KEADILAN TUHAN

Paham keadilan Tuhan dalam pemikiran kalam banyak tergantung pada pandangan, apakah manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat ataukah manusia itu hanya terpaksa saja. Perbedaan pandangan terhadap bebas atau tidaknya manusia ini menyebabkan munculnya makna “keadilan,” yang sama-sama disepakati mengandung arti meletakkan sesuatu pada tempatnya, menjadi berbeda.

Aliran kalam rasional yang menekankan kebebasan manusia cenderung memahami keadilan tuhan dari sudut pandang keadilan manusia. Sedangkan aliran kalam tradisional yang memberi tekanan pada ketidakbebasan manusia di tengah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, cenderung memahami keadilan Tuhan dari sudut Tuhan sebagai pemilik alam semesta.[1] Ini berarti bahwa keadilan Tuhan terkait dengan kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat, selanjutnya juga terkait dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Secara umum, pandangan mengenai konsep keadilan Tuhan dibagi menjadi aliran.

1. Aliran kalam rasional

Konsep keadilan bagi kalangan rasional banyak didominasi oleh pendapat aliran Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, prinsip keadilan merupakan salah satu prinsip dari lima prinsip dasar Mu’tazilah yang biasa disebut al-Ushul al-khamsah.[2] Konsep keadilan bagi mereka mempunyai dua sisi pembahasan, pertama; menyangkut hak dan kewajiban; dalam konteks ini keadilan berarti lawan dari kezaliman. Kedua; berkaitan dengan perbuatan Tuhan, dengan pengertian bahwa segala perbuatannya adalah baik dan mustahil ia melakukan perbuatan buruk.[3]

Mewakili aliran mu’tazilah, menurut Abd al-Jabbar[4] bahwa “keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan segala kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik”. Tuhan dalam pandangan mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri buat diri-Nya. Ayat al-Qur’an yang menjadi sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah antara lain:

“Kami menggunakan neraca yang adil pada hari kiamat maka sesorang tidak akan dirugikan walau sedikitpun. Jika ada masalah yang seberat biji sawi pun pasti akan kami datangkan. Cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. al-Anbiya:47)

“Pada hari itu seseorang tidak akan dizalimi sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang kamu kerjakan.”(QS. Yasin:54)

Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan yang dipahami Mu’tazilah, aliran Maturidiah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan tidak akan memungkiri segala janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Abu Mansur al-Maturidi memberi dalil pandangan di atas dengan firman Allah ayat 160 surat al-An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.[5]

Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Ilahi, karena bagaimana mungkin, jika manusia itu tidak diberi kebebasan dan kehendak dalam melakukan sesuatu perbuatan dan kemudian diminta pertanggung jawaban atas akibat perbuatannya. Hal ini jelas bertentangan dengan keadilan Allah yang menghendaki agar manusia itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang dilakukan dengan kehendaknya yang bebas bukan terpaksa. Dan selanjutnya, ia dapat meniadakan kezaliman dari Allah sebab kemungkaran moral yang dilakukan manusia, dan sekiranya kemungkaran itu sudah ditentukan Allah atas manusia sejak azali, maka balasan yang diberikan atasnya merupakan suatu kezaliman. Ini bermakna, asas keadilan Ilahi menanamkan dalam diri manusia rasa tanggung jawab atas segala perbuatannya, karena ia yakin bahwa perbuatannya itu dilakukan dengan penuh kehendak dan pilihannya sendiri, dan kemudian ia memperoleh balasan atas perbuatannya itu, maka itu adalah wajar dan adil.[6] Selanjutnya, “Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang sesuai dengan daya (qudrah) yang diletakkan Allah kepada mereka.[7]

Muhammad abduh memandang soal keadilan Tuhan bukan hanya dari segi ke maha sempurnaan Tuhan, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak bisa diberikan kepada Tuhan, karena ketidakadilan tidak sejalan dengan ke maha bijaksanaan Tuhan, tidak sejalan dengan kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan tidak pula sejalan dengan kesempurnaan peraturan alam semesta.[8]

Keadilan dalam pandangan Abduh,[9] berkaitan dengan hukuman dan balasan; baik hukum diberikan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan balasan baik diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan dapat mengubah derajat balasan baik kepada perbuatan yang baik dan melipat gandakannya. Tetapi dalam soal kejahatan perbandingannya tetap satu lawan satu. Sebuah keadilan tidak bisa mencakup pemberian sesuatu kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan menahan sesuatu dari orang yang berhak memilikinya.

Bagi kalangan Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana harus memiliki suatu maksud dari penciptaan alam semesta ini, dan bahwa terdapat keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan Tuhan, sekalipun terhadap orang yang mengesampingkan hukum Ilahi (syari’ah) mengenai kebaikan dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat tidak adil. Sebaliknya, keburukan diciptakan oleh manusia yang telah diberikan oleh Tuhan kemerdekaan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Mereka itu bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan dan akan mendapatkan pahala atau hukuman oleh Tuhan atas apa yang dilakukannya itu.[10]

Dalam hal ini, konsep ‘keadilan Tuhan’ berdasarkan perspektif Syi’ah hampir memiliki persamaan dengan konsep Mu’tazilah, dengan demikian Syi’ah pada akhirnya membela mazhab Mu’tazilah yang menekankan pada ‘pelimpahan kekuasaan’ (tafwidh) pada manusia.[11] Walaupun tidak semua pendapat Mu’tazilah dapat diterima kaum Syi’ah, namun secara garis besar dapat dimasukkan kedalam kelompok ini.

2. Aliran kalam tradisional atau Ahli Sunnah

Adapun aliran kalam tradisional disebut juga ahli Sunnah atau ahli Hadits, yang menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam pandangan Asy’ariyah. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak bisa berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain, dikatakan tidak adil bila yang terpahami adalah Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya.

Tidak ditemukan secara khusus ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh Asy’ari dalam memperkuat pandangan tentang keadilan Tuhan ini. Hal ini disebabkan paham keadilan Tuhan dalam pandangan Asy’ari lebih bertitik berat pada makna kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sehingga ayat-ayat yang sering dipakai untuk menopang paham keadilan Tuhan ini adalah ayat-ayat yang juga dipergunakan untuk memperkuat pandangan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tersebut.

Terkait hubungan antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan keadilan Tuhan maka al-Baghdadi[12] mengatakan, “Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa saja yang dikehendakinya. Seluruh makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas segala perintah. Ia tidak bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun.”

Sependapat dengan Asy’ariyah, aliran Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendaknya sendiri. Keadaan Tuhan yang bersifat maha bijaksana tidak mengandung arti bahwa disebalik perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.[13]

Aliran Asy‘ariyah meninjau masalah keadilan Tuhan dari segi “manusia harus bersikap adil kepada Tuhan,” sang khaliknya.[14] Tuhan adalah pencipta alam semesta dan dengan demikian adalah pemilik mutlak alam semesta beserta isinya, termasuk manusia. Sebagai pemilik mutlak, Tuhan berhak berbuat apa saja terhadap makhluknya, itulah keadilan. Ketidakadilan adalah sebaliknya, yaitu menempatkan Tuhan bukan sebagai pemilik mutlak dari alam semesta sehingga tidak berhak berbuat sekehendak hati-Nya terhadap milik-Nya. Karena pengetahuan Allah tentang keadilan yang sesungguhnya. Sifat adil di sisi Allah merupakan pengetahuan yang qadim.[15]

Dengan demikian jika kaum Mu’tazilah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum-hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatannya sendiri, maka kaum Asy’ariyah menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja absolut, yang memberikan hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaannya sendiri.

AL-‘ADALAH HUBUNGANNYA DENGAN EMPAT PRINSIP LAINNYA

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi kalangan Mu’tazilah, konsep keadilan Tuhan (al-‘Adalah), merupakan salah satu dari lima prinsip dasar yang memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya. Keadilan terkait dengan konsep tauhid karena sifat Esa adalah sifat zat Tuhan sedangkan sifat adil adalah sifat perbuatan Tuhan. Ilmu tauhid mencakup pada pembahasan dari segi Tuhan sebagai zat yang mutlak. Ketika terkait dengan keadilan, maka itu masuk kepada pembicaraan mengenai perbuatan Tuhan dari segi hubungannya dengan manusia. Hubungan itu wajib disandarkan kepada Allah sekaligus kepada manusia.[16]

Kaitannya dengan prinsip selanjutnya, yaitu janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’id). Sebagai sebuah ajaran, kaum Mu’tazilah meyakini bahwa Allah ta’ala adalah benar dengan janji dan ancamannya. Allah tidak akan mengganti janjinya dan pasti akan mewujudkan janjinya di hari kiamat.[17] Jika seorang mukmin melaksanakan amal shalih selama hidup di dunia dan tetap dalam keadaan ta’at sampai ia mati, maka ia berhak mendapat pahala dan masuk surga bila pahalanya lebih banyak dari dosanya. Demikan juga sebaliknya, jika ia selama di dunia, ia banyak berbuat dosa dan tidak sempat bertobat, maka sebagaimana janji allah adalah ia di akhirat akan disiksa di neraka.

Dengan begitu, berdasarkan janji Allah yang demikian, maka keadilan akan terpenuhi. Allah tidak akan berdusta dengan janjinya, tidak akan berbuat zalim dan aniaya memasukkan orang-orang yang jahat kedalam surga dan sebaliknya memasukkan orang salih kedalam neraka. Inilah konsep yang adil bagi kalangan Mu’tazilah.

Sebagai kelanjutan dari prinsip al-wa’ad wa al-wa’id, maka sebagai sebuah keadilan juga, apabila seorang pelaku dosa besar yang masih percaya kepada Allah dan Nabi Muhammad saw, ia bukanlah termasuk kafir, tetapi bukan juga mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir, ia juga tidak layak masuk neraka. orang seperti ini berada dalam posisi al-manzilah bain al-manzilatain.

Prinsip kelima yaitu amr ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar, yaitu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah berbuat kemunkaran. Ajaran ini merupakan akumulasi praktis dalam mengamalkan keempat prinsip dasar lainnya. Dengan melakukannnya, berarti telah sempurnalah lima ajaran dasar keimanan tersebut.

Kaitannya dengan konsep keadilan, karena dengan meyakini dan mengamalkan prinsip amr ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar maka sebagai sebuah kebajikan, pasti akan diberi ganjaran pahala dan kebaikan dari Allah, masuk kedalam kategori orang-orang yang beriman dan layak untuk masuk surga, oleh karena Allah ta’ala bersifat adil kepada hamba-hambanya yang telah melakukan kebaikan.

SOLUSI PERSOALAN “KEADILAN TUHAN”

Perdebatan mengenai “keadlian Tuhan” antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah menjadi terbentang antara dua kutub yang berlawanan. Dengan begitu, argumen-argumen yang dikemukakan kaum Mu’tazilah maupun Asy’ariyah dua-duanya memiliki kelebihan, sekaligus kelemahan. kelebihan masing-masing aliran adalah ketika mengajukan keberatan-keberatan yang diajukan kepada pihak lawan-nya. Sedangkan kelemahannya tampak sewaktu masing-masing aliran menjadikan mazhabnya sebagai yang paling benar yang kemudian dipertahankannya habis-habisan.

Adanya pertentangan yang terjadi di antara mazhab-mazhab kalam menimbulkan respon atau sikap dari sebagian ulama khususnya ulama mutaakhirin, cenderung menghindari perdebatan berkaitan tentang esensi zat Allah, sifat-sifat dan hal-hal yang membawa perdebatan sengit yang tak kunjung selesai. Sayid Sabiq[18] mengatakan, “perdebatan-perdebatan tentang Tuhan merupakan sesuatu yang bid’ah dan harus dilenyapkan dari lubuk hati kaum muslimin. Sebab tidak lain hanyalah karena zat Allah ta’ala masih jauh lebih luhur dan lebih agung dari yang dipecahkan dengan pemikiran persoalan-persoalan tersebut. Allah tidak memaksa kita untuk mencapainya, sebab persoalan-persoalan seperti di atas sudah keluar dari batas kemampuan akal fikiran manusia sekalipun sepandai-pandainya manusia tersebut. Akal manusia amat terbatas sedangkan zat Allah SWT adalah jauh dari apa yang dicapai manusia.”

Sebagai mencoba menjadi penengah, Seyyed Hossein Nasr menuliskan, “Sebagai suatu ‘kebenaran dan realitas absolut’ dan akhirnya ‘realitas satu-satunya’ tanpa pembagian dan batasan apapun pada esensi-Nya, Tuhan adalah keadilan itu sendiri. Karena dia adalah dirinya sendiri dan tidak ada sesuatupun kecuali dirinya sendiri. Tidak mungkin ada ketidakadilan dan ketidakteraturan dalam diri-Nya, karena memang tidak ada realitas lain baik di dalam atau di luar diri-Nya yang akan memunculkan kondisi-kondisi tersebut. Secara filosofis dan teologis, hanya Tuhan kenyataannya yang merupakan ‘keadilan tak berhingga dan sempurna’ serta ‘Pemberi keadilan sempurna’.” [19]

Selama berabad-abad, ahli teologi muslim memperdebatkan apakah segala perbuatan Tuhan dikatakan adil semata-mata karena perbuatan itu adalah perbuatan tuhan, atau karena Tuhan sebagai Tuhan, tidak bisa tidak harus bertindak adil, dan apakah sifat keadilan Tuhan dapat dipahami dan dirasakan oleh kita sesuai dengan kecerdasan pikiran kita yang diberikan oleh Tuhan? Golongan Asy’ari yang mendominasi teologi Sunni, mendukung pendapat pertama. Sedangkan Mu’tazilah dan Syi’ah mendukung pendapat kedua. Namun hasil akhirnya, sejauh pandangan dunia Islam yang umum adalah sama, yaitu bahwa Tuhan adalah benar-benar maha adil dan pengelola keadilan yang sempurna bagi seluruh makhluk-Nya.[20]

BENARKAH ALLAH BERBUAT ADIL DALAM KEHIDUPAN INI?

Dalam kehidupan ini, kita sering mendengar pertanyaan dari orang-orang yang merasa bahwa dalam hidupnya ia tidak mendapatkan keadilan dari Tuhan. Ini adalah sebuah kesimpulan yang ia ambil setelah merasakan dan melihat dalam kehidupannya sebuah kenyataan hidup yang pahit, baik itu bencana, musibah, dan hal-hal lainnya yang tidak diinginkan, misalnya musibah kematian, kelaparan, sakit yang tak kunjung sembuh walaupun sudah berusaha maksimal dan musibah lainnya.

Secara teologi, hal tersebut perlu dijelaskan dengan sebaik mungkin karena bila pertanyaan tersebut tidak terjawab secara memuaskan, maka hal tersebut dapat membawa kerusakan akidah seorang muslim, karena telah berprasangka buruk terhadap Allah.

Persolan masalah keadilan dalam hal ini terkait dengan setiap usaha manusia dan pandangan manusia terhadap konsep takdir. Takdir sebagaimana yang diketahui di bagi menjadi dua, yaitu taqdir yang tetap (mubram) dan yang dapat diubah dan diusahakan (mu’allaq). Jadi, perlu diketahui oleh setiap muslim bahwa dalam kehidupan ini wilayah yang mu’allaq lebih besar porsinya dari wilayah yang mubram. Taqdir yang dapat diusahakan tersebut berada dalam setiap sisi kehidupan ini dan terkait dengan hukum sebab akibat (kausalitas).

Sebagai contoh, misalnya, jika seseorang ingin menjadi orang pintar maka ia harus belajar dengan rajin dan tekun; jika ingin menjadi pengusaha kaya, maka harus berusaha semaksimal mungkin dan berusaha mencari setiap peluang usaha yang dapat mendatangkan uang; atau, jika tidak ingin mendapat musibah tsunami, maka carilah tempat tinggal yang jauh dari wilayah pantai yang rawan tsunami. Jadi, apa yang terjadi dalam kehidupan kita sekarang, tidak terlepas dari apa yang kita lakukan dan usahakan pada waktu terdahulu. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk berprasangka baik terhadap Tuhan (husnun al-zhann) dalam kehidupannya.

Untuk lebih dapat memahaminya, di bawah ini terdapat skema yang dapat memberikan gambaran bahwa konsep keadilan sangat terkait dengan konsep taqdir.

KONSEP AL-‘ADALAH DAN RELEVANSINYA DALAM KEHIDUPAN

Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, diperintahkan untuk berlaku adil dan meniru keadilan Allah sebagimana Allah telah berbuat adil kepada hambanya. Pada saat manusia memaknai ‘keadilan’ bagi kehidupannya, maka pada saat tersebut manusia telah menjalani fitrahnya yang lurus. Dengan kata lain, ‘keadilan’ merupakan suatu kewajiban moral yang berasal dari fitrah manusia, terlepas dari keyakinan-keyakinan spiritual tertentu.[21] Oleh karena itu, tidak hanya kepada setiap muslim saja untuk dituntut melaksanakan keadilan, namun juga bagi kalangan non-muslim. Karena dengan melaksanakan keadilan berarti ia telah menjalankan dan mengalirkan fitrah manusia yang esensi. Orang yang tidak bersifat adil berarti ia telah menghalangi kehendak naluri atau fitrahnya sebagai seorang manusia.

Keadilan memiliki banyak arti dan pemahaman yang luas. Jika keadilan dilihat dalam pandangan manusia, apakah seseorang sudah dikatakan berbuat adil, jika ia tidak mempunyai sifat jelek terhadap orang lain, tidak melanggar hak-hak mereka, tidak membedakan sebagian orang dengan sebagian yang lain; apabila ia bekerja pada suatu daerah dan bertanggung jawab terhadap negara, ia memperlakukan masyarakat dengan sama dan tak pilih kasih; apabila terjadi suatu perbedaan pendapat, yang dibelanya adalah orang yang teraniaya dan yang ditentangnya adalah orang yang menganiaya, maka orang yang seperti ini sudah memiliki kesempurnaan, sebuah sikap hidup yang baik, sehingga dapat disebut sebagai “orang yang adil”.[22]

Sebaliknya, orang yang melanggar hak orang lain, melakukan pembedaan tanpa alasan yang mengharuskan adanya perbedaan; sewaktu ia menjadi aparat pemerintah ia selalu membela orang zalim; menindas orang lemah atau paling tidak bersikap netral terhadap pertentangan dan perdebatan yang terjadi antara orang zalim dan orang yang teraniaya, maka seseorang yang melakukan hal ini tidak memiliki rasa keadilan dan dapat disebut ‘orang zalim’.[23]

Bagi manusia biasa, baik laki-laki maupun perempuan, persoalan yang selalu muncul adalah bagaimana dapat berlaku adil dalam berbagai situasi yang konkret, dan bagaimana mengetahui hal-hal yang menjadi hak-hak kita dan memperlakukan mereka sesuai dengan hak-haknya.

Petunjuk pertama yang diberikan Tuhan kepada umat manusia mengenai bagaimana berbuat adil adalah al-Qur’an, Sunnah, dan syari’at, yang dalam statusnya masing-masing sebagai kalimat Tuhan, Ajaran Nabi, dan hukum Tuhan, harus merupakan petunjuk utama untuk memahami keadilan dan bertindak dengan adil. Hidup dan bertindak adil sesuai dengan aturan syari’at berarti bersikap adil terhadap Tuhan dan juga terhadap makhluknya.[24]

Penafsiran yang telah diberikan orang-orang terdahulu mengenai keadilan ialah, “memberikan hak kepada orang yang berhak menerimanya.” Setiap manusia lahir ke dunia ini dengan membawa kemampuan tertentu pada awal penciptaannya. Dari sini, hak-hak itu dibangun. Kita harus mengetahui dan meneliti esensi masing-masing sesuatu. Setelah itu, barulah jelas, apa yang layak untuknya dan potensi yang dimilikinya. Pada tubuh manusia, misalnya, mata punya hak. Tangan juga punya hak lainnya. Jika kita memberikan hak mata kepada tangan, maka kita bukan saja tidak berkhidmat kepada tangan, melainkan juga telah memberhentikannya dari pekerjaannya.[25]

Misalnya, seandainya kita ada pertanyaan, mengapa si polan bisa menjadi seorang pejabat negara dari sekian banyak orang, pastilah orang menjawab bahwa dia memang layak dan berkualifikasi menduduki jabatan itu. Demikian juga halnya dengan keadilan. Jadi, yang menjadi dasar ialah kelayakan dan kualifikasi. Jika kita memberikan hak kepada orang yang tidak layak dan tidak berhak menerimanya, maka jelaslah bahwa kita telah berbuat zalim dan tidak adil.

Karena itu, agama Islam begitu menekankan prinsip keadilan antara sesama manusia (keadilan sosial). Kita dapat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban. Kita tidak boleh mendahulukan hak dibandingkan kewajiban, dan begitu juga sebaliknya. Contoh lainnya, misalnya dalam jual beli, Islam melarang konsep riba karena dalam riba terdapat unsur menzalimi dan dapat menghilangkan konsep persaudaraan. inilah konsep keadilan Islam yang harus diterapkan dalam kehidupan.

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah KEADILAN TUHAN, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com

Daftar Pustaka dan Footnote


DAFTAR PUSTAKA



Abdul Aziz. A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam, terjemahan: Ilyas Hasan, cetakan kedua, Mizan, Bandung, 1994



Abdul Karim Utsman, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1996



Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997



Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985



Ahmad Warson Munawir, al-Munawwir, Yogyakarta, 1984



Ali Ya’kub Matondang, Pemikiran Kalam Mu’tazilah, Jabal Rahmat, Medan, 1996



Al-Munjid, Dar al-Masyriq, Beirut, 1998



Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, cetakan keempat, Bandung, 1996



_____________, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987



_____________, Teologi Islam, UI Press, cetakan kedua, Jakarta, 1972



Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik Dan Aqidah Dalam Islam, terjemahan: Abd. Rahman Dahlan & Ahmad Qarib, Logos, Jakarta, 1996



Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, terjemahan: Agus Effendi, Mizan, Bandung, 1992



__________________, Islam Dan Tantangan Zaman, terjemahan: Ahmad Sobandi, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996



Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, terjemahan: Suharsono & Djamaluddin MZ, Yogyakarta, 1984



___________________, The Heart Of Islam, Pesan-Pesan Universal Islam Untuk Kemanusiaan, terjemahan: Nurasiah Fakih & Sutan Harahap, Mizan, Bandung, 2003



Sayid Sabiq, Aqidah Islam, terjemahan: Moh. Abdai Rathomi, cetakan kesembilan, Diponegoro, Bandung, 1989



Yunan Yusuf, Corak pemikiran kalam Tafsir al-Azhar, Penamadani, Jakarta, 2003



Zuhdi Jarallah, al-Mu’tazilah, Dar al Faris Li Nasyri wa al-Tauzik, Amman, 1990[26]













[1] Yunan Yusuf, Corak pemikiran kalam Tafsir al-Azhar, Penamadani, Jakarta, 2003, h. 93



[2] Adapun lima prinsip dasar Mu’tazilah yaitu: at-Tauhid, al-‘Adl, al-Wa’ad wa al-Wa’id, al-manzilah baina al-Manzilataini, dan al-Amru bi al-Ma’ruf wa an-Nahi ‘ani al-Munkar, untuk lebih jelas lihat: Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami (1) al-Mu’tazilah, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985, h. 119



[3] Ali Ya’kub Matondang, Pemikiran Kalam Mu’tazilah, Jabal Rahmat, Medan, 1996, h. 57



[4] Yunan Yusuf, h. 94



[5] Ibid., h. 95



[6] Ahmad Daudi, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, h. 106



[7] Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiah, terj. Abd. Rahman Dahlan & Ahmad Qarib, Logos, Jakarta, 1996, h. 152



[8] Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987, h. 79



[9] Ibid.,



[10] Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam, terjemahan: Suharsono & Djamaluddin MZ, Yogyakarta, 1984, h. 8



[11] Murtadha Muthahhari, Keadilan Ilahi, terjemahan: Agus Efendi, Mizan, Bandung, 1992, h. 28



[12] Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, cetakan kelima, Jakarta, 1986, h. 118



[13] Ibid., h. 124



[14] Harun Nasution, Islam Rasional, h., 68



[15] Abdul Karim Utsman, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Maktabah Wahbah, Kairo, 1996, h. 301



[16] Ahmad Mahmud Subhi, Fii ‘Ilmi al-Kalami, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985, h. 141



[17] Zuhdi Jarallah, al-Mu’tazilah, Dar al Faris Li Nasyri wa al-Tauzik, Amman, 1990, h. 59



[18] Sayid Sabiq, Aqidah Islam, terjemahan: Moh. Abdai Rathomi, cet. kesembilan, Diponegoro, Bandung, 1989, h. 115



[19] Seyyed Hossein Nasr, The Heart Of Islam, pesan-pesan universal Islam untuk kemanusiaan, terj. Nurasiah Fakih & Sutan Harahap, Mizan, Bandung, 2003. h. 290



[20] Ibid.,



[21] Abdul Aziz. A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam, Perspektif Syi’ah, terjemahan: Ilyas Hasan, cetakan kedua, Mizan, Bandung, 1994, h. 202



[22] Murtadha Muthahhari, h. 43



[23] Ibid.,



[24] Seyyed Hossein Nasr, Op cit., h. 305



[25] Murtadha Muthahhari, Islam Dan Tantangan Zaman, terjemahan: Ahmad Sobandi, Pustaka Hidayah, Bandung, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar