pendidikan dan mesjid yang berdiri dengan kokoh dan kuat. Menurut John Anderson selaku wakil pemerintahan Inggeris di Penang menyatakan bahwa pada tahun 1823 kerajaan Langkat merupakan sebuah kerajaan yang kaya. Ekspor ladanya bermutu sangat baik mencapai 20.000 pikul dalam setahun. Hasil-hasil lainnya dari Langkat seperti rotan, lilin, buah-buahan, gambir emas (dari Bahorok), gading, tembakau dan padi.[24]
Sumber penghasilan kesultanan Langkat terutama dari hasil pertanian, pajak perkebunan asing (Deli Maatschaooij yang searang berupah menjadi PTPN), perdagangan dan hasil pertambangan minyak Bapapte Pertoleum Maatschappij (BPM) sehingga kesultanan Langkat terkenal dengan kerajaan yang kaya. Kekayaan kerajaan dapat dinikmati oleh masyarakat ini dapat dirasakan bahwa sultan setiap tahun mengeluarkan zakat dengan mengumpilkan seluruh rakyat di mesjid atau di istana pada malam 27 Ramadhan serta memberikan bantuan-bantuan lainnya seperti minyak lampu yang digunakan untuk penerangan di Bulan Ramadhan.
Dinamika Intelektual
Dengan berdirinya Madrasah al- Masrullah tahun 1912, Madrasah Aziziah pada tahun 1914 dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921 maka Langkat menjadi salah satu tempat yang dituju oleh pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar di kedua maktab tersebut maka banyak pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan dari luar pulau Sumatera seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lan sebagainya.[25]
Pada awalnya maktab itu hanya disediakan untuk anak-anak keturunan raja dan bangsawan semata, namun pada perkembangannya maktab ini telah memberikan kesempatan kepada umum untuk dapat belajat dan menuntut ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar antara lain adalah Tengku Amir Hamzah dan adam Malik (Wakil Mantan Presiden RI).
Selanjutnya Sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan sekolah melayu yang banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Berkenaan dengan masalah intelektual, kesultanan Langkat memiliki seorang Amir Hamzah yang diknal sebagai seorang penyair, sastrawan dan pahlawan nasional. Ia lahir pada tanggal 28 Februari 1911 di Tanjung Pura. Ayahnya bernama Tengku Pangeran Adil adalah cucu dari Sultan Musa.
Dinamika Politik
Berkenaan dengan politik, kerajaan Langkat dapat dipisahkan dari kerajaan-kerajaan lain yang berada di sekitarnya. Ada dua kerajaan besar yang selalu disebut-sebut dalam sejarah yaitu Kerajaan Aceh dan Kerajaan Siak. Selain itu pula terdapat pemerintahan Kolonian Belanda yang selalu mengadakan intimidasi terhadap kerajaan yang lambat laun meraka dapat menguasai kerajaan Melayu yang berada di sepanjang pesisir timur pulau Sumatera termasuk Langkat pada pertengahan abad ke –19. Akhirnya menjelang tahun kemerdekaan Republik Indonesia penjajahan Jepang juga berhasil menguasai kerajaan Langkat, hingga pada tahun 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang menjadi akhir masa pemerintahan kerajan Langkat dan digantikan menjadi wilayah kabupaten.
Seperti kerajaan lainnya, kerajaan Langkat juaga tidak luput dari perang saudara. Perang saudara terjadi antara Nobatsyah (Raja Bendahara) dengan Raja Ahmad. Hal ini dapat diketahui bahwa sebelum tahun 1865 susunan pemerintahan kerajaan Langkat masih sangat sederhana. Menurut laporan John Anderson selaku wakil Pemerintahan Inggris di Penang ketika mengunjungi Langkat pada tahun 1823, Siak belum menganggkat Raja untuk Langkat namun telah memberikan gelar “Raja Muda” kepada Ahmad dan gelar “Bendahara” kepada Nobatsyah yang masing-masing memiliki istana yang berdekatan.
Kemajuan dan Awal keruntuhan Langkat
Pada masa pemerintahan Sultan Musa, kerajaan Langkat masih mendapat tekanan dari Pihak Aceh dan Belanda dan beberapa daerah di sekitar kerajaan Langkat. Pada masa kekuasaan Sultan Musa, ia selalu menekankan perjanjian damai sehingga Langkat berkembang menjadi kerajaan yang megah dan besar. Pada masa beliau, kerajaan memiliki dua buah istana yaitu istana Darul aman dan istana Darussalam yang saling berdekatan.
Istana darul aman bercirikan ornamen arab dan dibuat dari batu bata, sedangkan istana Darussalam terbuat dari kayu bercirikan ornamen Cina dan memiliki menara seperti pagoda di bagian tengah bangunannya. Kemajuan-kemauannya antara lain : berdirinya Tariqat naqsabandiyah, pengembangan dan perluasan-perluasan wilayah dengan nama kejeruan(baca: kecamatan) yang meliputi perbatasan Aceh tamiang, Bahorak dan Binjai.
Sedangkan keruntuhan kerajaan Langkat sendiri disebabkan perang saudara. Sehingga pada tahun 1946, masyarakat Langkat membumi hanguskan kerajaannya dan membunuh orang-orang yang dianggap antek-antek penjajah dan keluarga kerajaan tidak luput dari peristiwa tersebut. Selanjutnya kedua istana yang megah dibakar oleh masyarakat, karena dikhawatirkan akan dikuasai belanda.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijinkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Kerajaan Islam di Nusantara (Indonesia), anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar